chapter 3 Mau Mengancam Malah Diancam

by Yanson 12:56,Nov 23,2023
Lampu jalanan menghiasi jalan di Kota Laut Timur.

Laki-laki dan perempuan berpakaian modis dan glamor berlalu lalang.

Sementara Shawn hanya mengenakan pakaian sederhana yang membuatnya terlihat seperti orang kampung.

Dia menusuri tempat yang dulu pernah dirinya tinggali. Pabrik farmasi itu sudah digusur dan diganti dengan kawasan komersial, rumahnya sudah menjadi bar.

Tidak ada seorang pun yang ingat bahwa di tempat ini pernah terjadi kebakaran, tepatnya 10 tahun lalu.

Semua anggota keluarga Shawn terbunuh, termasuk kerabat dekatnya.

Hanya Shawn yang berhasil melarikan diri, sampai akhirnya dia diselamatkan oleh anak perempuan yang merupakan tetangganya.

Shawn memang dipenjara, tapi bukan berari dia tidak menyelidiki kasus itu.

Dia akan menuntut keadilan atas inseden berdarah tersebut.

Shawn mendapat kabar bahwa anak perempuan yang telah menyelamatkannya itu akan bertunangan, dia berniat untuk memberi hadiah pada malaikat penolongnya itu.

Dia masuk ke bar dan duduk sebuah di sofa panjang.

Sejak turun dari helikopter, sistem intelijen milik Shawn sudah menyebar di seluruh kota. Tidak susah baginya untuk menemukan seseorang.

Dia duduk tepat di sebelah seorang gadis seksi yang mengenakan rok hitam pendek.

Kulinya putih dan lembut.

Tubuhnya benar-benar seksi.

Anehnya, dia mengenakan topi baseball yang sengaja ditekan rendah, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

Dia memperhatikan Shawn, kemudian bertanya, "Maaf, apa Tuan duduk di tempat yang salah?"

Kursi di sebelahnya masih luas, kenapa Shawn harus duduk tepat di sebelahnya.

"Tidak, aku ingin menemuimu," jawab Shawn dengan yakin.

"Menemuiku? Apa kita kenal?" tanya gadis itu.

"Aku ini malaikat yang akan memberikan hadiah untukmu."

"Malaikat?"

"Maaf, tapi aku bukan orang yang kamu cari," ujar gadis itu sambil membuka topinya.

Wajah jeleknya terlihat, separuh wajahnya rusak karena terbakar.

"Sekarang, apa kamu masih tertarik padaku?" tanya gadis itu dengan nada bicara menggoda. Sebenarnya dia ingin mengusir Shawn yang sudah membuatnya tidak nyaman.

Shawn yang melihatnya tidak merasa ngeri, tapi malah mengusap wajah gadis itu dan dengan sedih berkata, "Maaf, aku sudah datang terlambat."

Gadis itu menepis tangan Shawn. "Dasar sinting!"

Setelah mengambil tasnya, gadis itu pergi begitu saja.

Shawn tersenyum, dia menyesap sisa bir yang ditinggalkan gadis itu. "Kandungan alkohol di bir ini kuat sekali. Besok kamu akan bertunangan, seharusnya kamu bahagia, 'kan?"

Gadis itu berjalan di jalanan yang gelap, sepatu hak tingginya menimbulkan bunyi yang cukup mencolok.

Gadis bernama Reni Lin itu terus menoleh ke belakang, entah kenapa dia merasa ada yang menguntitnya.

Dia sengaja memotong jalan karena ingin segera pulang.

Saat melewati gang kecil, tiba-tiba mulutnya disekap dan tubuhnya diseret ke belakang.

Tidak jauh dari sana ada sebuah bar yang sedang direnovasi. Jalan setapak di gang itu dipenuhi puing-puing.

"Tolong!!!"

Reni berteriak, tapi laki-laki itu langsung menyeretnya ke tempat yang lebih tersembunyi.

Laki-laki itu mendorongnya dengan kuat.

Reni terjatuh di tikar jerami, seolah tikar itu memang disiapkan untuknya agar tidak terkena puing bangunan.

Dia ingin melarikan diri, ada yang tidak beres di sini, tapi dia tiba-tiba merasa pusing.

"Tidak usah melawan, sebentar lagi kamu akan pingsan." Laki-laki itu menutupi hidung Reni dengan handuk yang sudah diberi obat bius.

Laki-laki itu tidak sendiri, ada tiga anak buahnya yang memperhatikan dari kegelapan.

Reni mundur, dia mengangkat tasnya tinggi-tinggi dan berteriak dengan panik. "Aku punya uang, aku akan memberikan semuanya padamu!"

Dia melemparkan tasnya ke arah laki-laki kekar itu dan terus mundur sampai punggungnya menabrak tembok.

Laki-laki itu menangkis tas Reni, kemudian mengambil sebuah foto dan membandingkannya dengan Reni. "Reni Lin, tinggi 170 sentimeter, ada luka bajar di wajahnya. Tidak salah lagi."

"Siapa kamu?"

Reni langsung tahu bahwa mereka bukan jambret, tapi gangster yang sudah terorganisasi.

"Tidak perlu takut, kami hanya ingin bersenang-senang denganmu. Kami akan langsung melepaskanmu setelah kami puas," ujar laki-laki kekar itu.

Anak buahnya berkata, "Tidak perlu panjang lebar, kita sikat saja dia!"

Dia mendekati Reni sambil melepas celananya.

"Hei, Jono! Jangan terburu-buru. Tunggu aba-aba dariku!" perintah laki-laki kekar itu sambil mengangkat ponselnya.

Jono tersenyum dan berkata, "Memangnya kamu ini fotografer? Kalau kita tidak cepat, dia akan segera pingsan, mana seru bercinta dengan orang pingsan?"

Jono melangkahkan kainya dan tiba-tiba berteriak kesakitan.

Rupanya Reni sudah menyaipkan pisau kecil yang dililit di kakinya.

Darah pun mengalir dari kaki Jono. Dia berteriak, "Hei! Cari mati kamu rupanya!"

Dia menampar Reni dengan keras, gadis itu pun tergeletak tak berdaya.

Temannya, Tono mengangkat ponselnya dan mengeluh. "Jono, lihat apa yang sudah kamu lakukan. Kalau begini bagaimana kita bisa mengambil video?"

"Aku tetap akan memerkosanya meskipun dia sudah mati!" kata Jono dengan galak.

Dia menjambak rambut Reni dan meminta Tono untuk mengambil foto wajahnya dari dekat.

Keempat laki-laki itu terkejut setelah melihat luka bakar di wajah Reni. "Pantas saja Tuan Wu membiarkan kita memerkosanya. Dia cuma monster buruk rupa!"

"Padahal dia sangat seksi, dia juga cantik dan mulus. Sayang sekali setengah wajahnya rusak!"

"Kecantikan yang sia-sia!"

"Anggap saja kita sedang mematikan lampu. Ini rezeki kita, jangan disia-siakan, kapan lagi kita bisa menikmati wanita seseksi ini!"

"Berhenti berdebat!"

Bos mereka tersenyum licik dan berkata, "Jono, kamu duluan!"

"Beres!"

Mata Jono seperti binatang buas, dia mendekati Reni dan berkata, "Aku belum pernah melihat gadis seseksi ini, andai saja wajahnya tidak rusak, dia lebih menggairahkan daripada bintang porno!"

Dia mulai meraba bagian bawah rok Reni.

Tiba-tiba terdengar suara yang mengejutkan mereka semua. "Wah, wah, sepertinya kalian sedang berpesta, ya?"

Jono melompat terkejut sambil memegang celana. "Sial, siapa itu?"

"Siapa di sana?"

Preman ketiga, Doni mendekati sumber suara sambil membawa senter. Dia melihat seorang laki-laki mengarahkan ponselnya ke arah mereka sambil bersandar di tembok dan merokok.

"Siapa itu? Dasar pahlawan kesiangan!"

"Sudah bosan hidup, ya?"

"Hajar dia!"

Mereka melihat sekeliling dengan waspada, kemudian mengetahui bahwa laki-laki itu hanya sendiri saja. Tanpa menunggu lebih lama lagi, mereka langsung menghajar laki-laki yang sudah menganggu kesenangan mereka.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

250