Bab 6 Tidur Dengan Ibu Yang Baru Melahirkan
by Joe King
07:24,Oct 18,2023
Layla Wei memiliki seluruh ingatan dan perasaan yang tadinya dimiliki putri sah Keluarga Wei.
Dia sangat takut pada Gilang Feng. Bahkan sampai hamil pun, dia tidak berani mengaborsi anaknya itu.
Hal ini sangat sulit dimengerti oleh orang modern seperti Layla Wei.
Putri sah Keluarga Wei bukan hanya lemah. Dia juga sangat polos. Selain tidak berani, dia juga tidak tega.
"Anjing atau kucing kecil saja bisa berkata sakit. Jika anak itu diaborsi, dia pasti akan merasa sangat sakit..." Dia memegangi perutnya sambil berkata demikian.
Jika dia bisa bicara sambil berhadapan langsung dengan putri sah Keluarga Wei, Layla Wei pasti akan bertanya padanya: "Bagaimana setelah anak itu dilahirkan?"
Berti Wei mengerahkan segala cara untuk membunuhnya. Tujuannya adalah untuk menguasai seluruh harta kekayaan ibu kandungnya.
Dia sendiri saja sudah nyaris menyebrangi sungai kematian, sulit untuk bertahan hidup. Dengan apa dia bisa membesarkan anak itu?
Apakah anak itu akan dia serahkan pada Gilang Feng? Sekalipun dia bukan orang yang berdarah dingin dan tidak punya perasaan. Status anak itu sebagai seorang anak haram pun sangat canggung. Dia tidak mungkin bisa tumbuh besar dalam kondisi normal.
Layla Wei tampak berpikir keras.
Berhubung dia menempati tubuh putri sah Keluarga Wei, maka, segala yang ada di depan mata, yang baik dan yang buruk, adalah urusannya.
Anak itu, akan dia besarkan dengan baik.
Harta yang dirampas Keluarga Wei, harus dia rebut kembali.
Mengenai Gilang Feng....
Putri sah Keluarga Wei sangat baik hati. Di dalam ingatannya, dia tidak merasakan kebencian terhadapnya. Sedangkan menurut Layla Wei, nasi sudah menjadi bubur. Kebencian tidak bisa menyelesaikan masalah. Asalkan dia bisa menyerahkan anak itu padanya, air sumur tidak akan bercampur dengan air sungai. Dia tidak ingin merlama-lama terlilit dengan urusan masa lampau.
Ada banyak hal yang harus dia lakukan.
......................................................................
Dengan suplai bahan-bahan pangan dari Gilang Feng, akhirnya pada hari kedua Layla Wei berhasil mengeluarkan asi. Setelah dirawat dengan akupuntur dan minum susu, kondisi anak itu sekarang sudah bisa dibilang cukup stabil.
Di luar rumah itu, sedang turun kepingan-kepingan salju besar seperti bulu angsa yang melayang-layang. Sudah cukup lama dan tidak ada tanda-tanda akan segera berhenti.
Setelah Layla Wei selesai memberi anak itu asi, dia baru saja hendak tidur. Tetapi dia mendengar ada suara ketukan dari depan pintu.
Bawahan Gilang Feng, Dimas Feng, sama saja tidak tahu etika. Layla Wei belum sempat menjawab, tetapi pintunya telah dibuka.
Angin dingin yang menusuk membawa kepingan salju, berhembus masuk ke dalam. Layla Wei segera menarik selimutnya dan menutupi diri dan anaknya itu.
"Nona Wei, silakan ikuti aku."
"Nona kami masih dalam perawatan setelah melahirkan. Dia tidak boleh keluar..." Bibi Song berusaha sekuat tenaga untuk menghalangi. Tetapi karena melihat tatapan mata Dimas Feng dia lupa apa yang akan dia katakan selanjutnya.
Layla Wei tahu, meskipun dia harus merangkak sekalipun, dia tetap harus pergi.
"Bibi Song. Bantu aku mengenakan pakaian. Gendong aku ke sana. Chika, jaga anak itu." Layla Wei sekilas melihat ke arah Dimas Feng: "Tolong tunggu sebentar di depan pintu. Aku akan mengganti pakaianku."
Setelah Bibi Song menggendong Layla Wei keluar, Layla Wei baru sadar bahwa salju di luar sudah menumpuk, hingga menutupi betis.
Bibi Song berjalan selangkah demi selangkah dengan susah payah. Dimas Feng merasa dia terlalu lamban. Lalu dia berkata dengan nada rendah pada Layla Wei: "Maaf."
Layla Wei hanya merasa tubuhnya seperti melayang. Detik berikutnya, dia sudah berada di punggung Dimas Feng.
"Jangan..." Bibi Song ketakutan hingga wajahnya pucat pasi. Pria dan wanita yang tidak ada hubungannya sama sekali, dia mana boleh... tetapi hanya dalam sekejap mata, Nonanya dan Dimas Feng sudah hilang ke dalam pelataran.
Layla Wei diantar ke dalam kamar Gilang Feng.
Dingin sekali.
Layla Wei merapatkan jubah penangkal anginnya. Untuk sesaat, dia tertegun.
Di dalam kamar yang begitu dingin seperti goa es itu, Gilang Feng telanjang bulat. Dia hanya mengenakan celana tipis. Dia duduk di atas ranjang dengan mata terpejam dan kaki bersila. Seluruh tubuhnya dibasahi bulir-bulir keringat.
Otot-otot badannya kekar, garisnya sangat tegas. Kulitnya putih seperti giok. Bentuk tubuhnya sangat indah.
Akan tetapi, bagi Layla Wei, seindah apapun tubuhnya, itu semua hanya rangka luarnya saja. Yang membuat dia melihatnya dengan seksama adalah bekas-bekas luka pada tubuh Gilang Feng. Sayatan-sayatan yang saling bersilang seperti pot keramik pecah yang ditempelkan kembali membuatnya merasa aneh.
Dengan kedudukan dan statusnya, mana mungkin dia terluka begitu parah dan meninggalkan bekas luka yang begitu mengerikan?
Tepat pada saat itu, Gilang Feng membuka matanya. Seluruh matanya berwarna merah. Raut wajahnya dingin dan sadis. Dia menatap Layla Wei seperti menatap binatang buruan.
Tatapan mata itu, raut wajah itu, membuat hati Layla Wei terperanjat: Malam itu, Gilang Feng juga tampak seperti itu....
Apa yang ingin dilakukannya?
"Dimas Feng. Untuk apa kamu membawanya kemari? Membantuku meredam api?" Suara Gilang Feng begitu dingin seperti racun dingin yang menusuk.
"Tuan. Salju telah menutupi seluruh gunung. Ada kemungkinan Dokter Yue tidak bisa datang. Hamba lancang dan meminta Nona Wei untuk memberi Tuan perawatan akupuntur." Dimas Feng menunduk dan berlutut di hadapan Gilang Feng. Dia bahkan tidak berani menarik napas.
"Kamu bukan lancang, melainkan bodoh! Kamu memintanya merawatku dengan akupuntur? Apa kamu tidak takut dia menusukku hingga mati?" Gilang Feng berkata tanpa ampun.
Pada bulan ketiga, awal musim semi.
Malam yang gelap temaram, rasa terktekan yang amat berat. Seperti ada orang yang menumpahkan cairan tinta ke atas kertas titah. Tinta itu membasahi langit dan mengotori awan.
Awan-awan saling bertumpuk dan membaur satu sama lain, memantulkan cahaya-cahaya kilat yang berwarna kemerahan. Diiringin dengan gemuruh suara guntur yang bergulung-gulung.
Semua itu terdengar seperti roh dewa yang sedang menggeram dan menggema di alam manusia.
Di sebuah permukaan tanah, ada bendungan air kota yang terlantar. Dia tetap diam di bawah rintikan darah yang berwarna merah. Sama sekali tidak ada hawa-hawa kehidupan.
Di dalam kota, dinding-dinding rusak dan reruntuhan membentang. Seluruh mahluk hidup bergelimpangan. Di mana-mana tampak rumah-rumah yang roboh dan mayat-mayat berwarna biru kehitaman, serpihan daging-daging yang tampak seperti serpihan daun di musim gugur. Hening, tidak ada suaranya sama sekali.
Jalan-jalan yang tadinya ramai dan terang-benderang disinari matahari, sekarang menjadi suram.
Jalan-jalan dari tanah dan pasir yang tadinya dipenuhi orang berlalu-lalang, sekarang tidak lagi bersuara.
Hanya ada serpihan daging, debu dan beberapa lembar kertas yang bercampur dengan darah yang tersisa. Sudah tidak bisa dibedakan satu sama lain. Membuat orang tercengang.
Tidak jauh dari sana, sebuah kereta kuda yang hancur, terperangkap di dalam lumpur. Sangat menyedihkan. Hanya ada sebuah boneka kelinci yang tertinggal dan menggantung pada gagang kereta, bergoyang mengikuti hembusan angin.
Bulunya yang putih, sudah menjadi merah basah oleh darah. Sangat menyeramkan.
Kedua matanya yang kabur, tampak seperti menyimpan dendam. Memandang bongkahan batu berbintik-bintik di hadapannya dengan kesepian.
Di sana, ada bayangan tubuh yang sedang merayap.
Seorang anak muda berusia 13-14 tahun. Bajunya terkoyak-koyak, dipenuhi dengan debu. Pada bagian pinggang, ada seuntai ikat pinggang dari kulit yang sudah rusak.
Sanak muda itu memejamkan matanya dan tidak bergerak. Rasa dingin yang menusuk tulang datang dari sekelilingnya dan menembus pakaiannya yang usang dan merambat ke sekujur tubuhnya. Perlahan-lahan membuat suhu tubuhnya menjadi semakin rendah.
Dia sangat takut pada Gilang Feng. Bahkan sampai hamil pun, dia tidak berani mengaborsi anaknya itu.
Hal ini sangat sulit dimengerti oleh orang modern seperti Layla Wei.
Putri sah Keluarga Wei bukan hanya lemah. Dia juga sangat polos. Selain tidak berani, dia juga tidak tega.
"Anjing atau kucing kecil saja bisa berkata sakit. Jika anak itu diaborsi, dia pasti akan merasa sangat sakit..." Dia memegangi perutnya sambil berkata demikian.
Jika dia bisa bicara sambil berhadapan langsung dengan putri sah Keluarga Wei, Layla Wei pasti akan bertanya padanya: "Bagaimana setelah anak itu dilahirkan?"
Berti Wei mengerahkan segala cara untuk membunuhnya. Tujuannya adalah untuk menguasai seluruh harta kekayaan ibu kandungnya.
Dia sendiri saja sudah nyaris menyebrangi sungai kematian, sulit untuk bertahan hidup. Dengan apa dia bisa membesarkan anak itu?
Apakah anak itu akan dia serahkan pada Gilang Feng? Sekalipun dia bukan orang yang berdarah dingin dan tidak punya perasaan. Status anak itu sebagai seorang anak haram pun sangat canggung. Dia tidak mungkin bisa tumbuh besar dalam kondisi normal.
Layla Wei tampak berpikir keras.
Berhubung dia menempati tubuh putri sah Keluarga Wei, maka, segala yang ada di depan mata, yang baik dan yang buruk, adalah urusannya.
Anak itu, akan dia besarkan dengan baik.
Harta yang dirampas Keluarga Wei, harus dia rebut kembali.
Mengenai Gilang Feng....
Putri sah Keluarga Wei sangat baik hati. Di dalam ingatannya, dia tidak merasakan kebencian terhadapnya. Sedangkan menurut Layla Wei, nasi sudah menjadi bubur. Kebencian tidak bisa menyelesaikan masalah. Asalkan dia bisa menyerahkan anak itu padanya, air sumur tidak akan bercampur dengan air sungai. Dia tidak ingin merlama-lama terlilit dengan urusan masa lampau.
Ada banyak hal yang harus dia lakukan.
......................................................................
Dengan suplai bahan-bahan pangan dari Gilang Feng, akhirnya pada hari kedua Layla Wei berhasil mengeluarkan asi. Setelah dirawat dengan akupuntur dan minum susu, kondisi anak itu sekarang sudah bisa dibilang cukup stabil.
Di luar rumah itu, sedang turun kepingan-kepingan salju besar seperti bulu angsa yang melayang-layang. Sudah cukup lama dan tidak ada tanda-tanda akan segera berhenti.
Setelah Layla Wei selesai memberi anak itu asi, dia baru saja hendak tidur. Tetapi dia mendengar ada suara ketukan dari depan pintu.
Bawahan Gilang Feng, Dimas Feng, sama saja tidak tahu etika. Layla Wei belum sempat menjawab, tetapi pintunya telah dibuka.
Angin dingin yang menusuk membawa kepingan salju, berhembus masuk ke dalam. Layla Wei segera menarik selimutnya dan menutupi diri dan anaknya itu.
"Nona Wei, silakan ikuti aku."
"Nona kami masih dalam perawatan setelah melahirkan. Dia tidak boleh keluar..." Bibi Song berusaha sekuat tenaga untuk menghalangi. Tetapi karena melihat tatapan mata Dimas Feng dia lupa apa yang akan dia katakan selanjutnya.
Layla Wei tahu, meskipun dia harus merangkak sekalipun, dia tetap harus pergi.
"Bibi Song. Bantu aku mengenakan pakaian. Gendong aku ke sana. Chika, jaga anak itu." Layla Wei sekilas melihat ke arah Dimas Feng: "Tolong tunggu sebentar di depan pintu. Aku akan mengganti pakaianku."
Setelah Bibi Song menggendong Layla Wei keluar, Layla Wei baru sadar bahwa salju di luar sudah menumpuk, hingga menutupi betis.
Bibi Song berjalan selangkah demi selangkah dengan susah payah. Dimas Feng merasa dia terlalu lamban. Lalu dia berkata dengan nada rendah pada Layla Wei: "Maaf."
Layla Wei hanya merasa tubuhnya seperti melayang. Detik berikutnya, dia sudah berada di punggung Dimas Feng.
"Jangan..." Bibi Song ketakutan hingga wajahnya pucat pasi. Pria dan wanita yang tidak ada hubungannya sama sekali, dia mana boleh... tetapi hanya dalam sekejap mata, Nonanya dan Dimas Feng sudah hilang ke dalam pelataran.
Layla Wei diantar ke dalam kamar Gilang Feng.
Dingin sekali.
Layla Wei merapatkan jubah penangkal anginnya. Untuk sesaat, dia tertegun.
Di dalam kamar yang begitu dingin seperti goa es itu, Gilang Feng telanjang bulat. Dia hanya mengenakan celana tipis. Dia duduk di atas ranjang dengan mata terpejam dan kaki bersila. Seluruh tubuhnya dibasahi bulir-bulir keringat.
Otot-otot badannya kekar, garisnya sangat tegas. Kulitnya putih seperti giok. Bentuk tubuhnya sangat indah.
Akan tetapi, bagi Layla Wei, seindah apapun tubuhnya, itu semua hanya rangka luarnya saja. Yang membuat dia melihatnya dengan seksama adalah bekas-bekas luka pada tubuh Gilang Feng. Sayatan-sayatan yang saling bersilang seperti pot keramik pecah yang ditempelkan kembali membuatnya merasa aneh.
Dengan kedudukan dan statusnya, mana mungkin dia terluka begitu parah dan meninggalkan bekas luka yang begitu mengerikan?
Tepat pada saat itu, Gilang Feng membuka matanya. Seluruh matanya berwarna merah. Raut wajahnya dingin dan sadis. Dia menatap Layla Wei seperti menatap binatang buruan.
Tatapan mata itu, raut wajah itu, membuat hati Layla Wei terperanjat: Malam itu, Gilang Feng juga tampak seperti itu....
Apa yang ingin dilakukannya?
"Dimas Feng. Untuk apa kamu membawanya kemari? Membantuku meredam api?" Suara Gilang Feng begitu dingin seperti racun dingin yang menusuk.
"Tuan. Salju telah menutupi seluruh gunung. Ada kemungkinan Dokter Yue tidak bisa datang. Hamba lancang dan meminta Nona Wei untuk memberi Tuan perawatan akupuntur." Dimas Feng menunduk dan berlutut di hadapan Gilang Feng. Dia bahkan tidak berani menarik napas.
"Kamu bukan lancang, melainkan bodoh! Kamu memintanya merawatku dengan akupuntur? Apa kamu tidak takut dia menusukku hingga mati?" Gilang Feng berkata tanpa ampun.
Pada bulan ketiga, awal musim semi.
Malam yang gelap temaram, rasa terktekan yang amat berat. Seperti ada orang yang menumpahkan cairan tinta ke atas kertas titah. Tinta itu membasahi langit dan mengotori awan.
Awan-awan saling bertumpuk dan membaur satu sama lain, memantulkan cahaya-cahaya kilat yang berwarna kemerahan. Diiringin dengan gemuruh suara guntur yang bergulung-gulung.
Semua itu terdengar seperti roh dewa yang sedang menggeram dan menggema di alam manusia.
Di sebuah permukaan tanah, ada bendungan air kota yang terlantar. Dia tetap diam di bawah rintikan darah yang berwarna merah. Sama sekali tidak ada hawa-hawa kehidupan.
Di dalam kota, dinding-dinding rusak dan reruntuhan membentang. Seluruh mahluk hidup bergelimpangan. Di mana-mana tampak rumah-rumah yang roboh dan mayat-mayat berwarna biru kehitaman, serpihan daging-daging yang tampak seperti serpihan daun di musim gugur. Hening, tidak ada suaranya sama sekali.
Jalan-jalan yang tadinya ramai dan terang-benderang disinari matahari, sekarang menjadi suram.
Jalan-jalan dari tanah dan pasir yang tadinya dipenuhi orang berlalu-lalang, sekarang tidak lagi bersuara.
Hanya ada serpihan daging, debu dan beberapa lembar kertas yang bercampur dengan darah yang tersisa. Sudah tidak bisa dibedakan satu sama lain. Membuat orang tercengang.
Tidak jauh dari sana, sebuah kereta kuda yang hancur, terperangkap di dalam lumpur. Sangat menyedihkan. Hanya ada sebuah boneka kelinci yang tertinggal dan menggantung pada gagang kereta, bergoyang mengikuti hembusan angin.
Bulunya yang putih, sudah menjadi merah basah oleh darah. Sangat menyeramkan.
Kedua matanya yang kabur, tampak seperti menyimpan dendam. Memandang bongkahan batu berbintik-bintik di hadapannya dengan kesepian.
Di sana, ada bayangan tubuh yang sedang merayap.
Seorang anak muda berusia 13-14 tahun. Bajunya terkoyak-koyak, dipenuhi dengan debu. Pada bagian pinggang, ada seuntai ikat pinggang dari kulit yang sudah rusak.
Sanak muda itu memejamkan matanya dan tidak bergerak. Rasa dingin yang menusuk tulang datang dari sekelilingnya dan menembus pakaiannya yang usang dan merambat ke sekujur tubuhnya. Perlahan-lahan membuat suhu tubuhnya menjadi semakin rendah.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved