Bab 14 Trauma
by Nayya_Phrustazie
13:55,Jan 03,2021
Alea seperti mendapatkan kekuatan besar padahal kondisinya tadi masih sangat lemah. Ia tidak berhenti meronta hingga Darel terpaksa mendekapnya dengan erat untuk menenangkannya.
"Alea, tenangkan dirimu." Darel berbicara dengan lembut meskipun rasanya sangat sulit karena ia hanya bisa melakukannya dengan Esme saja.
Alea yang didekap dengan begitu erat lantas berhenti meronta. Kemudian ia terisak-isak hingga air mata bercucuran mengenai baju Darel.
"Ibu, bawa aku bersamamu," ujar Alea di sela isak tangisnya sembari memukuli dada Darel dengan lemah karena sudah kehilangan tenaga. Telapak tangannya terus mengeluarkan darah tapi ia sama sekali tidak merasakan sakit itu.
"Tenanglah." Darel hanya bisa mengusap punggung Alea karena tidak terbiasa membujuk seorang gadis. Sebelumnya Esme tidak pernah seperti ini. Mereka sama-sama tipe cuek tapi saling mengerti kemauan satu sama lain.
Cukup lama Alea menangis di dalam dekapan Darel. Hingga perlahan isak tangis itu berganti dengan dengkuran halus yang keluar dari bibirnya.
"Dia tertidur?" gumam Darel sembari melirik Alea yang sudah terpejam.
"Ughhh, menyusahkan saja," gerutu pria itu. Lalu membaringkan tubuh Alea kembali.
Brian baru saja datang setelah mendapatkan informasi dari Maria tentang keadaan Alea. Dengan langkah yang tergesa-gesa segera memasuki kamar yang ditempati oleh Alea.
"Apa yang terjadi padanya?" ujar Brian sembari memicingkan mata ke arah Darel.
"Tidak usah melotot seperti itu ke arahku. Aku bahkan tidak tahu apa-apa. Ia tadi mengamuk kemudian ingin melukai dirinya sendiri," ujar Darel dengan wajah datar.
"Dia tidak akan melukai dirinya sendiri jika kau tidak membuatnya ketakutan," ujar Brian. Pria itu duduk di samping Alea. Masih terlihat jelas darah segar yang sudah mengering keluar dari kedua telapak tangannya.
"Bibi, bisa tolong ceritakan kenapa Alea bisa seperti itu?" ujar Brian pada Maria yang berdiri tidak jauh.
"Tadinya Alea seperti mengigau lalu tiba-tiba saja terbangun sembari berteriak histeris. Dia meraih pisau kemudian hendak melukai tubuhnya sendiri," terang Maria sedikit.
"Hmmm, semoga setelah nanti terbangun dia sudah tenang kembali." Brian memasang jarum infus kembali di tangan Alea. Lalu menyuntikkan obat penenang untuk berjaga-jaga. Takut jika ketika terbangun tengah sendirian maka akan melukai dirinya lagi.
"Memangnya kenapa dengan Alea, Dok?" ujar Maria.
"Mungkin karena sering kali mendapatkan kekerasan fisik, ia mengalami trauma dan frustasi. Semoga saja keadaan itu tidak berlanjut. Setelah dia terbangun ajak terus mengobrol agar tidak termenung. Karena pikiran yang kosong semakin berpeluang ke arah yang lebih buruk lagi," ungkap Brian.
Mendapatkan kekerasan fisik untuk waktu yang terus-menerus membuat Alea mengalami trauma dengan sakit yang dirasakannya.
"Satu lagi, Bi. Jika pria itu mencoba melukainya, tembak saja kepalanya," sindir Brian sembari melempar tatapan sinis ke arah Darel.
Maria hanya menundukkan kepalanya. Mana mungkin berani melakukan hal itu meski melihat di depan kepalanya sendiri.
"Gara-gara gadis itu sekarang kau mengancamku?" ujar Darel.
"Pria sepertimu memang harus diancam karena sudah bertindak sangat keterlaluan," ujar Brian.
Setelah saling beradu mulut mereka akhirnya keluar dari kamar itu. Kini hanya tinggal Maria yang menunggu Alea.
================================
Mentari pagi sudah memancarkan cahayanya hingga masuk ke celah-celah jendela. Alea mengerjapkan kedua kelopak matanya ketika cahaya mengenai matanya.
Alea memandang ke sekeliling ruangan. Ternyata ia masih berada di kamar yang sama seperti kemarin. Ia pikir sekarang sudah berada di tempat lain karena seingatnya semalam berhasil membuat tubuhnya terluka. Alea juga ingat jika sudah bertemu kedua orang tuanya. Meminta ikut tapi mereka meninggalkannya.
Alea pun menoleh ke arah samping dimana ada infus uang menggantung hingga mengikuti arah selang infus yang berakhir di tangannya. Ketika menggerakkannya sedikit terasa nyeri.
Sudah tidak ada bekas noda darah di tangannya. Yang ada hanyalah sisa-sisa goresan pisau di kulit pucatnya. Alea bahkan mengira dirinya bermimpi ketika dipeluk oleh Darel.
"Kenapa di dalam mimpi pria itu begitu lembut? Sangat berbeda pada kehidupan nyata," gumam Alea dengan wajah langsung pucat mengingat bagaimana perlakuan Darel setiap malam kepadanya.
Ceklek ….
Alea seketika menoleh ke arah pintu dengan sorot mata ketakutan. Khawatir jika Darel yang masuk ke dalam kamar seperti sebelumnya. Hingga tubuhnya kini mulai ketakutan.
"Nona, akhirnya kau bangun," ujar Maria yang tersenyum sangat senang. Wanita itu segera melangkah masuk lalu meletakkan nampan di atas nakas.
"Memangnya apa yang terjadi padaku? Kenapa aku sampai di infus seperti ini?" ujar Alea yang masih merasa jika dirinya baik-baik saja.
"Nona kemarin demam. Bahkan tidak terbangun sejak kemarin," sahut Maria.
"Bibi, kenapa tanganku terluka seperti ini?" Alae menggerakkan tangannya yang sedikit terasa pegal oleh luka goresan pisau.
"Nona tidak mengingat apa yang terjadi?" Maria mengerutkan keningnya.
Alea menggelengkan kepalanya. Mencoba mengingat tapi yang ada semalam seperti bermimpi.
"Aku hanya semalam bermimpi hendak melukai tubuhku sendiri," ucapnya lagi dengan pandangan kosong.
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Sebaiknya sekarang sarapan dulu agar Nona cepat sembuh." Maria mengingat pesan yang disampaikan oleh Brian agar jangan sampai membuat Alea termenung.
"Aku tidak lapar," ujar Alea sembari menyandarkan kepalanya di ujung ranjang karena kepalanya masih sakit.
"Nona harus makan setelah itu minum obat," bujuk Maria.
Alea tetap menggelengkan kepalanya. Bahkan menepis sendok hingga terjatuh ke lantai ketika Maria hendak menyiapkan makanan ke dalam mulutnya.
Darel baru saja berada di depan pintu langsung buru-buru masuk ketika mendengar suara sendok yang berdenting di lantai.
"Bibi, aku mohon jangan memaksaku untuk makan. Jika aku tetap hidup yang hanya akan merepotkan Bibi," ujar Alea lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Ada apa, Bi?" tanya Darel.
"Alea tidak mau makan, Tuan. Padahal ia harus minum obat agar segera pulih," sahut Maria dengan kepala tertunduk.
"Biarkan aku yang mengurusnya," ujar Darel dengan nada dingin.
"Tapi, Tuan …." sergah Maria. Cemas jika sampai Darel melakukan kekerasan lagi kepada Alea.
Darel merebut mangkuk yang berisi Bouillabaisse atau sejenis sup ikan yang di dalamnya ditambahkan roti panggang ke dalam sup dari tangan Maria.
Akhirnya Maria menyingkir tapi tetap berada di kamar itu untuk memastikan tidak akan terjadi sesuatu yang buruk.
Darel duduk di depan Alea yang merapatkan selimut di tubuhnya karena merasa takut.
"Tidak usah takut karena aku tidak akan melakukan apapun. Cepatlah makan agar kau bisa sembuh. Aku tidak ingin dipenjara hanya karena sudah menyiksa orang sampai mati," ujar Darel dengan ekspresi datar sambil menyodorkan makanan menggunakan sendok yang sudah bersih.
Alea tetap menutup mulutnya hingga beberapa saat sampai akhirnya mau membukanya karena Darel terus memaksa. Dengan patuh Alea menghabiskan semua makanannya karena takut jika menolak akan disiksa lagi.
"Alea, tenangkan dirimu." Darel berbicara dengan lembut meskipun rasanya sangat sulit karena ia hanya bisa melakukannya dengan Esme saja.
Alea yang didekap dengan begitu erat lantas berhenti meronta. Kemudian ia terisak-isak hingga air mata bercucuran mengenai baju Darel.
"Ibu, bawa aku bersamamu," ujar Alea di sela isak tangisnya sembari memukuli dada Darel dengan lemah karena sudah kehilangan tenaga. Telapak tangannya terus mengeluarkan darah tapi ia sama sekali tidak merasakan sakit itu.
"Tenanglah." Darel hanya bisa mengusap punggung Alea karena tidak terbiasa membujuk seorang gadis. Sebelumnya Esme tidak pernah seperti ini. Mereka sama-sama tipe cuek tapi saling mengerti kemauan satu sama lain.
Cukup lama Alea menangis di dalam dekapan Darel. Hingga perlahan isak tangis itu berganti dengan dengkuran halus yang keluar dari bibirnya.
"Dia tertidur?" gumam Darel sembari melirik Alea yang sudah terpejam.
"Ughhh, menyusahkan saja," gerutu pria itu. Lalu membaringkan tubuh Alea kembali.
Brian baru saja datang setelah mendapatkan informasi dari Maria tentang keadaan Alea. Dengan langkah yang tergesa-gesa segera memasuki kamar yang ditempati oleh Alea.
"Apa yang terjadi padanya?" ujar Brian sembari memicingkan mata ke arah Darel.
"Tidak usah melotot seperti itu ke arahku. Aku bahkan tidak tahu apa-apa. Ia tadi mengamuk kemudian ingin melukai dirinya sendiri," ujar Darel dengan wajah datar.
"Dia tidak akan melukai dirinya sendiri jika kau tidak membuatnya ketakutan," ujar Brian. Pria itu duduk di samping Alea. Masih terlihat jelas darah segar yang sudah mengering keluar dari kedua telapak tangannya.
"Bibi, bisa tolong ceritakan kenapa Alea bisa seperti itu?" ujar Brian pada Maria yang berdiri tidak jauh.
"Tadinya Alea seperti mengigau lalu tiba-tiba saja terbangun sembari berteriak histeris. Dia meraih pisau kemudian hendak melukai tubuhnya sendiri," terang Maria sedikit.
"Hmmm, semoga setelah nanti terbangun dia sudah tenang kembali." Brian memasang jarum infus kembali di tangan Alea. Lalu menyuntikkan obat penenang untuk berjaga-jaga. Takut jika ketika terbangun tengah sendirian maka akan melukai dirinya lagi.
"Memangnya kenapa dengan Alea, Dok?" ujar Maria.
"Mungkin karena sering kali mendapatkan kekerasan fisik, ia mengalami trauma dan frustasi. Semoga saja keadaan itu tidak berlanjut. Setelah dia terbangun ajak terus mengobrol agar tidak termenung. Karena pikiran yang kosong semakin berpeluang ke arah yang lebih buruk lagi," ungkap Brian.
Mendapatkan kekerasan fisik untuk waktu yang terus-menerus membuat Alea mengalami trauma dengan sakit yang dirasakannya.
"Satu lagi, Bi. Jika pria itu mencoba melukainya, tembak saja kepalanya," sindir Brian sembari melempar tatapan sinis ke arah Darel.
Maria hanya menundukkan kepalanya. Mana mungkin berani melakukan hal itu meski melihat di depan kepalanya sendiri.
"Gara-gara gadis itu sekarang kau mengancamku?" ujar Darel.
"Pria sepertimu memang harus diancam karena sudah bertindak sangat keterlaluan," ujar Brian.
Setelah saling beradu mulut mereka akhirnya keluar dari kamar itu. Kini hanya tinggal Maria yang menunggu Alea.
================================
Mentari pagi sudah memancarkan cahayanya hingga masuk ke celah-celah jendela. Alea mengerjapkan kedua kelopak matanya ketika cahaya mengenai matanya.
Alea memandang ke sekeliling ruangan. Ternyata ia masih berada di kamar yang sama seperti kemarin. Ia pikir sekarang sudah berada di tempat lain karena seingatnya semalam berhasil membuat tubuhnya terluka. Alea juga ingat jika sudah bertemu kedua orang tuanya. Meminta ikut tapi mereka meninggalkannya.
Alea pun menoleh ke arah samping dimana ada infus uang menggantung hingga mengikuti arah selang infus yang berakhir di tangannya. Ketika menggerakkannya sedikit terasa nyeri.
Sudah tidak ada bekas noda darah di tangannya. Yang ada hanyalah sisa-sisa goresan pisau di kulit pucatnya. Alea bahkan mengira dirinya bermimpi ketika dipeluk oleh Darel.
"Kenapa di dalam mimpi pria itu begitu lembut? Sangat berbeda pada kehidupan nyata," gumam Alea dengan wajah langsung pucat mengingat bagaimana perlakuan Darel setiap malam kepadanya.
Ceklek ….
Alea seketika menoleh ke arah pintu dengan sorot mata ketakutan. Khawatir jika Darel yang masuk ke dalam kamar seperti sebelumnya. Hingga tubuhnya kini mulai ketakutan.
"Nona, akhirnya kau bangun," ujar Maria yang tersenyum sangat senang. Wanita itu segera melangkah masuk lalu meletakkan nampan di atas nakas.
"Memangnya apa yang terjadi padaku? Kenapa aku sampai di infus seperti ini?" ujar Alea yang masih merasa jika dirinya baik-baik saja.
"Nona kemarin demam. Bahkan tidak terbangun sejak kemarin," sahut Maria.
"Bibi, kenapa tanganku terluka seperti ini?" Alae menggerakkan tangannya yang sedikit terasa pegal oleh luka goresan pisau.
"Nona tidak mengingat apa yang terjadi?" Maria mengerutkan keningnya.
Alea menggelengkan kepalanya. Mencoba mengingat tapi yang ada semalam seperti bermimpi.
"Aku hanya semalam bermimpi hendak melukai tubuhku sendiri," ucapnya lagi dengan pandangan kosong.
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Sebaiknya sekarang sarapan dulu agar Nona cepat sembuh." Maria mengingat pesan yang disampaikan oleh Brian agar jangan sampai membuat Alea termenung.
"Aku tidak lapar," ujar Alea sembari menyandarkan kepalanya di ujung ranjang karena kepalanya masih sakit.
"Nona harus makan setelah itu minum obat," bujuk Maria.
Alea tetap menggelengkan kepalanya. Bahkan menepis sendok hingga terjatuh ke lantai ketika Maria hendak menyiapkan makanan ke dalam mulutnya.
Darel baru saja berada di depan pintu langsung buru-buru masuk ketika mendengar suara sendok yang berdenting di lantai.
"Bibi, aku mohon jangan memaksaku untuk makan. Jika aku tetap hidup yang hanya akan merepotkan Bibi," ujar Alea lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Ada apa, Bi?" tanya Darel.
"Alea tidak mau makan, Tuan. Padahal ia harus minum obat agar segera pulih," sahut Maria dengan kepala tertunduk.
"Biarkan aku yang mengurusnya," ujar Darel dengan nada dingin.
"Tapi, Tuan …." sergah Maria. Cemas jika sampai Darel melakukan kekerasan lagi kepada Alea.
Darel merebut mangkuk yang berisi Bouillabaisse atau sejenis sup ikan yang di dalamnya ditambahkan roti panggang ke dalam sup dari tangan Maria.
Akhirnya Maria menyingkir tapi tetap berada di kamar itu untuk memastikan tidak akan terjadi sesuatu yang buruk.
Darel duduk di depan Alea yang merapatkan selimut di tubuhnya karena merasa takut.
"Tidak usah takut karena aku tidak akan melakukan apapun. Cepatlah makan agar kau bisa sembuh. Aku tidak ingin dipenjara hanya karena sudah menyiksa orang sampai mati," ujar Darel dengan ekspresi datar sambil menyodorkan makanan menggunakan sendok yang sudah bersih.
Alea tetap menutup mulutnya hingga beberapa saat sampai akhirnya mau membukanya karena Darel terus memaksa. Dengan patuh Alea menghabiskan semua makanannya karena takut jika menolak akan disiksa lagi.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved