chapter 15 Keterbatasan Kekuatan Super

by Frans Stevanus 16:59,Sep 27,2023
Alasan Septian Shun buru-buru pulang bukan karena dia tidak ingin bercengkrama lebih lama bersama teman-teman sekelasnya, tetapi karena alasan lain.

Setelah keempat kalinya menggunakan ilmu tembus pandang, kepalanya mulai terasa sakit. Tadi setelah membantu Jenita Zhang menghilangkan pembekuan darah di otaknya, sebuah rasa sakit tiba-tiba menyerangnya dan hamper saja membuat Septian Shun pingsan. Agar tidak benar-benar jatuh pingsan di hadapan teman-temannya, Septian Shun mengandalkan tekadnya yang kuat untuk bertahan, namun pada akhirnya, dia benar-benar tidak bisa bertahan lebih lama lagi, jadi dia buru-buru pergi.

Sambil menyeret tubuhnya yang sakit, Septian Shun akhirnya sampai di rumah sewaannya di lantai bawah sebuah gedung. Dia melemparkan sepedanya dengan asal ke samping lalu berjuang sekuat mungkin untuk menyeret tubuhnya masuk ke dalam kamar. Setelah berada di dalam kamar, Septian Shun tidak lagi bisa menahan, rasa sakit di kepalanya datang seperti gelombang tsunami yang mencabik-cabik tubuhnya. Septian Shun berteriak kesakitan lalu melemparkan tubuhnya dengan keras ke tempat tidur. Dia jatuh pingsan.

Dalam kabut, sepasang mata besar berwarna zamrud menatap lurus ke arahnya. Septian Shun berdiri di bawah mata itu dan menatap lurus-lurus sepasang mata yang seperti harta karun ini sampai mata itu perlahan memudar dan hanya menyisakan bercak darah.

"Ah!"

Septian Shun tiba-tiba terbangun. Rasa lelah menjalar ke seluruh anggota tubuhnya, dia merasa haus dan lapar. Septian Shun berjuang untuk bangun dari tempat tidur, mengobrak-abrik rumah dan memasak semangkuk besar mie. Dia duduk di kamarnya yang kecil dan mulai makan sambil mengatur Kembali kondisinya.

“Sepertinya penggunaan ilmu tembus pandang ada batasnya, tidak bisa kugunakan lama dan tanpa batas waktu. Selain itu, kemampuan untuk mengendalikan objek dengan pikiranku sangat menguras tenagaku.”

Sambil melahap mie miliknya, Septian Shun berpikir dalam hati. "Entah sebesar apa batas kekuatan superku ini.”

Septian Shun mengambil ponselnya untuk melihat jam. Sekarang jam 2 pagi, tadi dia sampai di rumah jam 9 malam, artinya sudah empat jam dia tidur.

Setelah melahap habis semangkuk besar mie, Septian Shun merasa kekuatannya kembali. Dia berdiri dan memutuskan untuk mencoba kekuatannya, masalah ini akan terus menghantuinya jika dia tidak memahaminya. Septian Shun berkonsentrasi pada telapak tangannya, dia bisa melihat setiap lapisan kulit, tulang-tulangnya perlahan menjadi jelas, seolah-olah kulit yang menyelimuti setiap organ tubuhnya sudah terangkat.

“Aku bisa menggunakan ilmu tembus pandang dan merasa baik-baik saja. Sepertinya kekuatan ini bisa digunakan setiap hari, hanya saja jumlah penggunaannya terbatas. Tapi, yang penting bisa digunakan setiap hari.”

Septian Shun secara bertahap membuat penilaian awal atas kemampuannya sendiri.

Mungkin karena dia baru bangun tidur, Septian Shun tidak terlalu mengantuk. Dia mengernyit dan berpikir sejenak, kemudian mengeluarkan laptopnya yang sudah using dari samping tempat tidur lalu menyalakannya. Setelah cukup lama berselancar di internet untuk mencari sebenarnya apa hal misterius yang terjadi padanya, dia tetap tidak menemukan apa pun. Kemudian Septian Shun masuk ke situs resmi Rumah Sakit Utama, dia memasukkan nama akun dan kata sandi untuk masuk ke jaringan dalam situs rumah sakit itu.

Dia mengklik beberapa postingan di forum pertukaran ilmu medis dan melihat-lihat beberapa postingan dengan judul yang sangat melebih-lebihkan tetapi isinya sangat membosankan. Saat dia hendak mematikan laptopnya untuk beristirahat, Septian Shun tiba-tiba teringat otak Jenita Zhang yang dia lihat di hotel tadi. Struktur dan bentuk yang jelas itu masih terukir di kepala Septian Shun. Matanya pun berbinar, jari-jarinya bermain lincah di atas keyboard laptop. Perlahan, sebuah artikel berjudul ‘Beberapa Poin Dugaan yang Disebabkan oleh Struktur Intrakranial dan Struktur Otak – Teori Pengendalian Otak’ terbentuk di bawah tangan Septian Shun.

Mata Septian Shun bersinar. Dia ingat pembekuan darah yang menekan saraf bisa mengakibatkan pasien jatuh koma. Dia ingat setelah memindahkan posisi bekuan darah tadi, Jenita Zhang bisa tetap sadar meski masih dalam kondisi koma. Dia ingat jelas seperti apa sirkuit otak yang tidak normal.

Otak, tempat misterius dan abnormal yang dikenal sebagai Tuhan tubuh manusia, perlahan menjadi jelas di bawah tangan Septian Shun. Jari-jarinya berseluncur cepat di atas laptop, sebuah artikel yang sempurna akan segera terbentuk.

"Drrt… Drrt…"

Tiba-tiba, ponsel Septian Shun bergetar, menandakan ada pesan baru. Septian Shun mengangkat matanya dan melirik waktu di layer bawah laptop. Sekarang pukul 3.15, siapa yang mengiriminya pesan di waktu seperti ini? Septian Shun agak penasaran.

Septian Shun mengangkat ponselnya dan mendapati "Teh Hijau", nama samaran Jenita Zhang di dunia maya berkedip di ponselnya.

Septian Shun pun membuka pesan Jenita Zhang karena penasaran.

“Muze, aku kangen sekali padamu. Sungguh, aku sangat merindukanmu. Baru hari ini aku sadar ternyata kamu sangat baik, ternyata tidak ada yang bisa menandingimu. Tommy tidak menginginkanku lagi, dia mengusirku. Sekarang jam setengah lima lagi, aku ada di Jalan Wening, apa kamu bisa menjemputku? Aku mau a da di empat pagi. Jam setengah, aku di Jalan Wuhu, bisakah kamu menjemputku? Aku ingin bersamamu!"

"Cepat juga kamu sadar, sepertinya otaknya benar-benar luar biasa," gumam Septian Shun, padahal menurut prediksinya Jenita Zhang akan koma setidaknya selama dua hari.

Sambil memegang ponselnya, Septian Shun terlihat bingung sambil menggenggam ponselnya. ‘Muze’ adalah nama panggilan yang begitu familiar. Saat masih kuliah, Jenita Zhang selalu memanggilnya Muze dengan penuh kasih sayang. Semua kenangan masa lalu mereka pun perlahan muncul di benak Septian Shun.

Septian Shun terdiam.

"Tunggu di sana, aku akan segera datang.” Septian Shun mengambil napas dalam-dalam saat mengetik pesan itu. Setelah pesannya terkirim, terlihat jelas kesedihan yang menyayat hati di mata Septian Shun.

Melihat pesannya sukses terkirim, Septian Shun tiba-tiba menyeringai. Dia melemparkan ponselnya ke tempat tidur, berbaring dengan santai dan terus berkonsentrasi pada laptop untuk menyelesaikan artikelnya.

"Tunggu saja."

Septian Shun tersenyum jahat.

Ternyata, Jenita Zhang memang menunggu Septian Shun sepanjang malam. Jenita Zhang yang masih lemah pun kembali masuk rumah sakit setelah sebelumnya sudah diperbolehkan pulang.

Pukul setengah lima pagi, Septian Shun akhirnya selesai mengetik kata terakhir, sebuah artikel pun terbentuk. Dia menghela napas lalu menatap tombol ‘kirim postingan’ dengan galau.

Rumah sakit itu punya aturan yang jelas, Septian Shun masuk dengan ID-nya yang bukan merupakan dokter resmi rumah sakit, namanya juga sangat mencolok. Dia tahu pasti akan ada banyak kontroversi di postingan ini. Kalau dia tidak mengirimkan secara anonym, dia pasti akan dikritik lagi. Septian Shun menghela napas pelan dan akhirnya memilih untuk mengirimkannya secara anonim. Dia tidak tahu kalau artikel ini menjadi ilmu sangat penting dalam komunitas medis di masa depan, begitulah artikel ini diam-diam muncul di kolom “Pembicaraan Tentang Dunia Medis” Rumah Sakit Utama.

Setelah selesai memposting, mengingat besok mungkin akan menjadi hari yang sibuk, Septian Shun memutuskan untuk istirahat sejenak. Besok adalah hari pertamanya sebagai dokter resmi dan dia masih harus membuat laporan pekerjaan, pasti ini jadi hal sulit baginya. Jadi, Septian Shun segera berbaring di kasur, mematikan lampu dan pergi tidur.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

200