Bab 2

by Yan Widjaya 21:28,Aug 22,2024
Bi-kauw-ong adalah seekor kera muda yang sangat cerdas.
Ia sebenarnya sama sekali tak bermaksud menakut-nakuti, apalagi mencelakai manusia.
Tetapi otaknya berpikir, orang-orang ini berlarian ketakutan, mungkin karena melihat sekujur tubuhku penuh bulu dan tak berpakaian seperti mereka. ?"
Pikiran ini membuat Si Raja Kera segera membuka baju si remaja semaput dan mengenakannya ke tubuhnya sendiri.
Lalu ia pun mengambil topinya dan memasangnya di atas kepalanya.
Tubuh remaja yang belum sadarkan diri itu ditinggalkannya begitu saja terbaring di atas pasir, dan ia pun berjalan pergi.
Benar saja, setelah mengenakan baju dan bertudung topi, sosoknya tidak lagi terlalu menakutkan.
Ia berjalan melewati kampung nelayan.
Memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang.
Dia perhatikan, setiap dua orang bertemu di tengah jalan, mereka saling menjura untuk memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan.
Diam-diam Bi-kauw-ong belajar menirukan gerak-gerik manusia dari hari ke hari.
Tetapi mereka semua adalah manusia-manusia biasa, bukan Hud, dewa-dewi, atau malaikat, seperti yang dituturkan oleh Lo-kauw,"
Pikirnya dalam hati.
Di mana makhluk-makhluk abadi itu berada?
Berbulan-bulan Bi-kauw-ong berjalan di bumi Lam-ciam Pou-ciu, dari kampung ke kampung.
Pemahamannya terhadap manusia pun semakin luas, tingkah lakunya sudah semakin menyamai mereka.
Untuk makannya sehari-hari tidak sulit baginya menemukan buah yang matang di pohon di mana saja; tinggal memetiknya saja.
Toh baginya sudah cukup satu buah untuk satu hari.
Sampai suatu hari langkah kakinya membawanya ke pantai barat.
Di sini ia membuat sebuah sampan lagi untuk menyeberangi lautan, dan tibalah Bi-kauw-ong di See-gu Ho-ciu, Benua Barat.
Kawasan ini konon seindah rembulan purnama.
Di muka buminya terdapat banyak sekali binatang kerbau (gu) hingga Benua Barat disebut juga Benua Kerbau.
Si Raja Kera menjelajah seantero Benua Kerbau.
Perilaku manusia yang dijumpainya di sini nyaris tak berbeda dengan yang ada di benua yang baru saja ditinggalkannya.
Suatu pagi, Bi-kauw-ong mendaki sebuah gunung tinggi.
Nan permai panorama alamnya.
Si Raja Kera tidak takut pada segala macam binatang liar yang hidup di hutan, sebaliknya justru mereka yang merasa jeri padanya, hingga memilih menghindar bila berpapasan.
Di puncak yang tertinggi, Bi-kauw-ong mengawasi keadaan di sekitarnya.
Dilihatnya akar-akar rotan melilit batang-batang pohon siong (cemara) yang sudah sangat tua, mungkin ratusan tahun umurnya.
Terdengar kicau burung-burung kecil bernyanyi, diselingi gemericik air terjun kecil yang mengalir dari mata airnya.
Tempat seasri dan sesunyi ini baru sekarang dijumpainya selama pengembaraannya di dua benua.
Rasanya di sinilah tempat bertamasya makhluk-makhluk luar biasa itu, batin Bi-khauw-ong.
Lama Si Raja Kera nangkring di dahan pohon siong tertinggi untuk menikmati keindahan panorama sambil melamun.
Sampai tibatiba kesunyian suasana dipecahkan oleh suara nyanyian lantang seorang lelaki yang terdengar riang gembira.
Aku seorang tukang kayu, Kerja setiap hari, Pagi berangkat ke hutan, Untuk memotong kayu.
Kayu kuikat dan kujual ke pasar desa, Tidak perlu pakai tawar-menawar segala, Karena penjual dan pembeli sama jujurnya, Uangnya untuk membeli beras bagi keluarga.
Sore hari main catur dengan tetangga, Saking asyik sampai malam tak terasa, Menenggak sepoci arak hangat Sambil menggadangi purnama… Bi-kauw-ong tersentak kaget.
Lamunannya buyar seketika, Wah!
Benar saja, rupanya ada dewa atau malaikat yang menghuni puncak gunung asri ini!
pikirnya girang.
Langsung ia meloncat-loncat turun dari dahan ke dahan, dari pohon ke pohon, untuk mencari orang yang bernyanyi itu.
Terdengar suara, cak, cak, cak!
berulang-kali secara konstan.
Segera dilihatnya seorang tukang kayu yang tengah bekerja.
Tu kang kayu inilah yang bernyanyi-nyanyi sambil mengayunkan kampaknya berulang kali ke sebatang pohon siong yang telah kering dan mati.
Kepalanya ditutupi topi tudung dari anyaman ilalang.
Tubuhnya yang kekar mengenakan baju dari kain kasar.
Ikat pinggangnya dari kain angkin.
Kedua kakinya mengenakan sepatu rumput.
Bi-kauw-ong melompat-lompat menghampirinya, lalu menjura dengan merangkapkan kedua tangannya sebagaimana laiknya manusia.
Dia bermaksud mohon diterima untuk menjadi murid oleh tukang kayu yang disangkanya dewa ini.
Si tukang kayu terheran-heran menyaksikan tingkah pola Si Raja Kera.
Ia meninggalkan kampaknya yang sebagian masih membenam di batang pohon siong, lalu membalas menjura.
Sedangkan dalam hatinya ia membatin, wah, makhluk apa ini?
Setengah manusia setengah kera?
Jangan-jangan ini yang dinamakan siluman kera?
Seumur hidup aku mencari kayu di hutan pegunungan ini baru sekarang bertemu makhluk aneh begini!
Tetapi si tukang kayu adalah seorang berjiwa pemberani, apalagi melihat Si Raja Kera tak bersikap bermusuhan, malah berlutut di depannya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya berulang kali.
"Hai, hai…, kau sepertinya ingin menjadi muridku hingga meng hormatiku begini?"
Ujarnya sambil tertawa. Bi-kauw-ong bertambah keras mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aha, kau salah alamat! Kalau kau menjadi muridku, paling banter bakal menjadi tukang kayu seperti aku juga, karena cuma bisa memotong kayu!"
Si Raja Kera memandang si tukang kayu dengan sorot mata penuh pertanyaan.
Mau tak mau si tukang kayu menggaruk-garuk kepalanya meskipun tidak merasa gatal, dan tiba-tiba menemukan akal.
"Aha, aku tahu… kau tentu tertarik karena mendengar nyanyianku yang gagah tadi, bukan?"
Bi-kauw-ong manggut-manggut kencang.
"Ya, ya, lagu itu, berjudul Bun-teng-hong (Seluruh Paseban Harum); gubahan seorang pertapa sakti yang kasihan melihatku. Dengan menyanyikan lagu itu, semua kekesalanku lenyap. Rasa capek dan letih sirna!"
Si Raja Kera melongo.
Ia memang sudah mengerti bahasa manusia secara sederhana.
Si tukang kayu kemudian mengajaknya duduk bersama di rerumputan.
Mengeluarkan buli-bulinya yang berisi air matang dan menawarkan Si Raja Kera untuk minum sambil mendengarkan penuturannya.
Beginilah riwayat hidup si tukang kayu.
Saat baru berusia sembilan tahun, ayahnya telah meninggal dunia.
Ia tinggal berdua saja dengan bundanya, tanpa kakak atau adik.
Sendirian terpaksa ia merawat Sang Ibu, dengan segala daya upaya.
Mendiang ayahnya tak meninggalkan warisan berarti, juga tiada sawah-ladang, selain sebuah pondok dengan sepetak pekarangan yang ditanami sayur mayur.
Untuk mencari nafkahnya, ia memilih pekerjaan sebagai tukang kayu yang hanya bermodalkan sebilah kampak dan tenaga.
Perjuangan hidupnya menarik perhatian seorang pertapa sakti yang bernama Pou Tee Couwsu.
Mukimnya memang tidak jauh dari pondoknya, yakni di Gunung Leng-tay Hong-cun-san, tepatnya di dalam Gua Shia-guat Sam-seng-tong.
Beliau mempunyai banyak murid.
Sebagian besar sudah lulus dan turun gunung.
Sekarang masih belajar sekitar empat puluh orang murid lagi… "Nah, kalau kau mau mempelajari suatu ilmu, sebaiknya pada beliau saja,"
Anjur si tukang kayu sambil menepuk-nepuk pundak Si Raja Kera. Bi-kauw-ong memandang si tukang kayu, menunggu penuturannya lebih lanjut.
"Yah, kau ikuti saja jalan setapak ini sampai kira-kira delapan li ke selatan, tidak salah lagi, pasti kau akan sampai ke gua itu!"
Si Raja Kera memegang tangan si tukang kayu, seperti ingin minta diantar, tetapi ditertawakan.
"Aku tidak bisa mengantarmu ke sana, Kawan, karena aku masih harus bekerja memotong kayu. Pelangganku di pasar sudah menunggu. Jadi kalau aku mengantarmu, pekerjaanku telantar. Lalu, siapa yang nanti merawat ibuku yang sudah tua?"
Dengan perlahan si tukang kayu melepaskan tangan Si Raja Kera.
"Nah, pergilah kau sendiri saja ke sana, dijamin tidak akan nyasar! Cuma dekat!"
Bi-kauw-ong tak memaksa lagi.
Ia menjura berterima kasih kepada si tukang kayu, lalu berjalan dengan kepala tegak ke arah selatan, sesuai petunjuk si tukang kayu.
Dekat katanya?
Ini rasanya sudah delapan li, pikir Bi-kauw-ong dengan mata celingukan.
Ah, coba aku jalan terus saja ke depan!
Ternyata yang dibilang dekat dalam ukuran si tukang kayu sebagai orang gunung itu lebih dari sepuluh li!
Dan tiba-tiba di depan mata Si Raja Kera terhampar sebuah lembah nan permai.
Benar saja, ada sebuah gua besar di sini yang mempunyai daun pintu dan tertutup rapat.
Tepat di atas gua melintang sebuah pay atau balok batu yang berukir sepuluh aksara besar-besar yang melesak ke dalam seperti ditulis dengan jari tangan sakti: Leng Tay Hong Cun San Shia Guat Sam Seng Tong Rupanya itulah nama bukit dan gua tersebut.
Wah, inilah gua yang dimaksud tukang kayu tadi!
Benar-benar dia orang yang jujur, cuma letaknya sedikit lebih jauh dari perkiraannya, pikir Bi-kauw-ong kegirangan.
Tetapi karena melihat pintu gua yang terbuat dari papan besar dan tebal tertutup rapat, ia tak berani berbuat apa-apa, juga tidak mengetukkan gelang pintu yang terbuat dari lingkaran besi bundar.
Ia memilih naik ke sebatang pohon buah tho (persik).
Memetik sebuah yang matang di pohon, lalu menggerogotinya secara diamdiam sambil nangkring di dahan yang besar.
Dengan cara ini ia mengisi perutnya yang memang sejak kemarin belum terisi makanan.
Tatapan matanya tak pernah beranjak dari daun pintu.
Dan yang diharap-harapkannya pun terjadi.
Terdengar suara berbarengan dengan dibukanya daun pintu besar dan tebal itu dari dalam.
Disusul munculnya seorang sian-tong (kacung dewa).
Wajah sian-tong ini putih, tampan, berbibir merah, dengan sepasang bola mata hitam jernih.
Rambutnya yang juga hitam dikuncir dua, bergoyang-goyang saat ia melongokkan kepalanya dan berjalan keluar dari pintu.
"Ei, siapa itu yang mengusik ketenangan di tempat ini?"
Tanya Si Sian-tong dengan suara yang jelas dan tegas.
Bi-kauw-ong langsung melompat turun dari dahan pohon.
Ia menghampiri Si Kacung Dewa sambil menjura hormat.
Si Sian-tong tertawa melihat lagak Raja Kera ini.
"Kau datang ke sini ingin berguru pada Suhu?"
Tebaknya. Si Raja Kera manggut-manggut mengiyakan.
"Suhu baru saja selesai bersemedi, dan memang sedang ingin memberikan kuliah kepada semua muridnya,"
Jelas Si Kacung.
"Namun, sebelum memulai, ia menyuruh aku untuk keluar lebih dulu. Katanya ada seseorang yang baru datang untuk ikut belajar. Hei, tak kusangka rupanya makhluk aneh seperti kau inilah yang dimaksud oleh Suhu! Ayo, masuk, masuklah!"
Melihat Si Sian-tong menggapai-gapaikan tangannya, tahulah Bikauw-ong, bahwa ia diundang masuk.
Bergegas ia mengebutkan bajunya, lalu masuk ke dalam gua itu.
Begitu melewati pintu gerbang gua, ia tercengang karena ia tiba di sebuah pekarangan yang luas dengan rumput hijau tertata rapi bak permadani.
Di tengah halaman itu berdiri sebuah bangunan indah bertingkat dua.
Tetapi Si Kacung Dewa tidak membawanya masuk ke rumah loteng tersebut, melainkan terus melipir lewat sampingnya menuju halaman belakang.
Si Raja Kera terus membuntuti di belakangnya.
Di sini, di sebuah lapangan luas, berdiri sebuah yauw-tay, panggung.
Di tengah yauw-tay ini duduk bersila seorang kakek berwajah alim di atas sebuah tilam.
Tidak salah lagi, beliau adalah Pou Tee Couwsu.
Rambutnya dibuhul dan hanya diikat dengan sehelai kain sederhana.
Jenggotnya yang memutih perak memanjang sampai ke dadanya.
Jubahnya yang putih terbuat dari kain kasar biasa, bukan sutra mahal.
Penampilannya teramat sederhana, namun berwibawa tinggi.
Sulit menaksir berapa usianya; kalau menilik alisnya yang sudah amat putih menjuntai ke bawah, usianya mungkin sudah di atas seratus tahun… Di bawah panggung duduk bersila di atas tikar masing-masing tiga puluh sembilan murid yang terbagi menjadi tiga barisan, ma sing-masing berjumlah tiga belas orang, terdiri dari beraneka corak manusia.
Ada yang tua, ada yang muda; ada yang tinggi, ada yang pendek; ada yang gemuk, ada yang kurus; ada yang berwajah tampan licin, ada yang kasar berewokan.
Persamaan mereka adalah mengenakan jubah kain sederhana.
Selain itu, semuanya lelaki; tiada satu pun yang perempuan.
Begitu banyak orang, namun suasananya sangat hening, karena tiada seorang pun yang bersuara, bahkan seakan bernapas pun diatur dengan sangat tenang dan perlahan.
Si Sian-tong memberi isyarat kepada Bi-kauw-ong untuk maju menghadap Sang Suhu.
Bergegas Si Raja Kera maju sampai ke bawah panggung, lalu berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya sampai tiga kali.
Pou Tee Couwsu menatapnya dengan matanya yang jernih namun sangat tajam.
Rupanya pertapa sakti ini menguasai bahasa hewan, hingga bisa mengajukan pertanyaan.
"Berhentilah menganggukkan kepalamu. Jawab dulu pertanyaanku; kau berasal dari mana?"
"Suhu, tecu berasal dari Gua Cui-liam-tong di Gunung Hoa-kosan, Negeri Go-lay-kok, Benua Tong-sin Sin-ciu,"
Sahut Bi-kauw-ong apa adanya. Ia membahasakan dirinya sendiri tecu yang berarti murid. Di luar dugaan, mendadak Couwsu marah-marah dan menghardik.
"Usir dia! Belum apa-apa sudah berani berdusta, mana boleh menjadi muridku!"
Bukan main kagetnya Bi-kauw-ong. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya sampai menyentuh tanah.
"Tecu mengatakan apa adanya, sama sekali bukan dusta. "
"Kalau betul begitu, bagaimana dari Tong-sin Sin-ciu kau bisa mencapai tempat ini? Ada dua lautan yang menghalangi; ada benua Lam-ciam Pou-ciu!"
"Tecu telah berlayar dengan menggunakan sampan, menyeberangi dua lautan. Tecu telah mengembara di Lam-ciam Pou-ciu bertahun-tahun... "
Couwsu menatapnya dengan lebih tajam, lalu mengelus jeng gotnya yang panjang keperakan.
"Baik, kuterima penjelasanmu. Sekarang beri tahukan nama dan she-mu!"
Yang dimaksud sebagai she adalah marga, atau nama keluarga.
"Tecu tidak mempunyai she,"
Aku Si Raja Kera.
"Di Lam-ciam Pou-ciu kalau ada orang yang memaki tecu, tecu tidak marah, bahkan kalau ada yang tersenggol di jalan dan menampar pun, tecu tidak gusar, malah menjura minta dimaafkan, tecu selalu menjaga adat. Juga seumur hidup hanya makan buah-buahan belaka..."
"Hei, aku tidak menanyakan adat dan apa saja makananmu. Yang kutanyakan she dari bapakmu!"
Tukas Couwsu.
"Tecu tidak mempunyai ayah, juga tidak ada ibu..."
"Hahh?! Jika tidak ada ayah-bunda, lalu apakah kau dilahirkan dari pohon bambu?!"
"Tecu bukan dilahirkan dari pohon bambu, melainkan dari sebuah batu..."
Couwsu menatap dengan sorotan mata seperti kurang percaya.
"Yang tecu ingat, di puncak Hoa-ko-san ada sebuah batu ajaib,"
Jelas Si Raja Kera.
"Pada suatu pagi, batu itu pecah, dan tahu tahu… lahirlah tecu..."
Walaupun wajahnya tak menunjukkan perubahan emosi, namun diam-diam dalam hatinya Pou Tee Couwsu merasa girang.
Batinnya, kera luar biasa ini pasti termasuk bangsa siluman yang dilahirkan oleh keajaiban alam; mungkin hanya terjadi sekali sepanjang dunia berkembang dalam jutaan tahun!
Namun di mulut dengan sikap tetap menjaga kewibawaannya ia memerintahkan.
"Coba kau bangkit berdiri, lalu berjalan bolak-balik tiga kali, aku ingin melihat caramu berjalan!"
Bi-kauw-ong langsung melompat bangun dan berjalan bolak-balik.
Baru dua kali, Couwsu sudah tertawa melihat langkahnya yang masih terhuyung, kurang mantap, dan punggungnya agak membungkuk.
"Postur tubuhmu masih jelek, hingga kau lebih mirip dengan monyet pemakan buah liar di hutan, daripada anak manusia,"
Ujar Sang Couwsu.
"Tapi tidak apa-apa, dengan latihan yang tekun, kau pasti akan berhasil menjadi manusia. Namun yang pertama Couwsu akan memberimu hadiah, yaitu she sebagaimana layaknya setiap manusia. Nama marga ini diambil berdasarkan tubuhmu sendiri yakni aksara SUN yang berasal dari kata Ho-sun (artinya kera). Tapi aksara Sun untuk nama margamu ini kupangkas sisi kirinya yang melambangkan hewan berkaki empat, karena wujudmu saja kera, padahal otak dan kecerdasanmu setinggi manusia yang paling pintar, hingga tinggal huruf Sun yang berarti cucu; kedua aksara ini memang sama dan serupa bunyinya. "
Bi-kauw-ong menjadi sangat kegirangan hingga menggaruk-garuk kepalanya dengan bersemangat.
"Terima kasih Suhu atas anugerah yang tak ternilai ini. Sekarang tecu telah mempunyai she!"
Couwsu mengelus jenggotnya.
"Jangan memanggilku suhu dulu. Masih banyak syarat yang harus kaupenuhi sebelum patut menjadi muridku..."
Kegirangan si kera bermarga Sun ini tidak menjadi luntur.
"Suhu bilang saja, syarat apa pun, berapa banyak juga, tecu bersedia memenuhinya!"
"Yang pertama, kuberi kau waktu selama sembilan puluh hari atau tiga bulan di sini untuk belajar berjalan dengan punggung tegak, kaki tidak pengkor, dan berkelakuan seperti laiknya anak manusia sejati!"
Ujar Couwsu sambil menggapaikan tangannya.
"Sekarang kau ke sini dulu!"
Dengan merunduk-runduk Si Raja Kera maju ke depan.
"Naiklah ke yauw-tay ini, lalu tengkurap, biar kuurut sekujur tu buhmu!"
Perintah Pou Tee Couwsu.
Dengan patuh Si Kera Batu melakukan semua yang diperintahkan.
Ia menelungkup di depan sang pertapa sakti.
Dengan kedua tangannya Couwsu mengurut sekujur tubuh Si Kera, dimulai dari ubun-ubun, tengkuk, punggung, lengan, jari-jari tangan, pinggang, pinggul, terus turun ke paha, betis, jari-jari kaki, dan berakhir pada kelingking kaki kiri.
"Kerangka tubuhmu memang sama dengan manusia; hanya wujudmu saja dan kebiasaanmu yang membuatmu seperti kera. Untuk mengukuhkannya, mesti kuurut semua urat dan tulangmu setiap pagi selama sembilan puluh hari!"
Ujar Pou Tee Couwsu sambil tersenyum.
"Nah, selama menetap di sini, kau memang boleh makan-minum secara cuma-cuma setiap hari, namun kau juga mesti menjadi cantrik, membantu Sian-tong, untuk mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan rumah, halaman, mencari kayu bakar, menimba air dari sumur untuk mengisi bak mandi, dan lain sebagainya. "
"Tecu patuh,"
Sahut Si Kera Sun sambil merangkak bangun.
"Setelah triwulan pertama, dua triwulan atau seratus delapan puluh hari berikutnya kau mesti belajar berbicara bahasa manusia,"
Lanjut Pou Tee Couwsu.
"Kau bukan kera biasa yang ditakdirkan tidak bisa berbicara seperti manusia. Bentuk mulut, lidah, dan kerongkonganmu sama dengan manusia, maka kau mesti fasih berbicara!"
Sekali lagi Si Kera Sun mengucapkan.
"Tecu patuh. "
"Setelah kau fasih berbicara, empat triwulan atau dua belas bulan selanjutnya, kau mesti melek huruf. Kau harus belajar membaca dan menulis. Jadi dari bahasa lisan meningkat ke tulisan. Tulisanmu bukan cuma bisa terbaca, tetapi juga mesti bagus dan berkarakter. Ketahuilah, Bun (ilmu baca-tulis) selalu mesti didahulukan daripada Bu (ilmu laga, militer). Itu sebabnya aksara Bun selalu berada di depan atau di atas Bu. "
"Tecu patuh!"
"Bagus kalau begitu! Dari waktu ke waktu aku akan mengawasi kemajuanmu selama dua tahun pertama. Sekali saja kau gagal memenuhi harapanku, peluangmu selesai. Tamat. Lebih baik kau pulang saja ke gunung tempat asalmu. Sebaliknya, kalau kau berhasil, ba rulah kau kuterima menjadi murid dan mulai mempelajari ilmu-ilmu yang lain. "
"Tecu patuh dan akan dengan tekun serta senang menuruti semua petunjuk Suhu!"
Janji si Kera Sun.
Couwsu menggapai Si Sian-tong yang berdiri menunggu di pinggir panggung.
Disuruhnya Si Kacung membawa Si Kera Sun ke belakang untuk mandi, membersihkan diri dan keramas, serta memberinya jubah sama seperti Si Sian-tong, lalu menunjukkan tempat tidurnya di asrama para murid yang merupakan sebuah bangsal panjang.
Setelah Si Kera she Sun mengikuti Si Kacung Dewa ke kamar mandi asrama, barulah Pou Tee Couwsu memulai kuliah hari itu bagi ketiga puluh sembilan muridnya.
Mendapatkan Marga, Nama, dan Kehidupan Kekal UA tahun kemudian….
Si kera bermarga Sun telah berubah jauh dari saat pertama kali kedatangannya di Gua Sam-seng-tong.
Sekarang ia mengenakan jubah sian-tong, kacung dewa, yang menutupi sebagian besar tubuhnya.
Kakinya pun mengenakan sepatu rumput.
Hingga hanya tinggal kedua tangannya dan wajahnya saja yang masih tampak penuh bulu sebagaimana laiknya kera, walau bulunya sangat halus dan putih bersih karena terawat.
Caranya berjalan sudah tiada bedanya dengan seorang pemuda.
Bicaranya pun fasih sekali.
Tangannya juga lancar menulis dan menggambar dengan menggunakan pit, kuas bulu, serta tinta hitam yang digosok pada bak.
Bentuk aksara goresannya indah dan melambangkan kegagahan.
Bacaannya dari berbagai kitab di perpustakaan asrama membuat ia tidak kalah dengan para pelajar yang hendak menuntut ujian ke kotaraja.
Berkat kegigihannya belajar, semuanya itu berhasil dicapainya dalam tempo tak sampai dua tahun.
Di suatu pagi, Si Kera Sun berlutut di hadapan Pou Tee Couwsu yang memenuhi janjinya, mengangkatnya secara resmi menjadi murid, disaksikan oleh tiga puluh sembilan suheng (kakak se perguruan).
Jadilah ia murid keempat puluh alias si bungsu dalam angkatan mutakhIr "Terima kasih atas semua kebaikan Suhu yang telah menerima tecu.
Sekarang tecu bukan saja bisa berbicara, tetapi juga sudah menguasai ilmu membaca, menulis, dan melukis,"
Ujar si murid bungsu sambil pay-kui (menjura dengan berlutut) di tanah di bawah panggung tempat Sang Guru duduk.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

63