Bab 16 Hadiah pertunangan
by Nayya_Phrustazie
13:58,Jan 03,2021
Darel sama sekali tidak peduli dengan perkataan Albert. Ia akan tetap teguh pada pendiriannya.
"Bibi, ajak Alae keluar sesekali. Tapi ingat, jangan sampai dia kabur karena jika sampai hal itu terjadi Bibi yang akan menanggung akibatnya," ujar Darel.
"Baik, Tuan." Hati Maria merasakan kebahagiaan sekaligus ketakutan karena ancaman Darel yang tidak main-main.
Maria segera mengambil alih kursi roda yang ditempati oleh Alea. Lalu mendorongnya keluar dari kamar itu.
"Darel, kupikir itu sangat berlebihan mengurung seorang gadis lemah di kamar ini. Bahkan jika dibiarkan berkeliaran juga dia tidak akan kabur," tukas Albert sembari terkekeh geli.
"Sebenarnya kenapa dia sampai seperti itu? Jika aku lihat dia sepertinya mengalami kekerasan fisik dan mental. Ketika matanya memandang sorot matanya tampak sangat ketakutan," imbuh Albert dengan tatapan menyelidik.
"Itu salahnya karena sudah berani menyakiti calon istriku. Sudahlah aku masih banyak pekerjaan," ujar Darel kemudian melenggang pergi meninggalkan Albert.
Albert hanya menghela nafas berat. Terlalu sulit baginya untuk memberikan arahan yang benar pada keponakannya yang memang sangat keras kepala dan bertindak sesuka hati tanpa belas kasihan jika sudah membenci.
°°°°°°°°°°
Maria mengajak Alea mengelilingi villa yang luas itu sampai ke halaman. Meski tengah hari tapi cuaca saat ini sangat cocok karena mendung disertai semilir angin yang bertiup sepoi-sepoi.
Rambut Alea yang panjang kini melambai-lambai diterpa angin. Wajahnya hari ini lebih berbinar dari biasanya. Hatinya begitu gembira karena bisa menghirup udara segar kembali setelah sekian lama terjebak di dalam ruangan.
"Bibi, bisakah kita pergi ke sana?" Alea menunjuk rumah kaca yang terletak tepat di belakang villa utama.
Maria menggigit bibir bawahnya. Ada keraguan di hatinya karena Darel melarang keras siapapun mendekati rumah kaca selain penjaga kebun yang merawat. Tidak ada seorangpun yang boleh menyentuh bunga-bunga yang ditanam oleh Esme.
Rumah kaca itu adalah tempat kesukaan Esme. Itu sebagai hadiah kecil ketika pertunangan mereka.
"Bibi, ayo kita kesana. Aku ingin sekali melihat bunga-bunga itu meski dari luar," ulang Alea dengan bersemangat.
Melihat wajah cantik Alea yang kembali ceria, Maria tak kuasa untuk menolak. Mungkin tidak masalah jika mereka hanya mendekat dan tidak usah masuk.
"Tapi berjanjilah untuk tidak masuk ke sana," ujar Maria demi keamanan Alea agar tidak mendapat amukan lagi.
Beruntung Darel mau mengikuti perkataan Brian agar menghentikan kekerasan fisik yang dilakukannya hampir setiap malam. Meski begitu Alea masih mengalami trauma.
"Aku janji, Bibi. Aku hanya ingin melihatnya saja," ujar Alea.
Maria menuruti gadis malang itu untuk pergi ke rumah kaca. Lagi pula tidak ada salahnya memberikan sedikit kebahagiaan untuknya.
Tidak lama kemudian mereka sudah berada di sisi luar rumah kaca. Tepat di depan pintu masuk. Dari luar bisa terlihat tanaman beberapa jenis bunga yang sangat cantik dan tumbuh subur. Ada bunga mawar, aster, lili serta bunga Anggrek dengan berbagai jenis warna pada masing-masing bunga.
"Bibi, siapa yang menanam semua ini? Terlihat sangat cantik dan tertata begitu rapi," puji Alea dengan wajah tak henti-hentinya tersenyum.
"Nona Esme yang menanam semuanya, Nona. Rumah kaca ini adalah sebagai hadiah kecil dari pertunangan mereka beberapa bulan yang lalu," terang Maria.
"Pantas saja bunga-bunga itu sangat cantik. Ternyata yang menanamnya juga cantik," puji Alea kembali. Meski hanya sebentar saja melihat wajah Esme tapi Alea bisa melihat kecantikan wajahnya yang natural. Bahkan untuk seorang wanita ia merasa begitu iri.
"Dulu tuan Darel sangat membenci bunga tapi berkat nona Esme dia turut terbawa. Akhirnya menyukai bunga juga." Maria mendorong kembali kursi roda Alea dengan pelan untuk berkeliling mengitari rumah kaca. Meski hanya dari luar tapi mereka bisa melihat dengan jelas apa saja yang ada di dalamnya.
"Benarkah?"
"Benar, Nona. Nona Esme sangat membawa dampak perubahan besar yang jauh lebih baik ke arah positif," terang Maria. Masih teringat jelas dalam benaknya dulu villa itu tidak lebih dari tempat perkumpulan para mafia senjata.
"Pantas saja Darel sangat membenciku. Dia masih mengira jika akulah yang mencoba membunuh Esme," ucap Alea dengan getir. Tidak tahu sampai kapan dirinya akan pergi dari rumah itu. Karena untuk berjalan saja sulit.
"Namun sekarang sepertinya tuan sudah sedikit berubah. Dia sudah tidak melakukan kekerasan fisik lagi," ujar Maria.
"Benar, tapi itu semua karena Dokter Brian yang mengancam. Jika tidak, mungkin nasibku masih sama seperti sebulan yang lalu." Membayangkan rasa sakit di tubuhnya membuat tubuh Alea merinding. Hingga ia memeluk tubuhnya sendiri dengan tangan yang menyilang di dada.
"Nona tidak apa-apa?" Maria khawatir Alea akan mengalami rasa takut seperti seminggu belakangan.
"Tidak, Bibi. Aku baik-baik saja. Jika mengingat apa yang dilakukan Darel setiap malam. Tubuhku masih merasa nyeri, Bi," ucap Alea dengan tubuh yang sudah keluar keringat dingin.
Maria kini panik. Khawatir jika tubuh Alae akan drop lagi karena mengalami trauma yang mendalam.
"Nona, tarik nafas dalam-dalam dan keluarkan dari pelan-pelan agar lebih rileks dan tenang. Pikirkan juga sesuatu yang positif," ujar Maria. Padahal siang ini sudah cukup lega karena Alea mau mengobrol lagi.
Alea melakukan apa yang diperintahkan oleh Maria. Dengan mata terpejam berusaha mengingat masa lalunya ketika bersekolah yang begitu indah. Hingga akhirnya perlahan perasaannya mulai tenang kembali.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" ujar Maria.
"Aku sudah baik-baik saja," sahut Alea dengan nafas yang masih menderu.
"Sebaiknya kita kembali ke dalam karena Nona belum makan siang." Maria baru ingat kedatangannya ke kamar Alea tadi untuk mengantarkan makan siang.
"Aku tidak ingin ke dalam, Bibi," tolak Alea sembari menggelengkan kepalanya cepat. Gadis itu cemas jika masuk ke dalam dirinya tidak akan bisa keluar lagi.
"Tapi, Nona harus makan," bujuk Maria.
"Aku tidak ingin makan. Aku ingin terus berada di luar walaupun perutku lapar," tolak Alea. Rasanya baru saja sedikit merasakan kebahagiaan tapi kini harus bilang begitu saja.
"Bagaimana kalau kita makan disana? Apakah kau mau?" Maria menunjuk bangku panjang yang terletak di bawah sebuah pohon cemara di samping rumah kaca yang hanya berjarak beberapa meter saja.
Alea menganggukan kepalanya.
"Claire, kemarilah," seru Maria pada Claire yang kebetulan sekali tengah berada tidak jauh dari tempat mereka.
Claire berlari-lari kecil agar segera cepat sampai.
"Ada apa, Bi?" ujar Claire dengan nafas yang terengah-engah.
"Tolong, bawakan makanan untuk Alea ke sini," ujar Maria.
Claire mengerutkan keningnya, merasa heran karena Alea sudah diizinkan keluar.
"Bibi, Alea kenapa diizinkan keluar?" ujarnya.
"Sudahlah, tidak usah banyak tanya. Nanti saja aku ceritakan. Sekarang bawakan makanan kemari untuk Alea," ujar Maria.
"Baiklah, aku segera kembali," ujar Claire. Meski penasaran tapi tidak mungkin menanyakannya secara terus-menerus pada Maria. Ia memilih masuk ke dalam.
"Bibi, ajak Alae keluar sesekali. Tapi ingat, jangan sampai dia kabur karena jika sampai hal itu terjadi Bibi yang akan menanggung akibatnya," ujar Darel.
"Baik, Tuan." Hati Maria merasakan kebahagiaan sekaligus ketakutan karena ancaman Darel yang tidak main-main.
Maria segera mengambil alih kursi roda yang ditempati oleh Alea. Lalu mendorongnya keluar dari kamar itu.
"Darel, kupikir itu sangat berlebihan mengurung seorang gadis lemah di kamar ini. Bahkan jika dibiarkan berkeliaran juga dia tidak akan kabur," tukas Albert sembari terkekeh geli.
"Sebenarnya kenapa dia sampai seperti itu? Jika aku lihat dia sepertinya mengalami kekerasan fisik dan mental. Ketika matanya memandang sorot matanya tampak sangat ketakutan," imbuh Albert dengan tatapan menyelidik.
"Itu salahnya karena sudah berani menyakiti calon istriku. Sudahlah aku masih banyak pekerjaan," ujar Darel kemudian melenggang pergi meninggalkan Albert.
Albert hanya menghela nafas berat. Terlalu sulit baginya untuk memberikan arahan yang benar pada keponakannya yang memang sangat keras kepala dan bertindak sesuka hati tanpa belas kasihan jika sudah membenci.
°°°°°°°°°°
Maria mengajak Alea mengelilingi villa yang luas itu sampai ke halaman. Meski tengah hari tapi cuaca saat ini sangat cocok karena mendung disertai semilir angin yang bertiup sepoi-sepoi.
Rambut Alea yang panjang kini melambai-lambai diterpa angin. Wajahnya hari ini lebih berbinar dari biasanya. Hatinya begitu gembira karena bisa menghirup udara segar kembali setelah sekian lama terjebak di dalam ruangan.
"Bibi, bisakah kita pergi ke sana?" Alea menunjuk rumah kaca yang terletak tepat di belakang villa utama.
Maria menggigit bibir bawahnya. Ada keraguan di hatinya karena Darel melarang keras siapapun mendekati rumah kaca selain penjaga kebun yang merawat. Tidak ada seorangpun yang boleh menyentuh bunga-bunga yang ditanam oleh Esme.
Rumah kaca itu adalah tempat kesukaan Esme. Itu sebagai hadiah kecil ketika pertunangan mereka.
"Bibi, ayo kita kesana. Aku ingin sekali melihat bunga-bunga itu meski dari luar," ulang Alea dengan bersemangat.
Melihat wajah cantik Alea yang kembali ceria, Maria tak kuasa untuk menolak. Mungkin tidak masalah jika mereka hanya mendekat dan tidak usah masuk.
"Tapi berjanjilah untuk tidak masuk ke sana," ujar Maria demi keamanan Alea agar tidak mendapat amukan lagi.
Beruntung Darel mau mengikuti perkataan Brian agar menghentikan kekerasan fisik yang dilakukannya hampir setiap malam. Meski begitu Alea masih mengalami trauma.
"Aku janji, Bibi. Aku hanya ingin melihatnya saja," ujar Alea.
Maria menuruti gadis malang itu untuk pergi ke rumah kaca. Lagi pula tidak ada salahnya memberikan sedikit kebahagiaan untuknya.
Tidak lama kemudian mereka sudah berada di sisi luar rumah kaca. Tepat di depan pintu masuk. Dari luar bisa terlihat tanaman beberapa jenis bunga yang sangat cantik dan tumbuh subur. Ada bunga mawar, aster, lili serta bunga Anggrek dengan berbagai jenis warna pada masing-masing bunga.
"Bibi, siapa yang menanam semua ini? Terlihat sangat cantik dan tertata begitu rapi," puji Alea dengan wajah tak henti-hentinya tersenyum.
"Nona Esme yang menanam semuanya, Nona. Rumah kaca ini adalah sebagai hadiah kecil dari pertunangan mereka beberapa bulan yang lalu," terang Maria.
"Pantas saja bunga-bunga itu sangat cantik. Ternyata yang menanamnya juga cantik," puji Alea kembali. Meski hanya sebentar saja melihat wajah Esme tapi Alea bisa melihat kecantikan wajahnya yang natural. Bahkan untuk seorang wanita ia merasa begitu iri.
"Dulu tuan Darel sangat membenci bunga tapi berkat nona Esme dia turut terbawa. Akhirnya menyukai bunga juga." Maria mendorong kembali kursi roda Alea dengan pelan untuk berkeliling mengitari rumah kaca. Meski hanya dari luar tapi mereka bisa melihat dengan jelas apa saja yang ada di dalamnya.
"Benarkah?"
"Benar, Nona. Nona Esme sangat membawa dampak perubahan besar yang jauh lebih baik ke arah positif," terang Maria. Masih teringat jelas dalam benaknya dulu villa itu tidak lebih dari tempat perkumpulan para mafia senjata.
"Pantas saja Darel sangat membenciku. Dia masih mengira jika akulah yang mencoba membunuh Esme," ucap Alea dengan getir. Tidak tahu sampai kapan dirinya akan pergi dari rumah itu. Karena untuk berjalan saja sulit.
"Namun sekarang sepertinya tuan sudah sedikit berubah. Dia sudah tidak melakukan kekerasan fisik lagi," ujar Maria.
"Benar, tapi itu semua karena Dokter Brian yang mengancam. Jika tidak, mungkin nasibku masih sama seperti sebulan yang lalu." Membayangkan rasa sakit di tubuhnya membuat tubuh Alea merinding. Hingga ia memeluk tubuhnya sendiri dengan tangan yang menyilang di dada.
"Nona tidak apa-apa?" Maria khawatir Alea akan mengalami rasa takut seperti seminggu belakangan.
"Tidak, Bibi. Aku baik-baik saja. Jika mengingat apa yang dilakukan Darel setiap malam. Tubuhku masih merasa nyeri, Bi," ucap Alea dengan tubuh yang sudah keluar keringat dingin.
Maria kini panik. Khawatir jika tubuh Alae akan drop lagi karena mengalami trauma yang mendalam.
"Nona, tarik nafas dalam-dalam dan keluarkan dari pelan-pelan agar lebih rileks dan tenang. Pikirkan juga sesuatu yang positif," ujar Maria. Padahal siang ini sudah cukup lega karena Alea mau mengobrol lagi.
Alea melakukan apa yang diperintahkan oleh Maria. Dengan mata terpejam berusaha mengingat masa lalunya ketika bersekolah yang begitu indah. Hingga akhirnya perlahan perasaannya mulai tenang kembali.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" ujar Maria.
"Aku sudah baik-baik saja," sahut Alea dengan nafas yang masih menderu.
"Sebaiknya kita kembali ke dalam karena Nona belum makan siang." Maria baru ingat kedatangannya ke kamar Alea tadi untuk mengantarkan makan siang.
"Aku tidak ingin ke dalam, Bibi," tolak Alea sembari menggelengkan kepalanya cepat. Gadis itu cemas jika masuk ke dalam dirinya tidak akan bisa keluar lagi.
"Tapi, Nona harus makan," bujuk Maria.
"Aku tidak ingin makan. Aku ingin terus berada di luar walaupun perutku lapar," tolak Alea. Rasanya baru saja sedikit merasakan kebahagiaan tapi kini harus bilang begitu saja.
"Bagaimana kalau kita makan disana? Apakah kau mau?" Maria menunjuk bangku panjang yang terletak di bawah sebuah pohon cemara di samping rumah kaca yang hanya berjarak beberapa meter saja.
Alea menganggukan kepalanya.
"Claire, kemarilah," seru Maria pada Claire yang kebetulan sekali tengah berada tidak jauh dari tempat mereka.
Claire berlari-lari kecil agar segera cepat sampai.
"Ada apa, Bi?" ujar Claire dengan nafas yang terengah-engah.
"Tolong, bawakan makanan untuk Alea ke sini," ujar Maria.
Claire mengerutkan keningnya, merasa heran karena Alea sudah diizinkan keluar.
"Bibi, Alea kenapa diizinkan keluar?" ujarnya.
"Sudahlah, tidak usah banyak tanya. Nanti saja aku ceritakan. Sekarang bawakan makanan kemari untuk Alea," ujar Maria.
"Baiklah, aku segera kembali," ujar Claire. Meski penasaran tapi tidak mungkin menanyakannya secara terus-menerus pada Maria. Ia memilih masuk ke dalam.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved