Bab 11 Suspicious
by Hannadhif
22:29,Jan 14,2021
Tepat sebelum Brenda mengemudikan mobilnya menuju tempat gym, ada sebuah panggilan masuk di ponselnya. Itu adalah Bastian. “Hallo?” Ucap Brenda.
“Hai, Bren. Kita jadi nge-gym bareng hari ini, kan?” Itu hanyalah pertanyaan basa-basi, sebab ia memiliki maksud lain. “Tentu saja, aku sudah siap menuju tempat gym.” Jawab Brenda penuh semangat.
“Eh…uumm…” Bastian sengaja menggantungkan kalimatnya, ia ingin membuat Brenda penasaran.
“Ada apa?” Tanya Brenda khawatir, sesungguhnya wanita itu takut jika tiba-tiba Bastian membatalkan janjinya.
“Ini, mobilku baru saja masuk bengkel, jadi bisakah kau menjemputku sebelum menuju ke tempat gym?”
Brenda menghela napas lega, tentu saja itu bukan suatu masalah, justru Brenda senang karena bisa lebih lama memandangi tubuh seksi Bastian. “Ya ampun, Bastian, aku pikir ada masalah apa. Dengan senang hati aku akan menjemputmu, tolong kirimkan alamat lengkapmu, ya!” Tak sampai lima menit, Bastian sudah memberitahu alamat tempat tinggalnya pada Brenda.
Bastian tinggal di salah satu apartemen—yang tak terlalu mewah—di kawasan Jakarta Pusat. Tidak seperti Brenda yang mempunyai hak milik apartemen, Bastian hanya menyewa apartemen tersebut selama satu tahun.
Setelah melewati lalu lintas yang super macet hingga harus menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam, Brenda akhirnya sampai di parkiran apartemen Bastian. Pria tampan itu langsung memasuki mobil Brenda dan memberikan sekaleng air soda pada Brenda. “Kau pasti haus karena jalanan ibukota yang selalu macet.” Ujar Bastian lembut, pria itu tak lupa menyelipkan senyum seksinya di akhir kalimat. Brenda yang pada awalnya sedikit kesal dibuat luluh dengan sikap Bastian. “Thank you, berangkat sekarang?” Brenda melirik genit ke arah Bastian.
“Yes, Brenda.”
Brenda melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sebenarnya ia sedikit bertanya-tanya dalam hati mengapa Bastian tidak menawarkan untuk mengambil alih kemudi dan lebih memilih untuk merapikan penampilannya di kursi penumpang. Tapi Brenda tak terlalu memusingkan hal itu, mungkin saja Bastian tidak membawa Surat Izin Mengemudi, begitu pikirnya. Bastian merapikan rambutnya yang sudah sangat rapi menggunakan sisir dan gel rambut. Sudah hampir dua puluh menit Bastian mengecek penampilannya di depan cermin yang ia bawa. “Ngomong-ngomong Brenda, parfum apa yang kau gunakan?” tanyanya.
Brenda mencium punggung tangannya untuk memastikan wangi dari parfum tersebut, “Oh ini, ini parfum Romantic Eau De Parfum dari Jeanne Arthes Parfums.” Jelasnya.
“Wow, bukankah parfum itu buatan Prancis?” Tanya Bastian, sepertinya ia sangat tertarik dengan parfum yang Brenda gunakan. Wanita itu mengangguk, membenarkan perkataan Bastian, “Yap, ini hadiah dari mommy-ku saat dia berkunjung ke Prancis.”
Mata Bastian terbelalak, seperti baru saja mendengar kabar bahwa dirinya berhasil memenangkan undian jutaan rupiah. “Orang tuamu sering pergi ke luar negeri?” Kini Bastian tidak hanya tertarik pada parfum yang Brenda gunakan, tapi juga pada latar belakang keluarga Brenda.
“Tidak terlalu sering, paling hanya dua belas kali dalam setahun.” Itu berarti baik ayah ataupun ibu Brenda setidaknya selalu pergi ke luar negeri setiap bulan. “Memangnya apa pekerjaan orang tuamu?” Sungguh, Bastian seperti reporter yang sedang mewawancarai seorang selebritis.
“Daddy-ku hanya seorang pengacara, sedangkan mommy-ku dia bekerja di salah satu brand fashion. Jadi ya, begitulah, dia sering pergi ke Paris untuk mencari referensi, kau tahu kan, Paris adalah kiblat fashion dunia.”
“Hebat sekali mereka, aku jadi merasa bangga karena bisa dekat dengan putrinya.”
Brenda tersenyum kecil. Sebenarnya sejak dulu ia selalu berusaha untuk menutupi pekerjaan orang tuanya, Brenda tidak ingin orang-orang berteman dengannya hanya karena harta yang dia miliki. Itulah mengapa Brenda hanya memberitahu mengenai orang tuanya jika ada yang bertanya. Tidak seperti dugaan orang-orang yang berkata bahwa Brenda sangat beruntung karena memiliki orang tua yang kaya raya, Brenda justru merasakan sebaliknya. Terkadang Brenda merasa dirinya tidak seberuntung anak-anak lain yang selalu didukung oleh orang tuanya, sementara orang tua Brenda selalu menentang impiannya sejak kecil. Ia merasa seperti tidak mendapat dukungan moral dari ayah dan ibunya.
Bastian menyentuh pundak Brenda, wanita itu terlihat sedang terhanyut dalam pikirannya, “Brenda, are you okay?”
Brenda tersedar dari lamunan, “Eh…um.. I’am okay.” Rasanya belum waktunya bagi Brenda untuk menceritakan kondisi yang sebenarnya pada Bastian, mengingat mereka baru kenal selama beberapa minggu.
“By the way, Brenda, boleh aku mencoba parfum-mu?” Tanyanya tanpa ragu. Brenda sedikit kaget dengan permintaan Bastian, “Eh? Tapi ini parfum wanita…”
Bastian mengibaskan tangan kanannya, “It’s okay, memang apa bedanya? Bukankah terkadang kau juga suka dengan aroma parfum pria?” Bastian benar, Brenda sangat menyukai pria yang wangi. Sering kali aroma parfum pria membangkitkan gairah seksualnya, apalagi jika pria itu menyemprotkan parfum di bagian lehernya. Brenda tersenyum, “Kau benar juga.” Ia kemudian mengeluarkan parfum dari dalam tas dan menyerahkan pada Bastian.
Pria itu menyemprotkan parfum di bagian titik-titik nadinya. Titik nadi memiliki suhu yang hangat karena dekat dengan pembuluh darah, dengan begitu maka aroma parfum akan lebih tahan lama.
Tepat pukul lima sore, keduanya sudah tiba di tempat gym. Sebelum keluar dari mobil, Bastian bertanya sekali lagi mengenai penampilannya pada Brenda untuk sekedar memastikan, “Bagaimana penampilanku?”
“Kau…kau sungguh tampan, Bastian.” Jawab Brenda.
Bastian tersenyum senang, ia mencolek dagu Brenda dengan jari telunjuknya, “Kau juga sungguh cantik, Brenda.”
Sebelum memulai gym, mereka pergi ke ruang ganti terlebih dahulu. Alexander Gym merupakan salah satu tempat gym kelas atas yang biasa dikunjungi oleh para artis dan pengusaha. Terdapat puluhan alat gym super canggih yang dapat digunakan oleh semua anggotanya. Tarif yang dikenakan pun tak main-main, untuk daftar menjadi membership, Brenda harus membayar biaya administrasi sebesar tiga juta rupiah, serta membayar paket bulanan sebesar satu juta rupiah. “Kau tidak ingin mengambil paket setahun?” Tanya Bastian ketika menemani Brenda mengurus registrasi pendaftaran.
“Hemm…tidak, aku ingin mencobanya dulu, jika cocok, maka akan aku lanjutkan.” Sebenarnya ada alasan yang lebih penting dari itu. Brenda ingat dengan pesan yang Cala sampaikan, toh, tidak ada yang tahu hubungan Brenda dan Bastian akan seperti apa ke depannya, jadi ya, dia hanya berantisipasi.
Brenda menunggu di depan ruang ganti pria, tidak lama setelah itu Bastian keluar dengan teman prianya. Sungguh, tiba-tiba Brenda merasa hilang konsentrasi karena dihadapkan dengan dua pria yang sangat tampan dan bertubuh seksi. Bastian mengenakan kaos hitam polos dengan celana pendek olahraga berwarna biru dongker, sedangkan pria di sampingnya mengenakan kaos putih polos beserta celana panjang olahraga ketat. Sama seperti Bastian, kulit wajah pria itu juga begitu mulus, bahkan lebih mulus dari kulit wajah Cala dan Lilly.
“Brenda, perkenalkan, ini Nicko temanku.” Ucap Bastian.
Nicko mengulurkan tangan kanannya pada Brenda. “Hai, Brenda.” Ujarnya ramah.
Brenda menyambut uluran tangan pria dengan tinggi 185 centimeter tersebut, “Hallo, Nicko.”
“By the way, Brenda, Bastian sudah banyak bercerita tentangmu lho. Kalian bertemu saat syuting iklan, bukan?” Terlihat jelas sekali bahwa Nicko adalah seseorang yang mudah akrab dengan orang lain.
Brenda hampir tak bisa menahan diri, jika di situ hanya ada Cala dan Lilly, mungkin ia sudah melompat kegirangan karena Bastian bercerita tentang dirinya kepada temannya. Itu berarti Brenda adalah wanita yang istimewa bagi Bastian. Tapi Brenda bukanlah wanita yang seperti itu, ia tetap bisa stay cool menjaga image agar tetap terlihat berkelas di depan Bastian dan Nicko. “Oh, ya? Bastian pasti cerita kalau diriku sangat bawel.” Brenda sok-sok merendah, tentu saja merendah untuk meroket.
Nicko menggeleng cepat, “Tidak, dia bilang bahwa kau sangat cantik. Kau tahu? Dia memaksaku untuk datang ke tempat gym hari ini hanya karena dia ingin menunjukkan betapa cantiknya dirimu. Dan, well, harus ku akui bahwa Bastian tidak berbohong, kau sangat cantik Brenda!” Meski sudah jutaan kali mendapat pujian mengenai kecantikan yang dimilikinya, entah mengapa setiap dipuji oleh pria idamannya Brenda selalu merasa ingin terbang ke langit ke tujuh.
Brenda menyelipkan rambutnya ke belakang daun telinga agar tak salah tingkah. “Nicko, kau sungguh berlebihan.” Ucap Brenda, Brenda masih berusaha untuk bersikap biasa saja.
“Tidak Brenda, Nicko tidak berlebihan, aku memang berbicara seperti itu dengannya.”
Brenda hanya bisa tersipu malu. "Aku tidak tahu itu benar atau tidak, tapi yang jelas kau sungguh berhasil membuatku salah tingkah, Nicko."
Nicko melirik ke arah Bastian, "Aku rasa Bastian tidak akan keberatan jika kita berdua menjalani hubungan baik, bukan begitu, Bastian?" Ucap Nicko dengan nada sedikit sinis.
******
Cala mengetuk-ngetukkan jari jemari di atas meja, itu adalah kebiasaan yang ia lakukan saat sedang merasa gugup, dan sekarang Cala sedikit gugup karena akan bertemu Reino. Mereka sepakat untuk bertemu di Restaurant Panties Pizza pukul tujuh malam, tapi sudah dua puluh menit berlalu Reino tak kunjung datang. Entah sudah berapa ratus kali Cala mengaduk-ngaduk jus mangga menggunakan sedotan. Berkali-kali juga Cala mengecek ponselnya, takut jika Reino tiba-tiba membatalkan janji.
Empat puluh lima menit pun berlalu, tepat saat Cala hendak pergi dari restoran datanglah Reino dengan napas terengah-engah. “Maaf Cala, aku terlambat.” Ucap Reino, ia masih berdiri di samping kursi.
“Kau selalu seperti ini.” Ada sedikit nada kecewa dari ucapan Cala, kalian tahu, Cala paling tidak suka menunggu, apalagi menunggu orang yang dicintainta.
Reino merasa tak enak karena sering membuat Cala menunggu, tapi kali ini bukan sepenuhnya salah dirinya, “Bos ku tiba-tiba mengadakan meeting online tadi sore, padahal tidak ada jadwal sebelumnya.” Ucapnya membela diri.
Reino duduk di kursi yang ada di depan Cala, mereka kini saling berhadap-hadapan. Ada dua tipe posisi yang dilakukan oleh para pasangan saat sedang makan bersama, posisi duduk saling berhadapan dan posisi duduk bersebelahan. Posisi bersebelahan memang bisa membuat pasangan duduk lebih berdekatan sehingga bisa merasakan sentuhan satu sama lain, tetapi Cala dan Reino lebih menyukai posisi duduk berhadapan. Dengan begitu mereka bisa menatap mata satu sama lain, Reino dapat melihat senyum bahagia Cala saat sedang bersamanya, dan Cala dapat melihat setiap inci wajah Reino, mulai dari alisnya, matanya, hidungnya, hingga terkadang kumis tipisnya.
Reino memesan satu pizza smoked beef with mozzarella cheese ukuran medium, satu pizza choco cheese ukuran medium dan dua kaleng air soda. “Kurangi minum air soda, Reino.” Ucap Cala. Sejak dulu, pria itu memang kecanduan air soda. Reino jarang sekali minum air mineral, sampai-sampai Cala pernah membuang stock air soda yang ada di kulkas Reino dan menggantinya dengan air mineral. “Aku sedang berusaha, Cala.” Jawab Reino lembut, ia tidak ingin bertengkar dengan Cala di pertemuan ini hanya karena air soda.
Cala pun demikian, setelah berbulan-bulan tidak bertemu Reino, ada hal lain yang ingin ia bahas. “Jadi, bagaimana pekerjaanmu?” tanyanya.
“Ya biasa, aku hanya seorang budak korporat yang bekerja keras untuk perusahaan.” Jawab Reino, seolah tidak ada yang istimewa dari pekerjaannya.
“Tapi itu adalah impianku, bekerja di perusahaan itu keren tau.” Cala senyum-senyum sendiri membayangkan suatu hari dirinya dapat bekerja di gedung tinggi dengan pakaian formal.
“Ya, aku tahu. Lalu, bagaimana dengan kuliahmu?”
“Seru, sekarang aku menjadi asisten dosen. Walaupun hal itu membuatku menjadi lebih sibuk, tapi aku menyukainya. Kau kan tahu aku paling tidak bisa berdiam dirI, apalagi kalau tidak ada kerjaan sama sekali.”
Reino tersenyum tipis, tidak tahu harus bagaimana merespon perkataan Cala, yang keluar dari bibirnya hanya, “Wah, selamat ya.”
Cala tersenyum bangga dengan dirinya sendiri. Sang pelayan restoran kemudian membawa pesanan mereka dengan hati-hati sambil memberikan senyum terbaiknya sebagai salah satu standar operasional restoran. “Terima kasih, Mbak.” Ucap Reino ramah. “Sama-sama, apa ada lagi yang bisa saya bantu?” tanyanya. Cala dan Reino menjawab bersamaan, “Enggak ada, Mbak.” Sang pelayan senyum-senyum sendiri melihat betapa kompak dan serasinya mereka berdua.
Cala melahap potongan pizza pertamanya, “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?”
“Kenapa buru-buru sekali? Kau tidak ingin berlama-lama denganku?”
“Aku hanya penasaran, kenapa kau menghilang tanpa kabar.” Kalimatnya terdengar sedikit dingin.
“Aku pikir kau sudah tahu, kau kan wanita yang cerdas.”
Cala menaikkan satu alisnya sebagai tanda kalau ia tidak suka dengan pembahasan yang basa-basi dan tidak to the point. “Aku tidak tahan dengan egomu.” Reino mengatakannya tanpa ragu. Cala meletakkan kembali pizza di atas piringnya. Selera makannya langsung hilang begitu saja. Seolah kalimat Reino berhasil menyinggung perasaannya. “Maksudmu?” hanya itu yang keluar dari mulut Cala.
“Kau selalu mementingkan dirimu sendiri. Kau lupa bahwa dalam hubungan ini bukan hanya ada dirimu, tapi juga ada diriku.”
“Aku masih tidak mengerti.” Jawab Cala sedikit kesal. Ia tidak suka jika harus menerka-nerka, Cala benci segala hal yang abu-abu. Lebih baik putih, atau hitam sekaligus.
“Kau selalu memegang kendali atas hubungan kita, Cala. Kau tidak pernah mendengarkan pendapatku ketika ingin mengambil keputusan, bahkan untuk hal-hal yang menyangkut hubungan kita dan menyangkut diriku.”
“Bisa kau sebutkan contoh kasusnya?”
“Kau tidak pernah mau menemaniku untuk pergi ke festival musik kesukaanku karena menurutmu itu hanyalah akan membuang-buang waktumu yang berharga.”
“Hanya itu?!” Tanya Cala tak percaya, seolah alasan Reino begitu sepele.
“Tidak, saat aku membutuhkan teman bicara karena lelah dengan dunia kerja, kau sibuk dengan segala kegiatanmu. Kau bahkan tidak menjawab panggilan dan membalas pesanku selama seminggu…”
“Ya ampun Reino, kala itu aku sedang disibukkan dengan…”
Belum selesai Cala berbicara, Reino sudah memotong kalimatnya, seperti yang ia lakukan pada Reino, “…dan puncaknya adalah emosimu meledak-ledak saat aku telat hadir di seminarmu, kau tidak memberiku kesempatan untuk berbicara mengapa aku bisa terlambat. Ibuku sakit, Cala, saat itu ibuku sakit dan aku harus mengantarnya ke rumah sakit, aku baru bisa meninggalkannya setelah kakakku datang. Dan, ya, seperti yang kau tahu, aku terlambat selama dua jam, bukan?”
Kali ini ekspresi Cala berubah penuh rasa bersalah dan bingung. Beberapa bulan yang lalu, saat mereka masih menjalin hubungan, Cala diundang untuk menjadi pembicara di acara seminar yang diadakan oleh kampusnya. Saat itu Cala menyampaikan materi tentang Perempuan dan Kapabilitasnya yang juga dihadiri oleh puluhan peserta seminar hingga para dosen. Cala sangat ingin Reino datang dan menyaksikan “penampilannya”, tapi kenyataannya pria itu datang dua jam setelah Cala menyampaikan materi dan tidak melihat sedetikpun penampilan Cala. Tentu saja Cala marah, emosinya meledak-ledak, kata-kata kasar keluar dari mulutnya. Ia bahkan tak memberi Reino kesempatan untuk berbicara satu katapun. Siang itu Cala meninggalkan Reino sendirian di koridor kampus, ia tidak tahu kalau Reino sedang kalang kabut memikirkan kondisi ibunya yang sedang terbaling lemah di rumah sakit.
Cala menggenggam tangan Reino, ia mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Reino, “Reino…aku…aku minta maaf.” Ucapnya sedikit kaku, penjelasan Reino benar-benar di luar dugaannya. Cala tahu bahwa Reino adalah tipe family man. Ia sering menghabiskan waktu bersama keluarga, terutama ibunya. Bagi Reino, sang ibu adalah seseorang yang paling penting dalam hidupnya. Dan saat itu, Reino merasa bahwa Cala sama sekali tidak peduli dengan ibunya. Reino mulai meragukan Cala, ia melihat bahwa Cala hanya mencintai dirinya sendiri. Jadilah Reino memutuskan untuk “menghilang” dari hadapan Cala. Cala pun tahu bahwa Reino begitu mencintai sang ibu bahkan lebih dari ia mencintai dirinya sendiri. Selama menjalin berhubungan dengan Reino, Cala pernah sekali bertemu dengan ibunya. Ketika itu kakak sulung Reino menikah dan ia diundang di pesta pernikahannya. Tidak banyak kesan yang didapat karena memang pertemuan mereka tidak intens.
“Kau tahu apa yang aku pikirkan saat itu?” Tanya Reino tiba-tiba. Cala menggeleng, tidak tahu harus menjawab apa.
“Aku pikir bahwa aku memang mencintaimu, tapi aku lebih mencintai ibuku. Aku tidak bisa menjalin hubungan dengan wanita yang tidak bisa menghargai diriku. Aku akui sikapku kala itu sangatlah tidak dewasa, aku meninggalkanmu tanpa penjelasan apapun. Aku seperti anak remaja yang tiba-tiba kabur ke rumah teman karena tak diizinkan berpacaran oleh orangtuanya. Iya, kan?”
Walau dihinggapi rasa bersalah, tapi Cala tidak menyangkal bahwa sikap Reino saat itu sangatlah kekanak-kanakan, pergi selama berbulan-bulan tanpa memberi penjelasan apapun. Reino menatap mata Cala, “Tapi aku sadar…” Ucapnya menggantung, Cala menunggu Reino melanjutkan kalimatnya. “Aku sadar bahwa aku masih mencintaimu.” Reino sadar ia tidak bisa basa-basi ketika berhadapan dengan Cala. “Apakah sudah ada yang menggantikan posisiku di hatimu?” Tanya tanpa ragu.
Cala menelan ludah, bagaimana pun juga ia merasa sedikit gugup, ini sama saja dengan Reino menyatakan perasaan dan memintanya untuk kembali bersama, bukan?
“Tidak, tidak ada.”
Reino tersenyum lega, sejak tadi terlihat sekali ada rasa cemas dalam dirinya. “Lalu, maukah kau kembali menjalin hubungan denganku?”
“Aku…aku tidak bisa menjawab sekarang, aku harus memikirkannya.”
Kali ini Reino yang menggenggam tangan Cala dengan kedua tangannya. “Kau tidak perlu menjawabnya sekarang, Cala, aku akan menunggumu.”
Malam itu, baik Cala ataupun Reino sama-sama menurunkan egonya agar bisa kembali bersama. Reino memberanikan diri untuk meminta maaf pada Cala—walau ia tak sepenuhnya bersalah—dan Cala memberi kesempatan kedua untuk Reino karena ia tahu bahwa dirinya juga ikut andil dalam hancurnya hubungan mereka.
“Hai, Bren. Kita jadi nge-gym bareng hari ini, kan?” Itu hanyalah pertanyaan basa-basi, sebab ia memiliki maksud lain. “Tentu saja, aku sudah siap menuju tempat gym.” Jawab Brenda penuh semangat.
“Eh…uumm…” Bastian sengaja menggantungkan kalimatnya, ia ingin membuat Brenda penasaran.
“Ada apa?” Tanya Brenda khawatir, sesungguhnya wanita itu takut jika tiba-tiba Bastian membatalkan janjinya.
“Ini, mobilku baru saja masuk bengkel, jadi bisakah kau menjemputku sebelum menuju ke tempat gym?”
Brenda menghela napas lega, tentu saja itu bukan suatu masalah, justru Brenda senang karena bisa lebih lama memandangi tubuh seksi Bastian. “Ya ampun, Bastian, aku pikir ada masalah apa. Dengan senang hati aku akan menjemputmu, tolong kirimkan alamat lengkapmu, ya!” Tak sampai lima menit, Bastian sudah memberitahu alamat tempat tinggalnya pada Brenda.
Bastian tinggal di salah satu apartemen—yang tak terlalu mewah—di kawasan Jakarta Pusat. Tidak seperti Brenda yang mempunyai hak milik apartemen, Bastian hanya menyewa apartemen tersebut selama satu tahun.
Setelah melewati lalu lintas yang super macet hingga harus menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam, Brenda akhirnya sampai di parkiran apartemen Bastian. Pria tampan itu langsung memasuki mobil Brenda dan memberikan sekaleng air soda pada Brenda. “Kau pasti haus karena jalanan ibukota yang selalu macet.” Ujar Bastian lembut, pria itu tak lupa menyelipkan senyum seksinya di akhir kalimat. Brenda yang pada awalnya sedikit kesal dibuat luluh dengan sikap Bastian. “Thank you, berangkat sekarang?” Brenda melirik genit ke arah Bastian.
“Yes, Brenda.”
Brenda melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sebenarnya ia sedikit bertanya-tanya dalam hati mengapa Bastian tidak menawarkan untuk mengambil alih kemudi dan lebih memilih untuk merapikan penampilannya di kursi penumpang. Tapi Brenda tak terlalu memusingkan hal itu, mungkin saja Bastian tidak membawa Surat Izin Mengemudi, begitu pikirnya. Bastian merapikan rambutnya yang sudah sangat rapi menggunakan sisir dan gel rambut. Sudah hampir dua puluh menit Bastian mengecek penampilannya di depan cermin yang ia bawa. “Ngomong-ngomong Brenda, parfum apa yang kau gunakan?” tanyanya.
Brenda mencium punggung tangannya untuk memastikan wangi dari parfum tersebut, “Oh ini, ini parfum Romantic Eau De Parfum dari Jeanne Arthes Parfums.” Jelasnya.
“Wow, bukankah parfum itu buatan Prancis?” Tanya Bastian, sepertinya ia sangat tertarik dengan parfum yang Brenda gunakan. Wanita itu mengangguk, membenarkan perkataan Bastian, “Yap, ini hadiah dari mommy-ku saat dia berkunjung ke Prancis.”
Mata Bastian terbelalak, seperti baru saja mendengar kabar bahwa dirinya berhasil memenangkan undian jutaan rupiah. “Orang tuamu sering pergi ke luar negeri?” Kini Bastian tidak hanya tertarik pada parfum yang Brenda gunakan, tapi juga pada latar belakang keluarga Brenda.
“Tidak terlalu sering, paling hanya dua belas kali dalam setahun.” Itu berarti baik ayah ataupun ibu Brenda setidaknya selalu pergi ke luar negeri setiap bulan. “Memangnya apa pekerjaan orang tuamu?” Sungguh, Bastian seperti reporter yang sedang mewawancarai seorang selebritis.
“Daddy-ku hanya seorang pengacara, sedangkan mommy-ku dia bekerja di salah satu brand fashion. Jadi ya, begitulah, dia sering pergi ke Paris untuk mencari referensi, kau tahu kan, Paris adalah kiblat fashion dunia.”
“Hebat sekali mereka, aku jadi merasa bangga karena bisa dekat dengan putrinya.”
Brenda tersenyum kecil. Sebenarnya sejak dulu ia selalu berusaha untuk menutupi pekerjaan orang tuanya, Brenda tidak ingin orang-orang berteman dengannya hanya karena harta yang dia miliki. Itulah mengapa Brenda hanya memberitahu mengenai orang tuanya jika ada yang bertanya. Tidak seperti dugaan orang-orang yang berkata bahwa Brenda sangat beruntung karena memiliki orang tua yang kaya raya, Brenda justru merasakan sebaliknya. Terkadang Brenda merasa dirinya tidak seberuntung anak-anak lain yang selalu didukung oleh orang tuanya, sementara orang tua Brenda selalu menentang impiannya sejak kecil. Ia merasa seperti tidak mendapat dukungan moral dari ayah dan ibunya.
Bastian menyentuh pundak Brenda, wanita itu terlihat sedang terhanyut dalam pikirannya, “Brenda, are you okay?”
Brenda tersedar dari lamunan, “Eh…um.. I’am okay.” Rasanya belum waktunya bagi Brenda untuk menceritakan kondisi yang sebenarnya pada Bastian, mengingat mereka baru kenal selama beberapa minggu.
“By the way, Brenda, boleh aku mencoba parfum-mu?” Tanyanya tanpa ragu. Brenda sedikit kaget dengan permintaan Bastian, “Eh? Tapi ini parfum wanita…”
Bastian mengibaskan tangan kanannya, “It’s okay, memang apa bedanya? Bukankah terkadang kau juga suka dengan aroma parfum pria?” Bastian benar, Brenda sangat menyukai pria yang wangi. Sering kali aroma parfum pria membangkitkan gairah seksualnya, apalagi jika pria itu menyemprotkan parfum di bagian lehernya. Brenda tersenyum, “Kau benar juga.” Ia kemudian mengeluarkan parfum dari dalam tas dan menyerahkan pada Bastian.
Pria itu menyemprotkan parfum di bagian titik-titik nadinya. Titik nadi memiliki suhu yang hangat karena dekat dengan pembuluh darah, dengan begitu maka aroma parfum akan lebih tahan lama.
Tepat pukul lima sore, keduanya sudah tiba di tempat gym. Sebelum keluar dari mobil, Bastian bertanya sekali lagi mengenai penampilannya pada Brenda untuk sekedar memastikan, “Bagaimana penampilanku?”
“Kau…kau sungguh tampan, Bastian.” Jawab Brenda.
Bastian tersenyum senang, ia mencolek dagu Brenda dengan jari telunjuknya, “Kau juga sungguh cantik, Brenda.”
Sebelum memulai gym, mereka pergi ke ruang ganti terlebih dahulu. Alexander Gym merupakan salah satu tempat gym kelas atas yang biasa dikunjungi oleh para artis dan pengusaha. Terdapat puluhan alat gym super canggih yang dapat digunakan oleh semua anggotanya. Tarif yang dikenakan pun tak main-main, untuk daftar menjadi membership, Brenda harus membayar biaya administrasi sebesar tiga juta rupiah, serta membayar paket bulanan sebesar satu juta rupiah. “Kau tidak ingin mengambil paket setahun?” Tanya Bastian ketika menemani Brenda mengurus registrasi pendaftaran.
“Hemm…tidak, aku ingin mencobanya dulu, jika cocok, maka akan aku lanjutkan.” Sebenarnya ada alasan yang lebih penting dari itu. Brenda ingat dengan pesan yang Cala sampaikan, toh, tidak ada yang tahu hubungan Brenda dan Bastian akan seperti apa ke depannya, jadi ya, dia hanya berantisipasi.
Brenda menunggu di depan ruang ganti pria, tidak lama setelah itu Bastian keluar dengan teman prianya. Sungguh, tiba-tiba Brenda merasa hilang konsentrasi karena dihadapkan dengan dua pria yang sangat tampan dan bertubuh seksi. Bastian mengenakan kaos hitam polos dengan celana pendek olahraga berwarna biru dongker, sedangkan pria di sampingnya mengenakan kaos putih polos beserta celana panjang olahraga ketat. Sama seperti Bastian, kulit wajah pria itu juga begitu mulus, bahkan lebih mulus dari kulit wajah Cala dan Lilly.
“Brenda, perkenalkan, ini Nicko temanku.” Ucap Bastian.
Nicko mengulurkan tangan kanannya pada Brenda. “Hai, Brenda.” Ujarnya ramah.
Brenda menyambut uluran tangan pria dengan tinggi 185 centimeter tersebut, “Hallo, Nicko.”
“By the way, Brenda, Bastian sudah banyak bercerita tentangmu lho. Kalian bertemu saat syuting iklan, bukan?” Terlihat jelas sekali bahwa Nicko adalah seseorang yang mudah akrab dengan orang lain.
Brenda hampir tak bisa menahan diri, jika di situ hanya ada Cala dan Lilly, mungkin ia sudah melompat kegirangan karena Bastian bercerita tentang dirinya kepada temannya. Itu berarti Brenda adalah wanita yang istimewa bagi Bastian. Tapi Brenda bukanlah wanita yang seperti itu, ia tetap bisa stay cool menjaga image agar tetap terlihat berkelas di depan Bastian dan Nicko. “Oh, ya? Bastian pasti cerita kalau diriku sangat bawel.” Brenda sok-sok merendah, tentu saja merendah untuk meroket.
Nicko menggeleng cepat, “Tidak, dia bilang bahwa kau sangat cantik. Kau tahu? Dia memaksaku untuk datang ke tempat gym hari ini hanya karena dia ingin menunjukkan betapa cantiknya dirimu. Dan, well, harus ku akui bahwa Bastian tidak berbohong, kau sangat cantik Brenda!” Meski sudah jutaan kali mendapat pujian mengenai kecantikan yang dimilikinya, entah mengapa setiap dipuji oleh pria idamannya Brenda selalu merasa ingin terbang ke langit ke tujuh.
Brenda menyelipkan rambutnya ke belakang daun telinga agar tak salah tingkah. “Nicko, kau sungguh berlebihan.” Ucap Brenda, Brenda masih berusaha untuk bersikap biasa saja.
“Tidak Brenda, Nicko tidak berlebihan, aku memang berbicara seperti itu dengannya.”
Brenda hanya bisa tersipu malu. "Aku tidak tahu itu benar atau tidak, tapi yang jelas kau sungguh berhasil membuatku salah tingkah, Nicko."
Nicko melirik ke arah Bastian, "Aku rasa Bastian tidak akan keberatan jika kita berdua menjalani hubungan baik, bukan begitu, Bastian?" Ucap Nicko dengan nada sedikit sinis.
******
Cala mengetuk-ngetukkan jari jemari di atas meja, itu adalah kebiasaan yang ia lakukan saat sedang merasa gugup, dan sekarang Cala sedikit gugup karena akan bertemu Reino. Mereka sepakat untuk bertemu di Restaurant Panties Pizza pukul tujuh malam, tapi sudah dua puluh menit berlalu Reino tak kunjung datang. Entah sudah berapa ratus kali Cala mengaduk-ngaduk jus mangga menggunakan sedotan. Berkali-kali juga Cala mengecek ponselnya, takut jika Reino tiba-tiba membatalkan janji.
Empat puluh lima menit pun berlalu, tepat saat Cala hendak pergi dari restoran datanglah Reino dengan napas terengah-engah. “Maaf Cala, aku terlambat.” Ucap Reino, ia masih berdiri di samping kursi.
“Kau selalu seperti ini.” Ada sedikit nada kecewa dari ucapan Cala, kalian tahu, Cala paling tidak suka menunggu, apalagi menunggu orang yang dicintainta.
Reino merasa tak enak karena sering membuat Cala menunggu, tapi kali ini bukan sepenuhnya salah dirinya, “Bos ku tiba-tiba mengadakan meeting online tadi sore, padahal tidak ada jadwal sebelumnya.” Ucapnya membela diri.
Reino duduk di kursi yang ada di depan Cala, mereka kini saling berhadap-hadapan. Ada dua tipe posisi yang dilakukan oleh para pasangan saat sedang makan bersama, posisi duduk saling berhadapan dan posisi duduk bersebelahan. Posisi bersebelahan memang bisa membuat pasangan duduk lebih berdekatan sehingga bisa merasakan sentuhan satu sama lain, tetapi Cala dan Reino lebih menyukai posisi duduk berhadapan. Dengan begitu mereka bisa menatap mata satu sama lain, Reino dapat melihat senyum bahagia Cala saat sedang bersamanya, dan Cala dapat melihat setiap inci wajah Reino, mulai dari alisnya, matanya, hidungnya, hingga terkadang kumis tipisnya.
Reino memesan satu pizza smoked beef with mozzarella cheese ukuran medium, satu pizza choco cheese ukuran medium dan dua kaleng air soda. “Kurangi minum air soda, Reino.” Ucap Cala. Sejak dulu, pria itu memang kecanduan air soda. Reino jarang sekali minum air mineral, sampai-sampai Cala pernah membuang stock air soda yang ada di kulkas Reino dan menggantinya dengan air mineral. “Aku sedang berusaha, Cala.” Jawab Reino lembut, ia tidak ingin bertengkar dengan Cala di pertemuan ini hanya karena air soda.
Cala pun demikian, setelah berbulan-bulan tidak bertemu Reino, ada hal lain yang ingin ia bahas. “Jadi, bagaimana pekerjaanmu?” tanyanya.
“Ya biasa, aku hanya seorang budak korporat yang bekerja keras untuk perusahaan.” Jawab Reino, seolah tidak ada yang istimewa dari pekerjaannya.
“Tapi itu adalah impianku, bekerja di perusahaan itu keren tau.” Cala senyum-senyum sendiri membayangkan suatu hari dirinya dapat bekerja di gedung tinggi dengan pakaian formal.
“Ya, aku tahu. Lalu, bagaimana dengan kuliahmu?”
“Seru, sekarang aku menjadi asisten dosen. Walaupun hal itu membuatku menjadi lebih sibuk, tapi aku menyukainya. Kau kan tahu aku paling tidak bisa berdiam dirI, apalagi kalau tidak ada kerjaan sama sekali.”
Reino tersenyum tipis, tidak tahu harus bagaimana merespon perkataan Cala, yang keluar dari bibirnya hanya, “Wah, selamat ya.”
Cala tersenyum bangga dengan dirinya sendiri. Sang pelayan restoran kemudian membawa pesanan mereka dengan hati-hati sambil memberikan senyum terbaiknya sebagai salah satu standar operasional restoran. “Terima kasih, Mbak.” Ucap Reino ramah. “Sama-sama, apa ada lagi yang bisa saya bantu?” tanyanya. Cala dan Reino menjawab bersamaan, “Enggak ada, Mbak.” Sang pelayan senyum-senyum sendiri melihat betapa kompak dan serasinya mereka berdua.
Cala melahap potongan pizza pertamanya, “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?”
“Kenapa buru-buru sekali? Kau tidak ingin berlama-lama denganku?”
“Aku hanya penasaran, kenapa kau menghilang tanpa kabar.” Kalimatnya terdengar sedikit dingin.
“Aku pikir kau sudah tahu, kau kan wanita yang cerdas.”
Cala menaikkan satu alisnya sebagai tanda kalau ia tidak suka dengan pembahasan yang basa-basi dan tidak to the point. “Aku tidak tahan dengan egomu.” Reino mengatakannya tanpa ragu. Cala meletakkan kembali pizza di atas piringnya. Selera makannya langsung hilang begitu saja. Seolah kalimat Reino berhasil menyinggung perasaannya. “Maksudmu?” hanya itu yang keluar dari mulut Cala.
“Kau selalu mementingkan dirimu sendiri. Kau lupa bahwa dalam hubungan ini bukan hanya ada dirimu, tapi juga ada diriku.”
“Aku masih tidak mengerti.” Jawab Cala sedikit kesal. Ia tidak suka jika harus menerka-nerka, Cala benci segala hal yang abu-abu. Lebih baik putih, atau hitam sekaligus.
“Kau selalu memegang kendali atas hubungan kita, Cala. Kau tidak pernah mendengarkan pendapatku ketika ingin mengambil keputusan, bahkan untuk hal-hal yang menyangkut hubungan kita dan menyangkut diriku.”
“Bisa kau sebutkan contoh kasusnya?”
“Kau tidak pernah mau menemaniku untuk pergi ke festival musik kesukaanku karena menurutmu itu hanyalah akan membuang-buang waktumu yang berharga.”
“Hanya itu?!” Tanya Cala tak percaya, seolah alasan Reino begitu sepele.
“Tidak, saat aku membutuhkan teman bicara karena lelah dengan dunia kerja, kau sibuk dengan segala kegiatanmu. Kau bahkan tidak menjawab panggilan dan membalas pesanku selama seminggu…”
“Ya ampun Reino, kala itu aku sedang disibukkan dengan…”
Belum selesai Cala berbicara, Reino sudah memotong kalimatnya, seperti yang ia lakukan pada Reino, “…dan puncaknya adalah emosimu meledak-ledak saat aku telat hadir di seminarmu, kau tidak memberiku kesempatan untuk berbicara mengapa aku bisa terlambat. Ibuku sakit, Cala, saat itu ibuku sakit dan aku harus mengantarnya ke rumah sakit, aku baru bisa meninggalkannya setelah kakakku datang. Dan, ya, seperti yang kau tahu, aku terlambat selama dua jam, bukan?”
Kali ini ekspresi Cala berubah penuh rasa bersalah dan bingung. Beberapa bulan yang lalu, saat mereka masih menjalin hubungan, Cala diundang untuk menjadi pembicara di acara seminar yang diadakan oleh kampusnya. Saat itu Cala menyampaikan materi tentang Perempuan dan Kapabilitasnya yang juga dihadiri oleh puluhan peserta seminar hingga para dosen. Cala sangat ingin Reino datang dan menyaksikan “penampilannya”, tapi kenyataannya pria itu datang dua jam setelah Cala menyampaikan materi dan tidak melihat sedetikpun penampilan Cala. Tentu saja Cala marah, emosinya meledak-ledak, kata-kata kasar keluar dari mulutnya. Ia bahkan tak memberi Reino kesempatan untuk berbicara satu katapun. Siang itu Cala meninggalkan Reino sendirian di koridor kampus, ia tidak tahu kalau Reino sedang kalang kabut memikirkan kondisi ibunya yang sedang terbaling lemah di rumah sakit.
Cala menggenggam tangan Reino, ia mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Reino, “Reino…aku…aku minta maaf.” Ucapnya sedikit kaku, penjelasan Reino benar-benar di luar dugaannya. Cala tahu bahwa Reino adalah tipe family man. Ia sering menghabiskan waktu bersama keluarga, terutama ibunya. Bagi Reino, sang ibu adalah seseorang yang paling penting dalam hidupnya. Dan saat itu, Reino merasa bahwa Cala sama sekali tidak peduli dengan ibunya. Reino mulai meragukan Cala, ia melihat bahwa Cala hanya mencintai dirinya sendiri. Jadilah Reino memutuskan untuk “menghilang” dari hadapan Cala. Cala pun tahu bahwa Reino begitu mencintai sang ibu bahkan lebih dari ia mencintai dirinya sendiri. Selama menjalin berhubungan dengan Reino, Cala pernah sekali bertemu dengan ibunya. Ketika itu kakak sulung Reino menikah dan ia diundang di pesta pernikahannya. Tidak banyak kesan yang didapat karena memang pertemuan mereka tidak intens.
“Kau tahu apa yang aku pikirkan saat itu?” Tanya Reino tiba-tiba. Cala menggeleng, tidak tahu harus menjawab apa.
“Aku pikir bahwa aku memang mencintaimu, tapi aku lebih mencintai ibuku. Aku tidak bisa menjalin hubungan dengan wanita yang tidak bisa menghargai diriku. Aku akui sikapku kala itu sangatlah tidak dewasa, aku meninggalkanmu tanpa penjelasan apapun. Aku seperti anak remaja yang tiba-tiba kabur ke rumah teman karena tak diizinkan berpacaran oleh orangtuanya. Iya, kan?”
Walau dihinggapi rasa bersalah, tapi Cala tidak menyangkal bahwa sikap Reino saat itu sangatlah kekanak-kanakan, pergi selama berbulan-bulan tanpa memberi penjelasan apapun. Reino menatap mata Cala, “Tapi aku sadar…” Ucapnya menggantung, Cala menunggu Reino melanjutkan kalimatnya. “Aku sadar bahwa aku masih mencintaimu.” Reino sadar ia tidak bisa basa-basi ketika berhadapan dengan Cala. “Apakah sudah ada yang menggantikan posisiku di hatimu?” Tanya tanpa ragu.
Cala menelan ludah, bagaimana pun juga ia merasa sedikit gugup, ini sama saja dengan Reino menyatakan perasaan dan memintanya untuk kembali bersama, bukan?
“Tidak, tidak ada.”
Reino tersenyum lega, sejak tadi terlihat sekali ada rasa cemas dalam dirinya. “Lalu, maukah kau kembali menjalin hubungan denganku?”
“Aku…aku tidak bisa menjawab sekarang, aku harus memikirkannya.”
Kali ini Reino yang menggenggam tangan Cala dengan kedua tangannya. “Kau tidak perlu menjawabnya sekarang, Cala, aku akan menunggumu.”
Malam itu, baik Cala ataupun Reino sama-sama menurunkan egonya agar bisa kembali bersama. Reino memberanikan diri untuk meminta maaf pada Cala—walau ia tak sepenuhnya bersalah—dan Cala memberi kesempatan kedua untuk Reino karena ia tahu bahwa dirinya juga ikut andil dalam hancurnya hubungan mereka.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved