Bab 9 Hukuman
by Nayya_Phrustazie
13:47,Jan 03,2021
Darel segera menghentikan permainan tangannya di tubuh Alea yang sudah hendak mencapai puncak.
"Dasar wanita murahan! Baru seperti itu saja tubuhmu sudah merespon dengan sangat baik," cibir Darel dengan pandangan jijik ke arah Alea.
Alea semakin terisak-isak merasakan ulu hatinya yang terasa perih seperti ada pisau tumpul yang terus menghujamnya. Kata-kata pria itu lebih sakit dari pada cambukkan yang dirasakan oleh Alea kemarin.
"Tidak usah menangis seperti itu. Kau kira aku tidak tahu dengan aktingmu. Apakah kau menginginkan yang lebih lagi?" ucap Darel seraya mencekal dagu Alea dengan kuat. Menatap Alea dengan tatapan yang sangat menusuk.
Alea segera menggelengkan kepalanya dengan kuat. Dia tidak ingin pria itu melakukan sesuatu yang lebih jauh lagi.
Darel melepaskan dagu Alea jenis kembali berdiri. Membuat Alea merasa lega, mengira pria itu akan segera keluar dari kamarnya.
"Untuk mengakhirinya aku akan memberikan hadiah untukmu karena hari ini sudah berakting dengan sangat baik," lanjut Darel dengan kata-kata yang begitu lembut sembari melepaskan ikat pinggangnya. Persis seperti seseorang yang memiliki kepribadian ganda.
"Jangan, Tuan. Aku mohon jangan lakukan itu." Alea semakin terbelalak lebar ketika melihat Darel hendak menghujam tubuhnya kembali seperti kemarin.
Namun Darel sama sekali tidak peduli. Hatinya belum puas jika belum memukul tubuh Alea dengan tangannya. Hanya dengan cara itu bisa melupakan rasa kesedihannya mengingat Esme yang terkulai lemah di rumah sakit. Tanpa tahu kapan ia akan terbangun.
"Arghhh!" pekik Alea dengan suara keras ketika ikat pinggang Darel mendarat di tubuhnya bagian depan. Seketika tubuhnya langsung memerah.
Erick yang memang sengaja berada di depan pintu langsung masuk. Ketika teriakan Alea terdengar keras seperti kesakitan.
"Tuan, tolong hentikan." Erick mencoba menghentikan Darel ketika hendak mencambuk Alea kembali.
"Ughhh, kau selalu saja mengganggu kesenanganku," ujar Darel dengan perasaan kesal.
"Ini sudah malam, Tuan. Sebaiknya anda istirahat. Bukankah besok pagi anda ingin menemui nona Esme?" ujar Erick untuk mengalihkan pembicaraan.
Darel menurunkan tangannya lalu berbalik pergi meninggalkan kamar itu.
Melihat bagian atas yang hanya tinggal pakaian dalam, Erick meraih selimut yang berada di ujung ranjang dengan posisi membelakangi Alea. Ia merasa berdosa jika sampai mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Erick membentangkannya lalu dengan mata yang terpejam menghadap ke Alea lalu menutup tubuhnya dengan selimut.
Alea tertunduk dan tangis yang tersedu-sedu. Begitu hari karena ada Erick yang selalu datang di saat yang tepat. Jika tidak mungkin nasibnya akan seperti kemarin malam.
Erick juga melepaskan ikatan dasi pada tangan Alea yang ternyata sangat kencang. Ia bahkan bisa melihat pergelangan tangan Alea yang memerah.
"Nona, maafkan tuan. Dia tadi habis minum sedikit," ujar Erick seraya duduk di samping Alea. Pandangannya sangat iba melihat gaun yang dirobek oleh Darel sebatas pinggang.
Alea merapatkan selimut pada tubuhnya dengan tangan yang gemetar. Masih syok dengan apa yang baru saja terjadi. Rasanya saat ini ingin mati saja menyusul kedua orang tuanya.
"Sampai kapan aku harus seperti ini?" ujar Alea dengan pilu.
"Sabarlah, Nona. Semoga saja nona Esme segera sembuh." Erick mengusap pundak Alea dengan pelan. Hanya inilah yang bisa dilakukan karena dia tidak memiliki kewenangan.
"Aku ingin mati saja," ujar Alea dengan pikiran yang sangat pusing.
"Nona, aku mohon jangan berkata seperti itu," ujar Erick. Hatinya tidak tega melihat wajah Alea yang tampak putus asa.
"Aku sudah tidak tahan lagi. Dari pada aku hidup disiksa lebih baik jika mati sekalian," ujar Alea di sela isak tangisnya.
Erick hanya bisa menghela nafas berat. Tak ada lagi kata-kata yang bisa diucapkannya untuk menenangkan kembali Alea.
"Nona, aku ingin tahu sebenarnya kenapa kakimu?" ujar Erick. Meski sudah bisa menebaknya tapi pria itu ingin memastikan saja.
Alea memandang pergelangan kakinya yang masih mengenakan perban.
"Beberapa bulan yang lalu aku mengalami kecelakaan bersama kedua orang tuaku," ujar Alea sembari terisak-isak. Mengingat malam dimana kecelakaan itu terjadi membuatnya trauma. Ia pun menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Erick semakin merasa pilu mendengar cerita Alea yang ternyata begitu tragis. Pria itu lalu duduk di depan Alea tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah kehilangan kedua orang tuanya justru kini Alea harus terjebak di sini.
"Nona, anda pasti kuat menjalani cobaan ini," ujar Erick.
"Besok aku akan berbicara pada tuan agar melakukan operi kembali untuk menyembuhkan kaki Nona," lanjut Erick.
Alea menengadahkan wajahnya yang berlinang air mata dengan tatapan nanar ke arah Erick.
"Tidak perlu. Mungkin memang pantas diriku menanggung semua ini. Aku hanyalah anak pembawa sial di keluargaku hingga menyebabkan kedua orang tuaku tiada," ujar Alea. Itulah yang selalu diucapkan oleh kakaknya sendiri dan keluarga yang lainnya. Termasuk kedua orang tuanya pernah mengatakan hal itu. Namun bukan berarti Alea membenci orang tuanya. Ia tetap menyayangi mereka karena sudah membesarkannya.
Kedua orang tua Alea memang memperlakukannya sangat berbeda dengan kakaknya. Alea hanya disekolahkan hingga SMA karena mereka berpikir tidak ada gunanya Alea sekolah tinggi-tinggi. Berbeda dengan kakaknya yang disekolahkan hingga kuliah. Selalu di tempat yang mahal dan favorit.
"Maaf jika membuat Nona sedih. Aku akan memanggil bibi Maria agar menyiapkan pakaian ganti untuk Nona," ujar Erick lalu melangkah pergi meninggalkan Alea. Dirinya tidak sanggup melihat Alea yang terus menangis. Alea beruntung masih bisa melihat orang tuanya. Sedangkan dirinya sama sekali tidak pernah mendapatkan kasih sayang sama sekali orang tua kandungnya karena dia ditinggalkan di pinggir jalan ketika bayi. Hingga seorang ibu panti menemukannya.
Tidak lama kemudian Maria masuk ke dalam kamar. Hatinya sungguh tidak tega karena harus melihat hal seperti ini lagi. Ia datang sembari membawa pakaian ganti untuk Alea.
"Nona, sebaiknya anda mengganti pakaian," ujar Maria.
"Maaf, sejak tadi bibi ingin masuk tapi tidak berani karena tuan melarang siapapun untuk masuk," imbuh Maria dengan wajah sendu.
"Tidak apa-apa, Bibi," sahut Alea.
Maria kemudian mengobati luka memar di tubuh Alea kembali. Untunglah hanya sedikit saja. Tidak seperti kemarin yang hampir di sekujur tubuh.
"Bibi, aku lapar," ujar Alea yang merasakan perutnya keroncongan. Sejak pagi tadi Alea memang tidak mau menyentuh makanan yang dibawakan oleh pelayan.
"Nanti bibi akan membawakan. Ganti dulu pakaian anda," ujar Maria sembari membantu mengenakan pakaian Alea.
Alea awalnya tidak mau membuka selimut yang menutupi tubuhnya karena merasa malu. Namun Maria meyakinkannya dengan mengatakan tidak apa-apa. Lagi pula mereka sama-sama wanita.
Alea makan dengan sangat lahap setelah pelayan membawakan makanan untuknya. Sepertinya seseorang yang belum makan selama dua hari.
"Sekarang Nona istirahat karena sudah larut malam," ujar Maria.
"Dasar wanita murahan! Baru seperti itu saja tubuhmu sudah merespon dengan sangat baik," cibir Darel dengan pandangan jijik ke arah Alea.
Alea semakin terisak-isak merasakan ulu hatinya yang terasa perih seperti ada pisau tumpul yang terus menghujamnya. Kata-kata pria itu lebih sakit dari pada cambukkan yang dirasakan oleh Alea kemarin.
"Tidak usah menangis seperti itu. Kau kira aku tidak tahu dengan aktingmu. Apakah kau menginginkan yang lebih lagi?" ucap Darel seraya mencekal dagu Alea dengan kuat. Menatap Alea dengan tatapan yang sangat menusuk.
Alea segera menggelengkan kepalanya dengan kuat. Dia tidak ingin pria itu melakukan sesuatu yang lebih jauh lagi.
Darel melepaskan dagu Alea jenis kembali berdiri. Membuat Alea merasa lega, mengira pria itu akan segera keluar dari kamarnya.
"Untuk mengakhirinya aku akan memberikan hadiah untukmu karena hari ini sudah berakting dengan sangat baik," lanjut Darel dengan kata-kata yang begitu lembut sembari melepaskan ikat pinggangnya. Persis seperti seseorang yang memiliki kepribadian ganda.
"Jangan, Tuan. Aku mohon jangan lakukan itu." Alea semakin terbelalak lebar ketika melihat Darel hendak menghujam tubuhnya kembali seperti kemarin.
Namun Darel sama sekali tidak peduli. Hatinya belum puas jika belum memukul tubuh Alea dengan tangannya. Hanya dengan cara itu bisa melupakan rasa kesedihannya mengingat Esme yang terkulai lemah di rumah sakit. Tanpa tahu kapan ia akan terbangun.
"Arghhh!" pekik Alea dengan suara keras ketika ikat pinggang Darel mendarat di tubuhnya bagian depan. Seketika tubuhnya langsung memerah.
Erick yang memang sengaja berada di depan pintu langsung masuk. Ketika teriakan Alea terdengar keras seperti kesakitan.
"Tuan, tolong hentikan." Erick mencoba menghentikan Darel ketika hendak mencambuk Alea kembali.
"Ughhh, kau selalu saja mengganggu kesenanganku," ujar Darel dengan perasaan kesal.
"Ini sudah malam, Tuan. Sebaiknya anda istirahat. Bukankah besok pagi anda ingin menemui nona Esme?" ujar Erick untuk mengalihkan pembicaraan.
Darel menurunkan tangannya lalu berbalik pergi meninggalkan kamar itu.
Melihat bagian atas yang hanya tinggal pakaian dalam, Erick meraih selimut yang berada di ujung ranjang dengan posisi membelakangi Alea. Ia merasa berdosa jika sampai mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Erick membentangkannya lalu dengan mata yang terpejam menghadap ke Alea lalu menutup tubuhnya dengan selimut.
Alea tertunduk dan tangis yang tersedu-sedu. Begitu hari karena ada Erick yang selalu datang di saat yang tepat. Jika tidak mungkin nasibnya akan seperti kemarin malam.
Erick juga melepaskan ikatan dasi pada tangan Alea yang ternyata sangat kencang. Ia bahkan bisa melihat pergelangan tangan Alea yang memerah.
"Nona, maafkan tuan. Dia tadi habis minum sedikit," ujar Erick seraya duduk di samping Alea. Pandangannya sangat iba melihat gaun yang dirobek oleh Darel sebatas pinggang.
Alea merapatkan selimut pada tubuhnya dengan tangan yang gemetar. Masih syok dengan apa yang baru saja terjadi. Rasanya saat ini ingin mati saja menyusul kedua orang tuanya.
"Sampai kapan aku harus seperti ini?" ujar Alea dengan pilu.
"Sabarlah, Nona. Semoga saja nona Esme segera sembuh." Erick mengusap pundak Alea dengan pelan. Hanya inilah yang bisa dilakukan karena dia tidak memiliki kewenangan.
"Aku ingin mati saja," ujar Alea dengan pikiran yang sangat pusing.
"Nona, aku mohon jangan berkata seperti itu," ujar Erick. Hatinya tidak tega melihat wajah Alea yang tampak putus asa.
"Aku sudah tidak tahan lagi. Dari pada aku hidup disiksa lebih baik jika mati sekalian," ujar Alea di sela isak tangisnya.
Erick hanya bisa menghela nafas berat. Tak ada lagi kata-kata yang bisa diucapkannya untuk menenangkan kembali Alea.
"Nona, aku ingin tahu sebenarnya kenapa kakimu?" ujar Erick. Meski sudah bisa menebaknya tapi pria itu ingin memastikan saja.
Alea memandang pergelangan kakinya yang masih mengenakan perban.
"Beberapa bulan yang lalu aku mengalami kecelakaan bersama kedua orang tuaku," ujar Alea sembari terisak-isak. Mengingat malam dimana kecelakaan itu terjadi membuatnya trauma. Ia pun menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Erick semakin merasa pilu mendengar cerita Alea yang ternyata begitu tragis. Pria itu lalu duduk di depan Alea tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah kehilangan kedua orang tuanya justru kini Alea harus terjebak di sini.
"Nona, anda pasti kuat menjalani cobaan ini," ujar Erick.
"Besok aku akan berbicara pada tuan agar melakukan operi kembali untuk menyembuhkan kaki Nona," lanjut Erick.
Alea menengadahkan wajahnya yang berlinang air mata dengan tatapan nanar ke arah Erick.
"Tidak perlu. Mungkin memang pantas diriku menanggung semua ini. Aku hanyalah anak pembawa sial di keluargaku hingga menyebabkan kedua orang tuaku tiada," ujar Alea. Itulah yang selalu diucapkan oleh kakaknya sendiri dan keluarga yang lainnya. Termasuk kedua orang tuanya pernah mengatakan hal itu. Namun bukan berarti Alea membenci orang tuanya. Ia tetap menyayangi mereka karena sudah membesarkannya.
Kedua orang tua Alea memang memperlakukannya sangat berbeda dengan kakaknya. Alea hanya disekolahkan hingga SMA karena mereka berpikir tidak ada gunanya Alea sekolah tinggi-tinggi. Berbeda dengan kakaknya yang disekolahkan hingga kuliah. Selalu di tempat yang mahal dan favorit.
"Maaf jika membuat Nona sedih. Aku akan memanggil bibi Maria agar menyiapkan pakaian ganti untuk Nona," ujar Erick lalu melangkah pergi meninggalkan Alea. Dirinya tidak sanggup melihat Alea yang terus menangis. Alea beruntung masih bisa melihat orang tuanya. Sedangkan dirinya sama sekali tidak pernah mendapatkan kasih sayang sama sekali orang tua kandungnya karena dia ditinggalkan di pinggir jalan ketika bayi. Hingga seorang ibu panti menemukannya.
Tidak lama kemudian Maria masuk ke dalam kamar. Hatinya sungguh tidak tega karena harus melihat hal seperti ini lagi. Ia datang sembari membawa pakaian ganti untuk Alea.
"Nona, sebaiknya anda mengganti pakaian," ujar Maria.
"Maaf, sejak tadi bibi ingin masuk tapi tidak berani karena tuan melarang siapapun untuk masuk," imbuh Maria dengan wajah sendu.
"Tidak apa-apa, Bibi," sahut Alea.
Maria kemudian mengobati luka memar di tubuh Alea kembali. Untunglah hanya sedikit saja. Tidak seperti kemarin yang hampir di sekujur tubuh.
"Bibi, aku lapar," ujar Alea yang merasakan perutnya keroncongan. Sejak pagi tadi Alea memang tidak mau menyentuh makanan yang dibawakan oleh pelayan.
"Nanti bibi akan membawakan. Ganti dulu pakaian anda," ujar Maria sembari membantu mengenakan pakaian Alea.
Alea awalnya tidak mau membuka selimut yang menutupi tubuhnya karena merasa malu. Namun Maria meyakinkannya dengan mengatakan tidak apa-apa. Lagi pula mereka sama-sama wanita.
Alea makan dengan sangat lahap setelah pelayan membawakan makanan untuknya. Sepertinya seseorang yang belum makan selama dua hari.
"Sekarang Nona istirahat karena sudah larut malam," ujar Maria.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved