chapter 2 Nasib
by Sean Kenneth
12:00,Jan 15,2024
Begitu mendengar perintah Feriko, semua orang langsung bersujud ketakutan. Satu-satunya orang di dunia yang sanggup menolong mereka adalah Tabib Langit!
Akan tetapi, mereka tidak berani membantah Feriko.
Mereka takut memancing kemarahan Tabib Langit, bisa-bisa mereka sendiri yang celaka.
Setelah Feriko selesai bicara, dia membetulkan letak masker di wajahnya dan kembali masuk rumah dengan tangan di belakang punggung.
Semua orang berpengaruh dan terpandang dari segala penjuru itu bersujud di tanah. Bahkan salah satu dari mereka yang merupakan penguasa menatap Fenty dengan sorot mata memelas.
"Bibi Langit! Ini… Klinik Tabib Langit akan tutup besok? Apa yang harus kita lakukan?"
"Ya! Bibi Langit, bantulah aku! Bibi Langit, bantu aku! Aku akan membayarmu 10 ribu tael emas! Sepuluh peti batu giok yang bagus!"
"Aku akan memberimu ribuan hektar tanah dan pelayan yang banyak sekali!"
Fenty hanya bisa termangu dan membisu dengan perasaan tak berdaya.
Orang-orang ini sepertinya sudah berumur enam puluhan atau tujuh puluhan, tapi mereka memanggilnya bibi, benar-benar membuatnya kesal.
Fenty yang baik hati mengamati klinik. Saat dilihatnya Feriko sudah masuk. dia mengambil sebotol Pil Penopang Kehidupan Jiuzhuan dan membagikannya pada semua orang yang ada.
Pil ini Fenty dapatkan dari Feriko untuk pertolongan darurat. Jika dia menelannya, dia dapat bertahan hidup selama tujuh hari tanpa cedera.
Setelah menerima, semua orang bersujud mengucap syukur atas kebaikannya. Dengan senyum yang dipaksakan, Fenty meladeni sapaan mereka, kira-kira 20 kali dan segera berlalu.
"Kakak Senior, mereka selalu memanggilku bibi. Aku masih belia..."
"Kakak Senior... Kamu lagi..."
Di warung, di desa pinggiran kota di kaki gunung, Fenty menatap Feriko dengan sedikit kesal sambil memegang salah satu ujung tongkat kayu di tangan kanannya.
Sementara ujung tongkat kayu yang lain dipegang Feriko.
"Hmm… Hmm, hmm…"
Feriko dituntun oleh Fenty menggunakan tongkat kayu. Dia terkekeh sambil membuang ingus dari hidungnya ke seberang sungai, mengibaskannya ke segala arah.
Orang-orang yang lalu lalang dan terciprat ingus terlihat jijik, hanya bisa menghela napas.
Tidak ada yang bisa dilakukan.
Semua orang yang bermukim di pegunungan sudah memaklumi.
Bodoh.
Tidak ada yang menduga, banyak orang terpandang, bahkan Perdana Menteri negara asing pun akan bertekuk lutut pada orang ini!
Selama sepuluh tahun terakhir, gadis ini selalu menuntunnya menapaki jalanan gunung dengan tongkat kayu untuk membeli barang-barang, beras, mie, lobak dan kebutuhan sehari-hari.
Saat ditanya, gadis kecil itu akan mengatakan bahwa dia adalah kakaknya yang sakit polio sejak kecil.
Kejadian ini sudah berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun sehingga orang-orang di desa sudah tidak heran lagi.
Berlagak tidak waras!
Ini adalah pesan yang diberikan gurunya untuk Feriko saat itu.
Sebelum menentukan pilihan jodohnya, Feriko harus bertingkah seolah-olah tidak waras dan dungu. Dia tidak boleh memperlihatkan jati diri dia yang sebenarnya.
Itu juga berlaku saat dia berpraktik sebagai Tabib Langit, tetap harus menutupi mukanya.
Hal ini untuk mengelabui dunia hantu, bahwa Feriko bukanlah orang normal sehingga dia bisa menikah dengan "putri kaisar". Ini untuk melindunginya supaya tidak tarik ke dunia bawah.
Keberhasilannya menjalani hidup tidak normal selama dua puluh lima tahun ini, karena keteguhan gurunya selama hidup, serta keuletannya mempertahankan kebiasaannya dari kecil.
Fenty tiba-tiba menyadari bahwa Feriko sedang bertingkah seolah-olah dungu, jadi dia berhenti bertanya. Diambilnya saputangan dan mengusap hidung Feriko, lalu menunduk kepada orang yang dilaluinya dan menuntun Feriko dengan tongkat kayu segera berlalu dari situ.
Besok adalah hari bersejarah untuk Feriko, dia akan menentukan siapa istrinya.
Menurut wasiat yang dipesankan oleh gurunya, mengenai Feriko dan perjanjian darah dengan lima keluarga yang bertunangan, dibutuhkan tiga bunga dupa, lilin, lima jenis buah-buahan, kepala babi, sapi dan domba dan sebuah baskom tembaga di depan nisan ayahnya.
Jika pihak yang terikat pertunangan menolak perjanjiannya, mereka harus menunjukkan tunangan yang sebenarnya dan berdoa di depan Tabib Langit, lalu memakai dupa dan lilin untuk membuang pertunangan sebelumnya dalam baskom tembaga dan membakarnya, ini menandakan pertunangan itu gagal.
Hari ini Fenty dan Feriko turun gunung untuk menyiapkan semua perlengkapan ini.
“Besok hari peringatan ayahmu lagi?”
Penjaga took yang sudah tua itu bertanya sambil menikmati rokok kering.
Fenty mengangguk mengiyakan. Dengan teliti dia memilih lilin, dupa dan uang kertas untuk keperluan besok.
Sementara Feriko terkekeh-kekeh di sampingnya, meraih patung kertas untuk dimainkan sambil menendang kusen pintu dengan kakinya, Fenty menghampiri dan meminta maaf kepada penjaga tua itu.
Penjaga toko tua itu mengibaskan tangannya, dia memakluminya. Sambil menikmati rokoknya dia menatap gadis itu dengan mata rabunnya.
"Fenty, kakakmu dungu, kamu sudah mengurusnya selama sepuluh tahun, sudah waktunya membiarkannya hidup sendiri. Kamu sudah berumur 18 atau 19 tahun, sudah waktunya menata hidupmu dan mendapatkan pasangan hidupmu. Janganlah kamu masa bodoh dengan masa depanmu. Apakah kamu selamanya mau hidup seatap dengan kakak dungumu? Anak laki-laki tetangga sebelah yang kedua juga sepantaran denganmu, dia sekarang kerja di kota dengan gaji sebesar 20 juta lebih! Kalau kamu mau, Paman bisa menolongmu."
Fenty menggelengkan kepalanya.
"Terima kasih, Paman Roen. Tidak perlu risaukan aku. Aku telah menentukan pilihan."
Ketika mengungkap hal ini, pipinya memerah dengan senyum tipis di bibirnya.
Mendengar ini, batangan kertas di tangan Feriko terlepas...
Ketika perjalanan kembali ke gunung, Fenty mengajak Feriko ke toko pakaian dalam dan membeli beberapa pakaian dalam.
"Hah? Apa kamu sudah punya tunangan? Kenapa kamu membeli pakaian ini? Kalian berdua tidak boleh...! Huuhhhh! Dasar bajingan! Aku harus menghentikannya!"
Dalam perjalanan kembali ke gunung, Feriko menenteng dua tas besar. Dia mencecar Fenty dengan banyak pertanyaan. Dia amat kesal sehingga terus menggerutu sampai kembali ke klinik.
Fenty hanya tersenyum malu dan membisu sambil memandang Feriko.
"Bodoh, aku tidak peduli."
Segera dia beranjak ke dapur untuk memasak.
Di malam hari, di dalam kamar.
Klinik kecil ini hanya punya satu kamar untuk tidur.
Pintunya tertutup dan Fenty sedang mandi dengan air panas di baskom kayu besar di aula luar.
Feriko dan Fenty selalu tidur bersama dengan gurunya di kamar ini sejak mereka masih kecil. Setelah kematian Tabib Tua, keduanya tetap tidur di kasur yang sama seperti sebelumnya.
Saat itu, Fenty belum berumur sepuluh tahun dan Feriko memperlakukannya sebagai gadis kecil.
Semakin bertumbuh dewasa, tubuh Fenty bagai bunga teratai yang subur. Perubahan fisiknya makin menggoda.
Berada di sebelah gadis cantik setiap hari tanpa boleh menyentuhnya akan membuatmu amat tersiksa.
Feriko hanya bisa menghindar ke toilet saat di tengah malam hasratnya bergejolak.
Sreek…
Pintunya terbuka.
Fenty sudah selesai mandi.
Ranjangnya berderit, Fenty pasti sedang duduk di tepi ranjang.
Berbaring bersama.
Feriko berada di sisi lain tempat tidur, dengan jarak sedekat itu, wangi sampo Fenty tercium di hidungnya.
Dia tidak tahan lagi untuk tidak memalingkan wajahnya dan mengintip...
Apa yang dilihatnya membuat Feriko bergetar, dia meneguk ludahnya.
Di bawah temaram sinar lilin.
Fenty duduk di tepi ranjang, dengan baju tidur tipisnya, dia mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.
Dengan baju setipis ini, lekukan tubuhnya terlihat jelas, ketika Fenty mengusap rambutnya.
Jantung Feriko berdebar cepat sekali.
Orang di luar sana menganggap mereka adalah saudara laki-laki dan perempuan, kenyataannya mereka tidak bertalian darah sama sekali. Itukah yang membuat Fenty nampak sangat putus asa hari ini?
Bibir Feriko nyaris terluka karena digigit, dia segera berbalik dan menarik selimut, seolah-olah sedang tidur.
Terdengar Fenty merapikan alas ranjangnya dan perlahan mendatangi Feriko.
Bibirnya lekat di telinga Feriko.
"Kakak Senior... kamu... kamu sungguh tidak menyelami apa yang ada di hatiku, apa yang aku rasakan selama lebih dari sepuluh tahun..."
Suaranya sendu, ada kekecewaan, penantian dan harapan.
"Besok, besok adalah waktu bagimu memilih istri. Ketika kamu punya istri, hatimu pasti tertutup untukku ..."
"Hari ini, Fenty ingin mengungkapkan kepada kakak apa yang dirasakan selama sembilan belas tahun."
"Fenty mau menikahi kakak... Tapi Fenty sadar kakak mempunyai suratan nasib, jadi aku hanya bisa menjadi tunangan kakak selama sisa hidup... Aku tidak berharap mendampingi kakak selama sisa hidupku... Jadi bolehkah aku menjadi pengantinmu walau hanya sehari?"
Kata Fenty, lalu perlahan dia melepas baju tidurnya, nampak bahunya yang putih mulus, pipinya merona.
Feriko bertahan untuk diam.
Fenty agak malu dan heran.
"Kakak Senior? Apa kamu sudah tidur?"
"..."
"..."
Fenty sangat canggung, raut wajahnya terlihat kesal. Setelah mengumpat dia meniup lilin dan merebahkan tubuhnya di ranjang sambil meraih baju tidur barunya.
Mendadak, Feriko berbalik dan mendekap Fenty dari belakang dengan tangan kekarnya, seperti binatang buas...
Akan tetapi, mereka tidak berani membantah Feriko.
Mereka takut memancing kemarahan Tabib Langit, bisa-bisa mereka sendiri yang celaka.
Setelah Feriko selesai bicara, dia membetulkan letak masker di wajahnya dan kembali masuk rumah dengan tangan di belakang punggung.
Semua orang berpengaruh dan terpandang dari segala penjuru itu bersujud di tanah. Bahkan salah satu dari mereka yang merupakan penguasa menatap Fenty dengan sorot mata memelas.
"Bibi Langit! Ini… Klinik Tabib Langit akan tutup besok? Apa yang harus kita lakukan?"
"Ya! Bibi Langit, bantulah aku! Bibi Langit, bantu aku! Aku akan membayarmu 10 ribu tael emas! Sepuluh peti batu giok yang bagus!"
"Aku akan memberimu ribuan hektar tanah dan pelayan yang banyak sekali!"
Fenty hanya bisa termangu dan membisu dengan perasaan tak berdaya.
Orang-orang ini sepertinya sudah berumur enam puluhan atau tujuh puluhan, tapi mereka memanggilnya bibi, benar-benar membuatnya kesal.
Fenty yang baik hati mengamati klinik. Saat dilihatnya Feriko sudah masuk. dia mengambil sebotol Pil Penopang Kehidupan Jiuzhuan dan membagikannya pada semua orang yang ada.
Pil ini Fenty dapatkan dari Feriko untuk pertolongan darurat. Jika dia menelannya, dia dapat bertahan hidup selama tujuh hari tanpa cedera.
Setelah menerima, semua orang bersujud mengucap syukur atas kebaikannya. Dengan senyum yang dipaksakan, Fenty meladeni sapaan mereka, kira-kira 20 kali dan segera berlalu.
"Kakak Senior, mereka selalu memanggilku bibi. Aku masih belia..."
"Kakak Senior... Kamu lagi..."
Di warung, di desa pinggiran kota di kaki gunung, Fenty menatap Feriko dengan sedikit kesal sambil memegang salah satu ujung tongkat kayu di tangan kanannya.
Sementara ujung tongkat kayu yang lain dipegang Feriko.
"Hmm… Hmm, hmm…"
Feriko dituntun oleh Fenty menggunakan tongkat kayu. Dia terkekeh sambil membuang ingus dari hidungnya ke seberang sungai, mengibaskannya ke segala arah.
Orang-orang yang lalu lalang dan terciprat ingus terlihat jijik, hanya bisa menghela napas.
Tidak ada yang bisa dilakukan.
Semua orang yang bermukim di pegunungan sudah memaklumi.
Bodoh.
Tidak ada yang menduga, banyak orang terpandang, bahkan Perdana Menteri negara asing pun akan bertekuk lutut pada orang ini!
Selama sepuluh tahun terakhir, gadis ini selalu menuntunnya menapaki jalanan gunung dengan tongkat kayu untuk membeli barang-barang, beras, mie, lobak dan kebutuhan sehari-hari.
Saat ditanya, gadis kecil itu akan mengatakan bahwa dia adalah kakaknya yang sakit polio sejak kecil.
Kejadian ini sudah berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun sehingga orang-orang di desa sudah tidak heran lagi.
Berlagak tidak waras!
Ini adalah pesan yang diberikan gurunya untuk Feriko saat itu.
Sebelum menentukan pilihan jodohnya, Feriko harus bertingkah seolah-olah tidak waras dan dungu. Dia tidak boleh memperlihatkan jati diri dia yang sebenarnya.
Itu juga berlaku saat dia berpraktik sebagai Tabib Langit, tetap harus menutupi mukanya.
Hal ini untuk mengelabui dunia hantu, bahwa Feriko bukanlah orang normal sehingga dia bisa menikah dengan "putri kaisar". Ini untuk melindunginya supaya tidak tarik ke dunia bawah.
Keberhasilannya menjalani hidup tidak normal selama dua puluh lima tahun ini, karena keteguhan gurunya selama hidup, serta keuletannya mempertahankan kebiasaannya dari kecil.
Fenty tiba-tiba menyadari bahwa Feriko sedang bertingkah seolah-olah dungu, jadi dia berhenti bertanya. Diambilnya saputangan dan mengusap hidung Feriko, lalu menunduk kepada orang yang dilaluinya dan menuntun Feriko dengan tongkat kayu segera berlalu dari situ.
Besok adalah hari bersejarah untuk Feriko, dia akan menentukan siapa istrinya.
Menurut wasiat yang dipesankan oleh gurunya, mengenai Feriko dan perjanjian darah dengan lima keluarga yang bertunangan, dibutuhkan tiga bunga dupa, lilin, lima jenis buah-buahan, kepala babi, sapi dan domba dan sebuah baskom tembaga di depan nisan ayahnya.
Jika pihak yang terikat pertunangan menolak perjanjiannya, mereka harus menunjukkan tunangan yang sebenarnya dan berdoa di depan Tabib Langit, lalu memakai dupa dan lilin untuk membuang pertunangan sebelumnya dalam baskom tembaga dan membakarnya, ini menandakan pertunangan itu gagal.
Hari ini Fenty dan Feriko turun gunung untuk menyiapkan semua perlengkapan ini.
“Besok hari peringatan ayahmu lagi?”
Penjaga took yang sudah tua itu bertanya sambil menikmati rokok kering.
Fenty mengangguk mengiyakan. Dengan teliti dia memilih lilin, dupa dan uang kertas untuk keperluan besok.
Sementara Feriko terkekeh-kekeh di sampingnya, meraih patung kertas untuk dimainkan sambil menendang kusen pintu dengan kakinya, Fenty menghampiri dan meminta maaf kepada penjaga tua itu.
Penjaga toko tua itu mengibaskan tangannya, dia memakluminya. Sambil menikmati rokoknya dia menatap gadis itu dengan mata rabunnya.
"Fenty, kakakmu dungu, kamu sudah mengurusnya selama sepuluh tahun, sudah waktunya membiarkannya hidup sendiri. Kamu sudah berumur 18 atau 19 tahun, sudah waktunya menata hidupmu dan mendapatkan pasangan hidupmu. Janganlah kamu masa bodoh dengan masa depanmu. Apakah kamu selamanya mau hidup seatap dengan kakak dungumu? Anak laki-laki tetangga sebelah yang kedua juga sepantaran denganmu, dia sekarang kerja di kota dengan gaji sebesar 20 juta lebih! Kalau kamu mau, Paman bisa menolongmu."
Fenty menggelengkan kepalanya.
"Terima kasih, Paman Roen. Tidak perlu risaukan aku. Aku telah menentukan pilihan."
Ketika mengungkap hal ini, pipinya memerah dengan senyum tipis di bibirnya.
Mendengar ini, batangan kertas di tangan Feriko terlepas...
Ketika perjalanan kembali ke gunung, Fenty mengajak Feriko ke toko pakaian dalam dan membeli beberapa pakaian dalam.
"Hah? Apa kamu sudah punya tunangan? Kenapa kamu membeli pakaian ini? Kalian berdua tidak boleh...! Huuhhhh! Dasar bajingan! Aku harus menghentikannya!"
Dalam perjalanan kembali ke gunung, Feriko menenteng dua tas besar. Dia mencecar Fenty dengan banyak pertanyaan. Dia amat kesal sehingga terus menggerutu sampai kembali ke klinik.
Fenty hanya tersenyum malu dan membisu sambil memandang Feriko.
"Bodoh, aku tidak peduli."
Segera dia beranjak ke dapur untuk memasak.
Di malam hari, di dalam kamar.
Klinik kecil ini hanya punya satu kamar untuk tidur.
Pintunya tertutup dan Fenty sedang mandi dengan air panas di baskom kayu besar di aula luar.
Feriko dan Fenty selalu tidur bersama dengan gurunya di kamar ini sejak mereka masih kecil. Setelah kematian Tabib Tua, keduanya tetap tidur di kasur yang sama seperti sebelumnya.
Saat itu, Fenty belum berumur sepuluh tahun dan Feriko memperlakukannya sebagai gadis kecil.
Semakin bertumbuh dewasa, tubuh Fenty bagai bunga teratai yang subur. Perubahan fisiknya makin menggoda.
Berada di sebelah gadis cantik setiap hari tanpa boleh menyentuhnya akan membuatmu amat tersiksa.
Feriko hanya bisa menghindar ke toilet saat di tengah malam hasratnya bergejolak.
Sreek…
Pintunya terbuka.
Fenty sudah selesai mandi.
Ranjangnya berderit, Fenty pasti sedang duduk di tepi ranjang.
Berbaring bersama.
Feriko berada di sisi lain tempat tidur, dengan jarak sedekat itu, wangi sampo Fenty tercium di hidungnya.
Dia tidak tahan lagi untuk tidak memalingkan wajahnya dan mengintip...
Apa yang dilihatnya membuat Feriko bergetar, dia meneguk ludahnya.
Di bawah temaram sinar lilin.
Fenty duduk di tepi ranjang, dengan baju tidur tipisnya, dia mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.
Dengan baju setipis ini, lekukan tubuhnya terlihat jelas, ketika Fenty mengusap rambutnya.
Jantung Feriko berdebar cepat sekali.
Orang di luar sana menganggap mereka adalah saudara laki-laki dan perempuan, kenyataannya mereka tidak bertalian darah sama sekali. Itukah yang membuat Fenty nampak sangat putus asa hari ini?
Bibir Feriko nyaris terluka karena digigit, dia segera berbalik dan menarik selimut, seolah-olah sedang tidur.
Terdengar Fenty merapikan alas ranjangnya dan perlahan mendatangi Feriko.
Bibirnya lekat di telinga Feriko.
"Kakak Senior... kamu... kamu sungguh tidak menyelami apa yang ada di hatiku, apa yang aku rasakan selama lebih dari sepuluh tahun..."
Suaranya sendu, ada kekecewaan, penantian dan harapan.
"Besok, besok adalah waktu bagimu memilih istri. Ketika kamu punya istri, hatimu pasti tertutup untukku ..."
"Hari ini, Fenty ingin mengungkapkan kepada kakak apa yang dirasakan selama sembilan belas tahun."
"Fenty mau menikahi kakak... Tapi Fenty sadar kakak mempunyai suratan nasib, jadi aku hanya bisa menjadi tunangan kakak selama sisa hidup... Aku tidak berharap mendampingi kakak selama sisa hidupku... Jadi bolehkah aku menjadi pengantinmu walau hanya sehari?"
Kata Fenty, lalu perlahan dia melepas baju tidurnya, nampak bahunya yang putih mulus, pipinya merona.
Feriko bertahan untuk diam.
Fenty agak malu dan heran.
"Kakak Senior? Apa kamu sudah tidur?"
"..."
"..."
Fenty sangat canggung, raut wajahnya terlihat kesal. Setelah mengumpat dia meniup lilin dan merebahkan tubuhnya di ranjang sambil meraih baju tidur barunya.
Mendadak, Feriko berbalik dan mendekap Fenty dari belakang dengan tangan kekarnya, seperti binatang buas...
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved