Bab 4 Lepaskan aku

by Nayya_Phrustazie 13:41,Jan 03,2021
Villa La Tulipe,

Hari sudah pagi ketika Darel sampai di Villa. Awalnya ingin pulang ketika matahari tenggelam. Namun Darel mengurungkan niatnya karena masih berharap banyak jika Esme akan segera tersadar dari komanya. Ternyata takdir berkata lain, hingga sampai pagi tadi tidak ada tanda-tanda Esme terbangun.

Darel melangkahkan kakinya dengan cepat melewati tempat yang akan dijadikan tempat mengikat janji suci dirinya dengan Esme. Deretan bunga warna-warni sudah berjejer dengan begitu indah dan mengeluarkan aroma yang sangat semerbak.

Para pelayan langsung tertunduk ketika melihat kedatangan Darel yang penuh dengan amarah. Bahkan mereka tidak berani memandang sorot matanya yang begitu tajam. Para pelayan merasa bosnya sudah kembali seperti dulu lagi sebelum bertemu Esme.

"Dimana pembunuh itu dikurung?" tanya Darel pada salah satu kepala pelayan bernama Harry.

"Ada di lantai dua, Tuan," sahut pria bertubuh tegap itu. Lalu berjalan mendahului bosnya untuk menunjukkan kamar dimana Alea berada. Karena begitu banyak kamar yang ada di lantai dua.

Darel terus mengikuti arah langkah kaki Harry menuju salah satu kamar yang terletak di paling ujung.

"Silahkan, Tuan," ujar Harry setelah membuka kuncinya.

Sejak Alea dikurung tidak ada yang berani mendekat apalagi membukanya. Sesuai apa yang diperintahkan oleh Erick yang merupakan tangan kanan dari seorang Darel.

Bukannya memutar knop pintu dengan pelan-pelan, Darel justru langsung menendang pintu dengan sangat kuat hingga terdengar suara dubrakan. Pria itu sudah tidak sabar ingin meluapkan semua emosi yang sudah memuncak di kepalanya.

Alea yang sedang duduk dengan kedua kaki yang ditekuk di atas ranjang langsung terlonjak kaget. Gadis itu beringsut mundur ke ujung ranjang ketika memandang Erick yang baru saja masuk dengan menatap tajam ke arahnya.

Alea sungguh takut hingga badannya gemetar saat melihat mata Erick dengan sorot mata tajam dan berapi-api.

Darel segera mendekati Alea yang berada di sudut dengan rahang yang menegang serta mata yang semakin menggelap.

"Katakan siapa yang menyuruhmu melakukannya?" tuduh Darel tanpa basa-basi lagi. Tangannya segera merengkuh dagu Alea dengan kasar dan kuat.

"Aduh, sakit!" rintih Alea sembari meringis karena kuku tajam Darel sampai menusuk kulit pipinya.

"Ini tidak seberapa sakitnya dibandingkan apa yang telah dirasakan Esme saat ini," ujar Darel dengan suara meninggi.

"Aku sungguh tidak melakukan apapun, Tuan," ujar Alea dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Bohong!" Darel menghempaskan secara kasar wajah Alea.

Alea tak kuasa lagi membendung air matanya karena saat ini begitu ketakutan. Kepalanya juga sekarang mulai sakit.

"Jika kau menjawab dengan jujur maka aku mungkin akan memaafkanmu," ucap Darel dengan nada dingin. Berusaha menahan emosinya agar tidak berbuat kasar kepada wanita.

"Aku sungguh tidak melakukannya," sahut Alea sembari terisak-isak.

"Kurang ajar! Baiklah jika kau tidak ingin berkata jujur. Maka kau akan merasakan akibatnya karena kebohongan yang telah kau lakukan."

Tanpa pikir panjang, Darel segera melepaskan ikat pinggang yang melingkar di perut kekarnya. Ia sudah seperti seorang iblis yang sangat menakutkan.

"Tuan, apa yang akan kau lakukan?" ujar Alea yang sudah sangat ketakutan melihat Darel yang menatap tajam ke arahnya sembari membawa ikat pinggang di tangannya.

Semakin mengerikan ketika Darel menyunggingkan senyum tipis dengan bibir bagian atas yabg tertarik ke belakang lalu memainkan ikat pinggang dengan cara mengusapnya.

"Tuan, tolong lepaskan aku," ujar Alea dengan nada wajah memelas. Suaranya sudah serak karena menangis semalam.

Darel tidak lagi memperdulikan gadis malang itu yang terus memohon. Dia langsung mengarahkan ikat pinggangnya dengan sangat kuat ke punggung Alea hingga gadis itu berteriak histeris karena punggungnya terasa sangat sakit dan panas.

"Arghh!" teriak Alea untuk yang kesekian kalinya dengan wajah yang sudah berlinang air mata. Punggungnya benar-benar terasa sangat perih dan panas.

Darel terus mencambuk punggung Alea hingga berkali-kali tanpa belas kasihan meski gadis itu sudah memohon.

"Inilah akibatnya jika kau tidak berkata dengan jujur!" bentak Darel sembari mencambuk kembali tubuh Alea dengan sangat kuat.

"Tuan, tolong jangan gegabah," ujar Erick berusaha menenangkan bosnya. Dia tidak tega melihat gadis itu yang sudah tidak berdaya.

Alea kini sudah terbaring dengan posisi meringkuk. Tangannya menyilang memeluk tubuh bagian depannya dengan isak tangis yang sudah tidak lagi terdengar.

"Urus dia!" perintah Darel pada Erick dan langsung melangkah pergi meninggalkan kamar itu.

Erick memandang sendu pada tubuh mungil yang masih meringkuk itu. Katanya terpejam dengan tubuh yang sangat gemetar.
"Tenanglah, Tuan Darel sudah pergi," ucap Erick dengan lembut seraya mengusap punggung Alea. Lalu menyingkap sedikit baju Alea hingga bekas cambukan yang berwarna merah terlihat jelas di punggungnya. Erick bahkan sampai bergidik ngeri membayangkan sakit yang dirasakan oleh Alea.

Alea membuka matanya setelah mendengar suara yang begitu lembut dan menenangkannya. Pandangannya berkeliling mencari keberadaan jika Darel sudah tidak ada di sana. Setelah memastikannya tidak ada, Alea mencoba untuk duduk dengan tubuhnya yang terasa sangat remuk.

"Tuan, tolong lepaskan aku," ujar Alea dengan air mata yang kembali mengucur membasahi pipinya. Tangannya terulur untuk meraih pergelangan Erick lalu menggenggamnya dengan sangat erat.

"Nona, bersabarlah. Bisakah Nona menjelaskan semuanya padaku?" ujar Erick sembari mencoba melepaskan tangannya dari cekalan Alea. Dirinya tidak bisa berbuat apa-apa karena belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Aku tidak membunuh wanita itu. Kedatanganku kemari hanyalah untuk mengantarkan bunga. Namun ketika aku ke toilet, aku lupa arah jalan keluar sehingga aku tersesat. Hingga tepat di depan kamar itu aku mendengar suara minta tolong. Lalu aku di dorong masuk oleh seseorang," terang Alea yang sudah menghentikan tangisannya. Beruntung pria yang ada di depannya tidak sejahat Darel. Semoga pria itu bisa membantunya keluar dari villa.

Erick menautkan kedua alisnya. Antara percaya atau tidak dengan apa yang telah diucapkan oleh Alea. Namun ketika melihat wajahnya yang tampak masih polos sepertinya dia tidak berbohong.

Erick juga sudah memeriksa cctv namun tidak ada rekaman apapun yang terjadi sebelum Alea masuk ke dalam kamar Esme.

"Kau sungguh tidak berbohong?" ujar Erick dengan perasaan ragu.

"Sungguh, Tuan. Jika kau tidak percaya bisakah aku meminjam ponselmu? Aku akan menelepon bibi Diana. Di toko bunga bibi Diana aku bekerja," ujar Alea. Ia juga memikirkan bibi Diana yang mungkin mencemaskan keadaannya.

"Maaf, aku tidak bisa melakukannya." Erick tidak ingin mengambil resiko karena bisa saja ada musuh bosnya yang saat ini sedang mencoba mempermainkan mereka.

"Aku mohon sebentar saja," pinta Alea.
"Aku berjanji tidak akan mengatakan apapun. Aku hanya ingin mengabari bibi Diana agar jangan mencemaskanku," imbuh Alea dengan penuh harap.

"Sekali lagi, aku minta maaf." Erick memilih pergi meninggalkan kamar itu karena tidak ingin terbujuk oleh ucapan Alea.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

106