Bab 10 Sudah tidak sanggup bertahan

by Nayya_Phrustazie 13:48,Jan 03,2021
Sebulan sudah berlalu pasca Darel menikahi Alea, meskipun hanya sebagai pengganti.
Selama itu pula hampir setiap malam Darel datang ke kamar Alea untuk menghukumnya. Karena kemarahan Darel tak kunjung reda. Meski Erick sudah mengatakan jika meragukan Alea yang berusaha mencelakai Esme. Darel tetap tidak percaya karena masih meyakini apa yang dilihatnya itulah yang terjadi.

Selama sebulan Alea masih tetap saja dikurung di dalam kamar. Pelayan yang hanya diperbolehkan masuk hanyalah Maria. Wanita paruh baya itu bertugas mengantarkan makanan kepada Alea dan mengobati luka setelah Darel menghajarnya.

Setiap Maria masuk ke dalam kamar, ia harus ikut merasakan pedih karena selalu melihat tubuh Alea yang lebam akibat pukulan Darel. Terkadang bahkan sudut bibirnya sampai berdarah. Sebagai seorang wanita Maria tidak sanggup membayangkan jika putrinya bernasib seperti Alea.

Pagi ini seperti biasa, Maria mengantarkan sarapan untuk Alea. Hatinya berdebar setiap ingin masuk.

Ceklek…
Maria memutar knop pintu dengan pelan. Dilihatnya Alea yang masih meringkuk di bawah selimut. Biasanya ketika datang pasti Alea sudah berdiri di depan jendela kaca dengan keadaan yng memprihatinkan. Selalu mengatakan ingin sekali menghirup udara segar. Ia seperti seekor burung yang berada di dalam sangkar emas.

"Nona, bangunlah. Hari sudah siang." Maria menggoyang pelan lengan Alea agar tidak membuatnya terkejut.

Tidak ada sahutan sama sekali. Bahkan menggeliat saja tidak. Membuat Maria merasa curiga karena selimut itu sedikit bergetar. Hingga Maria membuka selimut.

Wajahnya langsung terperangah melihat Alea yang menggigil kedinginan. Gadis itu menggigit bibir bawahnya hingga membiru. Diperiksanya dengan punggung tangan ternyata panasnya sangat tinggi.

Maria segera menutup tubuh Alea kembali dengan selimut. Melangkahkan kakinya tergesa-gesa keluar dari kamar itu untuk memberikan laporan kepada Darel. Beruntung Maria langsung melihat Erick.

"Erick, tunggu!" sergah Maria dengan nafas yang terengah-engah ketika melihat Erick hendak keluar.

"Ada apa, Bibi?" ujar Erick dengan dahi berkerut.

"Sebaiknya kita bawa Alea ke rumah. Saat ini panasnya sangat tinggi. Aku khawatir terjadi sesuatu yang buruk padanya karena ia juga menggigil," ujar Maria yang panik.

"Alea sakit?" Erick juga tampak terkejut.

Maria menganggukkan kepalanya.j

"Biarkan aku periksa terlebih dahulu." Erick melangkahkan kakinya dengan sangat lebar agar segera sampai di kamar Alea.

"Alea." Erick segera memeriksa dahi Alea. Ternyata benar panasnya sangat tinggi tapi ia juga menggigil kedinginan.

"Ada apa ini? Pagi-pagi sudah ribut," ujar Darel yang berdiri di ambang pintu. Ia masih memakai piyamanya karena memang belum mandi. Bahkan rambutnya masih acak-acakan dengan wajah yang masih kusam.

"Tuan, sebaiknya kita bawa nona maksudnya Alea ke rumah sakit," ujar Maria dengan tergagap karena hampir salah menyebut Alea dengan 'nona'.

Darel memang tidak mengizinkan siapapun di rumah itu yang memanggil Alea dengan nona karena baginya Alea adalah gadis rendahan yang lebih rendah posisinya dari seorang pelayan.

"Memangnya kenapa? Bukankah semalam dia baik-baik saja? Semalam ketika aku datang kemari tidak terjadi apapun," ujar Darel dengan santai tanpa merasa bersalah sama sekali.

"Badannya panas serta menggigil, Tuan," ujar Maria yang ingin menangis jika sampai Alea dibiarkan tanpa diobati.

"Mungkin dia hanya akting agar dibawa ke rumah sakit kemudian kabur," ujar Darel seraya menyunggingkan senyum meremehkan.

"Tidak benar, Tuan. Alae saat ini benar-benar sedang sakit," ujar Maria sembari menggelengkan kepalanya. Tak menyangka jika anak kecil yang dulu sangat baik dan manja sekarang seperti monster.

Darel berjalan mendekati ranjang untuk memastikan perkataan Maria. Dengan kasar lalu menyingkap selimut yang menutupi tubuh yang kini terlihat semakin kurus.

Alea meletakkan kedua tangannya di tengah lututnya yang saling bertautan. Untuk mengurangi rasa menggigil.

"Sakitnya tidak seberapa, ini hanya kedinginan karena semalam hujan. Jika tubuhnya panas hidupkan saja AC-nya. Dasar manja!" cibir Darel tanpa rasa belas kasihan sama sekali.

Erick ingin protes tapi mengurungkan niatnya. Karena tidak ada gunanya. Ia merasa jika bosnya sudah kembali seperti dulu sebelum bertemu dengan Esme. Tak disangka perubahan Darel hanya karena ingin dicintai Esme bukan karena ingin lebih baik lagi.

Dengan santainya, Darel melangkah pergi meninggalkan kamar itu.

"Bibi, berikan saja obat yang ada di rumah ini. Nanti aku akan berusaha sebisa mungkin membujuk tuan agar memperbolehkan Alea dibawa ke rumah sakit," ujar Erick karena dirinya tidak mungkin berani mengambil keputusan secara sepihak.

"Baik, Tuan," sahut Maria yang sudah meneteskan air matanya.

"Aku pergi dulu," pamit Erick yang langsung diangguki oleh Maria.

"Nona, kenapa nasibmu malang sekali," ujar Maria dengan air mata yang bercucuran karena tak sanggup lagi menahannya.

Maria pergi sebentar mengambil obat penurun demam kemudian berbalik lagi.

Mata Alea terus terpejam dengan gigi yang bergemeletuk karena menahan rasa dingin yang saat ini dirasakannya.

"Nona, bangunlah. Anda harus minum obat terlebih dahulu," ujar Maria. Melihatnya seperti itu membuatnya tidak tega.

Alea perlahan membuka matanya yang sayu dan terasa panas. Bahkan kepalanya terasa berputar hingga ia sulit untuk membuka matanya dengan lebar. Tubuhnya bergetar hebat.

"Bibi, aku sudah tidak tahan lagi," ujar Alea lirih dengan bibir yang sangat pucat.

"Nona, jangan berbicara seperti itu. Sebaiknya minum obat dulu agar rasa dinginnya berkurang." Maria membantu Alea untuk duduk bersandar di sisi ranjang agar memudahkan untuk meminum obat.

Wanita paruh baya itu meraih beberapa butir obat yang ada di atas nakas. Obat itu biasanya diminum oleh para pelayan jika sakit ringan. Namun Maria berharap obat itu bisa mengurangi demam pada Alea.

"Sebaiknya makanlah sedikit saja agar perut Nona tidak kosong," ujar Maria sebelum memberikan obat itu

Alea menggelengkan kepalanya dengan kuat karena sangat tidak berselera untuk makan.

Terpaksa Maria langsung meminumkan obat penurun panas itu kepada Alea.
"Sekarang istirahatlah kembali," ujar Maria seraya membantu Alea membaringkan tubuhnya kembali.

"Bibi, jika aku pergi. Aku mohon maafkan aku. Selama di sini aku sudah merepotkan Bibi," ujar Alea dengan bibir bergetar dan pandangan yang sayu. Ia tak yakin bisa bertahan lebih lama lagi untuk hidup.

"Nona, aku mohon jangan mengatakan hal itu. Nona pasti sembuh dan bisa pergi dari rumah ini untuk menjalankan kehidupan baru yang normal," ujar Maria yang tak kuasa menahan tangisnya. Sungguh ia tidak ingin Alea kenapa-kenapa karena selama di sini sudah menganggapnya sebagai keluarga.

"Aku tidak yakin akan hal ini, Bibi. Aku sudah mencoba bertahan dan rasanya tak sanggup lagi. Jika nanti aku tertidur dan tidak bangun lagi, aku mohon maafkan semua kesalahanku. Jika nanti Esme bangun, katakan padanya jika aku tidak pernah ada niat untuk mencelakainya," ujar Alea dengan terbata.

Maria memeluk tubuh gadis malang itu dengan erat agar bisa mengurangi rasa dingin yang saat ini dirasakannya.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

106