chapter 6 Meja Khusus Sopir

by Yanson 12:56,Nov 23,2023
Nyonya besar Keluarga Lin duduk di kursi roda. Menantunya, Diana Wang yang mendorongnya masuk ke aula.

Begitu sampai di aula, Kevin mencari-cari Jenny.

Jenny sedang melayani perempuan tua itu dengan penuh perhatian. Nyonya besar Keluarga Lin itu terlihat bahagia.

Kevin menghampiri mereka dan membungkuk untuk menyapa perempuan tua itu. "Apa kabar, Nyonya!"

Jenny dengan nada bercanda berkata, "Nyonya? Bukankah seharsnya kamu memanggilnya Nenek?"

"Apa kabar, Nenek!" Kevin langsung mengoreksi kata-katanya, tapi matanya malah tertuju pada dada Jenny.

Perempuan tua mengangguk dengan senang dan berkata, "Aku baik-baik saja."

Perempuan tua itu berktanya pada Diana. "Diana, mana Reni? Kenapa dia belum datang?"

"Oh, dia masih mengurus perusahaan, dia akan segera datang." Diana mencoba mencari alasan.

"Apa? Di hari sepenting ini kenapa dia masih saja bekerja? Apa dia mau mempermalukan keluarga kita? Cepat telepon dia!" Peremupuan tua itu langsung marah.

"Baik, Ibu! Aku akan segera meneleponnya." Diana langsung menghubungi putrinya.

"Maafkan kami, Kevin," ujar perempuan tua itu dengan rasa bersalah.

"Tidak masalah, mungkin ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan oleh Reny," balas Kevin dengan ramah.

"Kamu memang calon suami yang baik. Jangan khawatir, setelah kamu menikah dengan Reni nanti, kamu pasti akan mendapatkan saham sesuai dengan kesepakatan."

"Nenek, aku menikahi Reni karena aku memang mencintainya, bukan karena menginginkan sesuatu." Kevin berpura-pura tulus.

Perempuan tua itu semakin menyukai Kevin, dia berkata, "Tidak banyak anak muda sepertimu di zaman seperti ini, kamu memang anak yang baik."

"Ini bukan apa-apa, Nek."

Kevin diam-diam tersenyum sinis dan mengedipkan matanya pada Jenny dengan bangga.

Setelah orang tuanya datang, Kevin langsung menyapa kedua orang tuanya dan meminta orang tuanya untuk menemui perempuan tua itu.

Diana menunggu Reni di pintu masuk hotel.

"Ke mana saja saja kamu? Nenekmu baru saja memarahiku!" Diana langsung menarik lengan Reni begitu putrinya itu turun dari mobil.

"Aku 'kan sudah datang!"

Reni sudah terbiasa memakai masker.

Diana belum tahu kalau wajah putrinya sudah kembali mulus. Dia melihat Shawn yang datang bersama putrinya itu dan bertanya,

"Siapa dia?"

"Temanku!"

Reni belum tahu harus memperkenalkan Shwn sebagai siapa kepada ibunya. Dia langsung menarik tangan Shawn dan berkata, "Sebaiknya kita temui Nenek dulu!"

Diana mengangguk dan diam-diam melirik Shawn yang berpakaian lusuh.

"Apa semalam kamu bersama dengannya?" tanya Diana dengan suara pelan.

"Benar!" Reni berkata dengan jujur.

"Anak sialan! Kamu akan bertunangan, kenapa kamu masih bermain-main dengan laki-laki lain? Kalau Kevin tahu, keluarga kita bisa malu besar!"

"Apa maksud Ibu?" tanya Reni malu-malu.

"Aku yang melahirkanmu! Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan? Segera akhiri hubunganmu dengan laki-laki itu! Jangan berhubungan lagi dengannya, mengerti?!"

"Kalau Ibu berbicara terus, aku pergi saja!"

"Oke, oke, aku akan diam saja!"

Diana akhirnya mengalah. Setelah masuk ke hotel, dia menyuruh Reni untuk berdandan terlebih dulu. Dia lantas berkata pada Shawn. "Hei, jangan harap kamu bisa bersama dengan Reni! Lihat saja pakaian lusuhmu itu! Kalau kamu bukan teman Reni, aku tidak akan membiarkanmu masuk ke hotel mewah ini!"

Shawn hanya tersenyum, reaksi Diana persis dengan apa yang dia bayangkan.

Diana tidak mengerti kenapa Shawn malah tersenyum. Apa ada yang salah dengan isi otak anak itu? Dia pun semakin tidak menyukai teman putrinya itu.

Dia sengaja menyuruh Shawn untuk duduk di meja yang sama dengan para sopir dan memintanya untuk tidak memberi tahu kalau dia teman Reni. Kalau tidak, ibu Reni itu akan langsung mengusirnya.

Shawn pun duduk dengan para sopir yang sedang membicarakan tentang kehebatan bos mereka.

"Bosmu payah sekali! Kenapa dia mengendarai Mercedes-Benz atau Audi? Memangnya itu semua mobil mewah? Bosku baru saja membeli Rolls-Royce!" tutur salah seorang sopir dengan bangga.

"Memangnya siapa bosmu?"

"Simon Huang, pemilik Simon Group!"

"Oh, pantas saja!"

"Ternyata kamu sopir Tuan Simon!"

Sopir lain yang mendenarnya pun merasa minder, mereka mulai menawarkan rokok, menuangkan bir dan mulai memuji sopir itu.

Simon Huang bukan orang sembarangan, dia adalah penguasa di Kota Laut Timur.

Dia membersihkan namanya sebagai mantan mafia dan berhasil menjadi pengusaha terkemuka.

Shawn hanya diam.

Sopir Simon bertanya, "Nak, kamu sopir siapa? kenapa pakaianmu lusuh sekali?"

"Aku bukan sopir," jawab Shawn.

"Kalau begitu kenapa kamu duduk dengan kami?" tanya salah satu sopir.

"Ternyata dia cuma mau numpang makan."

"Seharusnya kamu menyapa kami dulu sebelum duduk di sini, 'kan?"

Sopir lainnya langsung mencibir.

"Bagaimana aku harus menyapa kalian?" tanya Shawn polos.

"Apa kami perlu mengajarimu? Kamu bisa menawarkan rokok, menuangkan bir atau mengajak bersulang. Apa kamu tidak tahu aturan sesederhana itu?"

"Tapi aku tidak pantas menuangkan bir untuk kalian!"

"Apa katamu?"

Para sopir itu langsung marah.

Sopir Simon mebgisap rokoknya dan dengan sombong berkata, "Sombong juga kamu! Asal kamu tahu, aku bisa saja membuatmu menderita!"

"Begitu, ya?"

"Apa kamu tahu? Bosmu bahkan sangat menghormatiku!"

"Omong kosong!"

Sopir itu menggebrak meja dan berdiri dengan marah. "Beraninya kamu lancang pada bosku! Sudah bosan hidup?"

Dia mengambil botol bir dan mengarahkannya pada Shawn.

Sopir lain mencoba mengingatkan Shawn. "Kamu tidak boleh sombong, sebaiknya kamu minta maaf saja padanya."

"Aku tidak tahu bagaimana harus meminta maaf," ucap Shawn.

"Wah, dia memang cari mati!"

Sopir Simon tidak bisa menahan amarahnya lagi dan bersiap memukulkan botol bir itu ke kepala Shawn.

Tiba-tiba, seorang laki-laki berjas rapi masuk bersama para pengawalnya. Dia terkejut saat melihat sopirnya hendak mencelakai seseorang.

"Adi, apa yang kamu lakukan?"

Sopir bernama Adi itu segera memberi hormat pada bosnya dan berkata, "Tuan, orang ini sudah lancang pada Anda. Saya hanya ingin memberinya pelajaran!"

"Oh?" Simon melihat sekeliling dengan tatapan serius.

Sopir lain yang melihatnya pun langsung mundur.

Kharisma Simon begitu kuat sampai mereka semua tidak berani menatapnya secara langsung.

Mereka benar-benar takut pada Simon.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

250