Bab 3

by Yan Widjaya 21:29,Aug 22,2024
Di suatu pagi, Si Kera Sun berlutut di hadapan Pou Tee Couwsu yang memenuhi janjinya, mengangkatnya secara resmi menjadi murid, disaksikan oleh tiga puluh sembilan suheng (kakak seperguruan).
Jadilah ia murid keempat puluh alias si bungsu dalam angkatan mutakhIr "Terima kasih atas semua kebaikan Suhu yang telah menerima tecu.
Sekarang tecu bukan saja bisa berbicara, tetapi juga sudah menguasai ilmu membaca, menulis, dan melukis,"
Ujar si murid bungsu sambil pay-kui (menjura dengan berlutut) di tanah di bawah panggung tempat Sang Guru duduk.
"Kalau pada kedatangan tecu dulu, Suhu telah menganugerahi tecu sebuah she, sekarang tecu mohon sudilah Suhu memberi nama lengkap pada tecu supaya lebih gampang untuk dipanggil-panggil. "
Couwsu tertawa terkekeh dengan hati senang.
"Semua muridku memang kubaptis dengan nama baru yang terdiri dari dua belas aksara,"
Ujarnya.
"Jika kau menghendaki sebuah nama, kau tepat mendapatkan urutan aksara yang kesepuluh. "
"Tecu ingin mengetahui kedua belas aksara tersebut. "
"Dua belas aksara itu adalah: Kong-Cay-Tie-Hui-Cin-Ji-Seng-HayEng-Gouw-Wan, dan yang terakhir Kak. Aksara yang kesepuluh yakni Gouw atau bisa juga dibaca Go, artinya kesadaran,"
Jelas Sang Suhu.
"Khusus untuk namamu, kutambahkan satu aksara lagi yakni kong yang berarti hampa atau kosong. Hingga namamu terdiri dari dua aksara yakni Go-kong. Disebut selengkapnya dengan margamu menjadi Sun Go-kong! Artinya cucu yang sadar pada kehampaan. Dengan demikian kuharapkan kau tidak akan pernah menjadi tamak pada uang dan segala harta benda. "
Bukan main gembiranya si kera berbulu putih yang berasal dari telur batu ini.
Semua suheng-nya juga mengucapkan selamat kepadanya dengan tulus, karena terbukti selama menjadi cantrik siantong, ia tak pernah menolak untuk disuruh mengerjakan apa pun oleh para saudara seperguruannya yang sudah lebih lama belajar di situ.
Hari itu terasa memuncak kegembiraannya, bukan saja karena telah diterima secara resmi sebagai murid Pou Tee Couwsu, melain kan juga karena mendapatkan nama lengkap.
Sekarang ia menjalani upacara penggantian jubah sian-tong ke jubah seorang murid yang sebenarnya modelnya hanya berbeda sedikit; bahan kainnya masih tetap serupa.
Hari-hari selanjutnya, Sun Go-kong sudah diperbolehkan duduk di bawah panggung untuk mendengarkan kuliah Sang Couwsu.
Di luar jam pelajaran, setiap hari ia mengikuti para suheng-nya untuk bercocok tanam di ladang.
Mereka semua menanam sayur-mayur yang dijadikan bahan makanan sehari-hari.
Sebagai murid Pou Tee Couwsu, mereka semua pantang makan barang berjiwa alias daging.
Menurut petunjuk Sang Suhu, kendati hewan mempunyai harkat yang lebih rendah dibandingkan manusia, toh tetap mempunyai nyawa, hingga tidak boleh dibunuh untuk dijadikan makanan.
Tak terasa beberapa tahun lagi telah berlalu.
Pada suatu siang, Pou Tee Couwsu tengah menghimpun keempat puluh muridnya yang disebutnya para pertapa muda.
Mereka semua duduk bersila di bawah panggung; tentu saja termasuk Sun Go-kong yang duduk di barisan paling belakang.
Sang Suhu tengah membahas mengenai hakikat agama Tao di dunia bagi umat manusia.
Sun Go-kong sangat tertarik mendengar kuliah ini, hingga tidak bisa duduk diam.
Mula-mula ia menggarukgaruk belakang telinganya, mengusap-usap dagunya, lalu mengelus-elus alisnya bergantian, sepasang matanya melirik ke kiri-kanan, mulutnya cengar-cengir lantas tertawa geli sendiri, bahkan akhirnya saking keasyikan, ia menggerak-gerakkan kakinya seperti ingin menari.
Mendadak Couwsu mendongak dan menatap ke arah si murid bungsu yang didengarnya tertawa kecil, padahal tidak ada yang lucu dalam khotbahnya.
"Hei, Sun Go-kong, kamu sedang apa?"
Tegurnya.
"Kenapa kau berjoget sendirian tidak tenang menyimak uraianku seperti semua suheng-mu?"
"Sejatinya tecu yang paling sungguh-sungguh mendengarkan pengajaran Suhu,"
Ujar Si Raja Kera.
"Justru saking menghayati ajaran Suhu yang sangat menarik hati, hingga tecu tidak mampu mengendalikan tubuh dan seluruh anggotanya, termasuk kedua kaki ini yang ingin melonjak-lonjak! Mohon Suhu sudi memaafkan tecu..."
"Jika kau betul-betul menghayati uraianku, tidak perlu minta maaf, aku juga tidak marah,"
Ujar Sang Suhu bijaksana.
"Tetapi, pada kesempatan ini juga aku ingin bertanya padamu, sudah berapa lama kau menghuni Gua Sam-seng-tong ini?"
"Tecu termasuk murid yang kurang cerdas. Tecu tidak tahu sudah berapa lama sebenarnya berguru di sini,"
Aku Sun Go-kong.
"Hanya tecu ingat sekali, setiap kali di dapur kehabisan kayu bakar, tecu pasti pergi ke hutan di lembah di balik gunung untuk mengumpulkan ranting kering. Di sana tumbuh sebatang pohon buah tho yang lain dari yang lain. Pohonnya sangat besar dan tinggi. Buahnya pun sangat istimewa; bukan saja lebih besar dibanding buah tho biasa, tetapi juga sangat enak. Tecu sudah memetik dan makan buah tho istimewa itu sebanyak tujuh kali..."
Pou Tee Couwsu manggut-manggut.
"Gunung itu namanya Lantho-san. Pohon buah tho langka itu memang hanya berbuah sekali dalam setahun. Kalau kau sudah makan buahnya sampai tujuh kali, berarti kau sudah tinggal di sini selama tujuh tahun. "
Sun Go-kong pun mengangguk-angguk membenarkan.
"Nah, sekarang aku bertanya lagi, sebenarnya kau ingin mempelajari ilmu apa? Katakanlah secara berterus terang. "
"Tentang ilmu yang akan Suhu ajarkan, terserah pada Suhu,"
Sahut Sun Go-kong dengan takzim.
"Asal mengenai ilmu Tao, tecu mau meyakininya. "
Couwsu menghela napas panjang.
"Jangan terlalu temaha. Kau toh tak mungkin untuk selamanya berdiam di sini. Sedangkan dalam ilmu Tao keseluruhannya terdapat tiga ratus enam puluh pelajaran. Entah yang mana yang ingin kaupelajari?"
"Terserah pada Suhu saja, tecu akan patuh,"
Jawab si murid lagi.
"Bagaimana kalau kupilihkan ilmu dari aksara Sut untukmu?"
"Apa itu ilmu dari aksara Sut, Suhu?"
"Ilmu ini bisa memohon bantuan dewa-dewi, mampu meramalkan apa yang akan terjadi, pandai meluputkan segala macam ancaman bahaya dan mendapatkan keselamatan. "
"Apakah dengan ilmu Sut bisa mencapai panjang umur?"
"Tidak, tidak bisa. "
"Kalau begitu tecu tidak berhasrat untuk menguasainya. "
"Bagaimana kalau ilmu dari aksara Liu?"
"Apa arti ilmu dari aksara Liu, Suhu?"
"Ilmu dari aksara Liu ini sangat lengkap karena memadukan pelajaran dari Ji-kauw, Sek-kauw, To-kauw, ilmu melihat nasib seseorang, Bek-ke, ilmu pengobatan, membaca kitab-kitab kuno, bahkan bisa melihat sang Buddha, dan banyak lagi lainnya. "
"Apakah yang menguasai ilmu dari aksara Liu bisa hidup untuk selama-lamanya?"
Couwsu menggelengkan kepalanya.
"Jika menghendaki bisa hidup untuk selama-lamanya, kamu mesti mempelajari cara memasang tiang di dalam tembok!"
Sun Go-kong agak bingung mendengar bahasa kiasan ini, lalu buru-buru mengakui.
"Suhu, tecu termasuk murid yang kurang berotak cerdas, jadi tecu belum tahu apa arti kiasan, memasang tiang di dalam tembok. Mohon Suhu menjelaskan apa artinya. "
"Artinya, ibarat seorang tukang bila mendirikan rumah, supaya rumah itu kokoh dan teguh, di dalam temboknya mesti dipasang tiang. Bila pada suatu saat kelak, gedung yang dibangunnya roboh, itu tentu karena tiangnya sudah tidak kuat dan patah. "
"Kalau begitu, itu pun tidak kekal abadi. Tecu tidak ingin mempelajarinya. "
"Bagaimana kalau kuajarkan saja ilmu dari aksara Ceng?"
"Apa artinya ilmu dari aksara Ceng, Suhu?"
"Itu adalah ilmu mencari hakikat hidup dengan cara bersemedi, bertapa bisu, mati raga, pantang bicara, melatih diri dalam diam. Ilmu ini bisa dilakoni sambil berdiri, bahkan saat tidur pula. Jelasnya mesti memusatkan seantero perhatianmu. "
"Terus, apakah dengan ilmu itu bisa mempunyai umur sepanjangpanjangnya?"
Pou Tee Couwsu tersenyum kecil.
"Itu adalah ibarat benda dari tanah liat yang sudah dibentuk namun belum dibakar di dalam lio. "
Yang dimaksud dengan lio adalah tobong, tempat pembakaran benda-benda tembikar seperti piring, mangkuk, cawan, guci, jambangan, pot, bata, genteng, dan lain sebagainya yang dibentuk dari tanah liat.
Melihat gurunya tersenyum, Sun Go-kong pun berani tertawa.
"Suhu lucu sekali,"
Ujarnya.
"Terus terang, tecu belum memahami bahasa kiasan Suhu yang sangat dalam. Apa artinya, benda dari tanah liat yang belum dibakar di dalam lio?"
"Itu adalah benda-benda yang berasal dari tanah liat, kendati sudah berbentuk, tetapi karena belum dibakar sampai matang di dalam lio, maka kalau terguyur air hujan, benda itu akan melebur tak berbentuk lagi..."
"Kalau begitu, ilmu itu pun tidak mendatangkan kekekalan abadi. Tidak perlu tecu menguasainya. "
"Bagaimana kalau kuajari saja ilmu dari aksara Thong?"
"Apa maksud ilmu dari aksara Thong, Suhu?"
"Ini adalah ilmu untuk menambah tenaga, kekuatan super, membuat obat-obatan yang menyehatkan raga, minyak wangi dan cairan berkhasiat, serta semacamnya lagi. "
"Nah, apakah bila mempelajari ilmu ini, bisa juga membuat umur panjang, hidup kekal abadi?"
"Kalau kau menghendaki hidup kekal abadi dengan ilmu ini, sama halnya ibarat mengambil rembulan di dalam air..."
"Suhu berbicara dengan kalimat kiasan lagi. Apa artinya mengambil rembulan di dalam air?"
"Rembulan sejatinya berada di atas langit; yang terlihat di dalam air hanyalah bayangannya belaka,"
Jelas sang guru bijaksana dengan penuh kesabaran.
"Kendati bayangan rembulan terpantul di permukaan air, namun itu tidak bisa diambil. Bagaimanapun diupayakan pasti sia-sia belaka. "
"Kalau begitu tecu juga tidak berminat meyakini ilmu tersebut. "
Tiba-tiba Pou Tee Couwsu berteriak sambil melompat turun da ri atas panggung.
Tangan kanannya menudingkan khay-cio (kayu penggaris) ke wajah si murid kera.
"Hei, monyet!"
Hardiknya.
"Ilmu ini kau tidak mau, ilmu itu tidak sudi, lalu apa yang kauinginkan?!"
Untuk sesaat Sun Go-kong gagu sampai tak mampu menjawab apa-apa.
Sang Guru mendekatinya, lalu mengetuk kepala Si Kera Batu berbulu putih tiga kali, kemudian sambil menggendong kedua tangannya ke belakang punggungnya, orang tua itu melangkah lebar masuk ke dalam pintu tengah.
Selanjutnya pintu itu ditutup rapat dan terdengar suaranya dikunci dari dalam.
Keruan semua pertapa muda yang ditinggal pergi oleh Sang Guru begitu saja menjadi sangat cemas dan khawatIr "Dasar kamu, sute monyet yang tidak tahu diri!"
Omel seorang suheng. Sute berarti adik seperguruan.
"Iya! Suhu sudah berbaik hati hendak mengajarimu ilmu ini, ilmu itu, tapi semuanya kautolak! Betul-betul kurang ajar! Siapa yang tidak marah oleh kelakuanmu yang tengik begini?!"
Kata yang lain.
"Kenapa sih kau selalu membantah? Lihat sekarang Suhu menjadi gusar!"
Sahut yang lain lagi.
"Kalau Suhu sudah masuk ke dalam dan ngambek begini, garagara kamu, entah sampai kapan beliau mau keluar lagi?!"
Sun Go-kong terdiam mendengar para suheng-nya mengomel panjang pendek.
Ia tidak membantah, juga tidak membela diri, malah cengengesan sendiri seperti merasa sangat lucu.
Sebenarnya secara diam-diam Si Kera Batu putih sudah mempunyai pikiran sendiri, namun tak mau mengungkapkannya kepada semua suheng-nya.
Ia bisa menebak apa maksud Sang Guru dengan segala gerak-gerik anehnya barusan.
Begini jalan pikirannya, kepalaku diketuk tiga kali, itu artinya Suhu menunggu kedatanganku pada pukul tiga dini hari.
Lantas Suhu masuk ke dalam rumahnya sambil menggendong kedua tangannya ke belakang punggung dan mengunci pintu tengah dari dalam.
Ini petunjuk agar aku masuk secara diam-diam lewat pintu belakang.
Untuk apa?
Pasti untuk diajari ilmu sejati mencapai usia abadi!
Bukan main girangnya Sun Go-kong karena merasa bisa menebak petunjuk rahasia Sang Guru.
Namun kepada semua suheng-nya ia hanya mengatakan.
"Suhu tidak marah betul-betul kepada Siaute; buktinya kendati ia mengetuk kepalaku dengan kayu penggaris, tapi tidak terlalu keras, lihat ini kepalaku tidak benjol!"
Ia menyebut dirinya sendiri Siaute, yang berarti adik yang rendah atau adik kecil, terhadap semua suhengnya.
"Sudahlah, hari ini berarti tidak ada pelajaran. Jadi kita bebas untuk bermain-main,"
Ajaknya.
"Main-main mukamu berbulu!"
Omel seorang suheng setengah geli.
"Yah, ini memang sudah dari sononya begini, masa mesti Siaute cukur?"
Ujar Sun Go-kong sambil pasang tampang memelas, hingga semua saudara-seperguruannya tertawa.
"Siaute berani menjamin, besok pasti Suhu akan keluar dan mengajar kita lagi seperti biasa. "
"Awas ya, kalau besok Suhu tidak keluar, kita jitaki kepalamu rame-rame!"
Ancam seorang suheng yang lain.
"Boleh, boleh, asal jangan keras-keras!"
Tawa Si Sute bandel.
Begitulah sisa hari bebas pelajaran itu mereka habiskan dengan bermain-main sepuasnya.
Toh sebenarnya Sun Go-kong mengharap agar hari lekas sore.
Bahkan begitu usai makan malam, ia langsung menggelar tikar di bangsal asrama untuk mapan tidur.
"Hei, masih sore begini, baca-baca kitab dulu baru tidur!"
Omel seorang suheng.
Tapi Si Kera Batu pura-pura tak mendengar, malah mendengkur seperti sudah tertidur pulas… Di gunung, apalagi dalam kawasan gua ini, memang tidak ada penabuh kentongan penunjuk waktu, maka Sun Go-kong sangat memperhitungkan tarikan napasnya sendiri.
Tepat pada pukul cusie atau tengah malam, ia membuka matanya dan menajamkan telinganya.
Suara tarikan napas para suheng-nya terdengar tenang dan teratur di sekelilingnya, pertanda mereka sudah lelap.
Barulah dengan hati-hati, tanpa mengeluarkan suara, ia merayap turun, lalu membuka pintu bangsal dan keluar.
Ketika mendongak ke atas, terlihat sang putri malam benderang di tengah langit nan biru jernih.
Sambil menunggu berlalunya waktu, Sun Go-kong duduk melamun di beranda asrama, hanya ditemani rembulan.
Menjelang pukul tiga dini hari, barulah ia berindap-indap menuju pintu belakang rumah Pou Tee Couwsu.
Benar saja, pintu belakang hanya sekadar dirapatkan, tidak dikunci.
Dugaanku tampaknya benar; buktinya pintu belakang tidak dikunci dari dalam, batin Si Raja Kera yang langsung menyelinap masuk.
Terlihat dalam peraduannya, Sang Guru sedang berbaring di atas dipan kayu sederhana dengan menghadap ke tembok.
Sun Gokong tidak berani mengusik apalagi menyentuh punggung Pou Tee Couwsu.
Ia duduk bersila di lantai untuk menanti.
Tak berapa lama kemudian, terlihat Couwsu melonjorkan kedua kakinya lurus-lurus, sedangkan dari mulutnya terdengar gumam seperti mengigau tapi juga seperti sedang menyanyikan sebuah lagu, Sulit, sulit, sulitnya meyakini ilmu sejati nan hakiki Jangan mengira pil Kim-tan sebagai sembarang obat Tanpa menemui yang mampu menerima ilmu sakti Sia-sia belaka mengajar, lidah kering, mulut capai… Mendengar igauan ini, Sun Go-kong buru-buru berlutut sambil bilang.
"Suhu, tecu sudah lama menunggu di sini..."
Cepat Couwsu tergugah di atas dipannya, menjemba jubah luarnya untuk dikenakan, lalu duduk dengan kedua kakinya terjuntai ke lantai.
"Hei, Monyet Batu!"
Sentaknya seperti orang yang kaget karena digugah dari tidurnya.
"Bukannya kamu tidur di bangsal depan, malah menyelinap masuk ke sini! Apa sih maumu?"
"Bukankah tadi siang di depan semua suheng, Suhu telah memberi petunjuk sandi agar tecu pada pukul tiga masuk ke sini lewat pintu belakang? Itu sebabnya tecu memberanikan hati untuk sekarang menghadap Suhu di sini,"
Sahut Sang Murid.
Couwsu senang sekali mendengar Si Kera Batu cerdas bisa menebak bahasa sandinya.
Betul-betul otak yang diberikan alam kepadanya sangat genius, kalau tidak bagaimana ia mampu menebak petunjukku, pikirnya.
Melihat Sang Guru terdiam, Sun Go-kong pun berkata lagi.
"Di sini sekarang tidak ada enam telinga; hanya ada tecu seorang; jadi mohon sudilah Suhu mengajarkan kepada tecu ilmu panjang umur kekal abadi selama-lamanya. "
Lalu ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sampai tiga kali dengan kening menyentuh lantai papan.
Di sinilah Pou Tee Couwsu mengajarkan kepada Si Murid Bungsu, bahwa ilmu sejati tergantung pada hati dan semangat.
Inti ilmu mesti dirahasiakan, jangan sampai bocor.
Setiap pelajaran harus dicamkan sebaik-baiknya.
Segala hasrat yang tidak benar harus disingkirkan demi memperoleh kebersihan dan ketenangan hati.
"Ibarat bulan purnama, ia harus dipandangi, sebab di tengahnya mendekam seekor kelinci. Sedangkan di tengah matahari, seekor gagak bersembunyi; bahwasannya sang kura-kura dan ular saling membelit. Oleh karena itulah, hati mesti keras bak di dalam unggun api menanam teratai emas. Belajarlah dengan tekun sampai mencapai kesempurnaan, agar kelak menjelma menjadi Hud atau dewata. "
Sun Go-kong mencamkan baik-baik semua petuah tersebut, kendati belum seluruhynya ia pahami.
Sesudah itu ia menghaturkan terima kasih dan mengundurkan diri, keluar lagi lewat pintu belakang seperti saat masuk tadi.
Begitu menginjakkan kakinya ke pekarangan, dilihatnya sinar terang telah mewarnai ufuk Timur, pertanda fajar telah tiba.
Buruburu ia kembali ke bangsal asrama, naik ke atas tikarnya dan merebahkan tubuhnya.
Akan tetapi bukannya tidur lagi, melainkan segera menggoyang-goyangkan kakinya sambil berseru dengan keras.
"Langit sudah terang! Langit sudah terang! Ayo, bangun, bangun!"
Maka semua suheng-nya pun tergugah bangun sambil mengucekucek mata mereka yang masih terasa sepet.
"Aduh, siao-sute ini, pagi-pagi begini sudah teriak-teriak bikin ribut! Mana semua orang masih enak-enak tidur! Dasar monyet batu bau!"
Omel seorang suheng, yang tak urung turun juga dari bangsal untuk buang air kecil ke jamban.
Yang lain-lainnya pun mendusin dan antre ke belakang.
Tiada seorang pun yang mengetahui bahwa setengah malaman barusan, Sun Go-kong telah memperoleh pelajaran ilmu sejati dari Pou Tee Couwsu.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

63