Bab 7 Amarah Kakek

by Hurem Petrova 11:15,Jan 01,2021
“Kamu! Memang tidak pernah bersyukur menjadi bagian dari keluarga ini!” teriak Kakek Herman lagi. Tangan pria tua yang gempal dan sudah berkeriput itu mencengkram pakaian Sasti.
Sejenak Asma, bibi Sasti hanya diam karena terkejut. Lalu ia langsung meraih Sasti dan merangkulnya. “Sudah hentikan ayah!”
Rudi, paman Sasti hanya diam. Ia sama sekali tidak merasa iba dengan apa yang dialami Sasti.
Herman masih nampak geram dengan Sasti. “Katakan ke mana saja kamu semalaman? Dan kemana mobil yang kamu bawa?” tanya Herman sambil berusaha menjambak rambut Sasti.
Melihat kekerasan dalam rumah tangga yang dialami Sasti membuat Pras tidak terima. Jadi yang dimaksud Sasti takut pada kakeknya adalah ini? pikir Pras.
Pras membuka pintu mobil dan turun. Dengan langkah cepat ia berjalan menghampiri Sasti yang akan dipukul untuk ketiga kalinya oleh Herman.
Tangan Herman yang melayang dan akan mendarat lagi ke pipi Sasti ditahan oleh Pras.
Semua orang yang ada di sana, terkjut melihat kehadiran Pras yang tidak disangka oleh Sasti. “Pras.....?” desis Sasti terkejut.
Asma menatap ke arah Sasti yang sedang dipeluknya. Lalu tatapannya kembali pada Pras yang nampak gagah namun tidak sopan karena menahan lengan kakek Herman yang akan memukul Sasti.
“Sudah cukup....” kata Pras lirih.
Kedua mata Herman membulat menatap Pras yang juga memandangi dan berucap kepadanya. “Siapa kamu?” tanyanya sambil menghentakan lengannya agar terlepas dari tangan Pras.
Pras tidak menjawab. Karena ia bingung untuk menjawab apa. Karena memang ia tidak ada hubungan apa-apa dengan Sasti atau keluarga ini.
“Siapa kamu, berani-beraninya kamu ikut campur dalam urusan keluaga saya!” teriak Herman.
Rudi pun menatap Pras dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. “Jangan-jangan kamu adalah pria itu?”
Pras menatap Rudi. Ia mengerutkan dahinya. Tidak mengerti apa yang dimaksud oleh paman Sasti ini.
Di susul Herman yang juga mulai mengamati Pras dari ujung kaki hingga kepalanya. “Ya, pasti kamu laki-laki yang dibilang Gilang!”
Kini Sasti yang semakin tidak mengerti. “Gilang? Memang Gilang mengatakan apa?” tanyanya aneh.
“Gilang bilang pertunangan kalian berakhir. Rencana pernikahan yang akan diselanggarakan batal! Kamu puas mempermalukan kami? Keluargamu?” seru Herman.
Sasti terkejut dengan semua yang dikatakan kekeknya padanya. “Tidak! Itu fitnah! Justru Gilanglah yang telah berselingkuh di belakangku! Karena itu kami berpisah.Bukan karena aku!”
Herman tertawa sinis. “Bocah tengik. Kamu ingin membalikkan cerita?”
“Kakek tahu, Gilang yang berselingkuh dengan Ratih dan berhubungan intim dengannya di dalam mobil yang Kakek pinjamkan itu!” Sasti memberitahu. Tapi nampaknya Kakek dan Paman Sasti tidak percaya dengan apa yang diceritakannya.
“Tapi kenapa kenyataannya malah pria ini yang pulang bersamamu?” tanya Rudi, paman Sasti.
Sasti menghela nafas panjang. “Bukan. Kami baru saja berkenalan....” jawab Sasti.
Pras hanya melihat kesekelilingnya. Sepertinya kemunculannya justru malah membuat Sasti tertimpa masalah.
“Sudah! Hentikan!” teriak Asma. “Kita masuk saja, Sasti....” Asma melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Mereka melewati para tiga pria yang sedang berdiri saling berhadapan.
Rudi mengarahkan telunjuknya pada Pras sebelum masuk ke dalam rumah. Kedua matanya menatap tajam pada Pras yang tidak gentar ditatap demikian.
“Kamu siapa?” tanya Kakek Herman pada Pras sebelum masuk. Herman diam-diam menganggumi sikap Pras yang berani dan gagah.
“Namaku Prasetyo!” Pras mengulurkan tangannya ke arah Herman. Tapi uluran tangannya untuk berjabat tangan tidak disambut.
Herman hanya menatap tangan Pras yang menggantung ke arahnya.
Merasa tangannya tidak disambut. Pras menarik tangannya kembali.
“Kamu siapanya Sasti?”
“Aku bukan siapa-siapanya Sasti.... Kami baru kenal,” jawab Pras.
Kakek Herman tersenyum tipis dan terlihat tidak percaya. “Kamu kira kamu dapat membohongi kami dan mengatakan jika kamu tidak memiliki hubungan dengan Sasti?” tanya Herman dengan kedua mata mendelik. “Tidak mungkin pertunangan Gilang dan Sasti berakhir begitu saja tanpa sebab.”
Pras menghela nafas panjang. Rasanya percuma ia mengatakan berulang kali jika ia dan Sasti tidak memiliki hubangan apa-apa dan pertunganan Sasti dengan pria bernama Gilang itu kandas itu bukan karenanya.
Malas berbicara panjang lebar. Pras mengambil dompet di belakang sakunya dan mengambil kartu namanya. Ia memberikan kartu nama itu pada Herman.
Herman mengambil kartu nama yang diberikan oleh Pras dan membacanya. Kedua mata Herman membulat. Ia terkejut dengan tulisan di kartu nama itu.
Bukan tulisan yang menunjukkan jika Pras adalah Ceo perusahaan Elektronik dalam negeri yang bercabang di Kotanya. Namun Herman terkejut akan tulisan nama Pras. Nama belakang keluarga Pras yang membuatnya tersentak.
“Prasetyo Mangunharjo....” desis Herman lirih. Tatapan mata Herman beralih dari memandang ke arah kartu nama yang ia pegang kini menatap Pras. “Mangunharjo....” desisnya lagi.
“Iya, aku adalah cucu dari Bayu Mangunharjo,” kata Pras memberitahu.
Ekspresi wajah Herman masih nampak terkejut dan tidak dapat ia sembunyikan.
“Apa anda mengenal kakekku?” tanya Pras yang merasa jika Herman mengenal kakeknya. Jika dilihat dari usia dan kota ini. Bisa jadi mereka saling mengenal satu sama lain.
Herman tersenyum lebar dan kemudian tertawa.
Pras tidak mengerti arti tawa Herman.
“Jadi dia masih kembali ke Kota ini....” kata Herman lirih. “Bilang pada Kakekmu.... Dapat salam dari Herman Bramastika.”
Pras menganggukkan kepalanya. “Tentu, akan aku sampaikan,” ujar Pras sambil membalikkan badan dan berjalan menuju mobilnya.
Pandangan Herman mengikuti langkah kepergian Pras yang menuju ke arah mobilnya. Ia memandangi punggung Pras. Kedua mata Herman menyipit. Sebuah decakan kesal berbunyi dari mulutnya. “Ck....”
“Tidak aku sangka jika Bayu kembali ke Kota ini. Bahkan ia membiarkan cucunya untuk tinggal di Kota ini. Lihat saja Bayu, aku belum lupa apa yang sudah kamu lakukan di masa lalu dengan keluargaku.... Tidak akan....”
***


“Sudah Kakek bilang Kota ini tidak baik!” seru Kakek pada Pras di malam hari dalam acara makan malam.
“Memangnya ada apa dengan kota ini?” tanya Pras tidak mengerti. “Kota ini adalah tanah kelahiran ibuku.... Kenapa aku tidak boleh tinggal di sini?”
Bayu menghela nafas panjang. Semakin cucunya ini tumbuh besar, Pras semakin sulit diberitahu dan di bujuk. Semua kata-kata yang diucapkan Bayu harus memiliki alasan.
“Dari begitu banyaknya cabang perusahan milik kita kenapa cabang di Kota ini yang kamu pilih?” tanya Bayu lagi.
Pras menaruh sendok supnya dan mengambil segelas teh manis. Ia menyesapnya pelan sebelum menjawab pertanyaan Kakeknya itu. “Sudah aku bilang Kek.... Aku memilih Kota ini, karena menurut aku Kota ini memilki kenangan. Kakek dan ibu lahir di sini. Kota ini seperti sejarah, harusnya Kakek menyukai Kota ini....”
Lagi-lagi Bayu menghela nafas. “Tapi Kota ini tidak melulu soal kebaikan. Kota ini juga bisa berarti keburukan. Seperti kamu yang bertemu dengan perempuan di Bar.”
Pras langsung menatap Bayu. “Lagi-lagi Kakek mencari tahu apa yang telah aku lakukan...” gerutu Pras kesal.
“Tapi Kakek melakukannya karena kakek sayang padamu Pras....”
“Tapi aku bukan anak kecil berumur delapan tahun atau lima belas tahun Kek.... Ada hal privasi yang harusnya Kakek tidak usah mencari tahu....” sahut Pras kesal.
Bayu mengangkat kedua alisnya ke atas. Bibirnya merapat.
“Oia, tadi ada pria berusia sekitar umuran Kakek. Sepertinya dia kenal dengan Kakek. Mungkin dia adalah teman Kakek saat kecil. Dia menitip salam untuk Kakek....” kata Pras memberitahu.
“Oh ya? Siapa?” tanya Bayu sambil menusuk buah pir yang sudah dikupas dengan garpunya.
“Herman Bramastika.”
Telinga Bayu seakan berdengung mendengar nama Herman di sebut. “Apa....?”


Bersambung....

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

68