Bab 13 Tidak bisa melawan takdir
by Nayya_Phrustazie
13:53,Jan 03,2021
Rumah sakit Beaujon, Paris
Darel duduk tepat di samping ranjang rumah sakit. Memandang sendu gadis yang sangat dicintainya. Jika boleh meminta lebih baik kehilangan semua kekayaannya dari pada harus melihat Esme terbaring tak berdaya.
"Esme, bukalah matamu. Jangan terlalu lama seperti ini. Kau bilang ingin pergi keliling dunia bersamaku. Jika kau membuka mata aku berjanji kita akan langsung berangkat." Darel mengulurkan tangannya lalu mengusap pipi Esme dengan begitu lembut.
"Aku rindu tawa dan candamu meski terkadang membuatku sangat kesal." Darel menundukkan kepalanya. Teringat kembali beberapa tahun yang lalu ketika harus kehilangan kedua orang tuanya. Dengan mata kepalanya sendiri harus menyaksikan penikaman itu. Saat itu dirinya masih berumur 15 tahun masih terlalu lemah untuk melawan.
"Kenapa kehidupanku harus seperti ini? Kenapa aku harus kehilangan orang-orang yang aku kasihi? Apakah aku ini hanya seorang yang pembawa sial untuk mereka?" ucap Darel dengan rasa yang sangat bersalah di hatinya.
Darel kembali memandang wajah Esme. Bibirnya yang tadinya berwarna pink kini terlihat sangat pucat. Rambutnya juga terlihat kusut.
"Esme, bangunlah. Jika kau seperti ini terus aku tidak akan sanggup bertahan," ucap Darel pilu.
Brian menepuk pundak Darel hingga pria itu terlonjak kaget.
"Tidak bisakah kau masuk permisi terlebih dahulu? Kau hampir membuatku jantungan," gerutu Darel dengan wajah yang menggelap ketika menolehkan kepalanya ke belakang melihat Brian berdiri di sana.
"ku sudah mengetuk pintu tapi kau sepertinya tidak mendengarkannya sehingga tidak usah menyalahkanku," kilah Brian.
"Apakah tidak ada lagi peralatan yang canggih untuk membuat Esme terbangun. Aku ingin dia segera sembuh," ujar Darel.
"Ini sudah paling mahal dan bagus. Kau pikir dokter itu Tuhan. Meskipun bisa menyembuhkan tapi tidak akan bisa melawan takdir," ucap Brian seraya berdecak kesal.
Darel terdiam mendengar kata-kata Brian. Memang benar jika mereka tidak bisa berbuat apapun untuk melawan takdir.
Brian mulai memeriksa keadaan Esme. Kondisinya masih sama seperti biasanya.
"Aku ingin membawa Alea ke rumah sakit. Seharusnya kau tidak keberatan untuk hal itu," ujar Brian setelah melihat perkembangan Esme.
"Apa maksudmu? Untuk apa kau melakukannya? Biarkan saja dia bernasib sama seperti Esme agar bisa merasakan bagaimana rasanya tidak bisa terbangun." Nada Darel langsung meninggi ketika mendengar niat Brian.
"Jaga nada suaramu. Jangan membuat keributan di rumah sakit," ujar Brian.
"Aku tidak setuju dengan niatmu itu!" tolak Darel dengan tegas.
Brian mendesah panjang, ingin sekali memukul kepala Darel agar menjadi lunak.
"Kau tidak perlu khawatir dengan biayanya. Aku yang akan membayar semua perawatannya dengan gajiku," tukas Brian.
"Ini tidak ada hubungannya dengan uang. Aku tidak akan membiarkannya pergi dari rumahku. Biarkan saja tetap disana sampai membusuk," ucap Darel seraya memicingkan matanya memandang Brian. Karena sampai kapanpun tidak akan menyetujui permintaan Brian.
"Dasar keras kepala!" cibir Brian dengan kesal karena percuma saja berbicara dengan manusia seperti Darel.
=============================
Villa La Tulipe,
Matahari sudah mulai tenggelam. Maria masih menunggu Alea yang belum sadarkan diri. Ia begitu cemas takut terjadi sesuatu yang buruk.
"Ibu, Ayah, jangan tinggalkan aku. Aku ingin bersama kalian." Alea mulai mengigau dengan keringat di dahinya yang bercucuran.
Maria yang sedang duduk di kursi menghadap ke arah jendela, seketika langsung berdiri. Lalu bergegas duduk di sisi Alea.
"Ibu, jangan pergi. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini."
Alea terus saja memanggil-manggil kedua orang tuanya.
"Nona, sadarlah." Maria mengguncang tubuh Alea karena cemas gadis itu kenapa-kenapa. Ia juga menepuk pipi Alea dengan lembut tapi tidak juga tersadar.
"Ibu!" teriak Alea yang langsung membuka matanya. Ia terduduk dengan nafas yang memburu dan jantung yang berdebar sangat cepat.
"Nona, akhirnya kau bangun." Maria tersenyum senang karena Alea akhirnya membuka matanya.
Alea memandang sekeliling kamar dengan tatapan kosong. Sepertinya sedang mencari sesuatu. Sorot matanya juga sangat berbeda. Tidak seperti biasanya. Hingga pandangannya berakhir pada jarum infus yang menusuk tangannya.
Dengan kasar, ia mencabut jarum itu hingga terlepas dari tangannya.
"Nona apa yang kau lakukan?" ujar Maria yang terkejut dengan apa yang Alea lakukan.
"Lepaskan! Aku tidak butuh semua ini. Aku ingin pergi saja dari dunia ini. Tak ada gunanya lagi aku hidup," ujar Alea sembari menusukkan jarum infus ke tangannya.
Tanpa sengaja pandangannya fokus pada pisau yang terletak di atas meja. Dengan gerakan cepat lalu meraihnya. Lalu menusukkan pisau itu ke tangannya sendiri hingga berdarah. Bahkan nyaris memotong urat nadinya.
"Nona, hentikan. Jangan melukai diri anda sendiri seperti ini," bujuk Maria. Hendak mendekatinya tapi takut.
"Tidak usah pedulikan aku di sini." Alea yang biasanya terlihat lemah kini sangat berbeda dari biasanya. Sorot matanya begitu tajam.
"Ada apa ini ribut-ribut?" ujar Darel yang berdiri di depan pintu. Ia baru saja pulang dari rumah sakit untuk menghabiskan waktu bersama Esme.
"Tuan, rebut pisau itu dari tangan Alea," ujar Maria.
Darel membelalakkan mata ketika melihat tangan Alea yang sudah berlumuran darah. Dengan langkah cepat segera menghampiri Alea.
"Jangan mendekat! Pergi kau dari sini!" Gadis yang biasanya lemah kini menudingkan pisau tajam itu ke arah Darel dengan sorot mata berapi-api.
"Buang pisau itu sekarang juga. Pisau itu sangat berbahaya," tukas Darel.
"Tidak usah pedulikan aku. Biarkan aku pergi dari dunia ini karena tidak ada seorangpun yang aku miliki," ucap Alea dengan nada tinggi.
"Oke, aku mohon tenanglah. Buang pisau itu ke lantai," bujuk Darel sembari melangkahkan kakinya ke belakang Alea.
Alea tidak memperdulikan Darel hingga ia pun mengangkat tangannya. Bersiap untuk untuk menusuk perutnya sendiri.
"Nona aku mohon jangan lakukan itu," ujar Maria dengn bercucuran air mata.
Melihat Maria yang menangis tiba-tiba saja Alae tersadar dengan apa yang telah dilakukan olehnya. Namun sama sekali tidak berniat untuk menghentikannya.
"Bibi, selamat tinggal," ucap Alea.
"Tidak!" teriak Maria.
Dengan gerakan cepat dan menunggu lengah, akhirnya Darel berhasil mencekal pergelangan tangan Alea dari belakang. Kemudian merebut pisau itu dan melemparkannya ke lantai.
"Apa yang kau lakukan?" Alae merota mencoba untuk terlepas agar bisa mengambil pisau itu kembali.
"Tenanglah, apa yang sebenarnya kau lakukan? Apakah kau tidak sadar jika itu hampir melukai tubuhmu sendiri?" bentak Darel dengan suara meninggi.
"Biarkan saja aku mati. Di dunia ini tidak ada siapapun yang aku miliki lagi." Alea berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Darel. Hendak meraih pisau itu kembali.
"Bibi, cepat bawa pisau itu keluar dan hubungi Brian agar datang kemari," ujar Darel pada Maria.
Maria segera mengambil pisau itu kemudian bergegas keluar.
"Bibi, jangan bawa pergi pisaunya. Percuma saja aku hidup jika aku terus tersiksa seperti ini," ujar Alea dengan isak tangis yang histeris.
Darel duduk tepat di samping ranjang rumah sakit. Memandang sendu gadis yang sangat dicintainya. Jika boleh meminta lebih baik kehilangan semua kekayaannya dari pada harus melihat Esme terbaring tak berdaya.
"Esme, bukalah matamu. Jangan terlalu lama seperti ini. Kau bilang ingin pergi keliling dunia bersamaku. Jika kau membuka mata aku berjanji kita akan langsung berangkat." Darel mengulurkan tangannya lalu mengusap pipi Esme dengan begitu lembut.
"Aku rindu tawa dan candamu meski terkadang membuatku sangat kesal." Darel menundukkan kepalanya. Teringat kembali beberapa tahun yang lalu ketika harus kehilangan kedua orang tuanya. Dengan mata kepalanya sendiri harus menyaksikan penikaman itu. Saat itu dirinya masih berumur 15 tahun masih terlalu lemah untuk melawan.
"Kenapa kehidupanku harus seperti ini? Kenapa aku harus kehilangan orang-orang yang aku kasihi? Apakah aku ini hanya seorang yang pembawa sial untuk mereka?" ucap Darel dengan rasa yang sangat bersalah di hatinya.
Darel kembali memandang wajah Esme. Bibirnya yang tadinya berwarna pink kini terlihat sangat pucat. Rambutnya juga terlihat kusut.
"Esme, bangunlah. Jika kau seperti ini terus aku tidak akan sanggup bertahan," ucap Darel pilu.
Brian menepuk pundak Darel hingga pria itu terlonjak kaget.
"Tidak bisakah kau masuk permisi terlebih dahulu? Kau hampir membuatku jantungan," gerutu Darel dengan wajah yang menggelap ketika menolehkan kepalanya ke belakang melihat Brian berdiri di sana.
"ku sudah mengetuk pintu tapi kau sepertinya tidak mendengarkannya sehingga tidak usah menyalahkanku," kilah Brian.
"Apakah tidak ada lagi peralatan yang canggih untuk membuat Esme terbangun. Aku ingin dia segera sembuh," ujar Darel.
"Ini sudah paling mahal dan bagus. Kau pikir dokter itu Tuhan. Meskipun bisa menyembuhkan tapi tidak akan bisa melawan takdir," ucap Brian seraya berdecak kesal.
Darel terdiam mendengar kata-kata Brian. Memang benar jika mereka tidak bisa berbuat apapun untuk melawan takdir.
Brian mulai memeriksa keadaan Esme. Kondisinya masih sama seperti biasanya.
"Aku ingin membawa Alea ke rumah sakit. Seharusnya kau tidak keberatan untuk hal itu," ujar Brian setelah melihat perkembangan Esme.
"Apa maksudmu? Untuk apa kau melakukannya? Biarkan saja dia bernasib sama seperti Esme agar bisa merasakan bagaimana rasanya tidak bisa terbangun." Nada Darel langsung meninggi ketika mendengar niat Brian.
"Jaga nada suaramu. Jangan membuat keributan di rumah sakit," ujar Brian.
"Aku tidak setuju dengan niatmu itu!" tolak Darel dengan tegas.
Brian mendesah panjang, ingin sekali memukul kepala Darel agar menjadi lunak.
"Kau tidak perlu khawatir dengan biayanya. Aku yang akan membayar semua perawatannya dengan gajiku," tukas Brian.
"Ini tidak ada hubungannya dengan uang. Aku tidak akan membiarkannya pergi dari rumahku. Biarkan saja tetap disana sampai membusuk," ucap Darel seraya memicingkan matanya memandang Brian. Karena sampai kapanpun tidak akan menyetujui permintaan Brian.
"Dasar keras kepala!" cibir Brian dengan kesal karena percuma saja berbicara dengan manusia seperti Darel.
=============================
Villa La Tulipe,
Matahari sudah mulai tenggelam. Maria masih menunggu Alea yang belum sadarkan diri. Ia begitu cemas takut terjadi sesuatu yang buruk.
"Ibu, Ayah, jangan tinggalkan aku. Aku ingin bersama kalian." Alea mulai mengigau dengan keringat di dahinya yang bercucuran.
Maria yang sedang duduk di kursi menghadap ke arah jendela, seketika langsung berdiri. Lalu bergegas duduk di sisi Alea.
"Ibu, jangan pergi. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini."
Alea terus saja memanggil-manggil kedua orang tuanya.
"Nona, sadarlah." Maria mengguncang tubuh Alea karena cemas gadis itu kenapa-kenapa. Ia juga menepuk pipi Alea dengan lembut tapi tidak juga tersadar.
"Ibu!" teriak Alea yang langsung membuka matanya. Ia terduduk dengan nafas yang memburu dan jantung yang berdebar sangat cepat.
"Nona, akhirnya kau bangun." Maria tersenyum senang karena Alea akhirnya membuka matanya.
Alea memandang sekeliling kamar dengan tatapan kosong. Sepertinya sedang mencari sesuatu. Sorot matanya juga sangat berbeda. Tidak seperti biasanya. Hingga pandangannya berakhir pada jarum infus yang menusuk tangannya.
Dengan kasar, ia mencabut jarum itu hingga terlepas dari tangannya.
"Nona apa yang kau lakukan?" ujar Maria yang terkejut dengan apa yang Alea lakukan.
"Lepaskan! Aku tidak butuh semua ini. Aku ingin pergi saja dari dunia ini. Tak ada gunanya lagi aku hidup," ujar Alea sembari menusukkan jarum infus ke tangannya.
Tanpa sengaja pandangannya fokus pada pisau yang terletak di atas meja. Dengan gerakan cepat lalu meraihnya. Lalu menusukkan pisau itu ke tangannya sendiri hingga berdarah. Bahkan nyaris memotong urat nadinya.
"Nona, hentikan. Jangan melukai diri anda sendiri seperti ini," bujuk Maria. Hendak mendekatinya tapi takut.
"Tidak usah pedulikan aku di sini." Alea yang biasanya terlihat lemah kini sangat berbeda dari biasanya. Sorot matanya begitu tajam.
"Ada apa ini ribut-ribut?" ujar Darel yang berdiri di depan pintu. Ia baru saja pulang dari rumah sakit untuk menghabiskan waktu bersama Esme.
"Tuan, rebut pisau itu dari tangan Alea," ujar Maria.
Darel membelalakkan mata ketika melihat tangan Alea yang sudah berlumuran darah. Dengan langkah cepat segera menghampiri Alea.
"Jangan mendekat! Pergi kau dari sini!" Gadis yang biasanya lemah kini menudingkan pisau tajam itu ke arah Darel dengan sorot mata berapi-api.
"Buang pisau itu sekarang juga. Pisau itu sangat berbahaya," tukas Darel.
"Tidak usah pedulikan aku. Biarkan aku pergi dari dunia ini karena tidak ada seorangpun yang aku miliki," ucap Alea dengan nada tinggi.
"Oke, aku mohon tenanglah. Buang pisau itu ke lantai," bujuk Darel sembari melangkahkan kakinya ke belakang Alea.
Alea tidak memperdulikan Darel hingga ia pun mengangkat tangannya. Bersiap untuk untuk menusuk perutnya sendiri.
"Nona aku mohon jangan lakukan itu," ujar Maria dengn bercucuran air mata.
Melihat Maria yang menangis tiba-tiba saja Alae tersadar dengan apa yang telah dilakukan olehnya. Namun sama sekali tidak berniat untuk menghentikannya.
"Bibi, selamat tinggal," ucap Alea.
"Tidak!" teriak Maria.
Dengan gerakan cepat dan menunggu lengah, akhirnya Darel berhasil mencekal pergelangan tangan Alea dari belakang. Kemudian merebut pisau itu dan melemparkannya ke lantai.
"Apa yang kau lakukan?" Alae merota mencoba untuk terlepas agar bisa mengambil pisau itu kembali.
"Tenanglah, apa yang sebenarnya kau lakukan? Apakah kau tidak sadar jika itu hampir melukai tubuhmu sendiri?" bentak Darel dengan suara meninggi.
"Biarkan saja aku mati. Di dunia ini tidak ada siapapun yang aku miliki lagi." Alea berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Darel. Hendak meraih pisau itu kembali.
"Bibi, cepat bawa pisau itu keluar dan hubungi Brian agar datang kemari," ujar Darel pada Maria.
Maria segera mengambil pisau itu kemudian bergegas keluar.
"Bibi, jangan bawa pergi pisaunya. Percuma saja aku hidup jika aku terus tersiksa seperti ini," ujar Alea dengan isak tangis yang histeris.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved