Bab 15 Membuat Diri Sendiri Sakit Parah
by Mia Chelsey
18:49,Feb 18,2020
Besok Steven pergi berbulan madu, malam ini pasti tidak akan datang, saat ini dia ingin seorang diri sakit di dalam apartemen, agar bisa merasakan kesakitan yang lebih banyak.
Ini yang Amelia inginkan, lebih bagus lagi kalau sakit parah.
Bulan enam, air tidak terlalu dingin, tapi bagi Amelia, dingin sampai menusuk tulang. Tubuhnya meringkuk, baru menyadari yang dingin bukan hanya tubuhnya, tapi hatinya juga.
Amelia mengambil shower dan membasahi kepalanya sendiri, sepertinya masih tidak cukup, hatinya masih belum mati rasa, masih teringat lemari baju yang penuh dengan baju tidur yang dibeli Steven.
Apa Amelia begitu tidak bernilai sampai bisa terharu karena barang yang sedikit ini dan melupakan kejahatannya? Apa dia masih bisa merindukan lelaki yang dicintai Laura?
Dia memenuhi bath tub dengan air dingin, duduk ke dalam, masih menyirami dirinya dengan shower.
Rasa dingin menyelimuti dia, giginya gemertak berbunyi, seluruh bulu kuduk di tubuhnya berdiri, seperti ini sangat bagus sekali, paling bagus kalau bisa membuat hatinya beku.
Juga tidak tahu sudah mandi berapa lama, Amelia merasa sangat kedinginan, tapi nafasnya mulai panas.
Suara telepon berdering dari kamar tidur, dia berdiri dari bath tub, kepalanya pusing dan berat, memaksakan diri mengambil handuk menyeka tubuhnya, dengan sempoyongan kembali ke kamar.
Telepon itu dari mamanya, mengatakan malam ini sudah menyiapkan makanan, meminta dia dan Sonny pulang makan, dia sampai melupakan hal ini.
"Ame, kenapa suaramu serak?" Ibunya bertanya dari dalam telepon, dia baru menyadari tenggorokannya sakit sekali, seperti langsung bengkak.
"Sepertinya masuk angin." Menjawab dengan suara hidung yang berat.
"Pagi saat pulang masih baik-baik saja, kenapa bisa masuk angin? Apa kamu membuka AC saat tidur siang?"
"Ya, aku tidak apa-apa ma, minum air hangat nanti juga membaik. Hari ini tidak ingin bergerak, aku akan segera membawa dia pulang, bagaimana?"
"Baiklah, minta Sonny menjagamu baik-baik, masak air jahe untuk kamu minum. Kalau dia tidak bisa, mama akan memasak dan mengantarkan untukmu."
"Tidak perlu tidak perlu tidak perlu, dia bisa, apapun dia bisa. Uhuk uhuk...... Ehm...... Uhuk uhuk......" Panik sampai Amelia terbatuk, kalau sampai mamanya datang, semuanya akan berakhir.
"Baiklah baiklah, kamu tutup telepon, cepat minum."
"Ya......" Amelia berusaha menahan, menutup telepon baru batuk lagi.
Batuk sampai seakan hatinya robek, wajahnya merah, tenggorokannya seperti sudah memanggil meminta dia minum air, Amelia malah dengan kejam terus menyiksa dirinya sendiri.
Tenggorokan sudah sakit, hatinya pasti tidak akan sakit.
Mamanya bertanya kenapa dalam sehari bisa masuk angin, tahu kalau hidup bisa berubah setiap saat. Seperti saat dia bertemu dengan Steven di pernikahan Laura, dunianya langsung hancur.
Meskipun Steven tidak pernah mengatakan menyukai dirinya, sama sekali tidak pernah mengatakan mencintainya, setidaknya dia merasa asal dia berusaha, Steven akan terharu.
Harapan sudah hancur, mulai saat ini, dia tidak berharap lagi, hidupnya akan selamanya layu.
Dua puluh dua tahun, apa sedikit terlalu cepat, usia yang masih muda, tapi hatinya ibarat bunga kuning di musim gugur, kelopaknya gugur selembar demi selembar.
Hari ini masih belum minum obat kontrasepsi, dia membuka laci mengeluarkan botol obat, memutar membuka, mengambil sebutir dan menelannya.
Gerakan ini menghabiskan waktu yang lama, selesai minum obat, batuk lagi.
Batuk dan batuk, akhirnya tidak bisa batuk lagi, berbaring di atas kasur makin lama makin terasa dingin.
Meringkuk disana, selimutnya ada dibawah kakinya, dia tidak mau pakai selimut, membiarkan dirinya kedinginan, dan kedinginan lagi.
Es dan api bersamaan menyiksa diri Amelia yang lemah, berbaring di atas kasur tidak berhenti gemetar, nafasnya makin panas, kesadarannya makin lama makin hilang.
Jefferson, lelaki yang ceria namun sedikit berandal, tiba-tiba muncul di pikirannya saat dia tidak sadarkan diri.
"Sayang, apa kamu sedih?" Dia bertanya pada Amelia dengan lembut.
"Kenapa kamu begitu bodoh? Gadis bodoh, sini, biarkan aku memelukmu." Dalam ketidaksadarannya, wajah lelaki itu seperti berubah menjadi lebih tampan, dilihat dengan teliti, ternyata Steven.
"Aku tidak mau kamu, aku mau Jefferson, dia tidak akan menyakiti aku. Tidak akan!" Amelia tersedak dalam tangis, berteriak, air matanya mengalir deras.
Akhirnya kembali berubah menjadi Jefferson, dengan lembut memeluknya, menenangkan dengan suara rendah.
"Sayang, semuanya akan berlalu, jangan sedih, aku akan selamanya melindungi kamu."
Amelia merasa lebih baik, bersandar dalam pelukannya, bernafas dengan lega.
Kemudian Amelia teringat Steven, dirinya adalah simpanannya, simpanannya yang paling menyedihkan, dia sudah tidak pantas mendapatkan cinta dari Jefferson.
"Maaf, kamu pergi saja!" Amelia menolak berkata, meskipun menginginkan kelembutan dan kehangatannya, dia juga tidak bisa dengan egois memilikinya.
Jefferson memandangnya sangat lama dengan kecewa, akhirnya membalikkan badan dan pergi.
Melihat bayangannya, hati Amelia sakit dan terus menangis, semakin dingin, semakin lapar, Amelia terbangun dari kesakitan yang dalam.
Malam sudah larut, dalam kamar yang gelap, ini akhir bulan, tidak ada sedikitpun cahaya, membuat hatinya sedih.
Ternyata rasa sakit yang dirasakan dalam mimpinya benar-benar nyata, air matanya juga benar-benar nyata.
Sama seperti yang dia perkirakan, Steven tidak datang, malam ini dia pasti bersama dengan Laura menanti perjalanan bulan madu.
Tidak berniat tidur, suhu tubuh makin tinggi, sampai akhirnya demam dan pusing diatas ranjang, dengan pandangan kabur baru menyadari dirinya sendirian.
Dari awal juga yatim piatu, ditinggalkan orang tua, juga ditinggalkan hidup, atau kalau mati seperti ini, juga sebuah pelepasan.
Dia hanya khawatir dengan orang tua, dia adalah kesayangan mereka, mendapat seluruh cinta dari mereka. Memikirkan mereka membuat Amelia mendapat sedikit kekuatan, ingin bangun, tapi tidak bertenaga.
Saat kembali terbangun sudah siang hari, rupanya orang kalau tidak mati maka akan terus hidup. Dia membuka kedua mata, melihat langit-langit sedang berputar, teleponnya berdering lagi, ternyata ada sebuah pesan yang membuatnya terbangun.
Dengan menggunakan tenaga yang tersisa, mengambil telepon yang ada di depan matanya, membuka dengan sekuat tenaga, pesan yang dikirim oleh Laura.
"Maldives sangat indah sekali, Ame, aku sangat senang." Dibawahnya ada foto Laura dan Steven.
Latar belakangnya air laut yang biru, mereka saling berpandangan satu sama lain, tangan Steven yang besar dengan tangan Laura yang kecil membentuk sebuah hati, sangat indah, sangat romantis.
Meskipun dia sedih sampai hampir mati, paling tidak sahabat baiknya senang, dia tersenyum, dia juga harus senang.
Tersenyum tersenyum, air mata kembali mengalir tanpa suara, sama sekali tidak ada orang yang peduli dia senang atau sedih. Dia sekarang begitu kesakitan, lelaki yang menemaninya dua tahun, dulunya mengira lelaki yang akan menemaninya seumur hidup sedang gembira bersama wanita lain, Amelia tidak bisa gembira!
Tapi kenapa kalau dia tidak gembira, apa masih berharap lelaki itu datang menolongnya? Dia siapanya Steven? Hanya simpanannya saja, bahkan membeli dengan uang juga tidak termasuk, dia sama sekali tidak berharga satu sen pun.
Air mata mengalir deras, seperti membawa pergi sedikit panas dari tubuhnya. Menangis dan menangis, dalam keadaan putus asa, rasa sakit yang dirasakan menghabiskan tenaganya, dia sekali lagi pingsan.
"Amelia! Amelia!" Ada orang yang memanggilnya dengan ketakutan, dia sepertinya mendengar, tapi seperti sangat jauh sekali.
Pasti sedang bermimpi, selain Steven kamar ini sama sekali tidak ada orang yang bisa masuk, tapi bukankah saat ini Steven sedang berada di Maldives?
Ini yang Amelia inginkan, lebih bagus lagi kalau sakit parah.
Bulan enam, air tidak terlalu dingin, tapi bagi Amelia, dingin sampai menusuk tulang. Tubuhnya meringkuk, baru menyadari yang dingin bukan hanya tubuhnya, tapi hatinya juga.
Amelia mengambil shower dan membasahi kepalanya sendiri, sepertinya masih tidak cukup, hatinya masih belum mati rasa, masih teringat lemari baju yang penuh dengan baju tidur yang dibeli Steven.
Apa Amelia begitu tidak bernilai sampai bisa terharu karena barang yang sedikit ini dan melupakan kejahatannya? Apa dia masih bisa merindukan lelaki yang dicintai Laura?
Dia memenuhi bath tub dengan air dingin, duduk ke dalam, masih menyirami dirinya dengan shower.
Rasa dingin menyelimuti dia, giginya gemertak berbunyi, seluruh bulu kuduk di tubuhnya berdiri, seperti ini sangat bagus sekali, paling bagus kalau bisa membuat hatinya beku.
Juga tidak tahu sudah mandi berapa lama, Amelia merasa sangat kedinginan, tapi nafasnya mulai panas.
Suara telepon berdering dari kamar tidur, dia berdiri dari bath tub, kepalanya pusing dan berat, memaksakan diri mengambil handuk menyeka tubuhnya, dengan sempoyongan kembali ke kamar.
Telepon itu dari mamanya, mengatakan malam ini sudah menyiapkan makanan, meminta dia dan Sonny pulang makan, dia sampai melupakan hal ini.
"Ame, kenapa suaramu serak?" Ibunya bertanya dari dalam telepon, dia baru menyadari tenggorokannya sakit sekali, seperti langsung bengkak.
"Sepertinya masuk angin." Menjawab dengan suara hidung yang berat.
"Pagi saat pulang masih baik-baik saja, kenapa bisa masuk angin? Apa kamu membuka AC saat tidur siang?"
"Ya, aku tidak apa-apa ma, minum air hangat nanti juga membaik. Hari ini tidak ingin bergerak, aku akan segera membawa dia pulang, bagaimana?"
"Baiklah, minta Sonny menjagamu baik-baik, masak air jahe untuk kamu minum. Kalau dia tidak bisa, mama akan memasak dan mengantarkan untukmu."
"Tidak perlu tidak perlu tidak perlu, dia bisa, apapun dia bisa. Uhuk uhuk...... Ehm...... Uhuk uhuk......" Panik sampai Amelia terbatuk, kalau sampai mamanya datang, semuanya akan berakhir.
"Baiklah baiklah, kamu tutup telepon, cepat minum."
"Ya......" Amelia berusaha menahan, menutup telepon baru batuk lagi.
Batuk sampai seakan hatinya robek, wajahnya merah, tenggorokannya seperti sudah memanggil meminta dia minum air, Amelia malah dengan kejam terus menyiksa dirinya sendiri.
Tenggorokan sudah sakit, hatinya pasti tidak akan sakit.
Mamanya bertanya kenapa dalam sehari bisa masuk angin, tahu kalau hidup bisa berubah setiap saat. Seperti saat dia bertemu dengan Steven di pernikahan Laura, dunianya langsung hancur.
Meskipun Steven tidak pernah mengatakan menyukai dirinya, sama sekali tidak pernah mengatakan mencintainya, setidaknya dia merasa asal dia berusaha, Steven akan terharu.
Harapan sudah hancur, mulai saat ini, dia tidak berharap lagi, hidupnya akan selamanya layu.
Dua puluh dua tahun, apa sedikit terlalu cepat, usia yang masih muda, tapi hatinya ibarat bunga kuning di musim gugur, kelopaknya gugur selembar demi selembar.
Hari ini masih belum minum obat kontrasepsi, dia membuka laci mengeluarkan botol obat, memutar membuka, mengambil sebutir dan menelannya.
Gerakan ini menghabiskan waktu yang lama, selesai minum obat, batuk lagi.
Batuk dan batuk, akhirnya tidak bisa batuk lagi, berbaring di atas kasur makin lama makin terasa dingin.
Meringkuk disana, selimutnya ada dibawah kakinya, dia tidak mau pakai selimut, membiarkan dirinya kedinginan, dan kedinginan lagi.
Es dan api bersamaan menyiksa diri Amelia yang lemah, berbaring di atas kasur tidak berhenti gemetar, nafasnya makin panas, kesadarannya makin lama makin hilang.
Jefferson, lelaki yang ceria namun sedikit berandal, tiba-tiba muncul di pikirannya saat dia tidak sadarkan diri.
"Sayang, apa kamu sedih?" Dia bertanya pada Amelia dengan lembut.
"Kenapa kamu begitu bodoh? Gadis bodoh, sini, biarkan aku memelukmu." Dalam ketidaksadarannya, wajah lelaki itu seperti berubah menjadi lebih tampan, dilihat dengan teliti, ternyata Steven.
"Aku tidak mau kamu, aku mau Jefferson, dia tidak akan menyakiti aku. Tidak akan!" Amelia tersedak dalam tangis, berteriak, air matanya mengalir deras.
Akhirnya kembali berubah menjadi Jefferson, dengan lembut memeluknya, menenangkan dengan suara rendah.
"Sayang, semuanya akan berlalu, jangan sedih, aku akan selamanya melindungi kamu."
Amelia merasa lebih baik, bersandar dalam pelukannya, bernafas dengan lega.
Kemudian Amelia teringat Steven, dirinya adalah simpanannya, simpanannya yang paling menyedihkan, dia sudah tidak pantas mendapatkan cinta dari Jefferson.
"Maaf, kamu pergi saja!" Amelia menolak berkata, meskipun menginginkan kelembutan dan kehangatannya, dia juga tidak bisa dengan egois memilikinya.
Jefferson memandangnya sangat lama dengan kecewa, akhirnya membalikkan badan dan pergi.
Melihat bayangannya, hati Amelia sakit dan terus menangis, semakin dingin, semakin lapar, Amelia terbangun dari kesakitan yang dalam.
Malam sudah larut, dalam kamar yang gelap, ini akhir bulan, tidak ada sedikitpun cahaya, membuat hatinya sedih.
Ternyata rasa sakit yang dirasakan dalam mimpinya benar-benar nyata, air matanya juga benar-benar nyata.
Sama seperti yang dia perkirakan, Steven tidak datang, malam ini dia pasti bersama dengan Laura menanti perjalanan bulan madu.
Tidak berniat tidur, suhu tubuh makin tinggi, sampai akhirnya demam dan pusing diatas ranjang, dengan pandangan kabur baru menyadari dirinya sendirian.
Dari awal juga yatim piatu, ditinggalkan orang tua, juga ditinggalkan hidup, atau kalau mati seperti ini, juga sebuah pelepasan.
Dia hanya khawatir dengan orang tua, dia adalah kesayangan mereka, mendapat seluruh cinta dari mereka. Memikirkan mereka membuat Amelia mendapat sedikit kekuatan, ingin bangun, tapi tidak bertenaga.
Saat kembali terbangun sudah siang hari, rupanya orang kalau tidak mati maka akan terus hidup. Dia membuka kedua mata, melihat langit-langit sedang berputar, teleponnya berdering lagi, ternyata ada sebuah pesan yang membuatnya terbangun.
Dengan menggunakan tenaga yang tersisa, mengambil telepon yang ada di depan matanya, membuka dengan sekuat tenaga, pesan yang dikirim oleh Laura.
"Maldives sangat indah sekali, Ame, aku sangat senang." Dibawahnya ada foto Laura dan Steven.
Latar belakangnya air laut yang biru, mereka saling berpandangan satu sama lain, tangan Steven yang besar dengan tangan Laura yang kecil membentuk sebuah hati, sangat indah, sangat romantis.
Meskipun dia sedih sampai hampir mati, paling tidak sahabat baiknya senang, dia tersenyum, dia juga harus senang.
Tersenyum tersenyum, air mata kembali mengalir tanpa suara, sama sekali tidak ada orang yang peduli dia senang atau sedih. Dia sekarang begitu kesakitan, lelaki yang menemaninya dua tahun, dulunya mengira lelaki yang akan menemaninya seumur hidup sedang gembira bersama wanita lain, Amelia tidak bisa gembira!
Tapi kenapa kalau dia tidak gembira, apa masih berharap lelaki itu datang menolongnya? Dia siapanya Steven? Hanya simpanannya saja, bahkan membeli dengan uang juga tidak termasuk, dia sama sekali tidak berharga satu sen pun.
Air mata mengalir deras, seperti membawa pergi sedikit panas dari tubuhnya. Menangis dan menangis, dalam keadaan putus asa, rasa sakit yang dirasakan menghabiskan tenaganya, dia sekali lagi pingsan.
"Amelia! Amelia!" Ada orang yang memanggilnya dengan ketakutan, dia sepertinya mendengar, tapi seperti sangat jauh sekali.
Pasti sedang bermimpi, selain Steven kamar ini sama sekali tidak ada orang yang bisa masuk, tapi bukankah saat ini Steven sedang berada di Maldives?
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved