chapter 7 Aku Tidak Bercanda, Aku Sudah Menikah
by Lisa Lie
10:10,Nov 01,2023
Chris memfokuskan diri untuk mencuci piring. Dia menarik lengan bajunya ke atas, memperlihatkan sebagian lengannya dan mencuci piring dengan jari-jari rampingnya. Memandang pria tampan yang sedang melakukan pekerjaan rumah punya kesenangannya sendiri.
Siska terlalu serius memandangi Chris sampai-sampai lupa mengangkat panggilan yang masuk.
Tiba-tiba Chris menoleh untuk melirik Siska, "Teleponnya nggak diangkat?"
Siska tertegun sekejap dan mengalihkan pandangannya untuk menolak panggilan dari Yuda. Dia merasa sedikit bersalah, "Hanya telepon dari sales."
Siapa yang tahu ternyata Yuda tidak menyerah dan menelepon lagi.
Siska yang sangat marah pun langsung memblokir nomor Yuda.
Saat Yuda menelepon lagi, panggilannya sudah tidak terhubung, dia melemparkan ponselnya ke sofa dengan marah.
Ibunya bertanya dengan cemas, "Ada apa? Dia masih nggak angkat telepon?"
Yuda berkata dengan marah, "Dia bahkan memblokirku!"
"Hah? Gimana dong, dia nggak akan menuntut kita, ‘kan?"
"Mana kutahu? Aku kesal sekali!"
Ibu Yuda berkata, "Untuk apa kesal? Aku nggak pernah menyukai Siska. Menurutku dia tidak terlihat seperti orang yang baik. Kalau kamu benar-benar menikah dengannya, hidupmu pasti akan menderita."
"Lagian, Siska memberikan uang itu atas kemauannya sendiri, kita nggak memaksanya melakukannya. Menurutku, dia cuma mengancammu saja. Baru mengeluarkan 400 juta saja, tapi mau rumah seharga dua miliar. Mana ada rumah semurah itu?"
"Nak, kalau dia nggak mengangkat teleponmu, biarkan saja dia. Setelah beberapa hari, dia akan dengan sendirinya kembali padamu."
Ekspresi Yuda terlihat muram, dia sama sekali tidak mendengar omongan ibunya. Siska terlihat diam dan lemah lembut, tetapi aslinya dia sangatlah keras kepala.
Selama mereka berpacaran dua tahun terakhir ini, setiap kali makan bersama, Siska akan mentransfer setengah uang yang Yuda keluarkan. Setelah Yuda mengatakan padanya untuk tidak perlu membayarnya, dia tidak mentransfernya lagi. Tetapi, mereka akan makan di restoran lagi dan Siska akan diam-diam membayarnya.
Sebenarnya Yuda sering merasa ada yang salah dengan otak Siska. Pacaran saja harus dibagi sejelas itu.
Siska tidak tahu kalau Yuda sedang memarahinya dan dirinya sedang menghadapi masalah yang rumit.
Setelah Siska selesai membersihkan dapur, Kakek Qin langsung mengusirnya dan Chris pulang. Keduanya duduk di sofa dan suasananya menjadi makin canggung.
"Em, kamu mau mandi dulu nggak?" Siska meremas jarinya dengan gugup, merasa gugup dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Chris melirik Siska dan menyadari dia sedang gugup. Dia sudah pernah pacaran, tetapi masih berpura-pura seperti itu. Chris benar-benar kagum dengan kemampuan akting wanita ini.
"Nggak buru-buru." Chris mengeluarkan kartu ATM dan meletakkannya di atas meja kopi, "Ambil kartu ini. Setiap bulan aku akan mentransfer biaya hidup ke sana. Sepuluh juta cukup nggak?"
Siska termenung sejenak dan langsung mengibaskan tangannya, "Nggak perlu sebanyak itu, biaya hidup kita bertiga nggak akan sebanyak itu. Menurutku enam juta juga sudah cukup. Kamu kasih tiga juta saja, aku akan menanggung setengahnya. Kalau ada pengeluaran yang besar, kita bisa membahasnya terlebih dahulu."
"Apalagi kamu belum mendapatkan pekerjaan. Kamu nggak perlu memberikan biaya hidup sebanyak itu. Aku sendiri juga bekerja."
Chris menyodorkan kartu ke hadapan Siska, "Ambillah, sudah kubilang, aku akan menanggung biaya hidupmu. Aku belum mencapai titik di mana harus dibiayai seorang wanita."
Siska, "..."
Dia tiba-tiba merasa ucapan Nona Wu tentang Chris yang hanya menang tampan saja itu tidaklah benar.
Siska menghela napas dan mengambil kartu itu, "Kalau mau sesuai dengan yang kamu katakan juga boleh, tapi aku nggak mau mengundurkan diri, aku mau tetap bekerja."
"Terserah kamu, itu kebebasanmu."
Siska merasa lega ketika mendengar ucapan Chris. Siska kira Chris memberinya biaya hidup sebanyak sepuluh juta supaya dia bisa menjadi ibu rumah tangga sepanjang waktu.
"Oke, kalau gitu kamu mau tidur di kamar yang mana? Aku sudah memasang seprei dan selimut baru di ketiga kamar. Setelah kamu memilihnya, aku akan membawakan barang bawaanmu ke dalam kamar."
Chris memandang sekeliling sekilas dan bertanya, "Terserah, kamarmu yang mana?"
Wajah Siska memanas. Dia menunjuk kamar yang berada di sebelah kanan, "Yang itu."
"Kalau gitu aku tidur kamar yang di sebelah kamarnya." Chris berdiri, berjalan masuk ke kamar itu, lalu menutup pintu.
Siska hanya termenung di sofa. Setelah suara pintu tertutup terdengar sekian lama, akhirnya dia pun tersadar kembali.
Siska tidak perlu tidur sekamar dengan Chris.
Ini merupakan hal yang bagus!
Pikiran ini membuat Siska tertegun sejenak. Sebelumnya ada teman yang bilang kalau Siska takut dengan laki-laki, tetapi dia tidak memercayainya. Siska merasa dirinya hanya belum bertemu dengan orang yang tepat.
Sekarang sepertinya Siska sudah memercayainya.
Selama dua tahun berpacaran dengan Yuda, Siska selalu tidak setuju ketika Yuda mendekatinya. Setiap kali Yuda ingin mendekatinya, Siska selalu menolaknya dengan alasan ingin menunggu sampai mereka menikah.
Namun, sekarang juga seperti itu.
Malam itu Siska tidak bisa terlelap, jadi dia bangun sangat pagi keesokan paginya. Saat akan pergi ke dapur untuk membuat sarapan, dia terkejut melihat Chris yang sudah bangun duluan.
Chris memakai baju olahraga berwarna abu-abu yang melekat di badannya. Garis-garis otot dada dan perutnya terpanpang jelas.
"Kamu mau pergi lari pagi?"
Chris hanya melirik Siska, melepaskan earphone di telinganya, lalu berjalan masuk dan pergi ke arah kulkas. Crhis menemukan di dalam kulas tidak ada air mineral dan menutup kembali pintu kulas itu.
"Sudah selesai lari."
Siska membelalakkan matanya dan melirik jam di dinding. Waktu baru menunjukkan jam enam lewat.
"Kamu bangunnya pagi banget?"
"Iya, sudah kebiasaan."
Siska tersenyum canggung, lalu berbalik ke dapur untuk membuat telur rebus.
Chris duduk di sofa sambil mengamati Siska yang sedang sibuk berjalan keluar-masuk dapur.
Siska membawa keluar telur yang sudah dia rebus dan bertanya lagi, "Kamu buru-buru mau pergi nggak? Kakek kayaknya masih tidur, kalau nggak buru-buru, nanti tolong antarkan ini untuk Kakek. Aku harus mengejar bus, nggak sempat lagi."
Chris melihat jam tangan olahraga di tangannya dan mengangguk, "Hm."
Siska tidak mengerti apa maksud "hm" yang Chris ucapkan. Tetapi, Siska menganggapnya sebagai tanda setuju. Siska melepas celemeknya. mengambil kunci rumah, memakai sepatunya dan siap-siap untuk pergi bekerja.
Chris juga ikut berdiri dan mengikuti Siska keluar.
Siska memandang Chris dengan tatapan bingung, "Kamu juga mau keluar?"
"Turun beli air, ayo."
"Oh."
Siska mengambil tasnya dan turun bersama Chris.
Di kompleks tempat tinggal mereka tedapat dua warung kecil. Siska menunjukkan warung yang paling dekat pada Chris, "Di sana ada satu warung dan warung itu yang paling dekat dengan rumah kita. Warung itu sudah buka belasan tahun ..."
Chris menyela ucapan Siska, "Aku tahu."
Siska agak kaget, tetapi dia langsung mengingat kalau Chris juga pernah tinggal di sini.
"Siska!"
Tiba-tiba Siska mendengar sebuah suara yang mengejutkannya. Siska merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Saat Siska menoleh, seperti perkiraannya, Yuda sudah muncul entah dari mana.
"Siska, kenapa kamu memblokir nomor dan WhatsApp-ku?"
Siska melirik Chris sejenak, menemukan Chris yang masih tidak berekspresi, dia berkata kepada Yuda, "Kita sudah putus, jangan telepon aku lagi."
"Kamu masih marah, ya? Maafkan aku. Gimana kalau kita makan hot pot nanti siang?"
"Yuda, aku sudah menikah! Aku nggak bercanda."
Saat itu, Yuda baru menyadari kehadiran Chris yang berdiri di samping Siska dan menatap Chris dengan tatapan heran.
Siska terlalu serius memandangi Chris sampai-sampai lupa mengangkat panggilan yang masuk.
Tiba-tiba Chris menoleh untuk melirik Siska, "Teleponnya nggak diangkat?"
Siska tertegun sekejap dan mengalihkan pandangannya untuk menolak panggilan dari Yuda. Dia merasa sedikit bersalah, "Hanya telepon dari sales."
Siapa yang tahu ternyata Yuda tidak menyerah dan menelepon lagi.
Siska yang sangat marah pun langsung memblokir nomor Yuda.
Saat Yuda menelepon lagi, panggilannya sudah tidak terhubung, dia melemparkan ponselnya ke sofa dengan marah.
Ibunya bertanya dengan cemas, "Ada apa? Dia masih nggak angkat telepon?"
Yuda berkata dengan marah, "Dia bahkan memblokirku!"
"Hah? Gimana dong, dia nggak akan menuntut kita, ‘kan?"
"Mana kutahu? Aku kesal sekali!"
Ibu Yuda berkata, "Untuk apa kesal? Aku nggak pernah menyukai Siska. Menurutku dia tidak terlihat seperti orang yang baik. Kalau kamu benar-benar menikah dengannya, hidupmu pasti akan menderita."
"Lagian, Siska memberikan uang itu atas kemauannya sendiri, kita nggak memaksanya melakukannya. Menurutku, dia cuma mengancammu saja. Baru mengeluarkan 400 juta saja, tapi mau rumah seharga dua miliar. Mana ada rumah semurah itu?"
"Nak, kalau dia nggak mengangkat teleponmu, biarkan saja dia. Setelah beberapa hari, dia akan dengan sendirinya kembali padamu."
Ekspresi Yuda terlihat muram, dia sama sekali tidak mendengar omongan ibunya. Siska terlihat diam dan lemah lembut, tetapi aslinya dia sangatlah keras kepala.
Selama mereka berpacaran dua tahun terakhir ini, setiap kali makan bersama, Siska akan mentransfer setengah uang yang Yuda keluarkan. Setelah Yuda mengatakan padanya untuk tidak perlu membayarnya, dia tidak mentransfernya lagi. Tetapi, mereka akan makan di restoran lagi dan Siska akan diam-diam membayarnya.
Sebenarnya Yuda sering merasa ada yang salah dengan otak Siska. Pacaran saja harus dibagi sejelas itu.
Siska tidak tahu kalau Yuda sedang memarahinya dan dirinya sedang menghadapi masalah yang rumit.
Setelah Siska selesai membersihkan dapur, Kakek Qin langsung mengusirnya dan Chris pulang. Keduanya duduk di sofa dan suasananya menjadi makin canggung.
"Em, kamu mau mandi dulu nggak?" Siska meremas jarinya dengan gugup, merasa gugup dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Chris melirik Siska dan menyadari dia sedang gugup. Dia sudah pernah pacaran, tetapi masih berpura-pura seperti itu. Chris benar-benar kagum dengan kemampuan akting wanita ini.
"Nggak buru-buru." Chris mengeluarkan kartu ATM dan meletakkannya di atas meja kopi, "Ambil kartu ini. Setiap bulan aku akan mentransfer biaya hidup ke sana. Sepuluh juta cukup nggak?"
Siska termenung sejenak dan langsung mengibaskan tangannya, "Nggak perlu sebanyak itu, biaya hidup kita bertiga nggak akan sebanyak itu. Menurutku enam juta juga sudah cukup. Kamu kasih tiga juta saja, aku akan menanggung setengahnya. Kalau ada pengeluaran yang besar, kita bisa membahasnya terlebih dahulu."
"Apalagi kamu belum mendapatkan pekerjaan. Kamu nggak perlu memberikan biaya hidup sebanyak itu. Aku sendiri juga bekerja."
Chris menyodorkan kartu ke hadapan Siska, "Ambillah, sudah kubilang, aku akan menanggung biaya hidupmu. Aku belum mencapai titik di mana harus dibiayai seorang wanita."
Siska, "..."
Dia tiba-tiba merasa ucapan Nona Wu tentang Chris yang hanya menang tampan saja itu tidaklah benar.
Siska menghela napas dan mengambil kartu itu, "Kalau mau sesuai dengan yang kamu katakan juga boleh, tapi aku nggak mau mengundurkan diri, aku mau tetap bekerja."
"Terserah kamu, itu kebebasanmu."
Siska merasa lega ketika mendengar ucapan Chris. Siska kira Chris memberinya biaya hidup sebanyak sepuluh juta supaya dia bisa menjadi ibu rumah tangga sepanjang waktu.
"Oke, kalau gitu kamu mau tidur di kamar yang mana? Aku sudah memasang seprei dan selimut baru di ketiga kamar. Setelah kamu memilihnya, aku akan membawakan barang bawaanmu ke dalam kamar."
Chris memandang sekeliling sekilas dan bertanya, "Terserah, kamarmu yang mana?"
Wajah Siska memanas. Dia menunjuk kamar yang berada di sebelah kanan, "Yang itu."
"Kalau gitu aku tidur kamar yang di sebelah kamarnya." Chris berdiri, berjalan masuk ke kamar itu, lalu menutup pintu.
Siska hanya termenung di sofa. Setelah suara pintu tertutup terdengar sekian lama, akhirnya dia pun tersadar kembali.
Siska tidak perlu tidur sekamar dengan Chris.
Ini merupakan hal yang bagus!
Pikiran ini membuat Siska tertegun sejenak. Sebelumnya ada teman yang bilang kalau Siska takut dengan laki-laki, tetapi dia tidak memercayainya. Siska merasa dirinya hanya belum bertemu dengan orang yang tepat.
Sekarang sepertinya Siska sudah memercayainya.
Selama dua tahun berpacaran dengan Yuda, Siska selalu tidak setuju ketika Yuda mendekatinya. Setiap kali Yuda ingin mendekatinya, Siska selalu menolaknya dengan alasan ingin menunggu sampai mereka menikah.
Namun, sekarang juga seperti itu.
Malam itu Siska tidak bisa terlelap, jadi dia bangun sangat pagi keesokan paginya. Saat akan pergi ke dapur untuk membuat sarapan, dia terkejut melihat Chris yang sudah bangun duluan.
Chris memakai baju olahraga berwarna abu-abu yang melekat di badannya. Garis-garis otot dada dan perutnya terpanpang jelas.
"Kamu mau pergi lari pagi?"
Chris hanya melirik Siska, melepaskan earphone di telinganya, lalu berjalan masuk dan pergi ke arah kulkas. Crhis menemukan di dalam kulas tidak ada air mineral dan menutup kembali pintu kulas itu.
"Sudah selesai lari."
Siska membelalakkan matanya dan melirik jam di dinding. Waktu baru menunjukkan jam enam lewat.
"Kamu bangunnya pagi banget?"
"Iya, sudah kebiasaan."
Siska tersenyum canggung, lalu berbalik ke dapur untuk membuat telur rebus.
Chris duduk di sofa sambil mengamati Siska yang sedang sibuk berjalan keluar-masuk dapur.
Siska membawa keluar telur yang sudah dia rebus dan bertanya lagi, "Kamu buru-buru mau pergi nggak? Kakek kayaknya masih tidur, kalau nggak buru-buru, nanti tolong antarkan ini untuk Kakek. Aku harus mengejar bus, nggak sempat lagi."
Chris melihat jam tangan olahraga di tangannya dan mengangguk, "Hm."
Siska tidak mengerti apa maksud "hm" yang Chris ucapkan. Tetapi, Siska menganggapnya sebagai tanda setuju. Siska melepas celemeknya. mengambil kunci rumah, memakai sepatunya dan siap-siap untuk pergi bekerja.
Chris juga ikut berdiri dan mengikuti Siska keluar.
Siska memandang Chris dengan tatapan bingung, "Kamu juga mau keluar?"
"Turun beli air, ayo."
"Oh."
Siska mengambil tasnya dan turun bersama Chris.
Di kompleks tempat tinggal mereka tedapat dua warung kecil. Siska menunjukkan warung yang paling dekat pada Chris, "Di sana ada satu warung dan warung itu yang paling dekat dengan rumah kita. Warung itu sudah buka belasan tahun ..."
Chris menyela ucapan Siska, "Aku tahu."
Siska agak kaget, tetapi dia langsung mengingat kalau Chris juga pernah tinggal di sini.
"Siska!"
Tiba-tiba Siska mendengar sebuah suara yang mengejutkannya. Siska merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Saat Siska menoleh, seperti perkiraannya, Yuda sudah muncul entah dari mana.
"Siska, kenapa kamu memblokir nomor dan WhatsApp-ku?"
Siska melirik Chris sejenak, menemukan Chris yang masih tidak berekspresi, dia berkata kepada Yuda, "Kita sudah putus, jangan telepon aku lagi."
"Kamu masih marah, ya? Maafkan aku. Gimana kalau kita makan hot pot nanti siang?"
"Yuda, aku sudah menikah! Aku nggak bercanda."
Saat itu, Yuda baru menyadari kehadiran Chris yang berdiri di samping Siska dan menatap Chris dengan tatapan heran.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved