Bab 11 Gadis yang malang

by Nayya_Phrustazie 13:51,Jan 03,2021
Tidak lama kemudian terdengar suara dengkuran halus dari bibir Alea. Maria memeriksanya ada nafas atau tidak di sana. Wanita itu bisa bernafas lega karena Alea sudah tertidur.

Maria mengambil selimut tebal kembali untuk menutupi tubuh Alea. Sepertinya obatnya sudah mulai bekerja dengan baik. Namun Maria tetap di sana untuk memastikan keadaan Alea.

Setengah jam sudah berlalu. Keringat mulai keluar dari tubuh Alea. Hingga Maria pun membuka selimutnya agar tidak terlalu panas. Suhu tubuhnya juga sudah mulai turun.

"Syukurlah," ujar Maria dengan raut wajah bahagia karena akhirnya kondisi Alea mulai pulih.

Maria keluar dari kamar untuk menyiapkan makan siang. Meski banyak pelayan di sana tapi biasanya jika makan siang, Darel akan selalu meminta masakannya. Jika tidak ada maka pria itu akan mengamuk.

"Bibi, bagaimana keadaan gadis itu?" ujar seorang gadis muda yang juga bekerja di villa itu bersama Maria.

Maria menghela nafas panjang, mengingat kata-kata Alae semalam.
"Kondisinya sudah mulai membaik, semoga saja tidak kambuh lagi," ujar Maria yang sedang menyiangi berbagai sayuran.

"Sungguh gadis yang malang," ujar gadis yang bernama Claire dengan wajah sendu. Ia merasa iba dengan nasib yang menimpa Alea.
"Bibi, apa sungguh dia yang mencelakai nona Esme? Rasanya tidak mungkin gadis selemah dia melakukan hal itu," lanjut Claire.

"Kita lihat saja nanti kebenarannya. Ingat, jangan sembarang berbicara. Jika tuan Darel tahu kita membelanya pasti akan sangat marah," ujar Maria hanya sekedar mengingatkan.

Claire segera menoleh ke belakang dan mengedarkan pandangannya. Wajahnya langsung berubah menjadi takut karena Darel sudah berada tidak jauh dari tempat mereka berada.

"Tuan," sapa Claire yang lantas membungkukkan tubuhnya. Seketika keringat dingin sudah mulai keluar ketika Darel berjalan ke arah mereka. Ia takut jika bosnya mendengar apa yang dia katakan. Jika hal itu terjadi maka habislah riwayatnya.

"Bibi, bagaimana keadaannya?" ujar Darel tanpa basa-basi.

Maria terdiam sejenak berusaha mencerna siapa yang dimaksud oleh Darel. Jangan sampai ia salah menjawab.
"Setelah minum obat kondisinya sudah cukup membaik, Tuan," sahut Maria.

"Sudah kuduga dia hanya pura-pura," ucap Darel seraya berdecak kesal.

Maria hanya bisa mengusap dada karena bosnya masih saja berpikiran negatif tentang Alea. Bagaimana mungkin pura-pura jika bibirnya sampai membiru.

Darel penasaran sehingga ia kembali menapaki anak tangga menuju ke lantai dua untuk melihat keadaan Alea. Bisa saja sekarang ia sedang mencari cara untuk keluar dari rumahnya. Tak pernah sedikitpun Darel berpikir positif tentang Alea.

"Sampai matipun tidak akan kubiarkan kau pergi dari rumah ini." Bibir Darel melengkung membentuk seringai liciknya.

Begitu sampai di depan pintu kamar, Darel langsung memutar knop pintu yang langsung terbuka. Dengan langkah cepat segera memasuki kamar karena takut jika gadis itu kabur. Seharusnya pintu itu terkunci dengan rapat.

"Sial! Pasti dia sudah melarikan diri. Ternyata benar dugaanku," umpat Darel. Dengan nafas yang menggebu karena marah, Darel berjalan ke arah ranjang dimana ia mendapati hanya tinggal rambut saja yang tampak.

Darel menyingkap dengan sangat kasar selimut itu karena dugaannya jika Alea sudah kabur benar. Namun pria itu terkejut karena mendapati masih ada Alea yang berada di dalam selimut.

Terdengar suara gigi yang bergemeletuk dari bibir Alea. Ternyata gadis itu kambuh kembali padahal baru saja minum obat beberapa jam yang lalu.

Darel lalu duduk di sampingnya lalu kemudian mengangkat kepalanya untuk memastikan jika gadis itu tidak pura-pura. Alea hanya terkulai lemas dengan bibir yang pucat pasi seperti gadis yang sudah tidak bernyawa.

"Dasar menyusahkan saja!" umpat Darel seraya berdecak.
"Bangunlah, jangan mati terlebih dahulu sebelum kau bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Esme." Darel menepuk kedua pipi Alea dengan cukup keras tapi gadis itu hanya membuka matanya sedikit. Hendak berucap tapi bibirnya terasa berat untuk digerakkan.

Darel segera merogoh ponselnya lalu menghubungi seseorang agar cepat datang ke rumahnya.

"Sadarlah, aku sudah meminta Dokter untuk memeriksamu. Tidak usah berakting seperti hendak mati seperti itu," cibir Darel lalu meletakkan kepala Alea kembali di atas bantal.

Darel kemudian keluar dari kamar itu untuk memanggil Maria. Dirinya tidak ingin jika Alea sampai mati tidak ketahuan.

"Bibi, segera temani gadis sialan itu. Aku sudah meminta Brian untuk datang kemari," ujar Darel dengan wajah datar tanpa sorot khawatir sama sekali.

"Apa sesuatu terjadi pada Alea, Tuan?" Maria langsung cemas.

"Biasa, doa berpura-pura sakit kembali," ucap Darel tanpa rasa bekas kasihan sama sekali.

"Baiklah, bibi akan naik ke atas," ujar Maria yang langsung melepaskan celemek. Ia sangat cemas karena tadi Alea sudah meracau tidak jelas.

Setelah sampai di kamar Alea, Maria segera menutupi tubuh Alea yang lebih parah dari tadi.

"Nona, bertahanlah. Sebentar lagi akan ada dokter yang datang untuk memeriksa," ujar Maria sembari menutupi tubuh itu dengan selimut tebal kembali.

Alea benar-benar tak mampu lagi membuka matanya. Karena kelopak matanya terlalu berat. Ia hanya mendengarkan apa yang diucapkan oleh Maria. Ia hanya meringkuk seperti posisi bayi ketika di dalam kandungan.

Tidak berapa lama kemudian akhirnya ada mobil yang terparkir di depan villa. Seorang pria bertubuh tinggi keluar dari mobil dengan mengenakan kacamata. Pahatan di wajahnya tampak begitu sempurna dengan bibir yang mancung serta mata yang berwarna biru.

Pria itu langsung melangkahkan kakinya yang jenjang masuk ke dalam villa. Tangannya menenteng tas dengan jas putih yang menggantung di lengannya.

"Selamat datang, Tuan," sapa Claire dengan wajah tertunduk. Namun ia begitu bahagia karena akhirnya bisa memiliki kesempatan untuk melihat dokter setampan Brian.

"Claire, dimana Darel?" ujar Brian.

"Tuan ada di lantai dua. Mari aku antar," ujar Claire. Baginya bisa berdekatan dengan Brian adalah sebuah anugrah yang sangat langka.

Pria yang berprofesi sebagai dokter itu lantas mengikuti langkah Claire menaiki anak tangga. Dia memang sudah sering datang ke rumah itu. Tak hanya dokter tapi Brian adalah sahabat sejak kecil Darel.

"Ada apa kau menghubungiku? Sepertinya kau baik-baik saja," ujar Brian pada Darel yang sedang berdiri di dekat pintu.

"Pembunuh itu tiba-tiba saja demam. Itu sebabnya aku memintamu datang kemari," ujar Darel sembari mendengus

"Siapa yang kau maksud?" Meski Brian mengetahui jika Esme sedang koma tapi ia tidak mengetahui jika Alea yang dituduh.

"Kau lihat saja sendiri. Aku tidak ingin jika dia mati sebelum aku berhasil membalas dendam," ujar Darel.

Brian melongokkan kepalanya terlebih dahulu untuk mengintip karena penasaran.

"Cepatlah, buat dia hidup kembali seperti semula," desak Darel.

Brian segera masuk ke dalam kamar itu dengan dahi yang berkerut.
"Bibi, biarkan aku memeriksanya," ujar Brian sembari membuka selimut.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

106