Bab 7
by Yan Widjaya
21:32,Aug 22,2024
Benar saja, secara gaib suara tambur dan gembreng itu segera didengar oleh ketiga raja naga yang lain di dasar laut masing-masing.
Sejatinya inilah isyarat ada sesuatu yang sangat gawat dan penting.
Maka dengan ilmunya, ketiga raja naga tiba-tiba sudah hadir di depan Istana Raja Naga Laut Timur.
"Toako, ada apa?"
Tanya Auw Kim, si Raja Naga Laut Selatan.
"Gawat, adikku,"
Keluh Sang Abang sulung.
"Aku tengah keta muan Thian-seng Seng-jin dari Hoa-ko-san yang mengaku sebagai tetanggaku. Mula-mula dia minta senjata; aku keluarkan golok; dia bilang kelewat enteng. Aku kasih tombak trisula, dibilang keringanan. Juga tombak cagak ditolaknya. Akhirnya aku beri tahu tentang tiang mustika Tang-tee Sin-tin-thi dari Thian-ho, barulah mencocoki seleranya. Tapi belum puas dengan cuma mendapat senjata, sekarang ia minta seperangkat pakaian perang. Malah ia mengancam, sebelum diberi, ia tidak mau pergi, terus bercokol di dalam istanaku. Keruan aku jadi kebingungan, maka kuundang kalian ke sini untuk merundingkan hal ini. Apakah kalian punya pakaian untuknya, supaya ia mau segera pergi dari sini?"
Auw Kim menjadi gusar mendengarnya.
"Kenapa Toako tak menyiapkan pasukan untuk mengusirnya pergi saja?"
"Jangan, jangan bicara tentang mengusirnya dengan kekerasan,"
Sanggah Sang Toako.
"Kau belum melihat caranya memainkan toya mustika itu! Kesiuran anginnya saja sangat santer, bisa bikin sisik kita lecet! Apalagi kalau kena gebuk, bisa ringsek badan kita!"
"Ya, Jiko, jangan kita keras lawan keras,"
Ujar Auw Ki pada Si Abang kedua.
"Lebih baik sekarang kita turuti saja kemauannya. Kita kumpulkan pakaian perang untuknya. Tapi nanti kita laporkan perbuatannya yang semena-mena kepada Giok Tee (Kaisar Kumala) supaya dia dihukum!"
"Setuju sekali,"
Auw Sun dari Laut Utara ikut menimpali.
"Aku bersedia menyumbangkan sepasang sepatu Ouw-si Pou-in-li!"
"Kalau begitu kuberikan jubah perang Siau-cu Hong-kim-kah,"
Ujar Auw Ki dari Laut Barat.
"Dari aku topi perang emas Hong-ci Chi-kim-khoa,"
Ujar Auw Kim dari Laut Selatan. Sumbangan ketiga adiknya ini membuat si sulung Auw Kong menjadi kegirangan.
"Terima kasih, adik-adikku,"
Ujarnya.
"Kumpulkan semuanya, lalu kita serahkan kepada tamu yang sangat merepotkan kita ini. Semoga dia tidak banyak cingcong minta ini-itu lagi. "
Begitulah mereka masuk ke Sui-ceng-kiong untuk menemui Si Raja Kera yang sedang ongkang-ongkang sambil minum teh, lalu mempersembahkan sepatu, topi, dan jubah perang.
Tanpa sungkan sedikit pun Sun Go-kong menerima, bahkan langsung mengenakannya di tempat.
Setelah rapi semua mendadak ia memutar Kim-ko-pang-nya bagaikan baling-baling yang menimbulkan angin keras, dan mencelat keluar dari Istana AIr Keempat raja laut menjadi sangat terkejut dan berseru-seru sambil menyingkir, tetapi Si Raja Kera tanpa memedulikan mereka lagi, terus saja meluncur ke permukaan laut!
Bukan main dongkolnya Auw Kong dan ketiga adiknya.
"Oh, dasar siluman monyet liar yang tidak tahu aturan!"
Umpatnya.
"Jangankan menghaturkan terima kasih, bahkan berpamitan pun tidak!"
"Sudahlah, Toako, kita mesti bersyukur dia tidak merecoki kita lebih lama lagi,"
Auw Ki menenangkan.
"Tapi kita tetap mesti mengajukan surat pengaduan dan permohonan keadilan kepada Giok Tee,"
Ujar Auw Kim.
Begitulah keempat Raja Naga lalu menulis sebuah surat pengaduan yang ditanda tangani bersama, untuk diserahkan kepada Giok Tee alias Kaisar Kumala yang berkuasa di Langit serta menentukan segala sesuatu yang terjadi pada setiap makhluk di Bumi.
Sementara itu, Sun Go-kong dengan cepat telah menyibakkan air laut, untuk kembali menyembul di bawah jembatan besi Tiat-poankio.
Begitu ia mendarat, lima kera Dewan Penasihat, para hulubalang, dan banyak rakyatnya segera bersorak sorai.
Tak urung mereka semua terpesona melihat Sang Raja muncul dengan busana mentereng berkilauan yang sama sekali tak basah, dengan sebelah tangan memegang toya.
Lima kera Dewan Penasihat mengajak mereka semua berlutut.
Lalu Lo-kauw mewakili memuji.
"Tay-ong terlihat sungguh gagah dan berwibawa dengan pakaian mentereng begini!"
Berseri-seri wajah Bi-kauw-ong. Dengan langkah lebar ia menuju ke singgasana batunya, lalu menyandarkan toyanya ke samping.
"Kalian boleh mencoba mengangkatnya!"
Ujarnya menyilakan.
Beberapa ekor hulubalang kera yang masih muda dan kuat mencoba mengangkatnya, tapi toya itu sama sekali bergeming!
"Ayo, coba lagi, lebih banyak!"
Sang Raja Kera menyemangati. Beberapa ekor kera maju lagi. Sampai puluhan ekor jumlahnya, tetap saja sia-sia belaka.
"Tay-ong, toya ini berat sekali, kami tak sanggup…,"
Keluh seekor kera yang paling besar badannya dengan napas tersengal-sengal.
Dengan sebelah tangannya Bi-kauw-ong menjemba dan mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya.
"He he he, semua benda memang mesti berjodoh dengan pemiliknya,"
Ujarnya.
"Ketahuilah, mustika ini sudah terendam di dasar Laut Timur, entah sudah berapa ribu tahun lamanya. Ternyata baru beberapa hari belakangan ini memancarkan sinarnya yang keemasan. Semula Tang-hay Liongong mengiranya besi hitam yang dibiarkannya begitu saja di dasar Thian-ho, karena tiada yang mampu mengangkatnya. Ketika pertama kulihat, panjangnya dua tombak lebih dan lebarnya seguci. Jelas kepanjangan dan kebesaran. Tetapi ia mau menuruti titahku hingga menjadi seperti bentuknya yang sekarang ini. Malah jika kusuruh untuk menjadi paling kecil pun, ia mau berubah menjadi mirip jarum yang bisa kuselipkan ke dalam telingaku!"
Semua yang mendengarkan menjadi bengong saking tercengangnya. Tak urung ada yang meminta.
"Coba Tay-ong lakukan, kami ingin menyaksikannya!"
Sang Raja tak keberatan.
Diperintahkannya Kim-ko-pang dalam genggaman tangannya untuk menjadi bentuk paling kecil.
Benar saja, toya mustika itu tiba-tiba berubah menyusut menjadi hanya sebesar jarum!
Dengan bangga Sun Go-kong memasukkan jarum wasiat itu ke dalam lubang telinganya.
"Coba Tay-ong keluarkan lagi!"
Seru seekor kera komandan hulubalang yang merasa penasaran.
Benda seperti jarum itu dikeluarkan dari lubang telinga, ditaruh dalam telapak tangan, dan dalam sekejap berubah menjadi besar lagi!
Saking gembira, Bi-kauw-ong langsung berlari keluar dari gua.
Sampai di lembah, ia berseru.
"Panjang sepanjang-panjangnya!"
Dalam sekejap mata toya itu mendadak mulur menjadi panjang sekali, mungkin sampai selaksa tombak lebih, karena ujungnya tak terlihat entah sampai di mana!
Melihat keajaiban ini, semua rakyat kera bersorak sorai saking kagumnya.
Sementara itu, Sun Go-kong tersenyum simpul.
Meringkas kembali Kim-ko-pang sampai hanya menjadi sebesar jarum dan menyelipkannya ke dalam telinganya.
Pada kesempatan ini, Si Raja Kera lalu melantik sejumlah kera pilihan menjadi perwira-perwira dengan pangkat kemiliteran.
Empat ekor monyet tua menjadi Kian-ciang.
Dua ekor lutung hitam diangkat menjadi Ma-goanswe dan Liu-goanswe; dua ekor kera muda dianugerahi pangkat Peng-ciangkun dan Pa-ciangkun.
Ketiga pangkat tersebut setara dengan panglima, jenderal, dan kolonel.
Selanjutnya untuk mengurus benteng, memberi hadiah kepada kera yang berjasa, dan menghukum kera yang bersalah, adalah tugas keempat Kian-ciang.
Sun Go-kong sendiri tak ingin diribetkan dengan segala macam tetek bengek.
Ia ingin bebas pergi ke mana saja sesuka hatinya; ke puncak-puncak gunung tinggi atau menyeberangi samudra dengan menggunakan ilmu jumpalitannya.
Pergaulannya di luar sana menjadi sangat luas.
Setelah banyak tahun ia menjadi sangat populer dan menjalin hubungan baik dengan enam raja siluman, bahkan kemudian mereka yang mengagumi kelihaiannya ia angkat menjadi saudara.
Para siluman tersebut memang berkepala binatang sesuai dengan nama masing-masing, namun bertubuh manusia yang tegap kekar.
Cit-te-heng atau tujuh saudara angkat ini secara berurutan dari yang tertua adalah: Gu-mo-ong, Raja Siluman Kerbau, Coa-mo-ong, Raja Siluman Ular, Peng-mo-ong, Raja Siluman Garuda, Say-to-ong, Raja Siluman Singa, Mi-khauw-ong, Raja Siluman Gorila, Ji-jiong-ong, Raja Siluman Monyet, dan si bungsu Bi-kauw-ong, Raja Kera tampan alias Sun Go-kong.
Tujuh saudara angkat ini mengadakan temu muka pada setiap awal musim, berarti satu kuartal atau empat bulan sekali, untuk membahas berbagai macam hal, dari ilmu silat, ilmu kesaktian, sampai ilmu sastra.
Mereka berpesta pora, berganti-ganti dari sarang yang satu ke sarang lainnya yang letaknya sebenarnya saling berjauhan, menenggak arak sambil menikmati musik dan tarian.
Karena kesaktian mereka, perjalanan sejauh selaksa li sama sekali tak berarti.
Suatu hari, ketika tiba giliran Bi-kauw-ong menggelar pesta di gua Cui-liam-tong, datanglah keenam saudara angkatnya.
Keempat kian-ciang sudah menyiapkan pesta besar lengkap dengan segala makanan dan minumannya.
Sepanjang malam mereka berpesta pora, sampai paginya dengan agak mabuk, enam raja siluman berpamitan pulang.
Sebagai tuan rumah, Si Raja Kera sendiri yang mengantar mereka sampai ke ujung jembatan besi Tiat-poan-kio.
Tetapi setelah mereka berenam terbang pergi, Sun Go-kong yang merasa agak lelah dan sedikit pening, duduk numprah seenaknya di tempat teduh di dekat jembatan.
Empat Kian-ciang menugasi empat hulubalang kera untuk berjaga di sekitar raja mereka, sedangkan yang lain menyingkir jauh-jauh supaya tidak berisik dan mengusik Bi-kauw-ong.
Mata Bi-kauw-ong memang sudah terpejam.
Rupanya ia cepat sekali terlelap tidur.
Dalam kondisi itulah sayup-sayup ia merasa dua sosok mendatanginya.
Salah satunya membawa amplop surat yang di atasnya tertulis tiga huruf namanya, Sun Go-kong.
Begitu mereka tiba di depan Si Raja Kera, tahu-tahu roh Sun Go-kong mencelat keluar dari tubuhnya.
Kedua sosok aneh itu langsung menjiratnya dan menyeretnya pergi.
Saat tiba di sebuah kota yang bertembok benteng tinggi, roh Sun Go-kong mulai sadar diri.
Kepalanya mendongak, matanya tepat memandang sebuah thi-pay, papan besi, bertulisan tiga aksara besar-besar YU-BENG-KAY alias akhirat!
Keruan Si Raja Kera menjadi terkesiap, bukankah Yu-beng-kay adalah tempat tinggal Giam-lo-ong, Raja Akhirat?
pikirnya, lalu berseru.
"Hei, kenapa aku dibawa ke sini?!"
Yang membawanya menjawab dengan suara sedingin es.
"Umurmu telah tiba, kami datang untuk mencabut nyawamu. "
"Hei, aku telah keluar dari garis sam-kay,"
Bantah Sun Go-kong.
"Aku tak lagi termasuk dalam ngo-heng dan tidak tunduk pada kalian! Bagaimana kalian berani sembarangan mengambil nyawaku?"
Dua sosok aneh penjemput arwah itu tak memedulikan bantahannya, terus saja menggusur roh tawanannya masuk ke dalam kota akhirat itu.
Sun Go-kong menjadi murka.
Ia mengeluarkan jarum dari telinganya.
Dalam tangannya, jarum itu sekejap berubah menjadi toya yang diameternya sebesar mangkuk.
Dengan toya raksasa ini ia mengemplang kepala kedua sosok itu hingga remuk.
Ringsek tubuh mereka!
Menyusul ia menerjang masuk ke dalam kota, hingga mengejutkan para warganya yakni setan-setan berkepala kerbau dan iblis bermuka kuda!
Mereka semua berhamburan lari untuk menghindari pukulan toya Kim-ko-pang!
Para malaikat melayang ke Som-lo-thian untuk melaporkan.
"Di luar ada Mo-lian Lui-kong (Monster Geledek Muka Berbulu) mengamuk!"
Mendengar laporan ini, Sip-thian Giam-ong, Sepuluh Raja Akhirat, menjadi sangat terkejut, dan bersama-sama melayang keluar dari kantor mereka, untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Sambil mengebutkan jubah, mereka berbaris, lalu salah satunya mewakili yang lain untuk berteriak.
"Siang-sian, tahan dulu! Mohon beritahukanlah nama Siang-sian yang mulia!"
Mereka memanggil Si Monster Geledek Muka Berbulu dengan sebutan Manusia Dewa, pertanda mereka tak berani memandang rendah.
"Hei, kalian tidak mengenalku?! Kenapa kalian berani mengirim utusan untuk mencabut nyawaku?!"
Bi-khauw-ong balik bertanya.
"Kami tidak pernah memerintahkan hal itu,"
Ujar Si Raja Akhirat.
"Pasti telah terjadi kesalahan!"
"Akulah Thian-seng Seng-jin Sun Go-kong dari Gua Cui-liam-tong di pulau gunung Hoa-ko-san,"
Seru Si Pengamuk sambil menepuk dadanya.
"Kau ini siapa?"
"Kami adalah Sip-thian Giam-ong dari Im-kan Thian-cut (alam neraka)!"
"Beri tahukan nama kalian masing-masing, cepat!"
Gertak Si Raja Kera.
"Atau kukemplang kepala kalian!"
Dengan gentar mereka pun menyebutkan nama satu per satu: Cin-kong-ong, Couw-kang-ong, Song-tee-ong, Ngo-koan-ong, Gianlo-ong, Peng-teng-ong, Tay-san-ong, Touw-sie-ong, Pian-seng-ong, dan Coan-lun-ong.
"Hah, kalian semua adalah raja, kenapa begini tidak tahu aturan?"
Damprat Si Pengamuk.
"Aku Sun Tua, telah bertapa dan memperoleh ilmu hingga umurku sekarang sama dengan langit! Aku berada di luar garis sam-kay dan lolos dari ngo-heng, kenapa kalian masih mengirim utusan untuk menjemputku?"
"Jangan Seng-jin marah-marah dulu,"
Bujuk Cin-kong-ong.
"Di dunia, banyak terdapat orang yang marga dan namanya sama. Kemungkinan besar petugas telah melakukan kekeliruan. "
"Ngaco belo!"
Tukas Sun Go-kong.
"Tidak mungkin dalam urusan ini terjadi kekeliruan! Lekas ambil kitab daftar jiwa hidup dan mati, aku mesti melihatnya sendiri!"
Sip-thian Giam-ong terpaksa meluluskan permintaan ini.
"Boleh, silakan nanti Seng-jin periksa,"
Ujar Coan-lun-ong sambil menyilakan Si Pengamuk masuk ke dalam kantornya.
Sun Go kong, sambil tetap membawa toyanya, duduk di tengahtengah Som-lo-thian.
Seorang pembesar akhirat yang berpangkat Poan-koan segera diminta mengeluarkan Kitab Daftar Hidup-Mati.
Si Poan-koan segera membawa belasan kitab besar bersampul hitam dan tebal.
Semuanya langsung diperiksa dengan teliti.
Dalam kitab dafar hewan primata tak terdapat nama Bi-khauw-ong.
Sampai lama sekali mereka membolak-balik halaman demi halaman.
Saking tak sabar, akhirnya Si Raja Kera ikut turun tangan.
Tiba pada kitab yang pada sampulnya tertera aksara Hun (roh), pada nomor 1350 tertulis singkat sebagai berikut, Nama : Sun Go-kong.
Kelahiran : berasal dari batu ajaib.
Usia : berakhir sampai dengan 342 tahun.
"Hah, ini dia!"
Cetus Si Raja Kera.
"Aku tidak mau tahu berapa umurku! Aku cuma mau namaku dicoret! Lekas ambilkan pit!"
Si Poan-koan dengan gugup mengambilkan sebuah pit, lalu menggosok tinta hitam dalam bak sampai kental.
Sun Go-kong menarik Kitab Daftar Hidup-Mati itu ke dekatnya, lalu mulai mencorat-coret, bukan cuma namanya sendiri, tapi juga semua nama bangsa primata yang tercantum di situ.
Masih belum puas, kitab tebal itu pun dirobeknya!
"Begini baru beres!
Sekarang aku tidak lagi berada di bawah kekuasaan kalian!"
Sambil tertawa-tawa puas ia melangkah keluar dari istana, menerobos pintu gerbang Yu-beng-kay, langsung tiba di lautan awan dan mega… Sip-thian Giam-ong tidak berani mencegah kepergiannya.
Setelah berunding singkat, mereka pun memutuskan untuk bersama-sama pergi ke Cui-in-kiong, Istana Langit, untuk melaporkan kekacauan yang barusan terjadi pada pemimpin mereka, Tee-chong-ong Pousat.
Sementara itu, begitu melewati pintu gerbang kota akhirat, Sun Go-kong mendadak merasa kakinya terserimpet, hingga ia pun sempoyongan, dan tanpa bisa menahan diri lagi, jatuh tersungkur!
Rohnya masuk kembali ke dalam tubuhnya, dan ia pun terbangun dari tidurnya dengan sangat terkejut!
Apakah yang barusan dialami nya hanya mimpi seram belaka?
Mendadak terdengar suara si kera tua Lo-kauw.
"Tay-ong telah menenggak banyak arak sampai mabuk! Akibatnya Tay-ong terlena di sini sehari-semalam, baru mendusin sekarang!"
"Hei, hei, hei, kalau cuma sekadar tidur itu sih tidak apa-apa, tetapi aku mimpi dahsyat sekali!"
Cetus Si Raja Kera sambil gelenggeleng kepala.
"Mula-mula dua sosok aneh mencabut rohku, lalu menggelandangku ke pintu gerbang kota akhirat. Di situ aku memberontak dan mengamuk sampai ke Som-lo-thian. Lantas aku menuntut Sip-thian Giam-ong mengeluarkan Kitab Daftar Hidup-Mati, langsung kucoret bagian yang memuat daftar nama kita. Jadi untuk selanjutnya kita tak lagi berada di bawah kekuasaan maut!"
Semua bangsa primata yang hadir di situ menjadi sangat girang, mereka berlutut untuk menghaturkan terima kasih kepada raja mereka.
Konon kabarnya, memang sejak saat itu, banyak di antara bangsa kera yang mencapai umur sangat panjang, karena nama mereka tak tercantum lagi di dalam daftar kitab para raja akhirat!
Sementara seluruh penghuni Gua Cui-liam-tong bersukaria, di atas langit, Sang Penguasa Langit dan Bumi yang gelar lengkapnya adalah Kho-thian Siang-seng Tay-cu-jin-cia Giok-hong Tay-thiancun Guan-kiong Kho Siang Tee – yang akan terlalu sangat panjang bila selalu ditulis lengkap, maka untuk selanjutnya cukup disingkat menjadi Giok Tee alias Kaisar Kumala – tengah menggelar permusyawarahan di pendopo Leng-siau Po-thian di Istana Langit Emas Kim-kwat In-kiong.
Sejatinya inilah isyarat ada sesuatu yang sangat gawat dan penting.
Maka dengan ilmunya, ketiga raja naga tiba-tiba sudah hadir di depan Istana Raja Naga Laut Timur.
"Toako, ada apa?"
Tanya Auw Kim, si Raja Naga Laut Selatan.
"Gawat, adikku,"
Keluh Sang Abang sulung.
"Aku tengah keta muan Thian-seng Seng-jin dari Hoa-ko-san yang mengaku sebagai tetanggaku. Mula-mula dia minta senjata; aku keluarkan golok; dia bilang kelewat enteng. Aku kasih tombak trisula, dibilang keringanan. Juga tombak cagak ditolaknya. Akhirnya aku beri tahu tentang tiang mustika Tang-tee Sin-tin-thi dari Thian-ho, barulah mencocoki seleranya. Tapi belum puas dengan cuma mendapat senjata, sekarang ia minta seperangkat pakaian perang. Malah ia mengancam, sebelum diberi, ia tidak mau pergi, terus bercokol di dalam istanaku. Keruan aku jadi kebingungan, maka kuundang kalian ke sini untuk merundingkan hal ini. Apakah kalian punya pakaian untuknya, supaya ia mau segera pergi dari sini?"
Auw Kim menjadi gusar mendengarnya.
"Kenapa Toako tak menyiapkan pasukan untuk mengusirnya pergi saja?"
"Jangan, jangan bicara tentang mengusirnya dengan kekerasan,"
Sanggah Sang Toako.
"Kau belum melihat caranya memainkan toya mustika itu! Kesiuran anginnya saja sangat santer, bisa bikin sisik kita lecet! Apalagi kalau kena gebuk, bisa ringsek badan kita!"
"Ya, Jiko, jangan kita keras lawan keras,"
Ujar Auw Ki pada Si Abang kedua.
"Lebih baik sekarang kita turuti saja kemauannya. Kita kumpulkan pakaian perang untuknya. Tapi nanti kita laporkan perbuatannya yang semena-mena kepada Giok Tee (Kaisar Kumala) supaya dia dihukum!"
"Setuju sekali,"
Auw Sun dari Laut Utara ikut menimpali.
"Aku bersedia menyumbangkan sepasang sepatu Ouw-si Pou-in-li!"
"Kalau begitu kuberikan jubah perang Siau-cu Hong-kim-kah,"
Ujar Auw Ki dari Laut Barat.
"Dari aku topi perang emas Hong-ci Chi-kim-khoa,"
Ujar Auw Kim dari Laut Selatan. Sumbangan ketiga adiknya ini membuat si sulung Auw Kong menjadi kegirangan.
"Terima kasih, adik-adikku,"
Ujarnya.
"Kumpulkan semuanya, lalu kita serahkan kepada tamu yang sangat merepotkan kita ini. Semoga dia tidak banyak cingcong minta ini-itu lagi. "
Begitulah mereka masuk ke Sui-ceng-kiong untuk menemui Si Raja Kera yang sedang ongkang-ongkang sambil minum teh, lalu mempersembahkan sepatu, topi, dan jubah perang.
Tanpa sungkan sedikit pun Sun Go-kong menerima, bahkan langsung mengenakannya di tempat.
Setelah rapi semua mendadak ia memutar Kim-ko-pang-nya bagaikan baling-baling yang menimbulkan angin keras, dan mencelat keluar dari Istana AIr Keempat raja laut menjadi sangat terkejut dan berseru-seru sambil menyingkir, tetapi Si Raja Kera tanpa memedulikan mereka lagi, terus saja meluncur ke permukaan laut!
Bukan main dongkolnya Auw Kong dan ketiga adiknya.
"Oh, dasar siluman monyet liar yang tidak tahu aturan!"
Umpatnya.
"Jangankan menghaturkan terima kasih, bahkan berpamitan pun tidak!"
"Sudahlah, Toako, kita mesti bersyukur dia tidak merecoki kita lebih lama lagi,"
Auw Ki menenangkan.
"Tapi kita tetap mesti mengajukan surat pengaduan dan permohonan keadilan kepada Giok Tee,"
Ujar Auw Kim.
Begitulah keempat Raja Naga lalu menulis sebuah surat pengaduan yang ditanda tangani bersama, untuk diserahkan kepada Giok Tee alias Kaisar Kumala yang berkuasa di Langit serta menentukan segala sesuatu yang terjadi pada setiap makhluk di Bumi.
Sementara itu, Sun Go-kong dengan cepat telah menyibakkan air laut, untuk kembali menyembul di bawah jembatan besi Tiat-poankio.
Begitu ia mendarat, lima kera Dewan Penasihat, para hulubalang, dan banyak rakyatnya segera bersorak sorai.
Tak urung mereka semua terpesona melihat Sang Raja muncul dengan busana mentereng berkilauan yang sama sekali tak basah, dengan sebelah tangan memegang toya.
Lima kera Dewan Penasihat mengajak mereka semua berlutut.
Lalu Lo-kauw mewakili memuji.
"Tay-ong terlihat sungguh gagah dan berwibawa dengan pakaian mentereng begini!"
Berseri-seri wajah Bi-kauw-ong. Dengan langkah lebar ia menuju ke singgasana batunya, lalu menyandarkan toyanya ke samping.
"Kalian boleh mencoba mengangkatnya!"
Ujarnya menyilakan.
Beberapa ekor hulubalang kera yang masih muda dan kuat mencoba mengangkatnya, tapi toya itu sama sekali bergeming!
"Ayo, coba lagi, lebih banyak!"
Sang Raja Kera menyemangati. Beberapa ekor kera maju lagi. Sampai puluhan ekor jumlahnya, tetap saja sia-sia belaka.
"Tay-ong, toya ini berat sekali, kami tak sanggup…,"
Keluh seekor kera yang paling besar badannya dengan napas tersengal-sengal.
Dengan sebelah tangannya Bi-kauw-ong menjemba dan mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya.
"He he he, semua benda memang mesti berjodoh dengan pemiliknya,"
Ujarnya.
"Ketahuilah, mustika ini sudah terendam di dasar Laut Timur, entah sudah berapa ribu tahun lamanya. Ternyata baru beberapa hari belakangan ini memancarkan sinarnya yang keemasan. Semula Tang-hay Liongong mengiranya besi hitam yang dibiarkannya begitu saja di dasar Thian-ho, karena tiada yang mampu mengangkatnya. Ketika pertama kulihat, panjangnya dua tombak lebih dan lebarnya seguci. Jelas kepanjangan dan kebesaran. Tetapi ia mau menuruti titahku hingga menjadi seperti bentuknya yang sekarang ini. Malah jika kusuruh untuk menjadi paling kecil pun, ia mau berubah menjadi mirip jarum yang bisa kuselipkan ke dalam telingaku!"
Semua yang mendengarkan menjadi bengong saking tercengangnya. Tak urung ada yang meminta.
"Coba Tay-ong lakukan, kami ingin menyaksikannya!"
Sang Raja tak keberatan.
Diperintahkannya Kim-ko-pang dalam genggaman tangannya untuk menjadi bentuk paling kecil.
Benar saja, toya mustika itu tiba-tiba berubah menyusut menjadi hanya sebesar jarum!
Dengan bangga Sun Go-kong memasukkan jarum wasiat itu ke dalam lubang telinganya.
"Coba Tay-ong keluarkan lagi!"
Seru seekor kera komandan hulubalang yang merasa penasaran.
Benda seperti jarum itu dikeluarkan dari lubang telinga, ditaruh dalam telapak tangan, dan dalam sekejap berubah menjadi besar lagi!
Saking gembira, Bi-kauw-ong langsung berlari keluar dari gua.
Sampai di lembah, ia berseru.
"Panjang sepanjang-panjangnya!"
Dalam sekejap mata toya itu mendadak mulur menjadi panjang sekali, mungkin sampai selaksa tombak lebih, karena ujungnya tak terlihat entah sampai di mana!
Melihat keajaiban ini, semua rakyat kera bersorak sorai saking kagumnya.
Sementara itu, Sun Go-kong tersenyum simpul.
Meringkas kembali Kim-ko-pang sampai hanya menjadi sebesar jarum dan menyelipkannya ke dalam telinganya.
Pada kesempatan ini, Si Raja Kera lalu melantik sejumlah kera pilihan menjadi perwira-perwira dengan pangkat kemiliteran.
Empat ekor monyet tua menjadi Kian-ciang.
Dua ekor lutung hitam diangkat menjadi Ma-goanswe dan Liu-goanswe; dua ekor kera muda dianugerahi pangkat Peng-ciangkun dan Pa-ciangkun.
Ketiga pangkat tersebut setara dengan panglima, jenderal, dan kolonel.
Selanjutnya untuk mengurus benteng, memberi hadiah kepada kera yang berjasa, dan menghukum kera yang bersalah, adalah tugas keempat Kian-ciang.
Sun Go-kong sendiri tak ingin diribetkan dengan segala macam tetek bengek.
Ia ingin bebas pergi ke mana saja sesuka hatinya; ke puncak-puncak gunung tinggi atau menyeberangi samudra dengan menggunakan ilmu jumpalitannya.
Pergaulannya di luar sana menjadi sangat luas.
Setelah banyak tahun ia menjadi sangat populer dan menjalin hubungan baik dengan enam raja siluman, bahkan kemudian mereka yang mengagumi kelihaiannya ia angkat menjadi saudara.
Para siluman tersebut memang berkepala binatang sesuai dengan nama masing-masing, namun bertubuh manusia yang tegap kekar.
Cit-te-heng atau tujuh saudara angkat ini secara berurutan dari yang tertua adalah: Gu-mo-ong, Raja Siluman Kerbau, Coa-mo-ong, Raja Siluman Ular, Peng-mo-ong, Raja Siluman Garuda, Say-to-ong, Raja Siluman Singa, Mi-khauw-ong, Raja Siluman Gorila, Ji-jiong-ong, Raja Siluman Monyet, dan si bungsu Bi-kauw-ong, Raja Kera tampan alias Sun Go-kong.
Tujuh saudara angkat ini mengadakan temu muka pada setiap awal musim, berarti satu kuartal atau empat bulan sekali, untuk membahas berbagai macam hal, dari ilmu silat, ilmu kesaktian, sampai ilmu sastra.
Mereka berpesta pora, berganti-ganti dari sarang yang satu ke sarang lainnya yang letaknya sebenarnya saling berjauhan, menenggak arak sambil menikmati musik dan tarian.
Karena kesaktian mereka, perjalanan sejauh selaksa li sama sekali tak berarti.
Suatu hari, ketika tiba giliran Bi-kauw-ong menggelar pesta di gua Cui-liam-tong, datanglah keenam saudara angkatnya.
Keempat kian-ciang sudah menyiapkan pesta besar lengkap dengan segala makanan dan minumannya.
Sepanjang malam mereka berpesta pora, sampai paginya dengan agak mabuk, enam raja siluman berpamitan pulang.
Sebagai tuan rumah, Si Raja Kera sendiri yang mengantar mereka sampai ke ujung jembatan besi Tiat-poan-kio.
Tetapi setelah mereka berenam terbang pergi, Sun Go-kong yang merasa agak lelah dan sedikit pening, duduk numprah seenaknya di tempat teduh di dekat jembatan.
Empat Kian-ciang menugasi empat hulubalang kera untuk berjaga di sekitar raja mereka, sedangkan yang lain menyingkir jauh-jauh supaya tidak berisik dan mengusik Bi-kauw-ong.
Mata Bi-kauw-ong memang sudah terpejam.
Rupanya ia cepat sekali terlelap tidur.
Dalam kondisi itulah sayup-sayup ia merasa dua sosok mendatanginya.
Salah satunya membawa amplop surat yang di atasnya tertulis tiga huruf namanya, Sun Go-kong.
Begitu mereka tiba di depan Si Raja Kera, tahu-tahu roh Sun Go-kong mencelat keluar dari tubuhnya.
Kedua sosok aneh itu langsung menjiratnya dan menyeretnya pergi.
Saat tiba di sebuah kota yang bertembok benteng tinggi, roh Sun Go-kong mulai sadar diri.
Kepalanya mendongak, matanya tepat memandang sebuah thi-pay, papan besi, bertulisan tiga aksara besar-besar YU-BENG-KAY alias akhirat!
Keruan Si Raja Kera menjadi terkesiap, bukankah Yu-beng-kay adalah tempat tinggal Giam-lo-ong, Raja Akhirat?
pikirnya, lalu berseru.
"Hei, kenapa aku dibawa ke sini?!"
Yang membawanya menjawab dengan suara sedingin es.
"Umurmu telah tiba, kami datang untuk mencabut nyawamu. "
"Hei, aku telah keluar dari garis sam-kay,"
Bantah Sun Go-kong.
"Aku tak lagi termasuk dalam ngo-heng dan tidak tunduk pada kalian! Bagaimana kalian berani sembarangan mengambil nyawaku?"
Dua sosok aneh penjemput arwah itu tak memedulikan bantahannya, terus saja menggusur roh tawanannya masuk ke dalam kota akhirat itu.
Sun Go-kong menjadi murka.
Ia mengeluarkan jarum dari telinganya.
Dalam tangannya, jarum itu sekejap berubah menjadi toya yang diameternya sebesar mangkuk.
Dengan toya raksasa ini ia mengemplang kepala kedua sosok itu hingga remuk.
Ringsek tubuh mereka!
Menyusul ia menerjang masuk ke dalam kota, hingga mengejutkan para warganya yakni setan-setan berkepala kerbau dan iblis bermuka kuda!
Mereka semua berhamburan lari untuk menghindari pukulan toya Kim-ko-pang!
Para malaikat melayang ke Som-lo-thian untuk melaporkan.
"Di luar ada Mo-lian Lui-kong (Monster Geledek Muka Berbulu) mengamuk!"
Mendengar laporan ini, Sip-thian Giam-ong, Sepuluh Raja Akhirat, menjadi sangat terkejut, dan bersama-sama melayang keluar dari kantor mereka, untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Sambil mengebutkan jubah, mereka berbaris, lalu salah satunya mewakili yang lain untuk berteriak.
"Siang-sian, tahan dulu! Mohon beritahukanlah nama Siang-sian yang mulia!"
Mereka memanggil Si Monster Geledek Muka Berbulu dengan sebutan Manusia Dewa, pertanda mereka tak berani memandang rendah.
"Hei, kalian tidak mengenalku?! Kenapa kalian berani mengirim utusan untuk mencabut nyawaku?!"
Bi-khauw-ong balik bertanya.
"Kami tidak pernah memerintahkan hal itu,"
Ujar Si Raja Akhirat.
"Pasti telah terjadi kesalahan!"
"Akulah Thian-seng Seng-jin Sun Go-kong dari Gua Cui-liam-tong di pulau gunung Hoa-ko-san,"
Seru Si Pengamuk sambil menepuk dadanya.
"Kau ini siapa?"
"Kami adalah Sip-thian Giam-ong dari Im-kan Thian-cut (alam neraka)!"
"Beri tahukan nama kalian masing-masing, cepat!"
Gertak Si Raja Kera.
"Atau kukemplang kepala kalian!"
Dengan gentar mereka pun menyebutkan nama satu per satu: Cin-kong-ong, Couw-kang-ong, Song-tee-ong, Ngo-koan-ong, Gianlo-ong, Peng-teng-ong, Tay-san-ong, Touw-sie-ong, Pian-seng-ong, dan Coan-lun-ong.
"Hah, kalian semua adalah raja, kenapa begini tidak tahu aturan?"
Damprat Si Pengamuk.
"Aku Sun Tua, telah bertapa dan memperoleh ilmu hingga umurku sekarang sama dengan langit! Aku berada di luar garis sam-kay dan lolos dari ngo-heng, kenapa kalian masih mengirim utusan untuk menjemputku?"
"Jangan Seng-jin marah-marah dulu,"
Bujuk Cin-kong-ong.
"Di dunia, banyak terdapat orang yang marga dan namanya sama. Kemungkinan besar petugas telah melakukan kekeliruan. "
"Ngaco belo!"
Tukas Sun Go-kong.
"Tidak mungkin dalam urusan ini terjadi kekeliruan! Lekas ambil kitab daftar jiwa hidup dan mati, aku mesti melihatnya sendiri!"
Sip-thian Giam-ong terpaksa meluluskan permintaan ini.
"Boleh, silakan nanti Seng-jin periksa,"
Ujar Coan-lun-ong sambil menyilakan Si Pengamuk masuk ke dalam kantornya.
Sun Go kong, sambil tetap membawa toyanya, duduk di tengahtengah Som-lo-thian.
Seorang pembesar akhirat yang berpangkat Poan-koan segera diminta mengeluarkan Kitab Daftar Hidup-Mati.
Si Poan-koan segera membawa belasan kitab besar bersampul hitam dan tebal.
Semuanya langsung diperiksa dengan teliti.
Dalam kitab dafar hewan primata tak terdapat nama Bi-khauw-ong.
Sampai lama sekali mereka membolak-balik halaman demi halaman.
Saking tak sabar, akhirnya Si Raja Kera ikut turun tangan.
Tiba pada kitab yang pada sampulnya tertera aksara Hun (roh), pada nomor 1350 tertulis singkat sebagai berikut, Nama : Sun Go-kong.
Kelahiran : berasal dari batu ajaib.
Usia : berakhir sampai dengan 342 tahun.
"Hah, ini dia!"
Cetus Si Raja Kera.
"Aku tidak mau tahu berapa umurku! Aku cuma mau namaku dicoret! Lekas ambilkan pit!"
Si Poan-koan dengan gugup mengambilkan sebuah pit, lalu menggosok tinta hitam dalam bak sampai kental.
Sun Go-kong menarik Kitab Daftar Hidup-Mati itu ke dekatnya, lalu mulai mencorat-coret, bukan cuma namanya sendiri, tapi juga semua nama bangsa primata yang tercantum di situ.
Masih belum puas, kitab tebal itu pun dirobeknya!
"Begini baru beres!
Sekarang aku tidak lagi berada di bawah kekuasaan kalian!"
Sambil tertawa-tawa puas ia melangkah keluar dari istana, menerobos pintu gerbang Yu-beng-kay, langsung tiba di lautan awan dan mega… Sip-thian Giam-ong tidak berani mencegah kepergiannya.
Setelah berunding singkat, mereka pun memutuskan untuk bersama-sama pergi ke Cui-in-kiong, Istana Langit, untuk melaporkan kekacauan yang barusan terjadi pada pemimpin mereka, Tee-chong-ong Pousat.
Sementara itu, begitu melewati pintu gerbang kota akhirat, Sun Go-kong mendadak merasa kakinya terserimpet, hingga ia pun sempoyongan, dan tanpa bisa menahan diri lagi, jatuh tersungkur!
Rohnya masuk kembali ke dalam tubuhnya, dan ia pun terbangun dari tidurnya dengan sangat terkejut!
Apakah yang barusan dialami nya hanya mimpi seram belaka?
Mendadak terdengar suara si kera tua Lo-kauw.
"Tay-ong telah menenggak banyak arak sampai mabuk! Akibatnya Tay-ong terlena di sini sehari-semalam, baru mendusin sekarang!"
"Hei, hei, hei, kalau cuma sekadar tidur itu sih tidak apa-apa, tetapi aku mimpi dahsyat sekali!"
Cetus Si Raja Kera sambil gelenggeleng kepala.
"Mula-mula dua sosok aneh mencabut rohku, lalu menggelandangku ke pintu gerbang kota akhirat. Di situ aku memberontak dan mengamuk sampai ke Som-lo-thian. Lantas aku menuntut Sip-thian Giam-ong mengeluarkan Kitab Daftar Hidup-Mati, langsung kucoret bagian yang memuat daftar nama kita. Jadi untuk selanjutnya kita tak lagi berada di bawah kekuasaan maut!"
Semua bangsa primata yang hadir di situ menjadi sangat girang, mereka berlutut untuk menghaturkan terima kasih kepada raja mereka.
Konon kabarnya, memang sejak saat itu, banyak di antara bangsa kera yang mencapai umur sangat panjang, karena nama mereka tak tercantum lagi di dalam daftar kitab para raja akhirat!
Sementara seluruh penghuni Gua Cui-liam-tong bersukaria, di atas langit, Sang Penguasa Langit dan Bumi yang gelar lengkapnya adalah Kho-thian Siang-seng Tay-cu-jin-cia Giok-hong Tay-thiancun Guan-kiong Kho Siang Tee – yang akan terlalu sangat panjang bila selalu ditulis lengkap, maka untuk selanjutnya cukup disingkat menjadi Giok Tee alias Kaisar Kumala – tengah menggelar permusyawarahan di pendopo Leng-siau Po-thian di Istana Langit Emas Kim-kwat In-kiong.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved