Bab 6

by Yan Widjaya 21:31,Aug 22,2024
"Ya, kami akan berjuang untuk mempertahankan daerah kita!"
Cetus seekor kera gagah yang diangkat menjadi komandan laskar Gua Cui-liam-tong.
Pada suatu siang, selesai melatih pasukannya, Bi-kauw-ong duduk termenung cukup lama.
Lantas ia memanggil Lo-kauw dan sekalian kera tua yang sudah diangkat menjadi Dewan Penasihat Kera.
"Kita membentuk laskar Gua Cui-liam-tong, agar dapat membela diri bila diserbu oleh pihak luar. Namun sekarang justru timbul kecemasanku! Bagaimana kalau gerakan kita disalah-artikan oleh manusia, hewan berkaki empat, atau burung-burung? Bukan tidak mungkin mereka mengira kita akan mengganggu mereka, hingga bisa-bisa pasukan kerajaan pihak lain menyerang kita lebih dulu. Padahal sebagian besar senjata kita hanya bambu runcing! Bagaimana kalian bisa melawan musuh? Kita perlu punya lebih banyak senjata betulan!"
Lo-kauw yang menjadi Ketua Dewan Penasihat Kera menjadi bingung mendengar ini.
"Dari mana kita bisa mendapatkannya?"
Empat anggota Dewan Penasihat Kera yang lain adalah sepasang monyet tua, Cek-khauw dan Bek-khauw, serta dua ekor lutung pintar, yakni Tong-pwe dan Wan-khauw.
"Tay-ong, mendapatkan senjata bagi seluruh laskar kita adalah masalah gampang,"
Ujar Wan-khauw.
"Bagaimana kau bisa bilang gampang? Coba jelaskan, apa maksudmu?"
Ujar Sun Go-kong.
"Di arah matahari terbit dari Hoa-ko-san kita, kira-kira sejauh dua ratus li adalah perbatasan Negeri Go-lay-kok,"
Kata si lutung.
"Negeri itu dikuasai oleh seorang raja yang bertakhta di kotaraja. Nah, di sana banyak pandai besi yang membuka bengkel pembuatan bermacam-macam senjata tajam. Tay-ong bisa pergi ke sana, untuk memesan pedang dan golok. Bukankah masalah terpecahkan?"
Bi-kauw-ong manggut-manggut mengiyakan.
"Kalau begitu, baiklah, sekarang juga aku akan pergi meninjau ke sana!"
Tanpa membuang waktu, Sun Go-kong berjumpalitan ke arah timur.
Dalam sekejap ia sudah tiba di atas kotaraja Go-lay-kok yang ramai.
Banyak orang yang berjalan mondar-mandir di jalan raya.
Toko-toko kelontong membuka pintunya lebar-lebar.
Di depan pintu seorang bocah pelayan berteriak-teriak menyilakan orang yang lewat untuk singgah dan melihat-lihat ke dalam toko milik majikannya.
Mengawasi ini semua dari balik mega, Sun Go-kong menjadi girang sekali.
Pikirnya.
"Di sini banyak toko yang menjual berbagai senjata. Daripada beli, lebih baik kugunakan saja ilmuku!"
Maka ia merapalkan mantra, menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara mengagetkan.
Seketika terbitlah angin kencang yang membuat debu dan pasir mengulak tinggi ke udara membentuk angin puyuh yang berputar makin lama makin kencang!
Penduduk menjadi sangat terkejut oleh peristiwa yang tak terduga ini.
Mereka berlarian masuk ke dalam rumah, lalu menutup pintu dan jendela rapat-rapat!
Dalam sekejap jalanan menjadi kosong dan lengang.
Pada saat itulah Sun Go-kong melayang turun ke bumi.
Ia berhenti tepat di depan gudang persenjataan kerajaan.
Dengan sekali tolak, daun pintu yang lebar dan besar terbuka.
Di depan matanya, dalam sebuah ruangan yang besar, bermacam senjata seperti tombak, golok, pedang, dan lainnya, tampak berjajar rapi dalam rak masingmasing.
"Ini dia yang kucari!"
Cetus Sun Go-kong girang. Dicabutnya segumpal bulunya untuk ditiup sambil membaca mantra.
"Jadilah!"
Ajaib!
Seketika bulu-bulu yang berhamburan itu menjelma menjadi kera.
Setiap helai bulunya menjadi seekor kera.
Mereka memanggul semua senjata di dalam gudang kerajaan ini, lalu berbaris rapi.
Sun Go-kong mendatangkan angin kencang untuk menerbangkan mereka pulang ke Hoa-ko-san.
"Anak-Anak, ayo jangan takut.
Pilih dan ambillah senjata kalian masing-masing!"
Seru sang raja kera sambil meluncur turun ke timbunan senjata itu, karena semua kera ciptaannya telah kembali menjadi bulunya.
Semua kera rakyatnya berlarian untuk memilih senjata sesuka hati mereka.
Dan sejak itu Sun Go-kong semakin giat melatih mereka bela diri.
Jumlah laskar kera Gua Cui-liam-tong semakin lama semakin bertambah banyak karena primata yang menghuni Hoa-ko-san dan sekitarnya ikut bergabung.
Hitung punya hitung, jumlahnya mencapai empat laksa tujuh ribu lima ratus empat puluh dua (47. 542) ekor.
Dengan sendirinya mereka menjadi pasukan besar yang saat berlatih berbaris saja mampu menggetarkan bumi tempat mereka lewat.
Kelompok binatang lain menjadi ketakutan.
Para pemimpin kawanan serigala, harimau, singa, gajah, beruang, rase, dan lain-lainnya, segera menyatakan takluk kepada Bi-khauw-ong.
Kemudian juga tujuh puluh dua yauw-ong atau raja siluman dari tujuh puluh dua gua datang menghadap untuk memberi penghormatan serta mengangkat Sun Go-kong bukan hanya menjadi Raja Kera namun juga junjungan mereka.
Sebagai pihak bawahan, mereka berjanji mengirim upeti setiap tahun, serta bersedia melakukan apa pun yang diperintahkan.
Jadilah Hoa-ko-san sebuah kotaraja bangsa siluman.
Barang-barang persembahan yang dibawa para yauw-ong antara lain adalah tambur emas, cay-ki, jubah perang, dan lain-lainnya lagi.
Hampir sebulan sekali, digelar pesta besar yang dihadiri para yauw-ong.
Mereka bersukacita, makan-minum sepuas mereka, sambil menikmati musik, nyanyian, dan tarian.
Pada suatu siang, selesai berlatih, Sun Go-kong menimang-nimang golok bergagang panjang yang dulu dirampasnya dari Hun-si Moong.
Ia merasa kurang puas pada senjata itu.
"Golok ini rasanya tidak cocok untukku..."
"Tay-ong sesakti dewa, tentu seharusnya memakai senjata yang istimewa juga,"
Ujar si lutung Wan-khauw yang punya banyak pengalaman.
"Cuma mohon bertanya, apakah Tay-ong juga bisa menyelam sampai ke dasar laut?"
"Kenapa hal itu kautanyakan? Tentu saja bisa!"
Sesumbar Si Raja Kera.
"Ilmu kesaktianku banyak, antaranya aku bisa pian-hoa, malih rupa menjadi tujuh puluh dua bentuk. Aku bisa melompat seperti terbang, naik ke langit dan menunggangi mega, menerobos ke dalam tanah, mengikuti matahari tanpa meninggalkan bayangan. Aku takkan terbenam dalam sungai; tak hangus dibakar. Tidak ada tempat di mana saja yang tak bisa kucapai!"
"Bagus sekali kalau begitu!"
Puji Wan-khauw.
"Tay-ong tahu jembatan besi kita itu? Air yang mengalir di kolongnya, langsung menuju Istana Raja Laut Timur. Maka sebaiknya Tay-ong pergi menemui Raja Naga dan minta senjata padanya. Dalam khazanah persenjataannya pasti ada yang berkenan dengan Tay-ong. "
"Bagus sekali saranmu ini, sekarang juga aku akan pergi!"
Si Raja Kera setuju.
Segera Sun Go-kong naik ke puncak Tiat-poan-kio.
Setelah merapalkan mantranya, ia pun terjun ke dalam aIr Ajaib, air menyibak sendiri ke kiri-kanan, seolah-olah membuka jalan untuknya, langsung menuju ke dasar Tang-hay (Laut Timur)!
Dua sosok ya-ce, serdadu bahari yang tengah meronda, berpapasan dengannya.
Melihat Sun Go-kong yang luar biasa, kedua yace ini tak berani bersikap sembarangan.
Salah satunya bertanya dengan sopan.
"Mohon bertanya, Tuan ini dewa dari mana, agar kami dapat melaporkan kedatangan Tuan kepada raja kami. "
"Akulah Thian-seng Seng-jin Sun Go-kong dari Hoa-ko-san,"
Jawab Si Kera yang mengaku sebagai orang sakti.
"Sebetulnya aku adalah tetangga kalian, masa tak mengenalku? Bagaimana sih kalian ini? Payah sekali!"
"Baik, baik, Tuan, segera akan kami laporkan,"
Ujar Si ya-ce sambil menyenggol rusuk rekannya untuk lekas-lekas balik ke istana.
Saat itu, Raja Naga dari Laut Timur, Tang-hay Liong-ong Auw Kong, tengah berada dalam Istana Air Sui-ceng-kiong.
Demi mendengar laporan ya-ce, ia segera bangkit, serta mengajak putra, cucu, maupun udang pengawal dan kepiting pengawal, untuk keluar menyambut sang tamu tak diundang.
Dengan sangat hormat, Tang-hay Liong-ong Auw Kong menjura dan menyilakan Bi-kauw-ong masuk ke pendopo istananya.
Dayangdayang putri duyung segera menyuguhkan teh.
Dengan ramah Si Raja Naga Laut Timur menanyakan kepada siapa Si Raja Kera belajar ilmu kesaktian, hingga bisa menyelam sampai ke dasar lautan begini.
"O-oh, aku telah bertapa sejak aku dilahirkan,"
Bual Bi-kauw-ong.
"Itu sebabnya aku memiliki ilmu sejati hingga panjang umur untuk selamanya dan tak bisa mati. Sekarang aku tengah melatih rakyatku ilmu perang untuk melindungi Gua Cui-liam-tong. Sayangnya, sebagai raja mereka, justru aku sendiri belum mempunyai senjata yang setara. Itulah sebabnya aku datang berkunjung ke sini, karena konon kabarnya, tetanggaku yang punya istana begini mentereng di dasar laut, tentu mempunyai sebuah senjata mustika!"
Tang-hay Liong-ong maklum sekali, tidak boleh menolak.
Maka ia menitahkan ajudannya, Kui-tou-su, mengambilkan sebilah golok besar.
Namun sekali memegang dan memeriksa golok besar itu, Sun Go-kong langsung menggoyangkan kepalanya.
"Aku si Lo-Sun tidak pantas memakai golok ini; tolong carikan yang lebih berbobot!"
Tang-hay Liong-ong memberi siyarat kepada dua ajudan yang lain; Pak-thay-ut dan Sian-lek-su untuk mengambilkan sebatang ce, atau tombak trisula.
Demi melihat senjata yang digotong berdua itu, Sun Go-kong langsung melompat turun dari kursinya.
Dengan sebelah tangannya ia memutar tombak trisula itu di atas kepalanya, lalu diletakkan kembali.
"Kelewat ringan!"
Katanya.
"Tidak cocok! Coba carikan yang lain lagi..."
"Seng-jin, ce itu bobotnya tiga ribu enam ratus kati, sampai-sampai mesti digotong ke sini oleh dua ajudanku,"
Heran Si Raja Naga.
"Tapi masih belum cocok untuk menjadi senjataku. Tolong cari kan yang lain lagi,"
Sanggah Si Raja Kera.
Tang-hay Liong-ong menjadi sibuk.
Terpaksa ia menitahkan Piante-tok dan Li-cong-peng, sepasang perwira tinggi bahari, untuk menggotong keluar dari gudang senjata sebatang hong-thian-kek, tombak bercagak yang bobotnya tujuh ribu dua ratus kati.
Dengan bersemangat Sun Go-kong menjajal hong-thian-kek itu, tapi baru dua jurus diputarnya, ia sudah menancapkan gagangnya ke dalam tanah seraya mencela.
"Ini pun masih kelewat enteng. Coba cari yang lebih berbobot sedikit..."
"Seng-jin, dalam gudang persenjataan kami, tombak bercagak inilah yang paling berat; tidak ada yang melebihinya,"
Ujar Tang-hay Liong-ong cemas. Sun Go-kong tertawa besar.
"Konon, orang-orang tua selalu bilang, pada Raja Naga jangan khawatir tidak ada mustika,"
Ujarnya dengan memungut pameo entah dari mana.
"Cobalah tolong carikan lagi. Kalau cocok, aku bersedia membayarnya, berapa pun harganya!"
"Tetapi betul-betul sudah tidak ada lagi,"
Gumam Si Raja Naga. Melihat kebingungannya, Liong-po dan Liong-li alias Nyonya Na ga dan Putri Naga, segera menggamitnya.
"Tay-ong, jelas Seng-jin ini bukan tokoh sembarangan,"
Bisik Liong-li.
"Bukankah di dasar laut kita tergeletak sepotong besi mustika Sin-tin-thi yang dipakai untuk menunjang Thian-ho? Kabarnya, selama sepekan belakangan ini, besi itu mengeluarkan sinar kuning emas, bahkan mengepulkan asap gaib. Jangan-jangan ini pertanda benda pusaka itu akan keluar dari sini karena bertemu dengan Seng-jin ini?"
"Hei, itu adalah benda pusaka dari zaman Kaisar Ie di masa lalu saat mengurus air,"
Ujar Tang-hay Liong-ong.
"Mustika itu dipakai untuk mengukur kedalaman samudra. Besi tua semacam itu mana bisa disebut senjata? Bisa-bisa malah tamu kita nanti merasa tersinggung?"
"Ah, kita tidak usah peduli besi tua itu bisa dipakainya sebagai senjata atau tidak,"
Pendapat Liong-po.
"Bukankah yang dimintanya adalah barang yang berat sekali? Nah, perlihatkan saja padanya, kalau Seng-jin suka, boleh diangkut dan digunakan sesukanya sendiri..."
Tang-hay Liong-ong manggut-manggut membenarkan pendapat istrinya.
"Kau benar juga!"
Ujarnya, lalu kembali kepada tamunya untuk mengatakan tentang pusaka di dasar lautan itu.
"Mana, aku lihat dulu!"
Tanya Si Raja Kera.
"Kami semua di sini tidak kuat mengangkatnya,"
Kilah Si Raja Naga sambil menggoyangkan tangan dan kepalanya berbareng.
"Jadi silakan Seng-jin melihat dan langsung mencoba mengangkatnya sendiri..."
"Di mana besi itu? Cepat kau antarkan aku ke sana!"
Cetus Sun Go-kong girang.
Tang-hay Liong-ong menurut.
Ia mengajak Sang Tamu keluar dari istananya, berjalan sampai ke sebuah tempat dan menunjuk sesuatu yang bersinar kuning emas berkilauan.
"Itu dia, besi pusaka laut yang mengeluarkan cahaya terang,"
Ujar Tang-hay Liong-ong sambil menuding.
Sun Go-kong berjalan menghampiri benda bersinar itu.
Mulamula ia menggulung lengan bajunya sampai ke pangkal lengan.
Lalu tangannya meraba-raba.
Panjang tiang besi ini kira-kira dua puluh tombak; lingkar tengahnya sebesar gentong.
Hm, rasanya terlalu panjang; coba lebih pendek sedikit, pasti cocok untuk kupakai, pikir Si Raja Kera.
Aneh bin ajaib, baru saja Sun Go-kong berpikir begitu, mendadak tiang besi itu berubah menjadi lebih pendek dan lebih kecil.
"Eh, lucu juga kalau besi ini bisa punya perasaan dan mengerti pikiranku!"
Tawa Bi-kauw-ong senang.
"Coba lebih kecil lagi sedikit!"
Benar saja, pusaka itu pun mengerut lagi!
Sun Go-kong segera mengangkat tiang itu dari dalam lumpur laut untuk dibersihkan sebentar.
Ternyata bentuknya sekarang sudah seukuran sama dengan toya.
Pada kedua ujungnya, atas dan bawah, masing-masing berlapis emas.
Sedangkan batangnya yang berwarna hitam entah dari logam apa.
Tepat di tengah-tengahnya terukir aksara Ji-ie Kim ko-pang.
Bobot toya wasiat yang bisa mulur-mungkret ini selaksa tiga ribu lima ratus (13. 500) kati.
"Rupanya toya mustika ini mau menuruti kehendak majikannya, dan tampaknya memang berjodoh denganku!"
Kegirangan Si Raja Kera sambil menimang-nimang Kim-ko-pang.
"Coba lebih kecil lagi, lebih bagus!"
Saat toya itu hanya menjadi sepanjang setombak dan besarnya pun tepat segenggaman tangan pemiliknya, Sun Go-kong pun mencoba bersilat.
Angin yang menderu-deru akibat sambaran Kim-kopang membuat Tang-hay Liong-ong dan para perwiranya merasa gentar, sampai tak terasa mundur beberapa langkah ke belakang.
Puas bersilat barulah Sun Go-kong duduk sambil meletakkan to ya mustika itu ke pangkuannya.
"Terima kasih, tetanggaku yang baik, untuk pemberian senjata pusaka ini,"
Ujarnya.
"Tidak usah berterima kasih. Kami sudah merasa senang, bila Seng-jin pun senang,"
Ujar Si Raja Naga dengan hati lega.
"Sekarang aku memang sudah memiliki sebuah senjata andalan, tinggal lagi satu hal harapanku,"
Ujar Si Raja Kera yang membuat hati Tang-hay Liong-ong menjadi kebat-kebit kembali.
"Apakah itu yang menjadi harapan Seng-jin?"
Tanya tuan rumah agak gugup.
"Senjata yang cocok sudah di tanganku sekarang. Namun aku masih belum mempunyai pakaian perang lengkap. Jadi rasanya masih kurang klop. Bagaimana, tetanggaku yang baik, tolong kau hadiahi aku dengan seperangkat pakaian perang lengkap, maka aku akan sangat bersyukur kepadamu..."
Berubah wajah Tang-hay Liong-ong mendengar ini.
"Sayang sekali kami tidak punya pakaian perang yang cocok untuk Seng-jin..."
"Ah, tetangga yang baik, peribahasa bilang, satu tamu tak akan mengganggu dua tuan rumah,"
Ujar tamu yang kurang tahu diri ini.
"Jadi, kalau benar kau tak bisa memberiku pakaian perang, aku pun terpaksa tidak bisa meninggalkan tempat ini..."
"Bagaimana kalau Seng-jin pergi ke laut lain, barangkali di sana ada…,"
Bujuk Tang-hay Liong-ong.
"Akh, daripada pergi ke dua atau tiga rumah, bukankah jauh lebih baik ke satu rumah saja?"
Kilah Bi-kauw-ong membandel.
"Jadi, aku mohon dengan sangat, sudilah kau mencarikan untukku satu setel pakaian perang saja..."
"Sesungguhnyalah Seng-jin, kami tidak punya; kalau saja ada, mustahil tak kami berikan. "
"Betul-betul tidak ada, atau kau ingin merasakan Kim-ko-pang ini?"
Pancing Si Raja Kera sambil menggoyangkan toyanya.
"Jangan Seng-jin, jangan,"
Ujar Si Raja Naga sambil menggoyangkan tangannya dengan ketakutan.
"Jangan kau gerakkan toya wasiatmu. Tahan sebentar, kutanyakan dulu pada adik-adikku; mungkin mereka bisa mempersembahkan seperangkat pakaian perang untukmu..."
"Eh, boleh juga kalau begitu, tapi di mana adik-adikmu itu?"
"Adik-adikku adalah Lam-hay Liong-ong Auw Kim, Pak-hay Liong-ong Auw Sun, dan Se-hay Liong-ong Auw Ki,"
Jelas Tang-hay Liong-ong Auw Kong.
Memang, Si Raja Naga Laut Timur ini adalah sulung dari empat bersaudara she Auw.
Ketiga adiknya adalah Raja Naga Laut Selatan, Raja Naga Laut Utara, dan Raja Naga Laut Barat.
Mendengar hal ini Sun Go-kong langsung geleng-geleng kepala.
"Tidak, aku tidak ingin pergi mencari mereka. Aku cuma ingin menerima seperangkat pakaian perang di sini saja, titik!"
"Baik, baik, memang tidak perlu Seng-jin sendiri yang pergi menemui mereka,"
Sahut tuan rumah.
"Aku bisa mengundang mereka ke sini dengan lekas karena mempunyai sebuah tambur besi dan gembreng emas wasiat. Bila keduanya ditabuh, adik-adikku pasti segera datang!"
"Baguslah kalau begitu,"
Angguk Si Raja Kera.
"Coba kau tabuh sekarang juga tambur dan gembreng wasiatmu itu!"
Tang-hay Liong-ong segera menitahkan dua petugasnya, To-ciang dan Pi-swe, untuk menabuh tambur dan gembreng itu.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

63