Bab 10 Lilly Does What She Wants

by Hannadhif 22:13,Jan 14,2021
Lilly sedang bersiap-siap untuk berangkat kursus menjahit saat Cala memasuki kamarnya. “Lilly, apa kau buru-buru?” Tanya Cala. Semalam, mereka tidak sempat bertemu karena Cala tidur lebih awal dan Lilly pulang larut malam. Di tengah perjalanan pulang, motor Andre tiba-tiba mogok sehingga mereka harus pergi ke bengkel untuk memperbaikinya.
“Tidak, aku masih ada waktu sekitar satu setengah jam lagi. Ada apa?” Tak ingin membuang-buang waktu, Cala langsung menunjukkan isi pesan Reino.
“Reino menghubungimu lagi?” Tanya Lilly tak percaya.
Cala mengangguk, “Menurutmu kenapa dia kembali menghubungiku?” Lilly tak menjawab pertanyaan sahabatnya, ia hanya fokus membaca semua isi pesan yang Reino kirimkan.
Lilly kemudian menghela napas dan meletakkan ponsel Cala di atas kasur miliknya. “Kenapa kau belum membalas pesannya?” Itu seperti pertanyaan yang Lilly sudah tahu apa jawabannya, hanya saja ia ingin mendengarnya langsung dari Cala.
“Karena aku tidak mengerti maksud dari perkataan Reino, aku menunggu pendapatmu, aku tidak ingin salah langkah lagi.” Lilly sudah menebak jika Cala akan berkata seperti itu. Lilly menghela napas untuk kedua kalinya. “Cala, Cala, aku pikir kau adalah wanita paling cerdas di segala bidang, ternyata aku salah. Kau sama sekali tidak mengerti masalah percintaan.”
Cala tidak terima dengan perkataan Lilly, ia mencoba membela diri. “Bukan aku yang tak paham soal cinta, kalimat Reino saja yang terlalu ambigu.”
Lilly menatap mata sahabat yang sudah dikenalnya selama tiga tahun, “Dan kau tidak pernah mau mengakui kesalahanmu.”
Cala tampak sedikit kesal dengan Lilly, “Lilly, aku hanya ingin kau manafsirkan makna dari perkataan Reino, bukan menilai diriku.”
“Justru ini ada hubungannya dengan sikapmu, Cala. Kau tahu mengapa Reino sempat menghilang darimu?”
Cala menggeleng, kalau dia tahu mana mungkin ia bertanya pada Lilly. “Itu karena kau selalu mementingkan dirimu sendiri, Cala, kau tidak pernah memikirkan perasaan Reino. Aku tidak tahu kejadian apa yang membuat Reino begitu kecewa dengan dirimu, mungkin kau bisa mengingatnya sendiri, atau tak ada salahnya bertanya langsung pada Reino.”
Cala diam, ia langsung memikirkan semua kejadian yang mereka alami sebelum akhirnya Reino menghilang. Tapi Cala tidak berhasil memikirkan jawabnya. “Sepertinya aku harus bertanya langsung pada Reino.” Ucap Cala. Lilly mengendikkan bahu, “Kenapa tidak?”

Cala buru-buru menuju kamar untuk mengambil ponselnya, ia kemudian membalas pesan Reino setelah mendiamkannya selama semalaman. “Apa kita bisa bertemu?” Tanyanya.

Cala menunggu balasan pesan Reino dengan cemas, ia takut jika Reino menolak ajakannya. Tapi kemudian ponsel Cala berdering, terdapat panggilan masuk dari Reino. Dengan cepat Cala menjawab panggilan tersebut, “Reino?” Ucapnya ragu.
“Kenapa kau ingin bertemu denganku?” Tanya Reino dengan suara merdunya.

Ah, Cala merindukan suara itu, sudah berbulan-bulan ia tak mendengar suara Reino. Selama mereka berpacaran, suara Reino seringkali menjadi pengantar tidur bagi Cala. Setiap malam mereka selalu melakukan panggilan suara, Cala bercerita tentang segala hal yang terjadi padanya di hari itu atau sekedar mendengarkan Reino bernyanyi hingga Cala tertidur lelap. Jika sudah seperti itu maka Reino yang harus mengakhiri panggilannya. “Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan.” Jawabnya terus terang. “Aku hanya bisa bertemu di akhir pekan.” Ucap Reino.
“Tidak masalah…”
“Baiklah, hari sabtu pukul tujuh malam, apa kau masih suka Panties Pizza di ujung jalan?” Tanya Reino.

Dulu ketika masih berpacaran, mereka sering sekali makan Panties Pizza yang terletak di ujung jalan, itu adalah salah satu makanan kesukaan Cala selain Mie Ayam Pondok Cina. Panties Pizza adalah restaurant yang menjual pizza dengan adonan tipis dan renyah. Topping yang paling Cala suka adalah smoked beef with mozzarella cheese. Berbeda dengan Reino yang lebih menyukai pizza manis dengan topping choco cheese. Tanpa sadar Cala tersenyum, “Rupanya kau masih ingat makanan kesukaanku.” Ucapnya.
“Semua orang selalu peduli tentangmu, Cala, tapi tidak denganmu…” Perkataan Reino sedikit menggantung.
“Kenapa denganku?” Tanya Cala tak mengerti.
“Tidak, bukan apa-apa. Baiklah, sampai bertemu hari Sabtu nanti.” Reino mengakhiri panggilannya.

Cala tidak ingin dibuat pusing oleh sikap dan perkataan Reino, ia pun memutuskan untuk menulis artikel yang sempat tertunda. Selama ini dirinya memang suka sekali membaca majalah online yang diterbitkan oleh salah satu perusahaan media di Indonesia. Majalah online tersebut bernama Wonderful Women. Wondeful Women didirikan sejak tahun 2015 dan selalu diterbitkan dalam bentuk digital setiap bulannya. Wonderful Women selalu mengangkat tema dan isu-isu terkini yang berhubungan dengan wanita. Ada berbagai jenis rubrik di dalamnya, mulai dari kuliner, hiburan, tips dan trik, hingga opini wanita. Beberapa hari yang lalu, Cala melihat salah satu unggahan di akun Instagram Wonderful Women mengenai penerimaan artikel untuk rubrik opini wanita. Adapun tema yang akan dibahas adalah peran wanita di abad ke-21. Dua artikel terbaik akan dimuat dalam majalah Wonderful Women edisi bulan depan, dan tentu saja akan ada hadiah yang diberikan untuk sang penulis. Begitu melihat unggahan tersebut Cala langsung tertarik untuk ikut serta, bukan karena hadiahnya, melainkan karena ia ingin gagasannya tentang peran wanita di masa sekarang dibaca oleh banyak orang. Cala ingin berbagi pengetahuan dengan orang lain, entah mengapa ada kepuasan tersendiri dalam dirinya sehabis menyampaikan pendapat.

Kebetulan hari ini Cala sedang tidak ada jadwal kuliah, ia hanya akan berkunjung ke perpustakaan kampus karena di sana adalah tempat paling nyaman untuk berpikir dan merenung. Selain itu, ia juga bisa membaca beberapa buka untuk dijadikan referensi dalam menulis artikel. Sebelum berangkat ke kampus, Cala menyempatkan diri untuk bertemu Brenda. Cala mengetuk pintu kamar Brenda namun tidak ada jawaban, dia pasti sedang tidur siang, pikir Cala.
Cala sedikit berteriak, “Brenda, apa kau lupa? Kau ada jadwal gym dengan Bastian sore ini.”
Brenda terbangun ketika mendengar nama “Bastian.” Ia mengecek ponselnya dan terkejut saat melihat bahwa waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Hari ini ia memiliki janji dengan Bastian untuk bertemu di tempat gym yang terletak di daerah Jakarta Selatan pukul tiga sore. Itu berarti Brenda hanya memiliki waktu satu jam untuk bersiap-siap dan menempuh perjalanan, tentu saja itu tidak akan cukup baginya. Brenda setidaknya membutuhkan waktu kurang lebih sembilan puluh menit untuk bersiap-siap dan empat puluh lima menit untuk perjalanan menuju tempat gym. Itulah salah satu kebiasaan buruk dalam diri Brenda yang tak Cala sukai, ia tidak pernah tepat waktu.
Dengan terburu-buru Brenda bangkit dari kasurnya dan membuka pintu kamar, “Cala! Mengapa kau baru membangunkanku?!” Brenda sedikit kesal karena Cala tak membangunkan lebih awal.
“Kau tidak memintaku untuk membangunkanmu, Brenda.” Jawab Cala santai.
“Kau mau kemana? Tolong bantu aku untuk bersiap-siap.” Paling-paling Brenda membutuhkan Cala untuk menata rambutnya sementara ia merias wajahnya.
“Brenda, please, kau hanya ingin pergi gym, bukan dinner. Lagi pula aku harus pergi ke perpusatakaan, ada sesuatu yang ingin aku kerjakan.”
“Tapi aku harus tetap tampil menawan, Cala. Kalau gitu, dimana Lilly?” Brenda menyalakan ponselnya, hendak menghubungi Lilly.
“Dia sudah pergi ke tempat kursus menjahit, kau lupa?”
“Oh, shit!”
“Maaf Brenda, aku tahu mungkin ini terdengar kejam, tapi kau tidak perlu tampil menawan di hadapan Bastian karena dia tidak akan pernah tertarik padamu.”
Jika pria itu bukanlah Bastian, mungkin Cala akan terdengar sedikit gila karena mengatakan hal tersebut, memangnya pria mana yang tidak akan tertarik dengan Brenda? Tapi Bastian tidak termasuk di dalamnya. Well, sekali lagi itu hanyalah pendapat Cala.
“Kau jahat, Cala!”
Cala hendak mengatakan sesuatu tetapi ia mengurungkan niatnya. “Aku pergi sekarang ya. Sungguh, kau tidak perlu banyak berdandan, Brenda, kau sudah cantik melebihi siapapun.” Brenda yang awalnya kesal dengan Cala menjadi luluh kembali karena Cala tidak pernah gengsi untuk memuji dirinya.

Jelas, Cala bukanlah tipe wanita yang merasa iri dengan fisik wanita lainnya, ia lebih iri dengan wanita yang bisa menandingi kemampuan dan kompetensinya. Bagi Cala isi otak lebih penting dibanding dengan penampilan fisik.

Cala langsung berangkat menuju perpustakaan kampus karena waktu yang dimiliki tidaklah banyak. Perpustakaan akan tutup pukul enam sore, itu berarti Cala hanya memiliki waktu kurang lebih tiga setengah jam. Untuk menulis artikel yang baik tentu saja membutuhkan waktu dan referensi yang tidak sedikit, ia berencana untuk menyelesaikan artikelnya di kos-kosan saat malam hari. Hal yang sangat disayangkan adalah belum ada perpustakaan dan ruang belajar di Indonesia—atau setidaknya di Jakarta—yang buka selama dua puluh empat jam. Tidak seperti di negeri gingseng Korea Selatan, di sana banyak ruang belajar ataupun perpustakaan yang buka selama dua puluh empat jam. Para pelajar dan mahasiswa biasa menginap di ruang belajar atau perpustakaan saat musim ujian. Dan salah satu harapan Cala adalah ia ingin suatu saat ada perpustakaan di Indonesia yang buka selama dua puluh empat jam.

Kondisi perpustakaan tidak terlalu ramai seperti biasanya, setelah memilih beberapa buku untuk dijadikan sebagai referensi, Cala memutuskan untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan tembok. Ia benar-benar ingin berkonsentrasi. Tidak hanya itu, Cala juga menonaktifkan ponselnya agar konsentrasinya tidak terganggu. Hal tersulit dalam menulis adalah menyusun paragraf pertama. Tetapi jika sudah berhasil memulai sebuah tulisan dengan paragraph pertama yang baik maka tidak akan sulit untuk melanjutkannya. Karena temanya mengenai peran wanita di abad ke-21 maka Cala akan menyampaikan gagasan tentang kesetaraan gender antara pria dan wanita dalam dunia kerja. Seperti yang kita ketahui, terdapat sistem patriarki yang seringkali menyudutkan peran wanita dalam dunia kerja. Zaman dulu, wanita dianggap sebagai seseorang yang hanya bertanggungjawab dengan pekerjaan rumah. Tugas wanita tidak jauh dari kasur, sumur, dapur. Maksudnya adalah wanita dianggap hanya perlu bekerja di kasur untuk melayani suami, membersihkan rumah, mengurus anak, dan memasak di dapur. Wanita tidak diberi kesempatan untuk berkarier dan melakukan pekerjaan yang mereka inginkan. Sistem patriarki biasanya masih berlaku di negara-negara yang berada di Asia Tenggara, tak terkecuali Indonesia. Jika seorang wanita yang sudah menjadi istri dan tidak menuruti perkataan suami untuk menjadi seorang ibu rumah tangga, maka ia akan dianggap sebagai istri yang tak patuh dengan suami. Sejak dulu, Cala selalu tidak bisa terima dengan kenyataan itu. Ia ingin mengkampanyekan bahwa wanita juga memiliki hak untuk berkarier dan bersaing dengan para pria di dunia kerja. Pekerjaan rumah bukan hanya menjadi tanggungjawab wanita tetapi juga pria. Dalam artikel tersebut Cala menyampaikan gagasannya tentang bagaimana seharusnya lingkungan sosial dapat mendukung karier wanita dalam dunia kerja hingga diskriminasi yang seringkali di alami para wanita karier, seperti terbatasnya jenjang karier yang didapat, pengecualian wanita dalam bidang pekerjaan tertentu, dan lainnya. Jari jemari Cala terus mengetik mentranskipkan pemikirannya menjadi sebuah tulisan yang luar biasa. Hingga dirinya tidak menyadari bahwa waktu kini telah menunjukkan pukul setangah enam sore. Salah seorang pustakawan sudah memberitahu Cala bahwa jam operasional perpustakaan akan segera berakhir, mau tidak mau ia pun harus keluar dari tempat tersebut.

******

Lilly memasuki sebuah ruangan setelah diberitahu oleh seorang staff bahwa kursus menjahit kelas pemula akan diadakan di ruang 103. Ruangannya cukup luas, ada sekitar tiga belas meja dengan masing-masing mesin jahit di atasnya. Sudah ada enam orang yang menempati meja tersebut, nampaknya mereka semua adalah murid baru yang mengikuti pendaftaran bulan ini. Sebagian besar dari mereka merupakan siswi lulusan SMK jurusan tata busana yang mengambil kursus menjahit karena tidak melanjutkan kuliah. Tentu saja nantinya mereka akan langsung bekerja dengan keterampilan yang dimiliki. Selain itu, ada juga ibu-ibu usia tiga puluhan yang mengikuti kursus menjahit karena ingin membuka jasa menjahit di rumahnya. Dalam waktu tak lebih dari lima belas menit semua peserta kursus sudah menempati meja jahit masing-masing, disusul dengan kehadiran dua orang wanita berusia dua empat puluhan.

“Selamat sore, semua. Saya Ira, salah satu pembimbing kalian di kelas menjahit tingkat pemula. Saya tidak sendiri, ada juga Mbak Selvi yang akan membimbing kalian. Silahkan, Mbak.” Ujar wanita berhijab itu. Ia kemudian mempersilahkan rekannya untuk memperkenalkan diri.
“Sore semua, saya Selvi. Seperti yang sudah disampaikan oleh Mbak Ira sebelumnya, kami berdua adalah pembimbing kalian selama kalian mengikuti kelas menjahit ini. Selama beberapa bulan ke depan kami akan selalu membimbing, melatih, dan membina kalian semua agar memiliki keterampilan dalam menjahit. Di pertemuan pertama ini saya ingin kita saling mengenal satu sama lain.”

Sebelum meminta para peserta kursus memperkenalkan latar belakang diri mereka, Ira dan Selvi sudah lebih dulu melakukannya. Ira adalah salah satu dosen jurusan tata busana di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta, sedangkann Selvi merupakan seorang penjahit professional yang kini bekerja di salah satu butik ternama di Jakarta. Ira dan Selvi sudah menjadi pembimbing dan pelatih di Rudy’s Tailor Training selama tiga tahun. Sejauh ini sudah ada lima peserta yang diminta untuk memperkenalkan diri, tibalah giliran Lilly.
Selvi melihat daftar absensi, “Selanjutnya Lillyana Prameswari…”

Lilly mengangkat tangan kanannya. “Ya, silahkan Mbak Lillyana, perkenalkan diri anda.” Ucap Selvi ramah.
Lilly bangkit dari kursinya, “Hai, saya Lillyana, biasa dipanggil Lilly.” Tidak seperti Brenda yang sudah biasa memperkenalkan diri di depan banyak orang, pun tidak seperti Cala yang selalu percaya diri, Lilly sedikit malu-malu jika berhadapan dengan orang baru, apalagi jika harus berbicara di depan umum. Lilly tidak pernah suka jika dirinya menjadi pusat perhatian, ia selalu merasa memiliki banyak kekurangan. Selvi tersenyum simpul, hanya dengan melihat mata Lilly ia tahu bahwa wanita itu memiliki sifat pemalu.
“Bagus sekali namanya, seperti nama bunga, Bunga Lily...” Selvi mencoba mencairkan suasana karena pembawaan diri Lilly yang terlalu kaku.
“Kalau boleh tahu, selain mengikuti kursus menjahit, saat ini Mbak Lilly sedang sibuk apa, ya?” Lanjut Selvi.
“Saat ini saya mahasiswa semester 6 jurusan Administrasi Negara di Universitas Indonesia.” Jawab Lilly ramah, namun ia masih tampak malu-malu.
Selvi benar-benar tak menyangka, “Wah, menarik sekali, baru kali ini saya memiliki murid yang merupakan seorang mahasiswa di luar jurusan tata busana.”
“Iya, Mbak, saya tertarik untuk mempelajari keterampilan menjahit.” Ucap Lilly sedikit gugup.
Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya, Lilly bahkan tidak menyampaikan alasan mengapa ia ingin memiliki keterampilan menjahit seperti yang ia sampaikan pada Andre, Cala, dan Brenda. Sedikit sulit bagi Lilly untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.

Setelah semua peserta kursus memperkenalkan diri, kini saatnya bimbingan di mulai. Di setiap meja jahit yang ditempati oleh masing-masing peserta sudah dilengkapi dengan perlengkapan dasar menjahit, seperti meteran jahit, beberapa meter kain, dua buah gunting, pendedel benang, jarum tangan, benang, karbon kain dan rader, pensil dan kapur kain, jarum pentul, serta tentu saja mesin jahit. Hal pertama yang Lilly pelajari adalah menjahit lurus, melingkar, dan mengunci jahitan. Sebelumnya, Ira memberi contoh bagaimana cara menggunakan mesin jahit untuk menjahit lurus di atas kain, sementara Selvi berjalan keliling memperhatikan setiap gerakan para peserta. Sesekali Selvi mengunjungi peserta yang kelihatan kesulitan dalam menggunakan mesin jahit, salah satunya adalah Lilly.
“Apa ada kesulitan, Lilly?” Tanya Selvi ramah.
Lilly tersenyum malu, “Ini Mbak, saya belum pernah menyentuh mesin jahit sebelumnya.”

Sejujurnya Lilly sedikit kesulitan untuk menyeimbangkan gerakan tangan yang harus menarik kain, kaki yang harus menginjak pedal, dan konsentrasi agar jahitan tetap berada di garis lurus. Tapi berkat bantuan Selvi, Lilly akhirnya berhasil melakukan itu semua. Walau jahitannya belum terlalu rapi, tapi setidaknya di pertemuan pertama ini Lilly sudah bisa melakukan teknik dasar menjahit menggunakan mesin jahit. Setelah berlatih menjahit lurus, melingkar, zig-zag, dan mengunci jahitan selama dua jam, kursus akhirnya selesai.
Semua peserta berjalan keluar meninggalkan ruangan, “Lilly, saya kagum sekali dengan kemauan belajar menjahit yang kamu miliki, saya dapat melihat keseriusan kamu dalam kelas ini.” Ucap Selvi. “Terima kasih, Mbak Selvi.” Jawabnya.
Lilly senang karena ada lagi satu orang yang mendukung minatnya dalam menjahit, walau mungkin di luar sana lebih banyak orang yang tak mendukung keputusannya untuk belajar menjahit, termasuk sahabatnya, Calandra.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

36