Bab 2 Mabuk
by Hurem Petrova
11:10,Jan 01,2021
“Aku minta lagi....” kata Sasti pada pelayan bar.
Pelayan bar menuruti permintaan Sasti dan menuangkan minuman berwarna kuning keemasan dan berbuih banyak ke dalam gelas Sasti yang besar. Kemudian Sasti langsung menenggaknya dan menatap gelas itu.
Melihat bayangannya sendiri yang terpantul dari gelas yang ia pegang. “Menyedihkan....” ujarnya mengiba pada dirinya sendiri.
Seorang pria yang sejak tadi duduk di samping Sasti, menikmati minumannya sambil melirik ke arah Sasti yang mengoceh sendirian.
“Apa?!” seru Sasti sambil menatap pria yang ada di sampingnya dengan sikap ketus.
Pria berwajah tampan, berihidung mancung dengan alis tebal dan rahang tegas itu hanya tersenyum simpul ke arah Sasti. Ia tidak menganggap sikap ketus Sasti padanya. Karena ia tahu jika Sasti sedang mabuk.
“Siapa dia?” tanya pria itu pada pelayan bar.
Pelayan bar bernama Toni itu mengangkat kedua bahunya. “Sepertinya dia baru pertama ke mari dan langsung mabuk berat. Jika ia tidak bisa pulang, mungkin kamu bisa mengantarkannya pulang Pras....” kata Toni sambil tersenyum menggoda Pras. “Gadis ini tidak buruk....” katanya sambil menatap Sasti yang sedang berbicara sendiri dengan gelasnya.
“Kamu saja yang mengatarnya pulang. Kita tinggal di kota kecil. Tidak terlalu sulit menemukan rumahnya. Lihat tanda pengenalnya dan pasti langsung ketemu di mana rumahnya,” ujar Pras sambil menyesap birnya kembali. Lalu menyalakan rokoknya dengan korek gas berwarna perak.
“Aku sibuk,” jawab Toni singkat.
“Lagian kenapa kamu membiarkan seorang wanita yang tidak biasa mabuk untuk minum-minum?” tanya Pras pada temannya itu.
“Dia yang memaksa. Bukan aku yang memberikannya,” jelas Toni.
Prans menoleh ke arah Sasti. Sasti berbicara sendirian tidak karuan. Wajahnya berwarna merah layaknya tomat yang kematangan. “Hai!” sapa Sasti sambil melambaikan tangan pada Pras.
Pras hanya menatap datar Sasti yang kini berubah sikap. Tadi ia nampak ketus dan kini ramah.
Sasti turun dari kursi yang sedikit tinggi itu. Lalu ia berjalan menghampiri Pras sambil tersenyum-senyum. Tangan kanannya tiba-tiba melingkari leher Pras. Wajahnya ia lekatkan pada sisi kiri pipi Pras. Jambang panjang Prans yang menempel di pipinya, membuat Sasti merasa geli.
“Apa aku terlalu dingin untukmu?” bisik Sasti yang mabuk berat.
Pras hanya melirik Sasti dan melepaskan lingkaran tangannya pada leher dan pundaknya. “Sepertinya kamu memang harus pulang....” kata Pras pada Sasti.
Sasti menggelengkan kepalanya. Jari telunjuk ia goyang-goyangkan di depan wajah Pras. “Tidak.... Tidak.... Aku masih ingin di sini. Aku engga mau pulang!” teriaknya kencang. Hingga mengalahkan suara lagu jazz yang sedang di putar.
Beberapa orang langsung melihat ke arah Pras dan Sasti. Sejenak mereka menjadi pusat perhatian.
Prans menatap keseliling, orang-orang sedang menatapnya dan Sasti. Rasanya Pras ingin pura-pura tidak mengenal gadis mabuk ini. “Aku bukan gadis sok suci! Aku engga mau kaya gitu! Aku ingin menjadi nakal dan menggoda!” teriaknya sambil menatap Pras dan mengedipkan sebelah matanya.
Toni yang melihat Pras sedang berada di situasi sulit malah tertawa. “Lebih baik kamu antarkan dia pulang....” kata Toni memberitahu.
“Kenapa aku?” tanya Pras tidak terima. “Aku tidak kenal dia.”
“Katamu mudah kan mencari alamat di kota kecil seperti ini. Tinggal melihat tanda pengenalnya, di situ tertulis alamatnya,” ujar Toni masih dengan senyuman terhias di wajahnya.
Pras menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mau. Lagi pula aku tidak mengenalnya....”
“Tapi bagaimana jika dia bertemu dengan orang jahat? Pulang sendirian dan bertemu orang jahat?” tanya Toni sambil memandangi Sasti yang berguman sendirian. Ia kembali duduk di kursinya sambil menatapi gelas kaca bir yang besar dan memantulkan bayangannya sendiri.
Pras ikut menoleh ke arah Sasti dan memperhatikannya. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya ia ingin meninggalkan gadis yang tidak ia ketahui namanya itu. Tapi kata-kata Toni tentang bisa saja gadis mabuk ini bertemu orang jahat membuat Pras merasa tidak tega.
Pras berdiri dan membetulkan jasnya. Ia merapikan jasnya terlebih dahulu sebelum keluar dari Bar ini.
“Kamu mau pulang?” tanya Toni.
Pras menganggukkan kepalanya.
“Oke. Hati-hati.... Biar aku telpon supir taxi untuk mengantar gadis ini pulang ke rumahnya,” ucap Toni sambil membersihkan meja yang terkena tumpahan air.
“Harusnya tadi gadis itu kamu berikan Jus atau air mineral saja,” kata Pras kesal.
“Dia yang meminta segelas bir! Kok aku yang di salahin!” seru Toni membela diri. “Lagipula dari wajahnya juga sudah terlihat jika dia gadis yang cukup umur.”
Pras menghela nafas panjang dan menatap Toni gemas. Ia berjalan mendekati Sasti dan membantunya berjalan untuk keluar Bar.
Toni mengira jika Pras akan pulang sendiri. Ternyata sifarnya yang tidak tegaan membuat Pras terpaksa mengantarkan gadis mabuk untuk pulang ke rumahnya.
Toni tersenyum lebar melihat Pras yang peduli dengan orang lain. “Hati-hati Pras! Semoga cepat ketemu di mana rumahnya!”
“Doakan saja agar ia cepat sadar dan tidak merepotkan aku!” kata Pras dengan suara keras.
Toni tertawa. “Semoga aja, gadis itu akan menjadi kekasihmu. Meluluhkan hatimu yang beku....” ucapnya lirih.
Sasti melirik pria yang sedang membantunya berjalan. Aroma parfum Woody yang terhirup di hidung Sasti membuatnya merasakan ketenangan. Aroma kayu-kayuan yang menyeruak dari tubuh pria yang sedang memapahnya ini membuat Sasti merasa aman.
“Hei kamu!” panggil Sasti pada Pras tepat saat mereka berdua telah keluar dari Bar.
Pras menoleh dan menatap Sasti. Mereka saling berpandangan sejenak. Sasti mengusap alis lebat yang membingkat sepasang mata Elang milik Pras.
Pras menyingkirkan tangan Sasti yang mejamahi wajahnya. Tapi Sasti lebih galak dari Pras. “Diam!” teriak Sasti.
Spontan Pras langsung menghentikan tangannya yang akan menyingkirkan jari-jari Sasti yang mengusap wajahnya.
“Gilang....” panggil Sasti pada Pras. “Kamu tega sama aku!” teriaknya sambil menangis kencang bak anak kecil.
Pras menghela nafas kesal ketika Sasti menangis. “Ayo kita pulang....” ujar Pras. “Aku lihat tanda pengenalmu...” Pras mencari dompet Sasti di dalam tas selempangnya. Karena biasanya kartu tanda pengenal tersimpan di sana.
“Jangan sentuh aku!” teriak Sasti sambil mendorang Pras menjauh. “Aku benci kamu Gilang!”
Pras menghela nafas panjang sambil memegangi keningnya. “Ya ampun.... kenapa aku terjebak dalam keadaan seperti ini! Harusnya aku tinggalkan saja dia di Bar tadi....”
“Gilang... aku ingin kita.....” Sasti menghampiri Pras dan menarik kerah jasnya. Padangan matanya menatap tajam kedua mata Pras.
Pras menatap manik mata Sasti yang berwarna cokelat gelap. Kegelapan mata Sasti seakan membius Pras masuk tenggelam ke dalam sana.
Beberapa menit mereka bertatapab. Tiba-tiba Sasti merasakan mual yang sangat hebat. Sesuatu mendorong lambungnya ke atas. Tanpa bisa di tahan lagi, Sasti memuntahkan semua isi perutnya di pakaian Pras.
“Owek!”
Kedua mata Pras membulat. Ia pun terkejut banyak muntahan mengenai seluruh pakaiannya. Ekspresi wajahnya berubah geram.
Next bab tiga
Pelayan bar menuruti permintaan Sasti dan menuangkan minuman berwarna kuning keemasan dan berbuih banyak ke dalam gelas Sasti yang besar. Kemudian Sasti langsung menenggaknya dan menatap gelas itu.
Melihat bayangannya sendiri yang terpantul dari gelas yang ia pegang. “Menyedihkan....” ujarnya mengiba pada dirinya sendiri.
Seorang pria yang sejak tadi duduk di samping Sasti, menikmati minumannya sambil melirik ke arah Sasti yang mengoceh sendirian.
“Apa?!” seru Sasti sambil menatap pria yang ada di sampingnya dengan sikap ketus.
Pria berwajah tampan, berihidung mancung dengan alis tebal dan rahang tegas itu hanya tersenyum simpul ke arah Sasti. Ia tidak menganggap sikap ketus Sasti padanya. Karena ia tahu jika Sasti sedang mabuk.
“Siapa dia?” tanya pria itu pada pelayan bar.
Pelayan bar bernama Toni itu mengangkat kedua bahunya. “Sepertinya dia baru pertama ke mari dan langsung mabuk berat. Jika ia tidak bisa pulang, mungkin kamu bisa mengantarkannya pulang Pras....” kata Toni sambil tersenyum menggoda Pras. “Gadis ini tidak buruk....” katanya sambil menatap Sasti yang sedang berbicara sendiri dengan gelasnya.
“Kamu saja yang mengatarnya pulang. Kita tinggal di kota kecil. Tidak terlalu sulit menemukan rumahnya. Lihat tanda pengenalnya dan pasti langsung ketemu di mana rumahnya,” ujar Pras sambil menyesap birnya kembali. Lalu menyalakan rokoknya dengan korek gas berwarna perak.
“Aku sibuk,” jawab Toni singkat.
“Lagian kenapa kamu membiarkan seorang wanita yang tidak biasa mabuk untuk minum-minum?” tanya Pras pada temannya itu.
“Dia yang memaksa. Bukan aku yang memberikannya,” jelas Toni.
Prans menoleh ke arah Sasti. Sasti berbicara sendirian tidak karuan. Wajahnya berwarna merah layaknya tomat yang kematangan. “Hai!” sapa Sasti sambil melambaikan tangan pada Pras.
Pras hanya menatap datar Sasti yang kini berubah sikap. Tadi ia nampak ketus dan kini ramah.
Sasti turun dari kursi yang sedikit tinggi itu. Lalu ia berjalan menghampiri Pras sambil tersenyum-senyum. Tangan kanannya tiba-tiba melingkari leher Pras. Wajahnya ia lekatkan pada sisi kiri pipi Pras. Jambang panjang Prans yang menempel di pipinya, membuat Sasti merasa geli.
“Apa aku terlalu dingin untukmu?” bisik Sasti yang mabuk berat.
Pras hanya melirik Sasti dan melepaskan lingkaran tangannya pada leher dan pundaknya. “Sepertinya kamu memang harus pulang....” kata Pras pada Sasti.
Sasti menggelengkan kepalanya. Jari telunjuk ia goyang-goyangkan di depan wajah Pras. “Tidak.... Tidak.... Aku masih ingin di sini. Aku engga mau pulang!” teriaknya kencang. Hingga mengalahkan suara lagu jazz yang sedang di putar.
Beberapa orang langsung melihat ke arah Pras dan Sasti. Sejenak mereka menjadi pusat perhatian.
Prans menatap keseliling, orang-orang sedang menatapnya dan Sasti. Rasanya Pras ingin pura-pura tidak mengenal gadis mabuk ini. “Aku bukan gadis sok suci! Aku engga mau kaya gitu! Aku ingin menjadi nakal dan menggoda!” teriaknya sambil menatap Pras dan mengedipkan sebelah matanya.
Toni yang melihat Pras sedang berada di situasi sulit malah tertawa. “Lebih baik kamu antarkan dia pulang....” kata Toni memberitahu.
“Kenapa aku?” tanya Pras tidak terima. “Aku tidak kenal dia.”
“Katamu mudah kan mencari alamat di kota kecil seperti ini. Tinggal melihat tanda pengenalnya, di situ tertulis alamatnya,” ujar Toni masih dengan senyuman terhias di wajahnya.
Pras menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mau. Lagi pula aku tidak mengenalnya....”
“Tapi bagaimana jika dia bertemu dengan orang jahat? Pulang sendirian dan bertemu orang jahat?” tanya Toni sambil memandangi Sasti yang berguman sendirian. Ia kembali duduk di kursinya sambil menatapi gelas kaca bir yang besar dan memantulkan bayangannya sendiri.
Pras ikut menoleh ke arah Sasti dan memperhatikannya. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya ia ingin meninggalkan gadis yang tidak ia ketahui namanya itu. Tapi kata-kata Toni tentang bisa saja gadis mabuk ini bertemu orang jahat membuat Pras merasa tidak tega.
Pras berdiri dan membetulkan jasnya. Ia merapikan jasnya terlebih dahulu sebelum keluar dari Bar ini.
“Kamu mau pulang?” tanya Toni.
Pras menganggukkan kepalanya.
“Oke. Hati-hati.... Biar aku telpon supir taxi untuk mengantar gadis ini pulang ke rumahnya,” ucap Toni sambil membersihkan meja yang terkena tumpahan air.
“Harusnya tadi gadis itu kamu berikan Jus atau air mineral saja,” kata Pras kesal.
“Dia yang meminta segelas bir! Kok aku yang di salahin!” seru Toni membela diri. “Lagipula dari wajahnya juga sudah terlihat jika dia gadis yang cukup umur.”
Pras menghela nafas panjang dan menatap Toni gemas. Ia berjalan mendekati Sasti dan membantunya berjalan untuk keluar Bar.
Toni mengira jika Pras akan pulang sendiri. Ternyata sifarnya yang tidak tegaan membuat Pras terpaksa mengantarkan gadis mabuk untuk pulang ke rumahnya.
Toni tersenyum lebar melihat Pras yang peduli dengan orang lain. “Hati-hati Pras! Semoga cepat ketemu di mana rumahnya!”
“Doakan saja agar ia cepat sadar dan tidak merepotkan aku!” kata Pras dengan suara keras.
Toni tertawa. “Semoga aja, gadis itu akan menjadi kekasihmu. Meluluhkan hatimu yang beku....” ucapnya lirih.
Sasti melirik pria yang sedang membantunya berjalan. Aroma parfum Woody yang terhirup di hidung Sasti membuatnya merasakan ketenangan. Aroma kayu-kayuan yang menyeruak dari tubuh pria yang sedang memapahnya ini membuat Sasti merasa aman.
“Hei kamu!” panggil Sasti pada Pras tepat saat mereka berdua telah keluar dari Bar.
Pras menoleh dan menatap Sasti. Mereka saling berpandangan sejenak. Sasti mengusap alis lebat yang membingkat sepasang mata Elang milik Pras.
Pras menyingkirkan tangan Sasti yang mejamahi wajahnya. Tapi Sasti lebih galak dari Pras. “Diam!” teriak Sasti.
Spontan Pras langsung menghentikan tangannya yang akan menyingkirkan jari-jari Sasti yang mengusap wajahnya.
“Gilang....” panggil Sasti pada Pras. “Kamu tega sama aku!” teriaknya sambil menangis kencang bak anak kecil.
Pras menghela nafas kesal ketika Sasti menangis. “Ayo kita pulang....” ujar Pras. “Aku lihat tanda pengenalmu...” Pras mencari dompet Sasti di dalam tas selempangnya. Karena biasanya kartu tanda pengenal tersimpan di sana.
“Jangan sentuh aku!” teriak Sasti sambil mendorang Pras menjauh. “Aku benci kamu Gilang!”
Pras menghela nafas panjang sambil memegangi keningnya. “Ya ampun.... kenapa aku terjebak dalam keadaan seperti ini! Harusnya aku tinggalkan saja dia di Bar tadi....”
“Gilang... aku ingin kita.....” Sasti menghampiri Pras dan menarik kerah jasnya. Padangan matanya menatap tajam kedua mata Pras.
Pras menatap manik mata Sasti yang berwarna cokelat gelap. Kegelapan mata Sasti seakan membius Pras masuk tenggelam ke dalam sana.
Beberapa menit mereka bertatapab. Tiba-tiba Sasti merasakan mual yang sangat hebat. Sesuatu mendorong lambungnya ke atas. Tanpa bisa di tahan lagi, Sasti memuntahkan semua isi perutnya di pakaian Pras.
“Owek!”
Kedua mata Pras membulat. Ia pun terkejut banyak muntahan mengenai seluruh pakaiannya. Ekspresi wajahnya berubah geram.
Next bab tiga
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved