Bab 8 Ingin Kabur

by Mia Chelsey 18:47,Feb 18,2020
"Angkat lho!" Kak Harry berkata pelan.

Menekan tombol menerima panggilan, di seberang telepon terdengar suara Laura yang ceria.

"Amel, kamu dimana, aku ingin bertemu denganmu untuk mengobrol, kamu ada waktu?"

"Aku……ada waktu!" Dia harus pergi bertemu dengan Laura, paling tidak secara langsung melihat apakah dia baik-baik saja, juga coba lihat bisa tidak memberi tanda agar dia benar-benar melihat siapa Steven sebenarnya.

"Aku minta Levin jemput kamu, kamu dimana?

Amelia memberitahukan dia sedang di rumah, Levin yang menjemput tidak perlu khawatir karena Budi sudah hafal jalan.

"Dandan dulu sana, harus lebih cantik dari dia." Kak Harry berkata.

Amelia tersenyum pahit.

"Kak Harry, aku tidak ingin membandingkan kecantikan dengannya, aku benar-benar berharap semuanya hanya sebuah mimpi, berharap dia bisa bahagia. Kamu tahu seberapa galau aku? Kalau aku memberitahu dia yang sebenarnya, Steven tidak akan melepaskan aku. Kalau tidak memberitahu dia, apa membiarkan dia terus tinggal dalam kebohongan?"

"Jangan buru-buru! Semuanya akan baik-baik saja, Kak Harry bisa bantu kamu." Dia menepuk-nepuk pundak Amelia.

"Oke, nanti aku perlihatkan foto Steven ke Kak Harry, tapi kamu benar-benar sangat mirip dengannya, aku tidak bohong."

"Benar-benar mirip sekali kah, Kak Harry bisa sukses nih? Dia begitu sibuk, kamu tanyakan apa dia butuh pengganti, kemampuan aktingku juga bagus."

Amelia digoda sampai tertawa, Kak Harry selalu bisa membuat dia senang, sebaliknya orang yang wajahnya mirip dengan Kak Harry malah menjerumuskan dia masuk ke lubang yang dalam dan tidak mau melepaskan.

Belum lama, mobil Levin tiba, Amelia mengucapkan salam ke Kak Harry dan naik mobil.

"Kak Amel, Kak Laura di ruang VIP lantai paling atas menunggu kamu!" Mobil berhenti, Levin berkata dengan hormat.

"Levin, aku dan Laura tidak perlu kamu bersikap terlalu sopan seperti ini, jangan terlalu segan seperti ini." Amelia bisa melihat, dia menyukai Laura, apa status membuat dia tidak memiliki keberanian untuk mengatakan cinta?

Dia lebih memilih Laura menikah dengan Levin, paling tidak dia bisa selamanya, benar-benar menjadi putri.

"Ini sudah menjadi kewajibanku, Kak Amel, silahkan!"

Ruang VIP di lantai paling atas.

Dua orang pelayan memberikan salam kepada Amelia, kemudian membuka pintu kaca, membungkukkan badan berkata: "Silahkan!"

Dia baru melangkahkan kaki masuk, langsung terdengar suara Laura.

"Amel, aku disini!"

Laura hari ini mengenakan terusan berwarna putih, sangat cantik, sangat mempesona.

"Sayang, kamu juga datang?" Laura tiba-tiba melihat kearah belakang Amelia, terkejut dan berkata, dia berdiri dan mempersilahkan.

Amelia menoleh, bertatapan langsung dengan wajah Steven yang tampan, sudut bibir Steven naik, seakan sedang mengejek dia.

Steven masih seperti biasanya tenang dan datar, seperti dirinya sama sekali tidak pernah melakukan kesalahan yang menyakiti istrinya.

Amelia tidak memiliki muka setebal dia, begitu Amelia melihat dia, yang pertama kali ingin dia lakukan adalah kabur.

"Laura, aku tidak tahu……suami kamu juga datang, lebih baik aku tidak mengganggu kalian, kita ketemu lain kali saja!" Membalikkan kepala, selesai bicara dengan Laura, Amelia ingin langsung pergi.

"Jangan pergi! Aku mencari kamu karena ada urusan yang sangat penting!" Laura berkata dengan tergesa-gesa, sambil memegang lengannya.

"Kita berdua cari waktu lain untuk bertemu!"

"Karena sudah datang, duduk dulu saja, apa aku terlihat seperti ingin makan orang?" Steven membuka suara dan berbicara.

"Iya kamu itu, Amel ketakutan lihat kamu! Lain kali kalau di depan temanku, kamu harus bisa tersenyum." Laura pura-pura marah, mengkritik Steven, kemudian menarik Amelia duduk di sampingnya.

Amelia akhirnya terpaksa duduk kembali, matanya tidak tahu harus melihat ke arah mana.

"Amel, kenapa kantung mata kamu besar sekali? Kurang tidur?"

Sebuah kalimat yang biasa saja, tapi bagi Amelia pertanyaan ini seakan seperti sedang menanyakan hubungan diam-diam antara dia dengan Steven.

Jantung Amelia tiba-tiba berdegup, tangannya dia letakkan di bawah meja, wajahnya mulai merah, melihat Laura, ingin menjelaskan, takut salah bicara.

"Pelayan!" Suara Steven memanggil, perhatian Laura akhirnya teralihkan.

"Selamat pagi Tuan! Senang bisa melayani anda!"

"Pesan 1 gelas teh madu untuk nona ini, terima kasih!"

Teh madu, bermanfaat untuk menenangkan pikiran, biasanya tidak pernah melihat dia begitu baik terhadapnya, kali ini Amelia benar-benar hampir gila.

Apa dia harus berlaku seperti ini? Apa dia tidak takut Laura akan mencurigai dia, otaknya sebenarnya terbuat dari apa? Amelia duduk disini, seperti duduk diatas paku, tersiksa sekali rasanya.

"Kenapa anak itu belum datang juga?" Laura berkata pada dirinya sendiri, menundukkan kepala melihat jam tangannya.

"Sayang, kamu masih mengajak siapa lagi?" Steven bertanya dengan lembut.

"Nanti kalau sudah datang kamu juga akan tahu, sayang!" Laura berkata sambil tersenyum.

Sayang, sayang, Amelia benar-benar merasa tidak seharusnya dia berada disini.

Seandainya dia tidak berada disini, mungkin mereka berdua sudah berpelukan berciuman, di dalam otaknya sedang membayangkan mereka berdua sedang bermesraan.

"Kamu ini, hal apapun selalu saja buat penasaran." Berkata dengan manja dan lembut, Steven mendekatkan kepalanya ke Laura, dekat sekali, seperti sedang akan mencium Laura.

"Menyebalkan! Masih ada Amel disini……"

"Ehm…… Aku ke toilet sebentar." Amelia sudah tidak tahan melihat mereka berdua, ingin pergi sebentar, saat ini dia sangat ingin menangis.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

140