Bab 12 Perubahan sikap Nadia pada Sasti

by Hurem Petrova 10:45,Jan 02,2021
“Ting!” Suara lonceng pintu berdenting.
Pintu lift terbuka perlahan.
“Permisi....” kata Nadia yang ingin berjalan keluar lift.
Pras dan Sasti memberikan jalan dengan tidak berdiri saling berjajaran.
“Kita tidak keluar?” tanya Sasti pada Pras.
“Kita langsung turun ke bawah aja. Mobilku di bawah. Engga usah di antar Ari. Biar dia makan siang sendiri. Kasian kan dia juga butuh istirahat,” jawab Pras.
Telinga Nadia masih mendengar apa yang sedang Pras dan Sasti bicarakan sebelum pergi. “Sasti dengan CEO? Rasanya tidak mungkin. Tapi jika dilihat kenapa dia tiba-tiba menjadi sekertaris pribadi CEO.... Rasanya....” Buru-buru Nadia membuang pemikirannya. Ia tidak ingin memikirkan hal seperti itu. Karena tidak mungkin Sasti mendapatkan cinta dari CEO. Memangnya siapa dia?
***

Pras dan Sasti sudah ada di dalam restoran hotel bintang lima yang mewah.
“Silahkan Tuan... Nona....” sapa Pelayan restoran dengan ramah.
Tanpa suara Pras menggeser salah satu kursi dan meminta Sasti untuk duduk di sana. Membuat Sasti terkejut, atasannya di kantor malah memberikannya kursi untuk duduk.
Karena kursi sudah di gerser Pras, Sasti langsung duduk di sana. Ia melipat kedua tangannya dan ditaruh di atas meja.
Pelayan pria berseragam menunggu Pras dan Sasti untuk memesan menu makanan.
Pras membuka menu makanan begitu pula dengan Sasti. Banyak nama di menu makanan yang bertuliskan bahasa Inggris. Untung saja bahasa Inggris Sasti tidak terlalu buruk.
“Kamu mau makan yang mana?” tanya Pras sambil membaca menu makanan di restoran hotel ini.
Sasti menatap Pras yang duduk di depannya. Wajah Pras tidak terlihat karena mukanya tertutup buku menu.
“Hm.....” Sasti malas memesan karena melihat tulisan harga yang tertera di menu banyak yang mahal. Walau sepertinya gajinya bulan depan akan naik. Tapi Sasti ingin menabung dan tidak ingin boros. Ia sudah bertekad untuk pindah rumah dari rumah Kakek.
“Aku ingin steak daging dan kentang goreng. Hm.... Salad dan juga corn soup,” kata Pras pada pelayan yang sedang mencatat pesananya di secarik kertas.
Sasti masih diam. Ia bingung memikirkan makanan apa yang akan ia pesan. Karena harga yang tertulis tidak ada yang murah. Untuk kentang goreng saja harganya seratus dua puluh dua ribu rupiah. ‘Memangnya ini kentang dibeli dari mana sih?’ tanya Sasti di dalam hatinya.
“Kamu mau pesan apa?” tanya Pras lagi.
“Hm.... Aku ingin.... Hm..... Air mineral aja,” jawab Sasti akhirnya.
“Hah? Air mineral? Kamu engga lapar?” tanya Pras sambil menatap Sasti.
Sasti menggelengkan kepalanya. “Aku masih kenyang. Tadi aku sarapan makan banyak.”
Pras menatap Sasti sejenak.
Sasti membuang mukanya dan menampilkan ketegasan diri. “Sungguh aku masih kenyang...”
Bertepatan dengan pengakuan bohongnya, perut Sasti berbunyi sedikit nyaring. Persis saat di rumah Pras. Sasti mengatakan tidak lapar tapi penghuni di dalam perutnya berdemo dan mengelurkan suara.
Suara perut Sasti terdengar hingga telinga Pras dan pelayan pria yang sedang menunggu.
Suasana menjadi hening seketika. Sasti menelan ludahnya karena Pras dan pelayan resetoran menatapnya karena suara perutnya yang berbunyi.
Pras langsung tertawa mendengarnya. Bahkan pelayan restoran itu terlihat menahan tawanya.
Wajah Sasi langsung memerah tersipu. Ia merasa tidak nyaman dan malu.
“Ehem....” Pras berdeham sendiri untuk mengendalikan diri agar tidak menertawakan Sasti.
Sasti melirik ke arah Pras dengan tatapan kesal.
Pras menoleh ke arah pelayan yang menahan tawanya menertawakan Sasti. “Hei kamu kenapa tertawa? Memang ada yang lucu?” tanyanya dengan ketus.
Wajah pelayan pria berseragam itu langsung datar dan takut. “Maaf Tuan.... Saya tidak bermaksud....”
“Ya.... Ya.... pesankan makanan yang sama dengan yang aku minta. Jadi aku memesan dua porsi makanan yang sudah kamu tulis,” kata Pras memberitahu.
Pelayan itu menganggukkan kepalanya mengerti dan kemudian pergi berlalu.
“Aku tidak mau makan. Kenapa kamu memesankan makanan yang sama denganmu?” kata Sasti kesal. Sasti tadi melihat semua makana yang dipesan harganya sangat mahal. Haduh makan siang saja bisa habis lima ratus ribu, pikir Sasti.
“Kenapa? Kan aku yang bayar. Lagipula tadi kamu kayanya lapar. Gimana kalo setiap jalan sama aku suara perutnya bernyanyi?” ungkap Pras.
Sejenak Sasti tertegun. “Kamu yang bayar?” tanyanya lirih.
Pras menganggukkan kepalanya. “Ya, memang kamu kira kamu bakalan bayar sendiri?” Pras tertawa.
“Kenapa kamu engga bilang jika kamu yang bayarin?” tanya Sasti. “Coba ngomong dari tadi kalo kamu yang bayarin.”
Pras tertawa. “Memang aku yang bayarin. Ini kan kamu masih kerja. Aku kan sudah bilang menemaniku makan atau apapun bersamaku di pagi hingga jam lepas kantor, kamu tetap kerja. Jadi kalo makan siang sama aku kek gini, aku yang bayarin.”
Sasti menganggukkan kepalanya. “Jika tahu kamu yang bayarin. Tadi aku pilih makanan yang mahal.”
Pras tersenyum simpul. “Ada mau yang kamu pesan lagi? Pesan saja....” kata Pras sambil menunjuk buku menu dengan dagunya.
“Engga usah. Nanti lain kali kalo kamu minta ditemenin makan siang aku akan memesan makanan yang mahal,” kata Sasti sambil menyangga dagunya dengan kedua tagannya.
“Aku akan tunggu,” sahut Pras.
Tanpa sadar, Sasti memandangi wajah Pras. Ia menatap manik mata Pras yang tajam bagai Elang.
Sejenak mereka bertatapan. Hingga suara seseorang pria memanggil nama Pras terdengar. “Pras!”
Pras menoleh.Diikuti Sasti yang juga melihat apa yang sedang dipandang oleh Pras. Pria bertubuh tinggi dengan wajah tampan. Kulitnya sedikit kecekolatan dengan rambut rapi dan berwarna hitam pekat berjalan mendekati mereka.
Sasti terkejut saat melihat wanita di belakang pria itu yang berjalan mengikutinya. “Nadia....” desisnya.
Tidak kalah terkejutnya dengan Sasti. Nadia juga nampak kaget melihat Sasti ada di dalam satu restoran yang sama.
“Hai Doni! Apa kabar!” sapa Pras sambil menyambut tangan Doni yang memberikan sapaan tos ala lelaki.
“Aku baik. Kenapa kamu tidak mengunjungiku kemarin. Padahal sudah ada di Kota ini beberapa hari. Kalau ibu tidak memberitahu aku, aku pasti tidak tau kalo kamu ada di sini,” tutur Doni sambil melirik ke arah Sasti. “Siapa?” tanyanya dengan kedua alis terangkat.
“Sekertarisku....”
“Hai....” sapa Doni ramah.
Sasti membalas senyuman Doni.
Doni mengulurkan tangannya pada Sasti. Lalu Sasti meraih tangan Doni dan mereka berjabat tangan. “Sasti.”
Doni menganggukkan kepalanya. “Oia, temanku kan juga bekerja di perusahan penerbitanmu Pras....” kata Doni sambil menarik Nadia ke dekatnya.
Pras dan Sasti menatap Nadia.
Pras tidak mengenali jika Nadia adalah salah satu karyawannya. Karena karyawan di penerbitan banyak dan Pras juga pimpinan baru membuatnya tidak mengenal Nadia. Bahkan Pras lupa jika ia dan Nadia tadi sempat bertemu di dalam lift.
“Apa kamu kenal?” tanya Doni.
“Mungkin aku pernah melihatnya. Tapi karena aku baru menjabat, jadi aku tidak terlalu hafal,” jawab Pras memberitahu.
“Tapi kamu pasti saling kenalkan...?” tanya Doni pada Sasti.
Sejenak Sasti diam. Nadia dan Sasti saling berpandangan. Nadia seakan tidak ingin mengaku jika Sasti adalah saudaranya. Sasti tahu itu. Karena bukan kali ini saja, Nadia menyembunyikan fakta jika mereka adalah saudara sepupu.
Sasti memilih diam tidak menjawab. Ia takut salah menjawab dan Nadia akan marah.
“Tentu kami kenal kan Sasti.....” Nadia membuka suaranya.
Sasti terkejut mendengarnya. Baru kali ini Nadia mengatakan jika mereka saling kenal pada orang lain.
“Pasti kami kenal karena aku dan Sasti saudara sepupu....” Nadia melanjutkan kalimatnya.
Pras yang semula acuh tak acuh mulai menatap Nadia. “Saudara sepupu....?” tanya Pras pada Nadia.
Nadia menganggukkan kepalanya.
“Kalian satu rumah?”
Sasti menganggukkan kepalanya lagi.
“Tentu saja satu rumah. Kami adalah dua saudara yang akur,” jawab Nadia sambil melingkarkan tangannya ke bahu Sasti. “Kami tinggal di rumah Kakek.”
Sasti masih diam karena terkejut melihat perubahan sikap Nadia. Kedua alisnya masih beradu karena hal itu. ‘Tumben sekali Nadia bersikap manis padaku....’ kata Sasti di dalam hatinya.

Bersambung.....

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

68