Bab 3 Koma
by Nayya_Phrustazie
13:40,Jan 03,2021
Satu jam kemudian akhirnya pintu ruang operasi. Seorang dokter pria ke luar dengan diikuti oleh beberapa perawat di belakangnya.
"Dokter, bagaimana keadaannya?" Darel langsung menghampiri dokter yang bernama Sean.
Dokter bertubuh tinggi itu menghela nafas berat. Bibirnya terasa berat ketika ingin mengatakan kondisi pasien.
"Maaf, kami sudah berusaha semampu kami namun pisau itu menusuk terlalu dalam hingga menyebabkan luka yang cukup fatal. Dia hanya bisa bangun jika ada keajaiban," ujar Dokter Sean lirih
Deg ....
Jantung Darel seketika langsung terasa berhenti berdetak ketika mendengarnya. Tubuhnya sempoyongan hingga hampir saja jatuh jika saja tangannya tidak berpegangan pada pintu.
Ada sesuatu yang terasa menghujam jantungnya dengan sangat keras. Hingga perlahan Darel tersadar.
"Apa kau bilang?" Darel seperti kerasukan sehingga langsung mencengkram kerah baju sang Dokter Sean. Matanya sangat berapi-api.
"Kenapa kau tidak bisa menyelamatkannya? Jika kau butuh uang aku bisa memberikannya dua kali lipat!" teriak Darek dengan dada yang naik turun. Amarahnya sudah tidak terkendali lagi karena orang yang sangat dicintainya kini celaka.
"Tuan, tolong lepaskan Dokter Sean." Erick berusaha untuk membantu sang dokter untuk melepaskan diri.
"Tidak usah ikut campur dengan urusanku?" Darel menatap tajam ke arah Erick.
"Tuan, tenanglah. Aku yakin Nona Esme pasti bisa selamat karena dia adalah wanita yang kuat," ujar Erick dengan nada rendah. Berharap bisa menenangkan bosnya yang sedang terbakar emosi.
Beruntunglah Darel akhirnya mau melepaskan cengkeramannya dari kwraj dokter Sean. Pikirannya saat ini seperti kosong dengan tubuh yang tidak memiliki tenaga lagi. Impiannya untuk menikah besok pagi sepertinya tidak akan terwujud. Padahal ia sudah membayangkan betapa cantiknya Esme jika memakai gaun pernikahan.
Darel hanya mengamati para perawat yang mendorong ranjang dengan tatapan kosong. Di atasnya terdapat wanita yang dicintainya sedang terpejam. Para perawat membawa Esme ke ruang ICU agar segera dipasang alat medis yang bisa menunjang kesembuhannya.
"Dokter, bolehkah kami masuk melihat pasien?" ujar Erick pada Sean.
"Tentu saja, tapi tunggulah sebentar lagi. Setelah semua peralatan terpasang kalian boleh melihatnya," ujar Dokter Sean.
"Terima kasih, Dokter," ucap Erick. Ia tahu jika dokter itu pasti sudah melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan Esme.
"Kalau begitu aku permisi dahulu," pamit dokter Sean karena tubuhnya juga lelah.
Erick menganggukan kepalanya.
Darel akhirnya masuk ke dalam ruangan ICU setelah para perawat menyelesaikan pekerjaannya. Kakinya terasa berat ketika hendak melangkah menuju ranjang dimana Esme terbaring lemah.
Banyak peralatan medis yang terpasang di tubuh Esme. Hidungnya terpasang selang pernafasan. Ada juga monitor di samping tempat tidurnya yang biasanya digunakan untuk memeriksa bagaimana keadaan pasien.
Pria yang tadinya selalu memasang wajah menyeramkan kini terlihat sangat sedih. Meski tidak meneteskan air mata tapi sorot mata kesedihan terpancar jelas dari kedua bola matanya.
Darel akhirnya menggeser kursi kemudian duduk tepat di samping ranjang.
"Sayang, bangunlah. Aku mohon," ujar Darel dengan nada pilu dan dadanya terasa sangat sesak. Ia menggenggam tangan Esme sembari mengecup jarinya berulang-ulang.
Darel tak kuasa menahan air mata kesedihan yang dirasakannya. Hingga perlahan ada setetes air yang mengalir di pipinya.
"Sayang, jangan tinggalkan aku. Sebentar lagi kita akan menikah. Kau harus bangun secepatnya karena kita akan berjalan di altar dengan bergandengan tangan," ucapnya lirih.
Pria itu kemudian menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik Esme. Diusapnya pipinya Pelan-pelan karena takut jika telapak tangannya yang kasar akan menggores kulitnya yang begitu mulus.
"Aku akan membalaskan dendam untukmu," ujar Darel dengan tatapan yang kembali berapi-api. Ia mengepalkan tinjunya kuat-kuat ketika mengingat kembali wajah Alea.
"Esme, dia harus membayar karena sudah membuatmu celaka," ucap Darel menatap sendu tubuh Esme yang terbaring lemah. Rasanya baru saja tadi pagi mereka masih bersenda gurau dan bercengkrama. Bahkan ketika sarapan, Esme menyiapkan semuanya.
Erick yang melihat dari pintu kaca bahkan tak kuasa juga hingga ikut meneteskan air mata. Ini adalah pertama kalinya melihat bosnya menangis. Selama ini Darel dikenal sebagai orang yang kuat dan kejam.
Setelah setengah jam di dalam kamar ICU akhirnya Darel keluar. Dia tidak boleh terpuruk karena mungkin akan ada banyak musuh yang sedang menertawakannya. Serta kejadian yang menimpa Esme juga tidak boleh sampai ketahuan orang luar.
"Erick, apa kau sudah mengurung wanita itu?" tanya Darel pada anak buahnya yang masih setia berdiri di depan pintu.
"Sudah, Tuan," sahut Erick singkat.
"Bagus, aku akan membuat perhitungan kepadanya."
"Jika besok Nona Esme tidak bangun, bagaimana dengan pernikahan anda, Tuan?" tanya Erick dengan hati-hati.
"Batalkan saja!" perintah Darel dengan sorot mata yang tajam.
"Tapi undangan sudah terlanjur disebar. Jika anda membatalkan pernikahan ini maka akan menimbulkan begitu banyak polemik," ucap Erick yang tidak berani menatap mata bosnya.
"Lalu, apakah aku harus tetap menikah sedangkan calon istriku terbaring lemah tak berdaya?" teriak Darel yang tersulut emosi mengingat calon istrinya saat ini antara hidup dan mati. Hari bahagia yang dinantikannya bersama Esme kini harus tertunda karena ulah wanita itu.
"Maaf, Tuan, tapi sebaiknya anda tetap menggelar pernikahan dengan wanita yang menggantikan Nona Esme untuk sementara waktu." Erick menyarankan hal yang menurutnya benar. Karena orang di luar sana yang mungkin sengaja berbuat menggagalkan rencana pernikahan bosnya.
"Apa maksudmu dengan wanita pengganti? aku tidak tertarik sama sekali," ujar Dar dengan nada dingin. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Esme di dalam hatinya apalagi sampai menjadi pengantin pengganti.
"Coba anda pikirkan baik-baik. Bisa saja memang ada yang mencoba menggagalkan rencana pernikahan anda, Tuan. Jika melihat pernikahan anda gagal maka sudah dipastikan mereka pasti akan sangat senang," terang Erick.
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" ujar Darel setelah berpikir jika ucapan Erick Da benarnya.
"Bagaimana jika wanita yang mencoba melukai Nona Esme yang menjadi pengganti," ujar Erick. Menurutnya wajah Alea rusak terlalu buruk.
"Maksudmu aku harus menikah dengan seorang pembunuh?" ujar Darel dengan nada meninggi.
"Bukan begitu, Tuan. Jika anda menikah dengannya maka bisa dengan mudah membalas dendam."
Darel terdiam sejenak sembari mempertimbangkan perkataan Erick. Memang ada benarnya juga, dengan membuat wanita itu menjadi pengganti maka dia bisa membunuhnya secara pelan-pelan.
"Baiklah, aku menerima saranmu," ujar Darel setelah berpikir beberapa saat.
"Terima kasih, Tuan," sahut Erick.
"Sekarang juga, perintahkan para pelayan untuk datang ke rumah sakit. Mereka akan bertugas secara bergiliran untuk menjaga Esme karena aku ingin pulang untuk bertemu dengan pembunuh itu," perintah Darel.
"Baik, Tuan," sahut Erick dengan patuh. Ia kemudian merogoh ponsel dari saku celananya untuk menghubungi kepala pelayan
"Dokter, bagaimana keadaannya?" Darel langsung menghampiri dokter yang bernama Sean.
Dokter bertubuh tinggi itu menghela nafas berat. Bibirnya terasa berat ketika ingin mengatakan kondisi pasien.
"Maaf, kami sudah berusaha semampu kami namun pisau itu menusuk terlalu dalam hingga menyebabkan luka yang cukup fatal. Dia hanya bisa bangun jika ada keajaiban," ujar Dokter Sean lirih
Deg ....
Jantung Darel seketika langsung terasa berhenti berdetak ketika mendengarnya. Tubuhnya sempoyongan hingga hampir saja jatuh jika saja tangannya tidak berpegangan pada pintu.
Ada sesuatu yang terasa menghujam jantungnya dengan sangat keras. Hingga perlahan Darel tersadar.
"Apa kau bilang?" Darel seperti kerasukan sehingga langsung mencengkram kerah baju sang Dokter Sean. Matanya sangat berapi-api.
"Kenapa kau tidak bisa menyelamatkannya? Jika kau butuh uang aku bisa memberikannya dua kali lipat!" teriak Darek dengan dada yang naik turun. Amarahnya sudah tidak terkendali lagi karena orang yang sangat dicintainya kini celaka.
"Tuan, tolong lepaskan Dokter Sean." Erick berusaha untuk membantu sang dokter untuk melepaskan diri.
"Tidak usah ikut campur dengan urusanku?" Darel menatap tajam ke arah Erick.
"Tuan, tenanglah. Aku yakin Nona Esme pasti bisa selamat karena dia adalah wanita yang kuat," ujar Erick dengan nada rendah. Berharap bisa menenangkan bosnya yang sedang terbakar emosi.
Beruntunglah Darel akhirnya mau melepaskan cengkeramannya dari kwraj dokter Sean. Pikirannya saat ini seperti kosong dengan tubuh yang tidak memiliki tenaga lagi. Impiannya untuk menikah besok pagi sepertinya tidak akan terwujud. Padahal ia sudah membayangkan betapa cantiknya Esme jika memakai gaun pernikahan.
Darel hanya mengamati para perawat yang mendorong ranjang dengan tatapan kosong. Di atasnya terdapat wanita yang dicintainya sedang terpejam. Para perawat membawa Esme ke ruang ICU agar segera dipasang alat medis yang bisa menunjang kesembuhannya.
"Dokter, bolehkah kami masuk melihat pasien?" ujar Erick pada Sean.
"Tentu saja, tapi tunggulah sebentar lagi. Setelah semua peralatan terpasang kalian boleh melihatnya," ujar Dokter Sean.
"Terima kasih, Dokter," ucap Erick. Ia tahu jika dokter itu pasti sudah melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan Esme.
"Kalau begitu aku permisi dahulu," pamit dokter Sean karena tubuhnya juga lelah.
Erick menganggukan kepalanya.
Darel akhirnya masuk ke dalam ruangan ICU setelah para perawat menyelesaikan pekerjaannya. Kakinya terasa berat ketika hendak melangkah menuju ranjang dimana Esme terbaring lemah.
Banyak peralatan medis yang terpasang di tubuh Esme. Hidungnya terpasang selang pernafasan. Ada juga monitor di samping tempat tidurnya yang biasanya digunakan untuk memeriksa bagaimana keadaan pasien.
Pria yang tadinya selalu memasang wajah menyeramkan kini terlihat sangat sedih. Meski tidak meneteskan air mata tapi sorot mata kesedihan terpancar jelas dari kedua bola matanya.
Darel akhirnya menggeser kursi kemudian duduk tepat di samping ranjang.
"Sayang, bangunlah. Aku mohon," ujar Darel dengan nada pilu dan dadanya terasa sangat sesak. Ia menggenggam tangan Esme sembari mengecup jarinya berulang-ulang.
Darel tak kuasa menahan air mata kesedihan yang dirasakannya. Hingga perlahan ada setetes air yang mengalir di pipinya.
"Sayang, jangan tinggalkan aku. Sebentar lagi kita akan menikah. Kau harus bangun secepatnya karena kita akan berjalan di altar dengan bergandengan tangan," ucapnya lirih.
Pria itu kemudian menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik Esme. Diusapnya pipinya Pelan-pelan karena takut jika telapak tangannya yang kasar akan menggores kulitnya yang begitu mulus.
"Aku akan membalaskan dendam untukmu," ujar Darel dengan tatapan yang kembali berapi-api. Ia mengepalkan tinjunya kuat-kuat ketika mengingat kembali wajah Alea.
"Esme, dia harus membayar karena sudah membuatmu celaka," ucap Darel menatap sendu tubuh Esme yang terbaring lemah. Rasanya baru saja tadi pagi mereka masih bersenda gurau dan bercengkrama. Bahkan ketika sarapan, Esme menyiapkan semuanya.
Erick yang melihat dari pintu kaca bahkan tak kuasa juga hingga ikut meneteskan air mata. Ini adalah pertama kalinya melihat bosnya menangis. Selama ini Darel dikenal sebagai orang yang kuat dan kejam.
Setelah setengah jam di dalam kamar ICU akhirnya Darel keluar. Dia tidak boleh terpuruk karena mungkin akan ada banyak musuh yang sedang menertawakannya. Serta kejadian yang menimpa Esme juga tidak boleh sampai ketahuan orang luar.
"Erick, apa kau sudah mengurung wanita itu?" tanya Darel pada anak buahnya yang masih setia berdiri di depan pintu.
"Sudah, Tuan," sahut Erick singkat.
"Bagus, aku akan membuat perhitungan kepadanya."
"Jika besok Nona Esme tidak bangun, bagaimana dengan pernikahan anda, Tuan?" tanya Erick dengan hati-hati.
"Batalkan saja!" perintah Darel dengan sorot mata yang tajam.
"Tapi undangan sudah terlanjur disebar. Jika anda membatalkan pernikahan ini maka akan menimbulkan begitu banyak polemik," ucap Erick yang tidak berani menatap mata bosnya.
"Lalu, apakah aku harus tetap menikah sedangkan calon istriku terbaring lemah tak berdaya?" teriak Darel yang tersulut emosi mengingat calon istrinya saat ini antara hidup dan mati. Hari bahagia yang dinantikannya bersama Esme kini harus tertunda karena ulah wanita itu.
"Maaf, Tuan, tapi sebaiknya anda tetap menggelar pernikahan dengan wanita yang menggantikan Nona Esme untuk sementara waktu." Erick menyarankan hal yang menurutnya benar. Karena orang di luar sana yang mungkin sengaja berbuat menggagalkan rencana pernikahan bosnya.
"Apa maksudmu dengan wanita pengganti? aku tidak tertarik sama sekali," ujar Dar dengan nada dingin. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Esme di dalam hatinya apalagi sampai menjadi pengantin pengganti.
"Coba anda pikirkan baik-baik. Bisa saja memang ada yang mencoba menggagalkan rencana pernikahan anda, Tuan. Jika melihat pernikahan anda gagal maka sudah dipastikan mereka pasti akan sangat senang," terang Erick.
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" ujar Darel setelah berpikir jika ucapan Erick Da benarnya.
"Bagaimana jika wanita yang mencoba melukai Nona Esme yang menjadi pengganti," ujar Erick. Menurutnya wajah Alea rusak terlalu buruk.
"Maksudmu aku harus menikah dengan seorang pembunuh?" ujar Darel dengan nada meninggi.
"Bukan begitu, Tuan. Jika anda menikah dengannya maka bisa dengan mudah membalas dendam."
Darel terdiam sejenak sembari mempertimbangkan perkataan Erick. Memang ada benarnya juga, dengan membuat wanita itu menjadi pengganti maka dia bisa membunuhnya secara pelan-pelan.
"Baiklah, aku menerima saranmu," ujar Darel setelah berpikir beberapa saat.
"Terima kasih, Tuan," sahut Erick.
"Sekarang juga, perintahkan para pelayan untuk datang ke rumah sakit. Mereka akan bertugas secara bergiliran untuk menjaga Esme karena aku ingin pulang untuk bertemu dengan pembunuh itu," perintah Darel.
"Baik, Tuan," sahut Erick dengan patuh. Ia kemudian merogoh ponsel dari saku celananya untuk menghubungi kepala pelayan
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved