Bab 12 Pria Iblis
by Nayya_Phrustazie
13:52,Jan 03,2021
Brian lantas membelalakkan matanya ketika orang yang dimaksud adalah seorang wanita. Pria itu segera memeriksa pergelangan tangan Alea. Yang ternyata denyut nadinya lemah.
Meski saat itu tahu ada yang menggantikan Esme, tapi dirinya tidak berpikir Alea yang dituding mencelakai Esme. Brian tidak berpikir sampai sejauh itu jika ternyata hanya seorang wanita lemah. Seandainya tahu sejak awal dirinya pasti akan memperingatkan Darel.
"Bibi, sejak kapan dia seperti ini?" ujar Brian sembari memeriksa bagian tubuh lainnya.
"Sejak pagi tadi, Tuan," sahut Maria.
"Jika sejak pagi seperti ini, kenapa tidak menghubungiku?" ujar Brian. Itu hanya demam biasa tapi jika terlambat penanganannya maka akan fatal.
"Tuan tidak mengizinkan," sahut Maria lirih dengan kepala tertunduk.
Brian kemudian melihat punggung Alea yang tersingkap hingga tampaklah luka memar di punggungnya.
"Bibi, apa yang terjadi padanya? Kenapa ada memar di tubuhnya?" tanya Brian dengan wajah yang terkejut.
"Itu … itu …." Maria sangat takut untuk mengatakan semuanya.
"Katakan saja, Bibi. Apa yang sebenarnya terjadi?" desak Brian.
"Tuan yang melakukannya. Hampir setiap malam membuat Alea seperti itu." Maria mengatakannya dengan suara lirih dan wajah tertunduk.
"Apa? Jadi Darel yang sudah melakukannya?" ujar Brian dengan suara meninggi.
Maria terpaksa menganggukkan kepalanya.
"Dasar pria iblis!" umpat Brian kesal. Ingin sekali menghajar Darel saat itu juga. Namun terlebih dahulu Brian memasang infus di tangan Alea. Sungguh iba melihat tubuh Alea yang tampak kurus kering. Bahkan untuk menemukan urat nadinya saja sangat mudah.
Brian juga menyuntikkan obat ke lengan Alea agar demamnya segera berkurang. Karena tidak memungkinkan jika harus minum obat. Obat ruang disuntikkan ke tubuh akan lebih cepat bereaksi.
"Bibi, jaga dia disini. Aku akan berbicara kepada iblis itu," ujar Brian setelah melakukan tugasnya. Saat ini ia begitu emosi karena Darel sudah berbuat tidak sangat manusiawi.
Tanpa pikir panjang Brian langsung mendorong pintu ruang kerja Darel dengan sangat keras.
Dubrak….
Darel yang sedang fokus pada laptopnya seketika langsung menoleh ke arah pintu.
"Tidak bisakah kau pelan-pelan membuka pintu rumahku?" gerutu Darel.
"Kau memang pria iblis. Bagaimana bisa kau menyiksa seorang gadis hampir setiap malam hingga tubuhnya membiru seperti itu?" ujar Brian dengan nada tinggi.
"Itu salahnya sendiri karena sudah berani mengusik hidup seorang Darel Alexander," ucap Darel tanpa mengalihkan pandangannya.
"Kau memang pria iblis! Apa memang kau tidak memiliki hati nurani lagi sehingga menyiksanya setiap malam? Dia itu terlalu lemah. Kau bahkan dengan tega membiarkannya sakit sejak pagi tadi. Untung nyawanya masih menggantung di leher," ucap Brian dengan terang-terangan. Tak peduli meski Darel seorang mantan mafia sekalipun yang akan dengan mudah menembak kepalanya.
"Tidak ada ampun bagi siapa saja yang berusaha mencelakai Esme," ucap Darel sembari mengepalkan tinjunya erat-erat di atas meja.
"Bagaimana jika dugaanmu selama ini salah? Bagaimana jika orang lain yang sudah mencoba mencelakai Esme dan dia yang dijebak," ungkap Brian.
"Memang sudah nasibnya seperti itu," ujar Darel dengan santai dan tanpa merasa bersalah sama sekali.
"Lihatlah jika sampai kau menyiksanya lagi. Aku tidak akan mau datang ke rumah ini lagi untuk membantumu," ancam Brian dengan tegas.
"Kau sangat menyebalkan. Hanya karena gadis murahan itu kau berani mengancamku," gerutu Darel.
"Itu sebabnya jangan macam-macam lagi. Aku ke atas lagi karena setelah ini akan memeriksa keadaan Esme. Sebaiknya kau baru bertindak setelah nanti Esme bangun. Seharusnya kau fokus pada kesembuhan Esme bukannya malah bertindak sesuka hati," ujar Brian yang langsung melangkah pergi.
Mendengar Brian menyebutkan nama Esme. Hatinya lagi-lagi harus merasakan kesedihan. Seharusnya mereka sedang manis-manisnya menjalin asmara. Menjelajahi tempat ke berbagai belahan dunia untuk berbulan madu. Kini impian mereka sirna sudah.
Sebulan sudah Esme menutup matanya tanpa tahu kapan dia terbangun lagi. Darel mengusap gusar wajahnya. Akibat terlalu mengurusi balas dendam pada Alae, justru membuatnya harus melupakan Esme. Sudah beberapa hsri belakangan tidak pernah mengunjungi Esme di rumah sakit.
Darel kemudian bangkit dari duduknya. Menata semua berkas-berkasnya. Ternyata benar ucapan Brian, seharusnya ia fokus pada kesembuhan Esme bukannya malah sibuk membalas dendam.
"Apakah anda akan pergi ke kantor lagi, Tuan?" tanya Erick yang kebetulan sekali hendak ke ruangan Darel.
"Tidak, kau urus saja semuanya. Aku hari ini akan mengunjungi Esme," ucap Darel dengan wajah lesu.
"Baik, Tuan."
Di lantai atas, Brian memeriksa kembali keadaan Alea. Sungguh miris melihatnya seperti itu.
"Bibi, jika Darel berbuat sesuatu padanya katakan saja padaku. Tidak perlu takut karena aku tidak ingin gadis yang tidak berdosa justru menjadi korban," ucap Brian pada Maria.
"Baik, Tuan. Satu lagi, bisakah anda membantu Alea agar bisa berjalan kembali seperti semula. Sebelum datang kemari Alea mengalami kecelakaan bersama keluarganya. Menyebabkan pergelangan kakinya patah. Menurut Alae seharusnya ia menjalani operasi kembali. Namun karena karena terjebak di rumah ini, operasinya harus tertunda." Maria menerangkan sedikit kepada Brian karena sepertinya pria muda itu sepakat dengannya.
"Benarkah?" Brian lalu menyingkap selimut yang menutupi kaki Alae. Setelah memeriksa, ternyata benar jika ada bekas operasi di kakinya.
"Nanti aku akan membantu berbicara pada Darel agar mengizinkan Alea dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Sungguh gadis yang malang," ucap Brian dengan getir.
Sebenarnya Alea gadis yang terlihat cantik namun karena tidak pernah terkena sinar matahari, kulitnya terlihat pucat. Ditambah lagi karena mengalami siksaan, membuat kulitnya berkerut seperti wanita yang sudah tua.
"Terima kasih, Tuan. Aku hanya bisa berharap pada belas kasih anda. Sudah terlalu lama dia menderita seperti ini." Tanpa sadar Maria meneteskan air mata setiap melihat Alea yang kini sangat menyedihkan.
"Apakah kau yakin jika dia bukanlah orang yang mencelakai Esme?" Alis Brian saling bertautan.
"Rasanya dia terlalu lemah untuk mencelakai nona Esme. Lagi pula selama ini nona Esme adalah wanita kuat yang tidak mudah untuk dilukai. Apalagi oleh gadis yang berjalan saja harus mengenakan tongkat," terang Maria.
"Kau benar, Bibi. Sepertinya yang mencelakai Esme bukanlah orang sembarangan. Bisa jadi karena orang itu sudah mengincar sejak lama. Namun sayang sekali sepertinya Darel sudah dibutakan dengan hal itu." Brian mendesah panjang memikirkan Darel yang seenaknya sendiri dalam bertindak.
"Ya sudah, aku pergi dulu. Karena hari ini aku harus melihat perkembangan Esme kembali," pamit Brian.
"Apakah nona Esme sudah mengalami perubahan, Tuan," tanya Maria. Ia juga sangat dekat dengan gadis itu. Mereka sering bertukar pikiran sehingga Maria juga merasa kehilangan.
"Keadaannya masih seperti biasa. Belum menunjukkan tanda-tanda ke arah yang lebih baik," sahut Brian.
Brian kemudian segera pergi meninggalkan villa besar itu.
Meski saat itu tahu ada yang menggantikan Esme, tapi dirinya tidak berpikir Alea yang dituding mencelakai Esme. Brian tidak berpikir sampai sejauh itu jika ternyata hanya seorang wanita lemah. Seandainya tahu sejak awal dirinya pasti akan memperingatkan Darel.
"Bibi, sejak kapan dia seperti ini?" ujar Brian sembari memeriksa bagian tubuh lainnya.
"Sejak pagi tadi, Tuan," sahut Maria.
"Jika sejak pagi seperti ini, kenapa tidak menghubungiku?" ujar Brian. Itu hanya demam biasa tapi jika terlambat penanganannya maka akan fatal.
"Tuan tidak mengizinkan," sahut Maria lirih dengan kepala tertunduk.
Brian kemudian melihat punggung Alea yang tersingkap hingga tampaklah luka memar di punggungnya.
"Bibi, apa yang terjadi padanya? Kenapa ada memar di tubuhnya?" tanya Brian dengan wajah yang terkejut.
"Itu … itu …." Maria sangat takut untuk mengatakan semuanya.
"Katakan saja, Bibi. Apa yang sebenarnya terjadi?" desak Brian.
"Tuan yang melakukannya. Hampir setiap malam membuat Alea seperti itu." Maria mengatakannya dengan suara lirih dan wajah tertunduk.
"Apa? Jadi Darel yang sudah melakukannya?" ujar Brian dengan suara meninggi.
Maria terpaksa menganggukkan kepalanya.
"Dasar pria iblis!" umpat Brian kesal. Ingin sekali menghajar Darel saat itu juga. Namun terlebih dahulu Brian memasang infus di tangan Alea. Sungguh iba melihat tubuh Alea yang tampak kurus kering. Bahkan untuk menemukan urat nadinya saja sangat mudah.
Brian juga menyuntikkan obat ke lengan Alea agar demamnya segera berkurang. Karena tidak memungkinkan jika harus minum obat. Obat ruang disuntikkan ke tubuh akan lebih cepat bereaksi.
"Bibi, jaga dia disini. Aku akan berbicara kepada iblis itu," ujar Brian setelah melakukan tugasnya. Saat ini ia begitu emosi karena Darel sudah berbuat tidak sangat manusiawi.
Tanpa pikir panjang Brian langsung mendorong pintu ruang kerja Darel dengan sangat keras.
Dubrak….
Darel yang sedang fokus pada laptopnya seketika langsung menoleh ke arah pintu.
"Tidak bisakah kau pelan-pelan membuka pintu rumahku?" gerutu Darel.
"Kau memang pria iblis. Bagaimana bisa kau menyiksa seorang gadis hampir setiap malam hingga tubuhnya membiru seperti itu?" ujar Brian dengan nada tinggi.
"Itu salahnya sendiri karena sudah berani mengusik hidup seorang Darel Alexander," ucap Darel tanpa mengalihkan pandangannya.
"Kau memang pria iblis! Apa memang kau tidak memiliki hati nurani lagi sehingga menyiksanya setiap malam? Dia itu terlalu lemah. Kau bahkan dengan tega membiarkannya sakit sejak pagi tadi. Untung nyawanya masih menggantung di leher," ucap Brian dengan terang-terangan. Tak peduli meski Darel seorang mantan mafia sekalipun yang akan dengan mudah menembak kepalanya.
"Tidak ada ampun bagi siapa saja yang berusaha mencelakai Esme," ucap Darel sembari mengepalkan tinjunya erat-erat di atas meja.
"Bagaimana jika dugaanmu selama ini salah? Bagaimana jika orang lain yang sudah mencoba mencelakai Esme dan dia yang dijebak," ungkap Brian.
"Memang sudah nasibnya seperti itu," ujar Darel dengan santai dan tanpa merasa bersalah sama sekali.
"Lihatlah jika sampai kau menyiksanya lagi. Aku tidak akan mau datang ke rumah ini lagi untuk membantumu," ancam Brian dengan tegas.
"Kau sangat menyebalkan. Hanya karena gadis murahan itu kau berani mengancamku," gerutu Darel.
"Itu sebabnya jangan macam-macam lagi. Aku ke atas lagi karena setelah ini akan memeriksa keadaan Esme. Sebaiknya kau baru bertindak setelah nanti Esme bangun. Seharusnya kau fokus pada kesembuhan Esme bukannya malah bertindak sesuka hati," ujar Brian yang langsung melangkah pergi.
Mendengar Brian menyebutkan nama Esme. Hatinya lagi-lagi harus merasakan kesedihan. Seharusnya mereka sedang manis-manisnya menjalin asmara. Menjelajahi tempat ke berbagai belahan dunia untuk berbulan madu. Kini impian mereka sirna sudah.
Sebulan sudah Esme menutup matanya tanpa tahu kapan dia terbangun lagi. Darel mengusap gusar wajahnya. Akibat terlalu mengurusi balas dendam pada Alae, justru membuatnya harus melupakan Esme. Sudah beberapa hsri belakangan tidak pernah mengunjungi Esme di rumah sakit.
Darel kemudian bangkit dari duduknya. Menata semua berkas-berkasnya. Ternyata benar ucapan Brian, seharusnya ia fokus pada kesembuhan Esme bukannya malah sibuk membalas dendam.
"Apakah anda akan pergi ke kantor lagi, Tuan?" tanya Erick yang kebetulan sekali hendak ke ruangan Darel.
"Tidak, kau urus saja semuanya. Aku hari ini akan mengunjungi Esme," ucap Darel dengan wajah lesu.
"Baik, Tuan."
Di lantai atas, Brian memeriksa kembali keadaan Alea. Sungguh miris melihatnya seperti itu.
"Bibi, jika Darel berbuat sesuatu padanya katakan saja padaku. Tidak perlu takut karena aku tidak ingin gadis yang tidak berdosa justru menjadi korban," ucap Brian pada Maria.
"Baik, Tuan. Satu lagi, bisakah anda membantu Alea agar bisa berjalan kembali seperti semula. Sebelum datang kemari Alea mengalami kecelakaan bersama keluarganya. Menyebabkan pergelangan kakinya patah. Menurut Alae seharusnya ia menjalani operasi kembali. Namun karena karena terjebak di rumah ini, operasinya harus tertunda." Maria menerangkan sedikit kepada Brian karena sepertinya pria muda itu sepakat dengannya.
"Benarkah?" Brian lalu menyingkap selimut yang menutupi kaki Alae. Setelah memeriksa, ternyata benar jika ada bekas operasi di kakinya.
"Nanti aku akan membantu berbicara pada Darel agar mengizinkan Alea dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Sungguh gadis yang malang," ucap Brian dengan getir.
Sebenarnya Alea gadis yang terlihat cantik namun karena tidak pernah terkena sinar matahari, kulitnya terlihat pucat. Ditambah lagi karena mengalami siksaan, membuat kulitnya berkerut seperti wanita yang sudah tua.
"Terima kasih, Tuan. Aku hanya bisa berharap pada belas kasih anda. Sudah terlalu lama dia menderita seperti ini." Tanpa sadar Maria meneteskan air mata setiap melihat Alea yang kini sangat menyedihkan.
"Apakah kau yakin jika dia bukanlah orang yang mencelakai Esme?" Alis Brian saling bertautan.
"Rasanya dia terlalu lemah untuk mencelakai nona Esme. Lagi pula selama ini nona Esme adalah wanita kuat yang tidak mudah untuk dilukai. Apalagi oleh gadis yang berjalan saja harus mengenakan tongkat," terang Maria.
"Kau benar, Bibi. Sepertinya yang mencelakai Esme bukanlah orang sembarangan. Bisa jadi karena orang itu sudah mengincar sejak lama. Namun sayang sekali sepertinya Darel sudah dibutakan dengan hal itu." Brian mendesah panjang memikirkan Darel yang seenaknya sendiri dalam bertindak.
"Ya sudah, aku pergi dulu. Karena hari ini aku harus melihat perkembangan Esme kembali," pamit Brian.
"Apakah nona Esme sudah mengalami perubahan, Tuan," tanya Maria. Ia juga sangat dekat dengan gadis itu. Mereka sering bertukar pikiran sehingga Maria juga merasa kehilangan.
"Keadaannya masih seperti biasa. Belum menunjukkan tanda-tanda ke arah yang lebih baik," sahut Brian.
Brian kemudian segera pergi meninggalkan villa besar itu.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved