Bab 14 Satu Ranjang
by Joe King
07:25,Oct 18,2023
Karena suara mereka berdua mengeras, anak itu membuka mulutnya, tampak mau kembali menangis.
Layla Wei cepat-cepat menepuk-nepuknya dengan lembut.
Gilang Feng melangkah mendekat, lalu mendorong anak itu masuk ke sisi dalam ranjang itu. Lalu dia mengulurkan lengannya yang panjang, dan menggendong Layla Wei ke atas ranjang, lalu memeluknya.
"Bagaimana kalau seperti ini?"
Layla Wei tertegun. Sebelum dia sempat bereaksi, dia menjerit tanpa bersuara: "Apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!"
"Apakah kamu ingin membangunkan anak itu? Aku lelah sekali. Jangan bicara. Jangan bergerak. Cepatlah tidur!" Gilang Feng menahan tangan Layla Wei dan meletakkannya di sisi pinggangnya yang ramping.
Wanita ini terlalu kurus sehingga membuatnya sedikit panik saat merangkulnya. Dia harus memeliharanya hingga sedikit berdaing. Dia tidak ingin setiap hari tidur sambil merangkul tulang.
Layla Wei marah sekali sampai kepalanya pusing. Sejak kecil, dia selalu dididik untuk menjadi orang yang lemah lembut, penuh hormat dan berlapang dada. Mana pernah dia bertemu dengan orang yang tidak masuk akal seperti ini?
Mengingat hari sebentar lagi terang, dia memutuskan untuk menahan diri.
Malam ini benar-benar sangat melelahkan. Dari membantu Gilang Feng melakukan akupuntur, menghalau kerumunan serigala, hingga membujuk anak itu untuk tidur. Layla Wei benar-benar sudah kehabisan tenaga. Tadinya dia hanya ingin memejamkan mata untuk beristirahat. Tetapi, siapa sangka, begitu matanya terpejam, dia langsung tertidur.
....................................................................................................
Pada dasarnya Gilang Feng sangat waspada saat tidur. Saat dia merasa ada yang tidak beres dengan orang yang ada di dalam pelukannya, dia segera tersadar.
Seiring dengan cahaya dini hari yang mulai bersinar, dia melihat Layla Wei meringkuk seperti udang. Seluruh tubuhnya terasa sangat panas.
"Layla Wei?" Gilang Feng mengguncangnya dengan perlahan.
Dia mengerenyitkan alis. Seluruh wajahnya terlihat merah. Sama sekali tidak bereaksi.
"Demam?" Gilang Feng teringat pada malam hari saat dia sedang bernegosiasi dengan raja serigala, pakaiannya sangat tipis. Tidak aneh jika dia sakit.
Dia menghadap punggungnya dan memasukkan tenaga dalam ke dalam tubuhnya.
Tubuh yang lembut itu mulai bergerak. Layla Wei pelan-pelan membuka matanya dan bergumam: "Sakit..."
"Sakit di sebelah mana?" Gilang Feng bertanya.
"Dada..."
Gilang Feng mengerutkan alisnya. Dia bukanlah seorang pria terhormat, dia juga tidak pernah memedulikan etika. Tetapi dia juga tidak tega menyentuh wanita yang sedang sakit.
Layla Wei mulai sedikit lebih sadar. Dia ingin mendorongnya. Tetapi tangannya yang lemas itu membuat dorongannya terasa seperti sentuhan.
Gilang Feng seketika itu juga menjadi gelap mata.
Sepelan apapun dia mengenai hal seperti ini, tetap saja dia adalah seorang pria.
Layla Wei marah hingga seluruh tubuhnya bergetar: "Kamu! Cepat pergi!"
Rasa malu yang membara membuatnya ingin sekali menggigit Gilang Feng.
Tetapi dia tidak bertenaga.... Matanya seolah dipenuhi dengan kabut tebal.
Gilang Feng menolehkan kepalanya dan tiba-tiba saja terpukau dengan tatapan matanya.
Mengapa sebelumnya dia tidak memperhatikan bahwa dia memiliki sepasang mata yang begitu indah? Matanya seperti bintang yang paling terang di atas langit gurun pasir.
Dia ingat saat dia berada dalam keadaan yang membuatnya putus asa, dia melihat lautan bintang yang begitu menyilaukan mata. Dia merasa seperti menemukan sebuah oasis di dalam gurun yang tidak ada akhirnya itu.
Saat ini, sepasang bintang itu sedang mengalirkan air mata.
Gilang Feng sama sekali tidak berpikir. Dia menundukkan kepalanya dan menjilat air mata yang ada di sisi bintang-bintang itu. Dengan suara lembut dia berkata: "Jangan menangis. Aku tidak akan mengganggumu."
Tiba-tiba saja wajah Gilang Feng menjadi muram.
Wajah Layla Wei menajdi sangat merah. Dengan susah payah, dia menarik baju, ingin menutupi tubuhnya.
"Kamu... berhenti. Jangan lecehkan aku!" Layla Wei berkata sambil mengeratkan giginya.
Layla Wei cepat-cepat menepuk-nepuknya dengan lembut.
Gilang Feng melangkah mendekat, lalu mendorong anak itu masuk ke sisi dalam ranjang itu. Lalu dia mengulurkan lengannya yang panjang, dan menggendong Layla Wei ke atas ranjang, lalu memeluknya.
"Bagaimana kalau seperti ini?"
Layla Wei tertegun. Sebelum dia sempat bereaksi, dia menjerit tanpa bersuara: "Apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!"
"Apakah kamu ingin membangunkan anak itu? Aku lelah sekali. Jangan bicara. Jangan bergerak. Cepatlah tidur!" Gilang Feng menahan tangan Layla Wei dan meletakkannya di sisi pinggangnya yang ramping.
Wanita ini terlalu kurus sehingga membuatnya sedikit panik saat merangkulnya. Dia harus memeliharanya hingga sedikit berdaing. Dia tidak ingin setiap hari tidur sambil merangkul tulang.
Layla Wei marah sekali sampai kepalanya pusing. Sejak kecil, dia selalu dididik untuk menjadi orang yang lemah lembut, penuh hormat dan berlapang dada. Mana pernah dia bertemu dengan orang yang tidak masuk akal seperti ini?
Mengingat hari sebentar lagi terang, dia memutuskan untuk menahan diri.
Malam ini benar-benar sangat melelahkan. Dari membantu Gilang Feng melakukan akupuntur, menghalau kerumunan serigala, hingga membujuk anak itu untuk tidur. Layla Wei benar-benar sudah kehabisan tenaga. Tadinya dia hanya ingin memejamkan mata untuk beristirahat. Tetapi, siapa sangka, begitu matanya terpejam, dia langsung tertidur.
....................................................................................................
Pada dasarnya Gilang Feng sangat waspada saat tidur. Saat dia merasa ada yang tidak beres dengan orang yang ada di dalam pelukannya, dia segera tersadar.
Seiring dengan cahaya dini hari yang mulai bersinar, dia melihat Layla Wei meringkuk seperti udang. Seluruh tubuhnya terasa sangat panas.
"Layla Wei?" Gilang Feng mengguncangnya dengan perlahan.
Dia mengerenyitkan alis. Seluruh wajahnya terlihat merah. Sama sekali tidak bereaksi.
"Demam?" Gilang Feng teringat pada malam hari saat dia sedang bernegosiasi dengan raja serigala, pakaiannya sangat tipis. Tidak aneh jika dia sakit.
Dia menghadap punggungnya dan memasukkan tenaga dalam ke dalam tubuhnya.
Tubuh yang lembut itu mulai bergerak. Layla Wei pelan-pelan membuka matanya dan bergumam: "Sakit..."
"Sakit di sebelah mana?" Gilang Feng bertanya.
"Dada..."
Gilang Feng mengerutkan alisnya. Dia bukanlah seorang pria terhormat, dia juga tidak pernah memedulikan etika. Tetapi dia juga tidak tega menyentuh wanita yang sedang sakit.
Layla Wei mulai sedikit lebih sadar. Dia ingin mendorongnya. Tetapi tangannya yang lemas itu membuat dorongannya terasa seperti sentuhan.
Gilang Feng seketika itu juga menjadi gelap mata.
Sepelan apapun dia mengenai hal seperti ini, tetap saja dia adalah seorang pria.
Layla Wei marah hingga seluruh tubuhnya bergetar: "Kamu! Cepat pergi!"
Rasa malu yang membara membuatnya ingin sekali menggigit Gilang Feng.
Tetapi dia tidak bertenaga.... Matanya seolah dipenuhi dengan kabut tebal.
Gilang Feng menolehkan kepalanya dan tiba-tiba saja terpukau dengan tatapan matanya.
Mengapa sebelumnya dia tidak memperhatikan bahwa dia memiliki sepasang mata yang begitu indah? Matanya seperti bintang yang paling terang di atas langit gurun pasir.
Dia ingat saat dia berada dalam keadaan yang membuatnya putus asa, dia melihat lautan bintang yang begitu menyilaukan mata. Dia merasa seperti menemukan sebuah oasis di dalam gurun yang tidak ada akhirnya itu.
Saat ini, sepasang bintang itu sedang mengalirkan air mata.
Gilang Feng sama sekali tidak berpikir. Dia menundukkan kepalanya dan menjilat air mata yang ada di sisi bintang-bintang itu. Dengan suara lembut dia berkata: "Jangan menangis. Aku tidak akan mengganggumu."
Tiba-tiba saja wajah Gilang Feng menjadi muram.
Wajah Layla Wei menajdi sangat merah. Dengan susah payah, dia menarik baju, ingin menutupi tubuhnya.
"Kamu... berhenti. Jangan lecehkan aku!" Layla Wei berkata sambil mengeratkan giginya.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved