Bab 8 A Little About Brenda's Love Story
by Hannadhif
20:23,Jan 14,2021
Brenda menghubungi ibunya tepat sebelum syuting dimulai. Ia ingin memberitahu sang ibu bahwa dirinya berhasil menjadi bintang utama di salah satu produk body lotion. Bagaimanapun juga Brenda berharap agar hati orangtuanya bisa luluh dan bisa mendukungnya untuk menjadi seorang aktris.
Cukup lama Brenda menunggu hingga ibunya menjawab panggilan tersebut. “Ada apa, Bren? Mom sibuk, jika tidak terlalu penting kita lanjut call-nya nanti malam saja ya.” Bahkan di saat Brenda belum mengatakan sepatah katapun, telpone itu sudah ditutup oleh sang ibu. Tentu saja ini bukan hal yang pertama bagi Brenda. Ia pun masih menaruh harapan besar pada sang ayah. Dihubunginya nomor pengacara kondang tersebut.
“Hallo, Dad?” Ucap Brenda begitu ayahnya menjawab panggilannya. “Yes dear, ada apa?”
Brenda tersenyum, “Tebak aku lagi dimana??” tanyanya. Brenda ingin membuat sang ayah penasaran.
“Dear, Dad lagi tidak ada waktu untuk bercanda.” Jawabnya cepat.
Raut wajah Brenda langsung berubah menjadi muram. “Bren lagi di lokasi syuting iklan body lotion, Brend jadi bintang utamanya, Dad.” Namun seperti sebelum-sebelumnya, tidak ada rasa bangga dari nada bicara sang ayah.
“Memang tidak kuliah?” Brenda menghembuskan napas dengan gusar. “Mata kuliah hari ini tidak terlalu penting. Aku bisa belajar sendiri di kosan.”
“Jika tidak ingin menjadi seorang pengacara, setidaknya bekerjalah di perusahaan besar seperti Mommy. Mulai sekarang kau harus kuliah dengan serius, ingat, sebentar lagi kau akan menjadi seorang mahasiswi tingkat akhir.” Brenda tahu ujung-ujungnya sang ayah akan berkata seperti itu. Tidak ingin bertengkar karena akan merusak mood-nya, Brenda memilih untuk mengakhiri panggilannya. “Dad, sudah dulu ya, syuting akan segera dimulai.”
Brenda menyenderkan tubuhnya di dinding, saat ini ia sedang berada di ruang rias. Tidak ada orang lain selain dirinya, sang penata rias sudah keluar ruangan sejak lima belas menit yang lalu. Brenda memeluk dirinya sendiri, persis seperti seseorang yang sedang kedinginan. “It’s okay, Brenda, suatu saat mereka akan setuju dengan impianmu. Kau hanya perlu bekerja lebih keras.” Ucapnya pada diri sendiri.
Salah seorang kru membuka pintu ruangan, memberitahu Brenda bahwa lima menit lagi syuting akan dimulai. Brenda segera keluar dari ruangan sebelum kru lainnya menunggu, ia benar-benar ingin tampil maksimal pada kesempatan ini. Syuting dilakukan di studio, Brenda hanya mengenakan baju kemben dengan panjang satu jengkal di atas lutut. Kostum itu digunakan saat adegan Brenda selesai mandi dan langsung menggunakan body lotion, sehingga mau tidak mau harus dibuat kesan bahwa Brenda sedang telanjang. Kalian pasti tahu, ya, seperti iklan body lotion pada umumnya. Setelah take beberapa kali, adegan itu akhirnya selesai juga. Karena sudah memasuki jam makan siang, seluruh kru dan bintang iklan akhirnya beristirahat sejenak. Begitulah syuting iklan, walau tayangannya hanya sekitar beberapa menit, tapi syutingnya bisa memakan waktu hingga beberapa hari.
Brenda duduk di kursi sambil memainkan ponselnya. Ia mumutuskan untuk tak makan siang dan hanya mengkonsumsi buah dan sayur. Jika sedang ada jadwal syuting dan pemotretan, Brenda sangat memperhatikan pola makannya, ia tidak ingin mengalami gangguan pencernaan atau bahkan kenaikan berat badan. Saat sedang asyik melihat-lihat video dirinya ketika syuting tadi—Brenda meminta salah seorang kru untuk mengambil video dengan ponselnya—tiba-tiba Lilly mengirim pesan di grup chat.
Lilly: “Brenda, bagaimana syutingmu hari ini? Berjalan lancar?”
Sungguh, Lilly seperti ibunda Brenda yang sedang menunggu kabar dari sang anak mengenai syuting hari pertamanya.
Cala: “Kau selesai syuting pukul berapa?”
Brenda tersenyum, walau ia tidak mendapat perhatian sedikitpun dari keluarganya, setidaknya ia memiliki sahabat yang sangat peduli dengannya.
Brenda: “Sepertinya selesai pukul delapan malam, masih ada beberapa adegan yang harus di-take ulang.”
Cala: “Besok kau syuting lagi?”
Brenda: “Tidak, tapi lusa.”
Lilly: “Bagaimana jika kita quality time saat kau sudah tidak ada jadwal syuting?”
Cala: “Setuju!”
Brenda: “Ok, aku serahkan semuanya pada kalian.”
Tepat saat itu, seorang pria yang menjadi lawan mainnya Brenda dalam iklan body lotion menghampirinya. Sama seperti Brenda, pria itu juga merupakan seorang model dan bintang iklan. Di iklan tersebut, dia berperan sebagai pria yang jatuh cinta dengan kulit Brenda setelah menggunakan body lotion Whitening Plus. Di akhir iklan, ada adegan mereka berdua yang akhirnya bisa jalan bersama. Namanya adalah Bastian.
“Hai, Brenda.” Sapanya pada Brenda.
Brenda langsung meletakkan ponselnya di atas meja, “Oh, hai, Bastian.” Jawabnya.
Pria itu melirik kursi yang ada di samping Brenda. “Boleh aku duduk?” tanyanya. Brenda tersenyum ramah, ia tahu bahwa untuk bertahan di industry hiburan dirinya harus supel dan bergaul dengan siapa saja. “Silahkan.”
Bastian duduk di samping Brenda, berbeda dengan Brenda yang memilih untuk tidak makan makanan berat saat jam makan siang, Bastian baru saja selesai makan steak dan kentang rebus. “Kau sungguh makan makanan yang mengandung kalori dan lemak di saat seperti ini?” Tanyanya.
“Tubuhku tidak akan pernah gemuk walau makan lima porsi sekaligus.” Jelas Bastian santai.
Mata Brenda terbelalak tak percaya. “Sungguh?” Bastian mengangguk yakin, “Sudah bawaan lahir, selain itu aku juga rutin nge-gym seminggu dua kali.”
Brenda menyenderkan tubuhnya di kursi lipat sambil menghela napas. “Andai saja aku bisa seperti itu. Kau tahu? Aku bahkan harus tidak makan selama beberapa hari jika ada jadwal syuting, berat badanku mudah sekali naik. Dunia sungguh tidak adil.”
Bastian tertawa kecil mendengar keluh kesah Brenda, “Ada hal lain yang bisa kau lakukan.”
Brenda memutar tubuhnya ke arah Bastian. “Apa?” Tanyanya penasaran.
“Kau tetap bisa makan normal asal diimbangi dengan olahraga yang rutin, ingin pergi gym bersamaku?” Ucap Bastian.
Seperti biasa, para pria akan mengeluarkan rayuan ketika melihat Brenda. Brenda tertawa, seolah ia sudah tahu apa yang akan dilakukan Bastian. Karena pria di hadapannya memiliki wajah tampan dan tubuh yang seksi, tidak ada salahnya jika ia berhubungan baik dengan Bastian, begitu pikir Brenda. “Kau biasa gym dimana?” Bastian tersenyum lebar, bahagia karena umpannya telah tepat sasaran.
Bastian menyodorkan ponselnya, “Boleh minta nomor ponselmu? Akan kuberitahu dimana tempat gym terbaik.”
Brenda mengambil ponsel Bastian, “Why not?” disertai dengan kedipan mata.
Ia kemudian mengetik dua belas digit angka dan menyimpan nomornya sendiri. Salah satu kru menghampiri mereka, menyampaikan bahwa waktu syuting akan dimulai kembali. Syuting hari itu selesai tepat pukul delapan malam. Ketika Brenda sedang merapikan barang-barangnya di ruang rias, Bastian tiba-tiba menghampirinya lagi. “Pulang dengan siapa malam ini?” Tanyanya.
Brenda paham maksud dari pertanyaan Bastian. “Sorry, Bastian, malam ini aku mengendarai mobil, jadi tidak ada alasan untukmu jika ingin mengantarku pulang. Mungkin lain kali?” Brenda mengatakannya disertai dengan senyum jahilnya.
“Kau benar-benar sudah ahli, Brenda.” Ucap Bastian, ia sedikit malu karena Brenda tahu apa yang ada di pikirannya.
“Ngomong-ngomong, kau pulang kemana?” Tanya Bastian penasaran. “Depok, aku mahasiswi di Universitas Indonesia, dan aku tinggal di kos kosan dekat kampus.”
Mata Bastian terbelalak tak percaya. Pertama ia tidak menyangka bahwa tidak semua model hanya mengandalkan wajah dan tubuh seksinya saja, Brenda adalah bukti bahwa setidaknya ada beberapa model yang masih memperhatikan pendidikan mereka. Hal lain yang membuat Bastian tak percaya adalah bahwa seorang wanita berkelas seperti Brenda ternyata tinggal di kos kosan, bukan apartemen mewah. “Aku pikir kau tinggal di apartemen.” Ucap Bastian, ada sedikit rasa kecewa dari nada bicaranya.
“Aku juga punya apartemen di Jakarta Selatan, hanya saja aku lebih nyaman tinggal di kos kosan bersama para sahabatku.” Jelasnya.
Bastian kembali tersenyum lebar, tanpa Brenda mengatakannya, ia tahu bahwa apartemen itu pasti mewah. Jakarta Selatan adalah salah satu wilayah elit. Di sana terdapat perkantoran berkelas, pusat perbelanjaan megah, serta tentu saja apartemen mewah dan mahal. “Beruntung sekali mereka, bisa bersahabat dengan wanita sepertimu.”
Yang dimaksud “mereka” oleh Bastian adalah Cala dan Lilly. Tentu saja ada maksud lain dari perkataannya. Tetapi entah terlalu lelah karena syuting seharian, atau karena sudah terlanjur terpukau dengan tubuh seksi Bastian, Brenda tidak menangkap makna dari bahasa dan gerak-gerik Bastian.
Brenda mengenakan tasnya, sudah siap untuk pergi dari lokasi syuting. Ia berjalan mendekati Bastian, meletakkan tangan kanannya di dada bidang pria itu dan berkata, “Sampai bertemu dua hari lagi, Bastian.” Ucap Brenda dengan tatapan menggodanya.
Sementara itu, Cala dan Lilly sedang asik mengenakan masker wajah pemberian Brenda. Tidak hanya masker wajah, Brenda juga sering memberikan skincare dan make up kepada para sahabatnya. Hal itu terjadi karena Brenda tidak pernah berpikir dua kali ketika hendak belanja, setiap brand kecantikan mengeluarkan produk baru ia pasti langsung membelinya. Tidak peduli apakah produk itu akan cocok dengannya atau tidak. Jika produk itu tidak cocok, maka ia akan memberikan pada Cala atau Lilly. Begitu tiba di kos kosan, Brenda tidak langsung masuk ke kamarnya sendiri melainkan ke kamar Lilly. Ia seolah tau dimana keberadaan sahabat-sahabatnya. Brenda membuka pintu kamar Lilly, sudah ada Lilly dan Cala yang sedang tiduran di atas kasur Lilly sambil mengenakan masker wajah.
Brenda menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Cala dan Lilly, tidak ada lagi ruang untuknya. “Hua! Aku juga lelah sekali.” Cala menggeserkan tubuh Brenda dan bangun dari posisi tidurnya. Ia kemudian pergi ke kamar mandi untuk membilas masker wajahnya. “Kenapa tidak mandi dulu di kamarmu alih-alih langsung pergi ke kamar Lilly?” Tanya Cala sedikit kesal, ia ingin Brenda membersihkan badannya lebih dulu karena habis syuting seharian.
Brenda menyengir, takut kalau-kalau Cala akan marah padanya. “Maaf, aku sudah terlalu merindukan kalian.” Sebenarnya itu hanya trik yang Brenda lakukan agar hati Cala luluh.
Lilly tidak tahan untuk tidak tertawa mendengar ucapan Brenda, masker wajahnya pun pecah. Mau tidak mau ia harus pergi ke kamar mandiri untuk membilasnya.
Lilly membasuh wajahnya dengan handuk berbahan lembut, “Bagaimana syuting hari ini?” tanyanya.
Brenda buru-buru mengubah posisinya dari tiduran menjadi duduk. “Oh, Tuhan, benar, ada yang ingin aku ceritakan pada kalian….” Kalimat Brenda terhenti begitu ia melihat Cala sedang melihatnya dengan tatapan tajam.
Lilly tertawa, “Brenda, sebaiknya kau mandi sekarang juga, sebelum Cala mengguyurmu di atas kasur.”
Brenda berjalan menuju pintu kamar Lilly, “Baiklah, baiklah, aku akan kembali satu jam lagi.” Brenda mengalah.
Di antara mereka, Brenda adalah wanita yang mandinya paling lama. Ia membutuhkan waktu kurang lebih satu jam untuk membersihkan seluruh tubuhnya. Itu karena banyaknya produk perawatan tubuh yang ia gunakan. Mulai dari sabun mandi, sabun pembersih kewanitaan, body scrub, shampoo, conditioner, dan lainnya. Selesai membersihkan tubuhnya, Brenda kembali ke kamar Lilly. “Kalian benar-benar ingin menggodaku?!” Tanya Brenda ketika ia melihat bahwa Cala dan Lilly sedang menyantap martabak manis.
Cala baru saja melakukan pesan antar martabak manis, entah mengapa dirinya tiba-tiba ingin makan martabak manis. “Cala yang memesan, aku hanya ikut makan saja.” Jawab Lilly cepat, tidak ingin disalahkan.
Kini giliran Cala yang menyengir ke arah Brenda, “Katanya kau ingin bercerita? Tidak asyik jika hanya mendengarkan ceritamu tanpa ada cemilan.” Cala buru-buru membela diri. Untunglah kala itu Brenda bisa menahan diri untuk tidak ikut menyantap martabak, mengingat dirinya masih harus syuting dua hari lagi. Brenda duduk di atas kasur milik Lilly, “Kalian tahu apa yang tadi terjadi di lokasi syuting?” Tanya antusias, ia berharap sahabat-sahabatnya tidak bisa menjawab pertanyaannya.
“Kau berkenalan dengan seorang pria tampan?” ucap Cala dan Lilly kompak. Tentu saja mereka bisa menebak karena Brenda selalu seperti itu. Wanita berambut pirang itu tampak kecewa, “Bagaimana kalian tahu?” kali ini nada bicaranya tidak seantusias sebelumnya. “Siapa dia? Seorang model bertubuh sixpack? Atau seorang artis pendatang baru?” Tanya Cala.
“Seorang model dan bintang iklan bertubuh sixpack yang selalu pergi gym.” Jelasnya.
Lilly menyuap martabak, entah sudah potongan yang keberapa. “Pasti habis ini kau mendadak jadi rajin pergi gym.” Jelas itu bukan hal yang sulit ditebak.
Saat syuting iklan bimbingan belajar online, Brenda berkenalan dengan artis pendatang baru. Pria itu memiliki kegemaran bersepeda. Dan selama sebulan penuh—sebelum akhirnya Brenda menjauh karena ia tahu bahwa pria ini memiliki penis yang kecil—Brenda selalu bersepeda setiap pagi. Ia bahkan membeli sepeda model terbaru yang harganya sangat mahal. “Ya! Dia mengajakku untuk pergi gym bersama.” Brenda tersenyum membayangkan betapa seksinya tubuh Bastian.
“Siapa namanya?” Tanya Cala. “Bastian!” Jawab Brenda cepat. “Maka kau harus pastikan bahwa Bastian memiliki ukuran penis yang besar sebelum kau mendaftar menjadi member di tempat gym tersebut.” Cala tidak jauh berbeda dengan Brenda, mereka sama-sama to the point. Lilly tertawa mendengar perkataan Cala, “Cala, kau sungguh keterlaluan.” Ucap Lilly yang masih berusaha menahan tawa.
Ucapan Cala mengingatkan Brenda akan kejadian tempo hari. Saat ia berkenalan dengan seorang artis pendatang baru bernama Chiko. Wajahnya jauh lebih tampan dibanding Bastian. Chiko memiliki kegemaran bersepeda, ia juga bergabung dalam komunitas sepeda se-Jabodetabek. Jabodetabek adalah singkatan dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi yang merupakan nama-nama kota di Indonesia. Karena jarak kelima kota tersebut berdekatan, dibuatlah pembatasan wilayah Jabodetabek. Secara fisik, Chiko benar-benar pria impian Brenda. Mereka pun menjalin hubungan yang cukup intens selama sebulan. Hingga akhirnya di malam itu, Chico menyatakan perasaannya pada Brenda. Tentu saja Brenda langsung menerimanya. Dan saat itu juga mereka berdua pergi ke hotel untuk melampiaskan nafsu birahi mereka. Betapa terkejutnya Brenda ketika ia membuka celana dalam yang Chiko gunakan, ukuran penis Chiko jauh di bawah standar pria dewasa. Brenda kehilangan nafsunya dan pergi meninggalkan Chiko yang sudah kepalang tanggung. Selain wajah tampan dan tubuh yang seksi, hal lain yang Brenda perhatian dalam mencari pasangan ada ukuran penisnya. Brenda sungguh tidak bisa menjalin hubungan dengan pria berpenis kecil, ia benar-benar ingin dipuaskan di atas kasur.
Brenda menghampiri Cala dan memegang pundaknya, “Dalam waktu dua minggu akan aku pastikan apakah penisnya besar atau tidak.” Ucap Brenda dengan penuh keyakinan. Cala geleng-geleng kepala dan berkata, “Kau sudah gila.” Sementara Lilly hanya tertawa melihat kelakuan sahabatnya.
Saat awal-awal berteman dengan Brenda, Lilly terkejut melihat perilaku Brenda yang tergolong dalam “pergaulan bebas”, ia bahkan sempat ingin menjauh dari Brenda karena takut terpengaruh. Tetapi waktu yang membuktikan semuanya. Brenda tidak pernah sekalipun mengajak Cala dan Lilly untuk melakukan “sesuatu” yang biasa ia lakukan. Brenda justru selalu menghargai apapun yang menjadi keputusan Cala dan Lilly. Brenda tidak suka memaksa segala sesuatu harus sesuai dengan kehendaknya. Dan yang membuat Lilly semakin yakin untuk bersahabat dengan Brenda adalah wanita berambut pirang itu selalu ada di samping Lilly baik dalam suka maupun duka. Brenda akan ikut merayakan kebahagiaan yang Lilly alami dan selalu menghibur ketika Lilly sedang bersedih. Serta yang terakhir, Brenda dan Cala adalah orang yang akan pasang badan—membelanya—ketika dirinya disakiti oleh orang lain.
Malam itu, mereka semua tertidur di kamar Lilly sambil mendengarkan salah satu stasiun radio favorite mereka. Stasiun yang selalu memutarkan lagu-lagu hits dan membahas tentang kehidupan sehari-hari. Mulai dari masalah percintaan, persahabatan, keluarga, pendidikan, dan karier. Well, itulah rutinitas mereka, walau zaman sudah semakin canggih tetapi mereka tetap setia mendengarkan siaran radio.
Cukup lama Brenda menunggu hingga ibunya menjawab panggilan tersebut. “Ada apa, Bren? Mom sibuk, jika tidak terlalu penting kita lanjut call-nya nanti malam saja ya.” Bahkan di saat Brenda belum mengatakan sepatah katapun, telpone itu sudah ditutup oleh sang ibu. Tentu saja ini bukan hal yang pertama bagi Brenda. Ia pun masih menaruh harapan besar pada sang ayah. Dihubunginya nomor pengacara kondang tersebut.
“Hallo, Dad?” Ucap Brenda begitu ayahnya menjawab panggilannya. “Yes dear, ada apa?”
Brenda tersenyum, “Tebak aku lagi dimana??” tanyanya. Brenda ingin membuat sang ayah penasaran.
“Dear, Dad lagi tidak ada waktu untuk bercanda.” Jawabnya cepat.
Raut wajah Brenda langsung berubah menjadi muram. “Bren lagi di lokasi syuting iklan body lotion, Brend jadi bintang utamanya, Dad.” Namun seperti sebelum-sebelumnya, tidak ada rasa bangga dari nada bicara sang ayah.
“Memang tidak kuliah?” Brenda menghembuskan napas dengan gusar. “Mata kuliah hari ini tidak terlalu penting. Aku bisa belajar sendiri di kosan.”
“Jika tidak ingin menjadi seorang pengacara, setidaknya bekerjalah di perusahaan besar seperti Mommy. Mulai sekarang kau harus kuliah dengan serius, ingat, sebentar lagi kau akan menjadi seorang mahasiswi tingkat akhir.” Brenda tahu ujung-ujungnya sang ayah akan berkata seperti itu. Tidak ingin bertengkar karena akan merusak mood-nya, Brenda memilih untuk mengakhiri panggilannya. “Dad, sudah dulu ya, syuting akan segera dimulai.”
Brenda menyenderkan tubuhnya di dinding, saat ini ia sedang berada di ruang rias. Tidak ada orang lain selain dirinya, sang penata rias sudah keluar ruangan sejak lima belas menit yang lalu. Brenda memeluk dirinya sendiri, persis seperti seseorang yang sedang kedinginan. “It’s okay, Brenda, suatu saat mereka akan setuju dengan impianmu. Kau hanya perlu bekerja lebih keras.” Ucapnya pada diri sendiri.
Salah seorang kru membuka pintu ruangan, memberitahu Brenda bahwa lima menit lagi syuting akan dimulai. Brenda segera keluar dari ruangan sebelum kru lainnya menunggu, ia benar-benar ingin tampil maksimal pada kesempatan ini. Syuting dilakukan di studio, Brenda hanya mengenakan baju kemben dengan panjang satu jengkal di atas lutut. Kostum itu digunakan saat adegan Brenda selesai mandi dan langsung menggunakan body lotion, sehingga mau tidak mau harus dibuat kesan bahwa Brenda sedang telanjang. Kalian pasti tahu, ya, seperti iklan body lotion pada umumnya. Setelah take beberapa kali, adegan itu akhirnya selesai juga. Karena sudah memasuki jam makan siang, seluruh kru dan bintang iklan akhirnya beristirahat sejenak. Begitulah syuting iklan, walau tayangannya hanya sekitar beberapa menit, tapi syutingnya bisa memakan waktu hingga beberapa hari.
Brenda duduk di kursi sambil memainkan ponselnya. Ia mumutuskan untuk tak makan siang dan hanya mengkonsumsi buah dan sayur. Jika sedang ada jadwal syuting dan pemotretan, Brenda sangat memperhatikan pola makannya, ia tidak ingin mengalami gangguan pencernaan atau bahkan kenaikan berat badan. Saat sedang asyik melihat-lihat video dirinya ketika syuting tadi—Brenda meminta salah seorang kru untuk mengambil video dengan ponselnya—tiba-tiba Lilly mengirim pesan di grup chat.
Lilly: “Brenda, bagaimana syutingmu hari ini? Berjalan lancar?”
Sungguh, Lilly seperti ibunda Brenda yang sedang menunggu kabar dari sang anak mengenai syuting hari pertamanya.
Cala: “Kau selesai syuting pukul berapa?”
Brenda tersenyum, walau ia tidak mendapat perhatian sedikitpun dari keluarganya, setidaknya ia memiliki sahabat yang sangat peduli dengannya.
Brenda: “Sepertinya selesai pukul delapan malam, masih ada beberapa adegan yang harus di-take ulang.”
Cala: “Besok kau syuting lagi?”
Brenda: “Tidak, tapi lusa.”
Lilly: “Bagaimana jika kita quality time saat kau sudah tidak ada jadwal syuting?”
Cala: “Setuju!”
Brenda: “Ok, aku serahkan semuanya pada kalian.”
Tepat saat itu, seorang pria yang menjadi lawan mainnya Brenda dalam iklan body lotion menghampirinya. Sama seperti Brenda, pria itu juga merupakan seorang model dan bintang iklan. Di iklan tersebut, dia berperan sebagai pria yang jatuh cinta dengan kulit Brenda setelah menggunakan body lotion Whitening Plus. Di akhir iklan, ada adegan mereka berdua yang akhirnya bisa jalan bersama. Namanya adalah Bastian.
“Hai, Brenda.” Sapanya pada Brenda.
Brenda langsung meletakkan ponselnya di atas meja, “Oh, hai, Bastian.” Jawabnya.
Pria itu melirik kursi yang ada di samping Brenda. “Boleh aku duduk?” tanyanya. Brenda tersenyum ramah, ia tahu bahwa untuk bertahan di industry hiburan dirinya harus supel dan bergaul dengan siapa saja. “Silahkan.”
Bastian duduk di samping Brenda, berbeda dengan Brenda yang memilih untuk tidak makan makanan berat saat jam makan siang, Bastian baru saja selesai makan steak dan kentang rebus. “Kau sungguh makan makanan yang mengandung kalori dan lemak di saat seperti ini?” Tanyanya.
“Tubuhku tidak akan pernah gemuk walau makan lima porsi sekaligus.” Jelas Bastian santai.
Mata Brenda terbelalak tak percaya. “Sungguh?” Bastian mengangguk yakin, “Sudah bawaan lahir, selain itu aku juga rutin nge-gym seminggu dua kali.”
Brenda menyenderkan tubuhnya di kursi lipat sambil menghela napas. “Andai saja aku bisa seperti itu. Kau tahu? Aku bahkan harus tidak makan selama beberapa hari jika ada jadwal syuting, berat badanku mudah sekali naik. Dunia sungguh tidak adil.”
Bastian tertawa kecil mendengar keluh kesah Brenda, “Ada hal lain yang bisa kau lakukan.”
Brenda memutar tubuhnya ke arah Bastian. “Apa?” Tanyanya penasaran.
“Kau tetap bisa makan normal asal diimbangi dengan olahraga yang rutin, ingin pergi gym bersamaku?” Ucap Bastian.
Seperti biasa, para pria akan mengeluarkan rayuan ketika melihat Brenda. Brenda tertawa, seolah ia sudah tahu apa yang akan dilakukan Bastian. Karena pria di hadapannya memiliki wajah tampan dan tubuh yang seksi, tidak ada salahnya jika ia berhubungan baik dengan Bastian, begitu pikir Brenda. “Kau biasa gym dimana?” Bastian tersenyum lebar, bahagia karena umpannya telah tepat sasaran.
Bastian menyodorkan ponselnya, “Boleh minta nomor ponselmu? Akan kuberitahu dimana tempat gym terbaik.”
Brenda mengambil ponsel Bastian, “Why not?” disertai dengan kedipan mata.
Ia kemudian mengetik dua belas digit angka dan menyimpan nomornya sendiri. Salah satu kru menghampiri mereka, menyampaikan bahwa waktu syuting akan dimulai kembali. Syuting hari itu selesai tepat pukul delapan malam. Ketika Brenda sedang merapikan barang-barangnya di ruang rias, Bastian tiba-tiba menghampirinya lagi. “Pulang dengan siapa malam ini?” Tanyanya.
Brenda paham maksud dari pertanyaan Bastian. “Sorry, Bastian, malam ini aku mengendarai mobil, jadi tidak ada alasan untukmu jika ingin mengantarku pulang. Mungkin lain kali?” Brenda mengatakannya disertai dengan senyum jahilnya.
“Kau benar-benar sudah ahli, Brenda.” Ucap Bastian, ia sedikit malu karena Brenda tahu apa yang ada di pikirannya.
“Ngomong-ngomong, kau pulang kemana?” Tanya Bastian penasaran. “Depok, aku mahasiswi di Universitas Indonesia, dan aku tinggal di kos kosan dekat kampus.”
Mata Bastian terbelalak tak percaya. Pertama ia tidak menyangka bahwa tidak semua model hanya mengandalkan wajah dan tubuh seksinya saja, Brenda adalah bukti bahwa setidaknya ada beberapa model yang masih memperhatikan pendidikan mereka. Hal lain yang membuat Bastian tak percaya adalah bahwa seorang wanita berkelas seperti Brenda ternyata tinggal di kos kosan, bukan apartemen mewah. “Aku pikir kau tinggal di apartemen.” Ucap Bastian, ada sedikit rasa kecewa dari nada bicaranya.
“Aku juga punya apartemen di Jakarta Selatan, hanya saja aku lebih nyaman tinggal di kos kosan bersama para sahabatku.” Jelasnya.
Bastian kembali tersenyum lebar, tanpa Brenda mengatakannya, ia tahu bahwa apartemen itu pasti mewah. Jakarta Selatan adalah salah satu wilayah elit. Di sana terdapat perkantoran berkelas, pusat perbelanjaan megah, serta tentu saja apartemen mewah dan mahal. “Beruntung sekali mereka, bisa bersahabat dengan wanita sepertimu.”
Yang dimaksud “mereka” oleh Bastian adalah Cala dan Lilly. Tentu saja ada maksud lain dari perkataannya. Tetapi entah terlalu lelah karena syuting seharian, atau karena sudah terlanjur terpukau dengan tubuh seksi Bastian, Brenda tidak menangkap makna dari bahasa dan gerak-gerik Bastian.
Brenda mengenakan tasnya, sudah siap untuk pergi dari lokasi syuting. Ia berjalan mendekati Bastian, meletakkan tangan kanannya di dada bidang pria itu dan berkata, “Sampai bertemu dua hari lagi, Bastian.” Ucap Brenda dengan tatapan menggodanya.
Sementara itu, Cala dan Lilly sedang asik mengenakan masker wajah pemberian Brenda. Tidak hanya masker wajah, Brenda juga sering memberikan skincare dan make up kepada para sahabatnya. Hal itu terjadi karena Brenda tidak pernah berpikir dua kali ketika hendak belanja, setiap brand kecantikan mengeluarkan produk baru ia pasti langsung membelinya. Tidak peduli apakah produk itu akan cocok dengannya atau tidak. Jika produk itu tidak cocok, maka ia akan memberikan pada Cala atau Lilly. Begitu tiba di kos kosan, Brenda tidak langsung masuk ke kamarnya sendiri melainkan ke kamar Lilly. Ia seolah tau dimana keberadaan sahabat-sahabatnya. Brenda membuka pintu kamar Lilly, sudah ada Lilly dan Cala yang sedang tiduran di atas kasur Lilly sambil mengenakan masker wajah.
Brenda menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Cala dan Lilly, tidak ada lagi ruang untuknya. “Hua! Aku juga lelah sekali.” Cala menggeserkan tubuh Brenda dan bangun dari posisi tidurnya. Ia kemudian pergi ke kamar mandi untuk membilas masker wajahnya. “Kenapa tidak mandi dulu di kamarmu alih-alih langsung pergi ke kamar Lilly?” Tanya Cala sedikit kesal, ia ingin Brenda membersihkan badannya lebih dulu karena habis syuting seharian.
Brenda menyengir, takut kalau-kalau Cala akan marah padanya. “Maaf, aku sudah terlalu merindukan kalian.” Sebenarnya itu hanya trik yang Brenda lakukan agar hati Cala luluh.
Lilly tidak tahan untuk tidak tertawa mendengar ucapan Brenda, masker wajahnya pun pecah. Mau tidak mau ia harus pergi ke kamar mandiri untuk membilasnya.
Lilly membasuh wajahnya dengan handuk berbahan lembut, “Bagaimana syuting hari ini?” tanyanya.
Brenda buru-buru mengubah posisinya dari tiduran menjadi duduk. “Oh, Tuhan, benar, ada yang ingin aku ceritakan pada kalian….” Kalimat Brenda terhenti begitu ia melihat Cala sedang melihatnya dengan tatapan tajam.
Lilly tertawa, “Brenda, sebaiknya kau mandi sekarang juga, sebelum Cala mengguyurmu di atas kasur.”
Brenda berjalan menuju pintu kamar Lilly, “Baiklah, baiklah, aku akan kembali satu jam lagi.” Brenda mengalah.
Di antara mereka, Brenda adalah wanita yang mandinya paling lama. Ia membutuhkan waktu kurang lebih satu jam untuk membersihkan seluruh tubuhnya. Itu karena banyaknya produk perawatan tubuh yang ia gunakan. Mulai dari sabun mandi, sabun pembersih kewanitaan, body scrub, shampoo, conditioner, dan lainnya. Selesai membersihkan tubuhnya, Brenda kembali ke kamar Lilly. “Kalian benar-benar ingin menggodaku?!” Tanya Brenda ketika ia melihat bahwa Cala dan Lilly sedang menyantap martabak manis.
Cala baru saja melakukan pesan antar martabak manis, entah mengapa dirinya tiba-tiba ingin makan martabak manis. “Cala yang memesan, aku hanya ikut makan saja.” Jawab Lilly cepat, tidak ingin disalahkan.
Kini giliran Cala yang menyengir ke arah Brenda, “Katanya kau ingin bercerita? Tidak asyik jika hanya mendengarkan ceritamu tanpa ada cemilan.” Cala buru-buru membela diri. Untunglah kala itu Brenda bisa menahan diri untuk tidak ikut menyantap martabak, mengingat dirinya masih harus syuting dua hari lagi. Brenda duduk di atas kasur milik Lilly, “Kalian tahu apa yang tadi terjadi di lokasi syuting?” Tanya antusias, ia berharap sahabat-sahabatnya tidak bisa menjawab pertanyaannya.
“Kau berkenalan dengan seorang pria tampan?” ucap Cala dan Lilly kompak. Tentu saja mereka bisa menebak karena Brenda selalu seperti itu. Wanita berambut pirang itu tampak kecewa, “Bagaimana kalian tahu?” kali ini nada bicaranya tidak seantusias sebelumnya. “Siapa dia? Seorang model bertubuh sixpack? Atau seorang artis pendatang baru?” Tanya Cala.
“Seorang model dan bintang iklan bertubuh sixpack yang selalu pergi gym.” Jelasnya.
Lilly menyuap martabak, entah sudah potongan yang keberapa. “Pasti habis ini kau mendadak jadi rajin pergi gym.” Jelas itu bukan hal yang sulit ditebak.
Saat syuting iklan bimbingan belajar online, Brenda berkenalan dengan artis pendatang baru. Pria itu memiliki kegemaran bersepeda. Dan selama sebulan penuh—sebelum akhirnya Brenda menjauh karena ia tahu bahwa pria ini memiliki penis yang kecil—Brenda selalu bersepeda setiap pagi. Ia bahkan membeli sepeda model terbaru yang harganya sangat mahal. “Ya! Dia mengajakku untuk pergi gym bersama.” Brenda tersenyum membayangkan betapa seksinya tubuh Bastian.
“Siapa namanya?” Tanya Cala. “Bastian!” Jawab Brenda cepat. “Maka kau harus pastikan bahwa Bastian memiliki ukuran penis yang besar sebelum kau mendaftar menjadi member di tempat gym tersebut.” Cala tidak jauh berbeda dengan Brenda, mereka sama-sama to the point. Lilly tertawa mendengar perkataan Cala, “Cala, kau sungguh keterlaluan.” Ucap Lilly yang masih berusaha menahan tawa.
Ucapan Cala mengingatkan Brenda akan kejadian tempo hari. Saat ia berkenalan dengan seorang artis pendatang baru bernama Chiko. Wajahnya jauh lebih tampan dibanding Bastian. Chiko memiliki kegemaran bersepeda, ia juga bergabung dalam komunitas sepeda se-Jabodetabek. Jabodetabek adalah singkatan dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi yang merupakan nama-nama kota di Indonesia. Karena jarak kelima kota tersebut berdekatan, dibuatlah pembatasan wilayah Jabodetabek. Secara fisik, Chiko benar-benar pria impian Brenda. Mereka pun menjalin hubungan yang cukup intens selama sebulan. Hingga akhirnya di malam itu, Chico menyatakan perasaannya pada Brenda. Tentu saja Brenda langsung menerimanya. Dan saat itu juga mereka berdua pergi ke hotel untuk melampiaskan nafsu birahi mereka. Betapa terkejutnya Brenda ketika ia membuka celana dalam yang Chiko gunakan, ukuran penis Chiko jauh di bawah standar pria dewasa. Brenda kehilangan nafsunya dan pergi meninggalkan Chiko yang sudah kepalang tanggung. Selain wajah tampan dan tubuh yang seksi, hal lain yang Brenda perhatian dalam mencari pasangan ada ukuran penisnya. Brenda sungguh tidak bisa menjalin hubungan dengan pria berpenis kecil, ia benar-benar ingin dipuaskan di atas kasur.
Brenda menghampiri Cala dan memegang pundaknya, “Dalam waktu dua minggu akan aku pastikan apakah penisnya besar atau tidak.” Ucap Brenda dengan penuh keyakinan. Cala geleng-geleng kepala dan berkata, “Kau sudah gila.” Sementara Lilly hanya tertawa melihat kelakuan sahabatnya.
Saat awal-awal berteman dengan Brenda, Lilly terkejut melihat perilaku Brenda yang tergolong dalam “pergaulan bebas”, ia bahkan sempat ingin menjauh dari Brenda karena takut terpengaruh. Tetapi waktu yang membuktikan semuanya. Brenda tidak pernah sekalipun mengajak Cala dan Lilly untuk melakukan “sesuatu” yang biasa ia lakukan. Brenda justru selalu menghargai apapun yang menjadi keputusan Cala dan Lilly. Brenda tidak suka memaksa segala sesuatu harus sesuai dengan kehendaknya. Dan yang membuat Lilly semakin yakin untuk bersahabat dengan Brenda adalah wanita berambut pirang itu selalu ada di samping Lilly baik dalam suka maupun duka. Brenda akan ikut merayakan kebahagiaan yang Lilly alami dan selalu menghibur ketika Lilly sedang bersedih. Serta yang terakhir, Brenda dan Cala adalah orang yang akan pasang badan—membelanya—ketika dirinya disakiti oleh orang lain.
Malam itu, mereka semua tertidur di kamar Lilly sambil mendengarkan salah satu stasiun radio favorite mereka. Stasiun yang selalu memutarkan lagu-lagu hits dan membahas tentang kehidupan sehari-hari. Mulai dari masalah percintaan, persahabatan, keluarga, pendidikan, dan karier. Well, itulah rutinitas mereka, walau zaman sudah semakin canggih tetapi mereka tetap setia mendengarkan siaran radio.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved