Bab 5 Pengantin pengganti

by Nayya_Phrustazie 13:43,Jan 03,2021
Ceklek …

Setelah kepergian Erick dari kamar itu, tidak lama kemudian pintu kembali terbuka.

Alea yang masih merasakan sakit di punggungnya begitu trauma sehingga langsung beringsut mundur ke tengah ranjang. Gadis itu takut Darel yang datang kemudian akan mencambuknya lagi. Saat Alea mendongakkan wajahnya ternyata ada seorang wanita paruh baya yang masuk.

"Untuk apa kau kemari?" ujar Alea yang memeluk kedua lututnya.

"Tenanglah, aku hanya ingin mengobati luka anda," ujar wanita paruh baya itu dengan ramah. Dia adalah salah satu pelayan di rumah itu yang bernama Maria. Wanita yang sudah bekerja lama di keluarga Alexander.

Alea masih memandang wanita paruh baya itu dengan sorot mata yang takut. Alea benar-benar takut mengingat kejadian yang dialaminya barusan. Ia hanya seorang gadis pengantar bunga namun harus terjebak di dalam rumah yang dihuni oleh pria sangat kejam.

Alea sungguh meratapi nasibnya yang begitu pilu. Jika bisa memilih sebaiknya ia mati saja bersama dengan kedua orang tuanya.

wanita paruh baya itu mendekati Alea dan duduk di sisi ranjang. Ia merasa sangat kasihan melihat Alea yang tampak berantakan.

"Sebaiknya kau pergi dari sini!" usir Alea sembari meremas seprai yang berwarna putih.

"Tenanglah, aku tidak akan menyakiti Nona." Maria tersenyum hangat untuk menyakinkan Alea jika kedatangannya kesana tidak bermaksud buruk.

Alea semakin mengeratkan pelukannya pada kedua kakinya.

Maria melihat pergelangan kaki Alea yang masih diperban.
"Kaki anda kenapa Nona?"

"Tidak apa-apa," sahut Alea dengan singkat.

"Nona, maaf saya harus memeriksa luka anda. Bisa tolong buka baju Nona? anda tidak usah khawatir aku tidak akan menyakiti Nona," bujuk Maria dengan begitu lembut.

Alea menggigit bibir bawahnya sambil menimbang-nimbang jika yang dikatakan Maria adalah sebuah kebenaran. Akhirnya ia menggeser tubuhnya untuk duduk membelakangi Mari. Pelan-pelan Alea mulai menyingkap bajunya ke atas sedikit. Kulitnya terasa pedih saat kulitnya tergesek baju yang sedikit berbahan kasar.

Wanita paruh baya membelalakkan matanya saat melihat bekas luka yang telah ditorehkan di punggung Alea. Memar itu terlalu kontras di kulitnya yang putih bersih. Luka memar yang tadinya berwarna merah kini sudah mulai membiru.

"Ya Tuhan," ucap wanita paruh baya itu sembari menutup mulutnya melihat memar yang hampir menutupi punggung Alea. Ia segera membuka obat untuk mengobati luka memar itu.

"Nona, tahanlah sedikit. Memang agak perih tapi tidak akan berlangsung lama," ujar Maria.

Alea hanya menyandarkan kepalanya pada kedua lututnya sebagai penopang sembari meneteskan air mata. Ternyata cream itu menyebabkan perih meski sebentar hingga perlahan terasa nyaman dan dingin. Selama hidupnya ia tidak pernah mengalami kekerasan seperti ini. Orang tuanya bahkan tidak pernah berbuat kasar apalagi sampai mencambuknya.

"Nona, bersabarlah," ujar pelayan itu ketika mendengarkan isakan tangis tertahan dari Alea.

"Bibi, tolong bantu aku keluar dari sini," ujar Alea yang sudah membalikkan tubuhnya ke arah pelayan itu. Ia menggenggam erat tangan Maria yang sudah mulai berkerut termakan usia.

"Maaf, bibi tidak bisa melakukan apapun," ujar Maria dengan pilu. Ia hanyalah seorang pelayan yang tidak memiliki keberanian untuk melawan. Terlebih lagi anggota keluarganya pasti yang akan menanggung resikonya.

"Aku tidak melakukan apapun pada wanita itu, Bibi," isak Alea dengan air mata yang begitu deras membasahi pipinya.

"Bibi percaya pada Nona tapi bersabarlah. Jangan terlalu melawan karena jika Nona semakin melawan maka Tuan Darel akan semakin murka." Maria memeluk tubuh Alea kemudian mengusap punggungnya pelan.

"Sebenarnya siapa wanita itu? Kenapa ia bisa terluka dan justru aku yang dituduh sudah mencelakainya?" Begitu banyak pertanyaan Alea saat ini.

"Dia adalah Nona Esme, calon istri dari tuan Darel. Besok mereka seharusnya akan melangsungkan pernikahan jika saja Nona Esme tidak koma." Maria menghela nafas berat. Tidak menyangka jika hal ini harus terjadi.

"Mereka akan menikah?" Alea melepaskan diri sembari mengusap air mata dengan punggung tangannya. Pantas saja kemarin ia melihat begitu banyak bunga yang berjejer rapi.

"Betul, Nona. Mungkin akan dibatalkan jika kondisi Nona Esme tidak memungkinkan," ujar Maria.

Terlepas dari apa yang Darel telah lakukan padanya, Alea merasa iba karena pernikahan mereka harus dibatalkan. Pantas saja Darel seperti seorang iblis mengetahui karena calon istrinya koma.

"Kasihan Esme," gumam Alea.

Tidak lama kemudian ada seorang pelayan yang membawakan makanan untuk Alea atas perintah Erick.

"Nona, makanlah. Kau pasti sangat lapar karena belum makan dari kemarin," ujar Maria.

Alea meneguk salivanya, tak dapat dipungkiri jika saat ini dirinya memang sangat kelaparan. Hanya saja ketika Darel datang, rasa laparnya tergantikan oleh rasa sakit.

Melihat makanan yang begitu menggoda akhirnya Alea mau memakannya. Ia makan dengan sangat lahap. Alea merasa lebih tenang karena kehadiran Maria disana mampu mengurangi rasa takutnya. Setidaknya ada seseorang yang ia kenal di rumah itu.

Ceklek ....
Tiba-tiba pintu terbuka kembali sehingga Maria langsung berdiri dan menjauhkan tubuhnya dari Alea.

"Bibi, tolong ke luar sekarang juga!" ujar Darel dengan dingin.

Dengan patuh dan tanpa penolakan, Maria segera melangkah pergi meninggalkan kamar itu. Diliriknya sebentar Alea sebelum akhirnya menutup pintu

"Untuk apa kau kemari?" ujar Alea yang sedang mengumpulkan keberaniannya.

"Karena kau telah mencelakai kekasihku maka kau besok harus bersedia menjadi pengantin pengganti," ucap Darel sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Alea sehingga mereka dapat merasakan hembusan nafas masing-masing.

Alea segera tersadar dari lamunannya yang berlangsung beberapa detik.
"Aku tidak mau!" tolak Alea dengan tegas. Ia tidak sudi menikah dengan pria yang sudah menyiksanya meski itu hanya sebagai pengganti.

"Kau menolak?" teriak Darel tepat di depan wajah Alea. Kedua tangan Alea dicekal olehnya sehingga Alea tidak dapat memukulnya. Sorot mata biru yang tajam menandakan jika ucapannya tidak butuh penolakan. Yang ada semua orang harus menuruti ucapannya.

"Aku mohon lepaskan aku," ujar Alea sembari menarik pergelangan tangannya agar terlepas. Ia sangat takut melihat tatapan berkobar Darel yang seperti hendak memakannya hidup-hidup.

"Aku tidak akan melepaskanmu sebelum Esme sadar! Satu lagi jika kau tidak mengatakan siapa yang menyuruhmu, jangan harap kau akan keluar dari rumah ini." Darel menghempaskan tangan Alea dengan sangat kasar.

"Bukankah sudah kukatakan jika aku tidak bersalah? Aku sungguh tidak ada niat untuk mencelakainya." Alea berusaha membela diri.

"Cukup! Aku tidak peduli dengan ucapanmu karena bukti sudah ada jika kau memanglah pelakunya," ucap Darel sembari menahan emosinya. Jangan sampai ia berbuat kasar dan membuatnya sakit esok hari.

Darel segera meninggalkan Alea kembali sendirian di kamar itu.

"Tunggu! Biarkan aku pergi dari sini," teriak Alea tapi percuma saja karena pintu sudah tertutup rapat dan dikunci dari luar.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

106