Bab 9 Reino is Back
by Hannadhif
21:59,Jan 14,2021
Cala sedang berada di kelas manajemen aset ketika mengetahui bahwa ponselnya bergetar. Ada sebuah pesan masuk di sana. Cala melihat ponselnya secara diam-diam, sebab Bapak Irawan dikenal sangat galak dan tidak suka jika ada mahasiswa yang bermain ponsel di dalam kelas. Biasanya Cala juga selalu mengabaikan ponselnya ketika sedang belajar, tapi entah menapa kali ini ia begitu penasaran mengenai siapa pengirim pesan tersebut. Saat Cala membuka salah satu aplikasi chatting, ada jejeran nomor tak dikenal di ruang chattingnya. Meskipun tidak ada foto profile yang terpasang, namun ketika membaca isi dari pesan yang dikirimnya Cala langsung tahu siapa orang itu. Dia adalah Reino.
"Hai, wanita pemberani." Itulah isi pesannya, sama seperti pesan pertama yang Reino kirimkan pada Cala beberapa tahun lalu. Cala cukup terkejut, setelah hilang selama beberapa bulan Reino kini kembali lagi. Ada sejuta pertanyaan dalam diri Cala. Haruskah ia membalas pesannya? Untuk apa Reino menghubunginya lagi? Apakah pria itu hanya ingin memainkan perasaan Cala lagi? Lantas mengapa ia menghilang selama beberapa bulan ini? Apakah Reino hanya ingin mengetahui seberapa mudahnya mendapatkan Cala lagi? Dan pertanyaan lainnya.
Cala menahan diri untuk tidak membalas pesan Reino--atau setidaknya ia harus membalasnya dua atau tiga jam lagi agar tidak terlihat seperti wanita murahan--ia pun mengunci layar ponsel dan menyimpannya di dalam tas. Tapi lima menit kemudian Cala mengambil ponselnya, ia sungguh tidak bisa menahan diri. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Reino. Cala membalas pesan Reino dengan hati-hati, takut bila Bapak Irawan melihatnya.
"Ada apa?" Balas Cala. Sepertinya Reino sedang memiliki banyak waktu luang, ia membalas pesan Cala dengan cepat. "Memang kau tahu siapa aku?"
Cala melihat tubuh Bapak Irawan sedang membelakanginya, dosen tua itu sedang menghadap ke layar infocus. Cala tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia langsung membalas kembali pesan Reino.
"Kau Reino. Saat ini aku sedang berada di kelas Manajemen Aset. Dan yang perlu kau tahu, dosenku yang satu ini tidak suka jika ada mahasiswanya yang bermain ponsel. Aku lebih baik kehilanganmu daripada harus mengulang kelas di tahun depan."
Cala mengirimnya dengan cepat. Mungkin kalimatnya terdengar sedikit kasar, tapi Cala merasa bahwa Reino berhak menerima kata-kata itu setelah pergi tanpa kabar.
Cala mencoba kembali fokus memperhatikan Bapak Irawan yang sedang menerangkan tentang aset bergerak milik perusahaan. Ia tidak ingin pikirannya diisi dengan hal-hal terkait Reino. Tapi Cala tidak bisa menyangkalnya, hingga di akhir sesi perkuliahan dirinya masih saja memikirkan Reino. Tak ingin terus dihantui oleh rasa penasaran dan bimbang, Cala memutuskan untuk kembali menghubungi Reino. "Ada perlu apa?" tanyanya melalui pesan singkat. Cala menunggu balasan pesan dari Reino, namun tak kunjung dibalas bahkan setelah tiga jam lamanya. Yang ada hanya sebuah pesan masuk dari Jason.
Jason adalah juniornya di kampus, saat ini ia sedang menjabat sebagai wakil ketua himpunan mahasiswa manajemen. Jason menjadi penerus Cala di periode berikutnya. Setelah menjabat sebagai wakil ketua himpunan mahasiswa manajemen selama satu tahun, posisi Cala kini harus digantikan oleh juniornya, Jason. Karena memang seperti itu aturannya. Akhir-akhir ini Jason sering menghubungi Cala untuk konsultasi mengenai program kerja organisasi ataupun tugas dan tanggungjawab dari seorang wakil ketua organisasi. Tentu saja Cala mau membantunya dengan senang hati, sebab ia selalu suka berdiskusi tentang apapun dan dengan siapapun.
"Sist, apa kau sedang sibuk?" Tanya Jason.
Cala yang saat itu sedang berada di taman fakultas segera membalas pesan Jason. "Tidak, ada apa?"
"Apa kita bisa bertemu? Ada yang ingin aku diskusikan."
"Tentu saja, silahkan datang ke taman fakultas."
Cala menutup halaman Microsoft Word, sebelumnya ia sedang menulis sebuah artikel tentang peran wanita di abad ke-21. Cala berniat untuk mengirim artikel tersebut ke salah satu perusahaan majalah online agar bisa diterbitkan bulan depan. Cala senang sekali bila gagasannya bisa dibaca oleh orang banyak. Tapi karena Jason mengajak bertemu, Cala pikir ia bisa mengerjakannya nanti malam.
Tidak butuh waktu lama bagi Jason untuk menyusul Cala. Pria berkacamata itu kini sudah berada di depan Cala. Ia mengeluarkan ponsel dan buku kecil untuk mencatat hal-hal penting yang sekiranya akan Cala ucapkan. Jason selalu merasa mendapat pengetahuan baru ketika dirinya berdiskusi dengan Cala. Cala adalah salah satu senior yang Jason kagumi sejak awal. Ia pertama kali melihat Cala ketika orientasi mahasiswa baru tingkat jurusan. Ketika itu Cala menjadi salah satu panitia di divisi acara. Keberadaan Cala saat itu dapat dikatakan cukup mendominasi karena ia yang memegang kendali atas jalannya kegiatan. Hubungan mereka semakin dekat kala keduanya berada dalam satu organisasi yang sama, himpunan mahasiswa manajemen. Jason adalah pria yang cerdas dan memiliki tekad yang kuat. Dapat dikatakan Jason adalah Cala versi pria. Tak heran jika keduanya selalu merasa cocok ketika sedang berdiskusi. Walau tentu saja terkadang mereka juga sering berbeda pendapat. Tapi sejauh ini, Cala dan Jason selalu bisa mengatasi perbedaan tersebut dan menemukan jalan tengah.
Jason membuka buku catatan, mengambil selembar kertas yang terselip di dalamnya. Ia memberikan kertas tersebut pada Cala. Tanpa basa-basi Jason langsung menyampaikan maksud dan tujuan mengapa dirinya menemui Cala. “Jadi rencananya, dua bulan lagi himpunan mahasiswa manajemen mau mengadakan program pengabdian masyarakat. Dan saya, sebagai perwakilan dari organisasi mau minta kritik dan saran dari Sist Cala.”
Cala mengangguk paham, ia tahu jika Jason memintanya untuk bertemu itu pasti karena ada sesuatu yang penting. Jason sama seperti dirinya, tidak akan buang-buang waktu untuk hal yang tidak penting. “Ok, jadi kalian rencananya mau mengadakan kegiatan apa?” Cala juga langsung to the point.
“Kami ingin melakukan sesuatu yang beda, Sist. Kami tidak ingin memberikan bantuan berupa barang ataupun uang. Kami tidak ingin menyelanggarakan kegiatan yang hanya berlangsung selama beberapa hari. Kami ingin memberikan pelatihan kepada anak-anak tingkat sekolah menengah atas yang sekiranya setelah mereka lulus dari sekolah, mereka tidak akan melanjutkan pendidikan ke universitas. Atau dapat dikatakan anak-anak yang akan langsung bekerja setelah mereka lulus dari sekolah menengah atas. Kami ingin memberikan pelatihan yang mungkin tidak pernah mereka dapatkan selama di sekolah. Dan kami memutuskan untuk memberi pelatihan wirausaha. Ada tiga jenis pelatihan wirausaha, pertama: wirausaha makanan khas Korea Selatan, kedua: wirausaha merangkai bucket bunga, dan ketiga: wirausaha lulur kecantikan dari bahan alami. Dan ketiga usaha itu nantinya akan dijalankan secara online, baik melalui media sosial, marketplace, atau bahkan e-commerce. Kita akan memberikan pelatihan selama enam bulan, mulai dari pelatihan membuat produk hingga memasarkan produk. Mereka berhak untuk memilih ingin bergabung dengan usaha yang mana, sesuai minat dan bakat yang mereka miliki.” Jason menjelaskan dengan antusias, tentu saja ia sedang berusaha untuk membuat Cala kagum dengan program kerja yang mereka rencanakan.
Cala mengangguk pelan, ia sedang menganalisis dan menimbang beberapa hal. “Sejauh ini saya paham dengan rencana kalian. Kalau boleh tahu, apa tujuan dari program ini?” Tanya Cala. Mereka benar-benar memanfaatkan waktu yang dimiliki untuk berdiskusi, tidak ada celah untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting atau sekedar basa-basi.
“Tujuannya adalah kita ingin memberdayakan anak-anak muda yang meskipun mereka tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tapi bukan berarti mereka harus bekerja dengan orang lain. Mereka bisa berwirausaha sendiri dengan kemampuan yang mereka miliki, dan dalam jangka panjang kami berharap usaha tersebut justru bisa menciptakan lapangan kerja baru. Kita tidak bisa pungkiri kalau seseorang yang hanya bermodalkan ijazah sekolah menengah atas akan sulit mendapat pekerjaan, atau sekalipun mereka mendapat pekerjaan, pekerjaan tersebut bukanlah pekerjaan yang mapan secara finansial.”
Cala menyadari bahwa ada banyak kesamaan dalam diri Jason yang sama dengan dirinya. Salah satunya adalah ketika mereka sedang menyampaikan suatu pendapat atau gagasan, mereka bisa menyampaikannya secara jelas dan terstruktur. “Ok, jika kalian punya tujuan seperti itu maka saya setuju. Tapi saya ingin kalian menjalankan program ini dengan sepenuh hati, jangan setengah-setengah. Saya tidak ingin pelaksanaannya berhenti di tengah kegiatan, apalagi jika tujuannya belum tercapai. Saya juga tidak ingin kalian hanya ikut-ikutan menciptakan program kerja yang berhubungan dengan bisnis online hanya karena saat ini sedang ramai diperbincangkan. Ingat, jangan sampai mengecewakan orang-orang yang sudah terlibat di dalamnya.
Dengan cepat Jason menggelengkan kepala, sebagai tanda bahwa dugaan Cala tidaklah benar. “Tidak, kita tidak akan melakukan semua hal yang kau khawatirkan, kita benar-benar ingin menjalakan program ini dengan serius.” Ada nada penegasan ketika Jason menyebut kata “serius.”
Cala menegakkan tubuhnya, “Jadi, apa yang bisa saya bantu?” tanyanya serius. Dan siang itu mereka berdiskusi cukup lama—kurang lebih selama dua jam—hingga Cala lupa bahwa Reino belum juga membalas pesan singkatnya. Selesai diskusi, Cala langsung menuju ruang A 3.22 untuk mengikuti kelas manajemen sumber daya manusia. Karena banyaknya kegiatan yang dilakukan hari itu membuat Cala benar-benar lupa dengan pesan singkat yang dikirim Reino tadi siang.
Hingga pada malam hari, ada pesan masuk di ponsel Cala ketika ia dan Brenda sedang asyik menonton television di ruang television. Hanya ada mereka berdua di sana, penghuni kos-kosan lainnya sedang sibuk di kamar masing-masing, sementara Lilly sedang pergi makan malam berdua dengan Andre. Cala terdiam mematung setelah membaca isi pesan dari Reino. “Aku pikir setelah aku menjauh selama beberapa bulan kemarin, kau akan melakukan instropeksi diri, tapi ternyata kau masih sama saja seperti Cala yang dulu.” Cala bertanya-tanya mengenai makna dari perkataan Reino sampai ia tidak sadar bahwa sejak tadi Brenda sedang mengajaknya berbicara.
Kesal karena Cala tak mendengarkan ucapannya, Brenda akhirnya melempar sebuah bantal ke arah Cala. “Hello, ada orang yang sedang berbicara di sini.” Ucapnya dengan suara lantang.
Lagi-lagi Cala tak menghiraukan Brenda. Wanita berambut pirang itu semakin penasaran dengan apa yang terjadi, ia pun mendekat ke arah Cala yang masih fokus menatap layar ponsel.
“REINO??” tanyanya dengan mata membelalak, seperti seseorang yang baru saja melihat hantu. Cala mengangguk untuk menjawab keterkejutan Brenda. “Dia menghubungimu lagi setelah sekian lama pergi tanpa kabar?!” Ucapnya dengan nada penasaran.
Brenda seperti seorang reporter yang sedang mewawancarai seorang artis yang tersandung kasus.
Cala menunjukkan layar ponsel kepada Brenda agar sahabatnya itu bisa membaca isi pesan dari Reino. Brenda mengerutkan kening, “Apa maksudnya?” Bukan hanya Cala saja yang tidak mengerti dengan maksud dari isi pesan Reino, Brenda juga tak mengerti. Cala diam saja, kepalanya sedang sibuk memikirkan beberapa kemungkinan. “Brenda, apa yang akan kau lakukan jika kau jadi aku?” Tanyanya.
Brenda mengendikkan bahu, “Entahlah….” Jawabnya tak yakin, “Mungkin aku tidak akan menghiraukannya. Untuk apa juga kembali dengan mantan kekasih yang sempat mendekatiku lagi, tapi kemudian hilang selama beberapa bulan, dan sekarang, dia mencoba mendekati lagi??! Oh, tidak pernah terpikirkan olehku untuk berhubungan dengan lelaki seperti itu.” Jelas Brenda.
Cala hampir saja terpengaruh dengan perkataan Brenda jika ia tak mengingat Lilly. “Lilly, aku harus menanyakan hal ini pada Lilly.” Ucap Cala pada dirinya sendiri.
Brenda melambaikan tangan kanannya di depan wajah Cala, “Hellow!! Jadi kau tidak akan mendengarkan pendapatku sama sekali? Kalau gitu, untuk apa kau bertanya padaku?” Brenda tampak jengkel dengan Cala. “Tidak seperti itu, Brenda, aku hanya ingin melihat hal ini dari dua sisi. Kau tahu, aku pernah salah mengambil keputusan karena hanya mendengarkan pendapatmu.” Jawab Lilly cepat. “Dan kau juga pernah salah melakukan sesuatu karena terlalu mendengarkan pendapat Lilly.” Balas Brenda tak kalah cepat, sejujurnya Brenda sedikit kesal karena Cala selalu membahas kejadian itu.
Tidak ingin berdebat dengan Cala, Brenda mengalihkan topik pembicaraan. “Kau tahu? Akhir pekan ini aku akan pergi ke gym bersama Bastian.”
Cala mengunci layar ponselnya, sudah bukan waktunya untuk membicarakan Reino saat ini.
“Ngomong-ngomong, aku belum pernah melihat wajah Bastian, kau punya fotonya?” Tanya Cala penasaran.
Brenda mengangguk cepat, ia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan langsung membuka akun Instagram Bastian. “Ini dia orangnya, sangat tampan dan seksi, bukan?” Brenda bertanya sambil menggigit bibir bawahnya, pikirannya sudah mulai liar membayangkan hal erotis.
Ekspersi Cala sedikit berubah, entah mengapa terlintas pikiran yang sedikit “tabu” di benaknya. “Apa kau tidak merasakan sesuatu yang aneh saat pertama kali melihatnya?”
Brenda tidak mengerti dengan pertanyaan Cala, “Tidak, tapi yang pasti dia adalah pria yang sangat memperhatikan penampilan, aku yakin pasti banyak wanita yang jatuh cinta dengannya.”
Cala melihat-lihat foto Bastian yang lainnya, ada 700 postingan foto di akun instagramnya. Jelas sekali bahwa dia adalah pria narsistik, lebih banyak foto selfie dirinya sendiri di akun itu. “Dan hingga kini dia tidak berpacaran dengan siapapun?” Cala bertanya seperti itu karena tidak menemukan satu pun foto Bastian bersama seorang wanita, yang ada hanya foto Bastian dengan beberapa teman wanita dan foto Bastian dengan teman prianya.
Brenda mengangguk, “Dia bilang padaku sedang tidak menjalin hubungan serius dengan wanita manapun. Lagi pula aku tidak mungkin berkencan dengan pria yang sudah memiliki pacar.”
“Apa kau tahu siapa mantan pacarnya?” Pertanyaan Cala kini lebih spesifik, ia seperti sedang mencari tahu latar belakang Bastian.
Brenda tampak lelah menghadapi sikap Cala yang selalu ingin tahu akan banyak hal. “Cala, please, hubungan kami belum sedekat itu.”
Cala menyipitkan matanya, seperti sedang menganalisis sesuatu. “Aku berpikir bahwa dia sedikit aneh….” Ucapannya terhenti saat Brenda memotong kalimatnya, “Cala, stop, aku sedang tidak ingin mendengarkan pendapatmu yang berlebihan, hubunganku bukanlah fenomena sosial yang harus kau teliti.” Cala mengalah, lagi pula itu hanya dugaan sementara sebelum adanya bukti nyata. Dan setelah bukti ditemukan, maka itu akan menjadi sebuah fakta. Di samping itu, saat ini Cala harus lebih memikirkan tentang Reino daripada Bastian yang tak dikenalnya. Ah, rupanya di usia dua puluhan semua orang mulai sibuk dengan urusannya masing-masing.
"Hai, wanita pemberani." Itulah isi pesannya, sama seperti pesan pertama yang Reino kirimkan pada Cala beberapa tahun lalu. Cala cukup terkejut, setelah hilang selama beberapa bulan Reino kini kembali lagi. Ada sejuta pertanyaan dalam diri Cala. Haruskah ia membalas pesannya? Untuk apa Reino menghubunginya lagi? Apakah pria itu hanya ingin memainkan perasaan Cala lagi? Lantas mengapa ia menghilang selama beberapa bulan ini? Apakah Reino hanya ingin mengetahui seberapa mudahnya mendapatkan Cala lagi? Dan pertanyaan lainnya.
Cala menahan diri untuk tidak membalas pesan Reino--atau setidaknya ia harus membalasnya dua atau tiga jam lagi agar tidak terlihat seperti wanita murahan--ia pun mengunci layar ponsel dan menyimpannya di dalam tas. Tapi lima menit kemudian Cala mengambil ponselnya, ia sungguh tidak bisa menahan diri. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Reino. Cala membalas pesan Reino dengan hati-hati, takut bila Bapak Irawan melihatnya.
"Ada apa?" Balas Cala. Sepertinya Reino sedang memiliki banyak waktu luang, ia membalas pesan Cala dengan cepat. "Memang kau tahu siapa aku?"
Cala melihat tubuh Bapak Irawan sedang membelakanginya, dosen tua itu sedang menghadap ke layar infocus. Cala tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia langsung membalas kembali pesan Reino.
"Kau Reino. Saat ini aku sedang berada di kelas Manajemen Aset. Dan yang perlu kau tahu, dosenku yang satu ini tidak suka jika ada mahasiswanya yang bermain ponsel. Aku lebih baik kehilanganmu daripada harus mengulang kelas di tahun depan."
Cala mengirimnya dengan cepat. Mungkin kalimatnya terdengar sedikit kasar, tapi Cala merasa bahwa Reino berhak menerima kata-kata itu setelah pergi tanpa kabar.
Cala mencoba kembali fokus memperhatikan Bapak Irawan yang sedang menerangkan tentang aset bergerak milik perusahaan. Ia tidak ingin pikirannya diisi dengan hal-hal terkait Reino. Tapi Cala tidak bisa menyangkalnya, hingga di akhir sesi perkuliahan dirinya masih saja memikirkan Reino. Tak ingin terus dihantui oleh rasa penasaran dan bimbang, Cala memutuskan untuk kembali menghubungi Reino. "Ada perlu apa?" tanyanya melalui pesan singkat. Cala menunggu balasan pesan dari Reino, namun tak kunjung dibalas bahkan setelah tiga jam lamanya. Yang ada hanya sebuah pesan masuk dari Jason.
Jason adalah juniornya di kampus, saat ini ia sedang menjabat sebagai wakil ketua himpunan mahasiswa manajemen. Jason menjadi penerus Cala di periode berikutnya. Setelah menjabat sebagai wakil ketua himpunan mahasiswa manajemen selama satu tahun, posisi Cala kini harus digantikan oleh juniornya, Jason. Karena memang seperti itu aturannya. Akhir-akhir ini Jason sering menghubungi Cala untuk konsultasi mengenai program kerja organisasi ataupun tugas dan tanggungjawab dari seorang wakil ketua organisasi. Tentu saja Cala mau membantunya dengan senang hati, sebab ia selalu suka berdiskusi tentang apapun dan dengan siapapun.
"Sist, apa kau sedang sibuk?" Tanya Jason.
Cala yang saat itu sedang berada di taman fakultas segera membalas pesan Jason. "Tidak, ada apa?"
"Apa kita bisa bertemu? Ada yang ingin aku diskusikan."
"Tentu saja, silahkan datang ke taman fakultas."
Cala menutup halaman Microsoft Word, sebelumnya ia sedang menulis sebuah artikel tentang peran wanita di abad ke-21. Cala berniat untuk mengirim artikel tersebut ke salah satu perusahaan majalah online agar bisa diterbitkan bulan depan. Cala senang sekali bila gagasannya bisa dibaca oleh orang banyak. Tapi karena Jason mengajak bertemu, Cala pikir ia bisa mengerjakannya nanti malam.
Tidak butuh waktu lama bagi Jason untuk menyusul Cala. Pria berkacamata itu kini sudah berada di depan Cala. Ia mengeluarkan ponsel dan buku kecil untuk mencatat hal-hal penting yang sekiranya akan Cala ucapkan. Jason selalu merasa mendapat pengetahuan baru ketika dirinya berdiskusi dengan Cala. Cala adalah salah satu senior yang Jason kagumi sejak awal. Ia pertama kali melihat Cala ketika orientasi mahasiswa baru tingkat jurusan. Ketika itu Cala menjadi salah satu panitia di divisi acara. Keberadaan Cala saat itu dapat dikatakan cukup mendominasi karena ia yang memegang kendali atas jalannya kegiatan. Hubungan mereka semakin dekat kala keduanya berada dalam satu organisasi yang sama, himpunan mahasiswa manajemen. Jason adalah pria yang cerdas dan memiliki tekad yang kuat. Dapat dikatakan Jason adalah Cala versi pria. Tak heran jika keduanya selalu merasa cocok ketika sedang berdiskusi. Walau tentu saja terkadang mereka juga sering berbeda pendapat. Tapi sejauh ini, Cala dan Jason selalu bisa mengatasi perbedaan tersebut dan menemukan jalan tengah.
Jason membuka buku catatan, mengambil selembar kertas yang terselip di dalamnya. Ia memberikan kertas tersebut pada Cala. Tanpa basa-basi Jason langsung menyampaikan maksud dan tujuan mengapa dirinya menemui Cala. “Jadi rencananya, dua bulan lagi himpunan mahasiswa manajemen mau mengadakan program pengabdian masyarakat. Dan saya, sebagai perwakilan dari organisasi mau minta kritik dan saran dari Sist Cala.”
Cala mengangguk paham, ia tahu jika Jason memintanya untuk bertemu itu pasti karena ada sesuatu yang penting. Jason sama seperti dirinya, tidak akan buang-buang waktu untuk hal yang tidak penting. “Ok, jadi kalian rencananya mau mengadakan kegiatan apa?” Cala juga langsung to the point.
“Kami ingin melakukan sesuatu yang beda, Sist. Kami tidak ingin memberikan bantuan berupa barang ataupun uang. Kami tidak ingin menyelanggarakan kegiatan yang hanya berlangsung selama beberapa hari. Kami ingin memberikan pelatihan kepada anak-anak tingkat sekolah menengah atas yang sekiranya setelah mereka lulus dari sekolah, mereka tidak akan melanjutkan pendidikan ke universitas. Atau dapat dikatakan anak-anak yang akan langsung bekerja setelah mereka lulus dari sekolah menengah atas. Kami ingin memberikan pelatihan yang mungkin tidak pernah mereka dapatkan selama di sekolah. Dan kami memutuskan untuk memberi pelatihan wirausaha. Ada tiga jenis pelatihan wirausaha, pertama: wirausaha makanan khas Korea Selatan, kedua: wirausaha merangkai bucket bunga, dan ketiga: wirausaha lulur kecantikan dari bahan alami. Dan ketiga usaha itu nantinya akan dijalankan secara online, baik melalui media sosial, marketplace, atau bahkan e-commerce. Kita akan memberikan pelatihan selama enam bulan, mulai dari pelatihan membuat produk hingga memasarkan produk. Mereka berhak untuk memilih ingin bergabung dengan usaha yang mana, sesuai minat dan bakat yang mereka miliki.” Jason menjelaskan dengan antusias, tentu saja ia sedang berusaha untuk membuat Cala kagum dengan program kerja yang mereka rencanakan.
Cala mengangguk pelan, ia sedang menganalisis dan menimbang beberapa hal. “Sejauh ini saya paham dengan rencana kalian. Kalau boleh tahu, apa tujuan dari program ini?” Tanya Cala. Mereka benar-benar memanfaatkan waktu yang dimiliki untuk berdiskusi, tidak ada celah untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting atau sekedar basa-basi.
“Tujuannya adalah kita ingin memberdayakan anak-anak muda yang meskipun mereka tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tapi bukan berarti mereka harus bekerja dengan orang lain. Mereka bisa berwirausaha sendiri dengan kemampuan yang mereka miliki, dan dalam jangka panjang kami berharap usaha tersebut justru bisa menciptakan lapangan kerja baru. Kita tidak bisa pungkiri kalau seseorang yang hanya bermodalkan ijazah sekolah menengah atas akan sulit mendapat pekerjaan, atau sekalipun mereka mendapat pekerjaan, pekerjaan tersebut bukanlah pekerjaan yang mapan secara finansial.”
Cala menyadari bahwa ada banyak kesamaan dalam diri Jason yang sama dengan dirinya. Salah satunya adalah ketika mereka sedang menyampaikan suatu pendapat atau gagasan, mereka bisa menyampaikannya secara jelas dan terstruktur. “Ok, jika kalian punya tujuan seperti itu maka saya setuju. Tapi saya ingin kalian menjalankan program ini dengan sepenuh hati, jangan setengah-setengah. Saya tidak ingin pelaksanaannya berhenti di tengah kegiatan, apalagi jika tujuannya belum tercapai. Saya juga tidak ingin kalian hanya ikut-ikutan menciptakan program kerja yang berhubungan dengan bisnis online hanya karena saat ini sedang ramai diperbincangkan. Ingat, jangan sampai mengecewakan orang-orang yang sudah terlibat di dalamnya.
Dengan cepat Jason menggelengkan kepala, sebagai tanda bahwa dugaan Cala tidaklah benar. “Tidak, kita tidak akan melakukan semua hal yang kau khawatirkan, kita benar-benar ingin menjalakan program ini dengan serius.” Ada nada penegasan ketika Jason menyebut kata “serius.”
Cala menegakkan tubuhnya, “Jadi, apa yang bisa saya bantu?” tanyanya serius. Dan siang itu mereka berdiskusi cukup lama—kurang lebih selama dua jam—hingga Cala lupa bahwa Reino belum juga membalas pesan singkatnya. Selesai diskusi, Cala langsung menuju ruang A 3.22 untuk mengikuti kelas manajemen sumber daya manusia. Karena banyaknya kegiatan yang dilakukan hari itu membuat Cala benar-benar lupa dengan pesan singkat yang dikirim Reino tadi siang.
Hingga pada malam hari, ada pesan masuk di ponsel Cala ketika ia dan Brenda sedang asyik menonton television di ruang television. Hanya ada mereka berdua di sana, penghuni kos-kosan lainnya sedang sibuk di kamar masing-masing, sementara Lilly sedang pergi makan malam berdua dengan Andre. Cala terdiam mematung setelah membaca isi pesan dari Reino. “Aku pikir setelah aku menjauh selama beberapa bulan kemarin, kau akan melakukan instropeksi diri, tapi ternyata kau masih sama saja seperti Cala yang dulu.” Cala bertanya-tanya mengenai makna dari perkataan Reino sampai ia tidak sadar bahwa sejak tadi Brenda sedang mengajaknya berbicara.
Kesal karena Cala tak mendengarkan ucapannya, Brenda akhirnya melempar sebuah bantal ke arah Cala. “Hello, ada orang yang sedang berbicara di sini.” Ucapnya dengan suara lantang.
Lagi-lagi Cala tak menghiraukan Brenda. Wanita berambut pirang itu semakin penasaran dengan apa yang terjadi, ia pun mendekat ke arah Cala yang masih fokus menatap layar ponsel.
“REINO??” tanyanya dengan mata membelalak, seperti seseorang yang baru saja melihat hantu. Cala mengangguk untuk menjawab keterkejutan Brenda. “Dia menghubungimu lagi setelah sekian lama pergi tanpa kabar?!” Ucapnya dengan nada penasaran.
Brenda seperti seorang reporter yang sedang mewawancarai seorang artis yang tersandung kasus.
Cala menunjukkan layar ponsel kepada Brenda agar sahabatnya itu bisa membaca isi pesan dari Reino. Brenda mengerutkan kening, “Apa maksudnya?” Bukan hanya Cala saja yang tidak mengerti dengan maksud dari isi pesan Reino, Brenda juga tak mengerti. Cala diam saja, kepalanya sedang sibuk memikirkan beberapa kemungkinan. “Brenda, apa yang akan kau lakukan jika kau jadi aku?” Tanyanya.
Brenda mengendikkan bahu, “Entahlah….” Jawabnya tak yakin, “Mungkin aku tidak akan menghiraukannya. Untuk apa juga kembali dengan mantan kekasih yang sempat mendekatiku lagi, tapi kemudian hilang selama beberapa bulan, dan sekarang, dia mencoba mendekati lagi??! Oh, tidak pernah terpikirkan olehku untuk berhubungan dengan lelaki seperti itu.” Jelas Brenda.
Cala hampir saja terpengaruh dengan perkataan Brenda jika ia tak mengingat Lilly. “Lilly, aku harus menanyakan hal ini pada Lilly.” Ucap Cala pada dirinya sendiri.
Brenda melambaikan tangan kanannya di depan wajah Cala, “Hellow!! Jadi kau tidak akan mendengarkan pendapatku sama sekali? Kalau gitu, untuk apa kau bertanya padaku?” Brenda tampak jengkel dengan Cala. “Tidak seperti itu, Brenda, aku hanya ingin melihat hal ini dari dua sisi. Kau tahu, aku pernah salah mengambil keputusan karena hanya mendengarkan pendapatmu.” Jawab Lilly cepat. “Dan kau juga pernah salah melakukan sesuatu karena terlalu mendengarkan pendapat Lilly.” Balas Brenda tak kalah cepat, sejujurnya Brenda sedikit kesal karena Cala selalu membahas kejadian itu.
Tidak ingin berdebat dengan Cala, Brenda mengalihkan topik pembicaraan. “Kau tahu? Akhir pekan ini aku akan pergi ke gym bersama Bastian.”
Cala mengunci layar ponselnya, sudah bukan waktunya untuk membicarakan Reino saat ini.
“Ngomong-ngomong, aku belum pernah melihat wajah Bastian, kau punya fotonya?” Tanya Cala penasaran.
Brenda mengangguk cepat, ia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan langsung membuka akun Instagram Bastian. “Ini dia orangnya, sangat tampan dan seksi, bukan?” Brenda bertanya sambil menggigit bibir bawahnya, pikirannya sudah mulai liar membayangkan hal erotis.
Ekspersi Cala sedikit berubah, entah mengapa terlintas pikiran yang sedikit “tabu” di benaknya. “Apa kau tidak merasakan sesuatu yang aneh saat pertama kali melihatnya?”
Brenda tidak mengerti dengan pertanyaan Cala, “Tidak, tapi yang pasti dia adalah pria yang sangat memperhatikan penampilan, aku yakin pasti banyak wanita yang jatuh cinta dengannya.”
Cala melihat-lihat foto Bastian yang lainnya, ada 700 postingan foto di akun instagramnya. Jelas sekali bahwa dia adalah pria narsistik, lebih banyak foto selfie dirinya sendiri di akun itu. “Dan hingga kini dia tidak berpacaran dengan siapapun?” Cala bertanya seperti itu karena tidak menemukan satu pun foto Bastian bersama seorang wanita, yang ada hanya foto Bastian dengan beberapa teman wanita dan foto Bastian dengan teman prianya.
Brenda mengangguk, “Dia bilang padaku sedang tidak menjalin hubungan serius dengan wanita manapun. Lagi pula aku tidak mungkin berkencan dengan pria yang sudah memiliki pacar.”
“Apa kau tahu siapa mantan pacarnya?” Pertanyaan Cala kini lebih spesifik, ia seperti sedang mencari tahu latar belakang Bastian.
Brenda tampak lelah menghadapi sikap Cala yang selalu ingin tahu akan banyak hal. “Cala, please, hubungan kami belum sedekat itu.”
Cala menyipitkan matanya, seperti sedang menganalisis sesuatu. “Aku berpikir bahwa dia sedikit aneh….” Ucapannya terhenti saat Brenda memotong kalimatnya, “Cala, stop, aku sedang tidak ingin mendengarkan pendapatmu yang berlebihan, hubunganku bukanlah fenomena sosial yang harus kau teliti.” Cala mengalah, lagi pula itu hanya dugaan sementara sebelum adanya bukti nyata. Dan setelah bukti ditemukan, maka itu akan menjadi sebuah fakta. Di samping itu, saat ini Cala harus lebih memikirkan tentang Reino daripada Bastian yang tak dikenalnya. Ah, rupanya di usia dua puluhan semua orang mulai sibuk dengan urusannya masing-masing.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved