Pengantar
by Yan Widjaya
21:22,Aug 22,2024
Pada zaman Dinasti Tong, seorang padri muda yang baru berusia dua puluh tahun, bernama Tan Hian-cong, mengajukan permohonan kepada Kaisar Tong-thay-cong Lie Si-bin di Kotaraja Tiang-an, Tiongkok, untuk melakukan perjalanan ziarah ke India.
Misinya ingin memperluas pengetahuan mengenai agama Buddha yang memang berasal dari India yang saat itu sedang bertumbuh kembang di bumi Tiongkok.
Namun Kaisar menolaknya karena menganggap perjalanan tersebut terlalu jauh dan sangat berbahaya, sedangkan Kerajaan Tong sendiri tengah meluaskan wilayah dengan melakukan ekspansi ke Timur, yakni ke Negeri Ko le-kok (sekarang: Korea).
Meskipun tidak direstui Kaisar, Si Padri bertekad keras, dan berangkat seorang diri.
Tujuh belas tahun kemudian (629–646), Hiancong kembali ke tanah airnya dengan membawa banyak kitab.
Ia pun menerjemahkan surat-surat suci dari bahasa aslinya, Sanskerta, ke dalam bahasa Mandarin.
Sedangkan susah payah perjalanannya didokumentasikan dalam kitab See Yu Ki, Kisah Ziarah ke Barat.
Berdasarkan kitab kisah perjalanan karya Hian-cong itu, Wu Cheng-in (1500–1582) dari zaman Dinasti Ming, menggubah kitab See Yu Ki versi fiksi yang kemudian menjadi sangat populer.
Kitab ini pertama kali terbit pada tahun 1592, tepat sepuluh tahun setelah Wu Cheng-in meninggal.
Dalam karangan Wu dituturkan kisah perjalanan padri Tong Sam cong yang berziarah dengan restu Kaisar Lie Si-bin, serta dikawal empat muridnya, yakni Siluman Kera Sakti Sun Go-kong, Siluman Babi Tie Pat-kay, Siluman Lumpur Rawa See Ceng, dan Siluman Naga yang berubah rupa menjadi kuda putih tunggangannya.
Sepanjang perjalanan mereka menghadapi berbagai gangguan siluman dan pertarungan seru.
Tak pelak lagi, maskot utama dalam kisah versi baru ini adalah Si Kera Sakti.
Kisah yang sangat menarik ini telah dialihbahasakan ke hampir semua bahasa, termasuk dalam bahasa Indonesia.
Namun terjemahan lengkapnya sudah lebih dari lima puluh tahun silam, karena kemudian yang belakangan beredar adalah kisah-kisah sempalan atau ringkasannya belaka yang memangkas banyak bagian penting.
Selain itu banyak sekali film, bahkan serial televisi buatan Hong Kong, Taiwan, China, Jepang, dan lainnya, yang mencapai puluhan bahkan ratusan episode dengan berbagai versi.
Serial buku ini direncanakan mencakup kisah selengkapnya secara terperinci, yang terdiri dari seratus bab.
Hanya karena panjangnya, akan menjadi terlalu tebal bila disatukan dalam sebuah buku.
Karena itulah, penggubah sengaja membaginya menjadi tiga jilid.
Buku ini sarat dengan falsafah hidup, ilmu pengetahuan, budaya, dan asal-usul adat istiadat bangsa Tionghoa selama ribuan tahun, yang bukan saja baik untuk dipahami oleh keturunan etnis Tionghoa, melainkan juga oleh semua bangsa pada umumnya.
MENURUT primbon Tiongkok paling kuno, satu goan terdiri dari 129. 600 tahun.
Satu Goan dibagi menjadi dua belas hwe (kelompok) atau ki (cabang), yakni cu, thiu, in, bauw, sin, sie, ngo, bie, sien, yu, sut, dan hay.
Jadi setiap ki berusia 10. 800 tahun.
Satu tahun terdiri dari dua belas bulan, dan karena setiap bulan dalam penanggalan Tiongkok genap tiga puluh hari, tidak lebih dan tidak kurang, maka setahun berjumlah tepat 360 hari.
Hwe atau ki adalah perhitungan dalam skala besar seratus abad lebih atau hampir sebelas ribu tahun.
Dalam skala kecil atau hari, sehari semalam terdiri dari dua belas sie (waktu).
Satu sie bisa disamakan dengan dua jam menurut perhitungan waktu modern.
Satu jam sama dengan enam puluh menit; satu menit sama dengan enam puluh detik.
Jadi satu sie berarti seratus dua puluh menit atau tujuh ribu dua ratus detik.
Ada dua macam hawa di dunia, yakni yang (panas) dan im (dingin).
Pada saat cu mendapatkan yang-khi (hawa panas) maka penyebutan waktunya secara berurutan ialah sebagai berikut:
Cu-sie adalah waktu dini hari menjelang fajar.
Thiu-sie, waktu ayam jago berkokok.
In-sie, waktu peralihan dari gelap ke terang.
Bauw-sie, waktu terbitnya matahari di Timur.
Sin-sie, waktunya manusia sarapan pagi.
Sie-sie, waktu menjelang siang.
ix Ngo-sie, waktu matahari tepat berada di atas langit.
Bie-sie, waktu matahari mulai cenderung ke Barat.
Sien-sie, waktu peralihan dari siang ke petang.
Yu-sie, waktu matahari turun ke ufuk Barat.
Sut-sie, waktu sandikala atau senja.
Hay-sie, waktunya gelap malam menguasai jagat.
Dahulu kala di Tiongkok, setiap malam para peronda yang menabuh kentongan meneriakkan waktu yang terjadi pada pergantian sie,sehingga masyarakat yang mendengarnya dapat mengetahui waktu dengan tepat.
Menurut primbon Tiongkok tertua tersebut, dunia berawal pada waktu sut-hwe, ketika alam raya dari kosong, hampa, menjadi samar-samar bentuknya; belum terlihat benda apa pun.
Setengah ki, yakni 5. 400 tahun kemudian, saat memasuki hayhwe, terjadilah kegelapan semesta yang berangsur-angsur berubah menjadi kabut.
5. 400 tahun berikutnya, cu-hwe, semesta alam mulai terbuka menjadi terang.
Masa itu bisa dibandingkan seperti pada permulaan musim dingin.
Setengah ki lagi, pada akhir cu-hwe, udara bersih dan ringan melayang naik ke atas.
Mulai terbentuk matahari, bulan, bintang, dan Bumi.
Itu sebabnya dikatakan langit terbuka pada saat cu-hwe.
Setengah ki berikutnya, saat tibanya thiu-hwe, lambat laun Bumi mulai mengeras, membeku, menjadi padat.
Menurut ujar dalam kitab kuno Yu-keng: Besar adalah Langit, Sempurna adalah Bumi, Laksaan benda mulai berwujud, Sesuai kehendak Langit.
Setengah ki berikutnya lagi, pada akhir saat thiu-hwe, udara yang berat dan sarat dengan kotoran debu turun ke bawah dan mengendap menjadi keras.
Terciptalah ngo-heng atau lima unsur, yakni air, api, gunung, batu, dan tanah.
Itu sebabnya dikatakan Bumi terbuka pada waktu thiu-hwe.
Kembali berjalan 5. 400 tahun, saat thiu-hwe usai dan beralih ke awal in-hwe, terciptalah berlaksa benda sampai tak terhitung banyaknya.
Kitab kuno sie-keng menjelaskan kejadian sebagai berikut: Hawa Langit turun ke bawah, Hawa Bumi naik ke atas, Bertemulah hawa Langit dan Bumi, Menjadi suatu kesatuan, Mewujudkan semua benda.
Pada saat inilah, Langit menjadi terang, Bumi menjadi bening, Im dan Yang bersatu padu.
Pada saat in-hwe inilah hewan berkaki empat dan dua, segala macam makhluk hidup di muka Bumi, sampai yang mutakhir dan paling sempurna, yakni manusia, menjelma.
Tercapailah apa yang disebut Sam-cay yakni; langit, Bumi, dan manusia.
Oleh sebab itu dipercaya bahwa insan manusia menjelma pada saat in-hwe.
Demikianlah umat manusia bersyukur terhadap Poan Kouw yang telah membuka dunia, kepada Tiga Kaisar Agung yang memerintahnya, dan kepada Lima Raja Besar yang menetapkan peradaban.
Yang dimaksud sebagai peradaban adalah ilmu pengetahuan mengenai, antara lain, bahasa, angka, perhitungan, waktu, lukisan, tulisan, tata etika perilaku, dan kebudayaan.
Setelah masa itu, konon dunia terbelah menjadi empat ciu (benua) yang dipisahkan oleh hay (lautan).
Masing-masing adalah: xi Tong-sin Sin-ciu di Timur, See-gu Ho-ciu di Barat, Lam-ciam Pou-ciu di Selatan, dan Pak-ki Lou-ciu di Utara.
Nah, dari sinilah awal mula cerita kita.
Misinya ingin memperluas pengetahuan mengenai agama Buddha yang memang berasal dari India yang saat itu sedang bertumbuh kembang di bumi Tiongkok.
Namun Kaisar menolaknya karena menganggap perjalanan tersebut terlalu jauh dan sangat berbahaya, sedangkan Kerajaan Tong sendiri tengah meluaskan wilayah dengan melakukan ekspansi ke Timur, yakni ke Negeri Ko le-kok (sekarang: Korea).
Meskipun tidak direstui Kaisar, Si Padri bertekad keras, dan berangkat seorang diri.
Tujuh belas tahun kemudian (629–646), Hiancong kembali ke tanah airnya dengan membawa banyak kitab.
Ia pun menerjemahkan surat-surat suci dari bahasa aslinya, Sanskerta, ke dalam bahasa Mandarin.
Sedangkan susah payah perjalanannya didokumentasikan dalam kitab See Yu Ki, Kisah Ziarah ke Barat.
Berdasarkan kitab kisah perjalanan karya Hian-cong itu, Wu Cheng-in (1500–1582) dari zaman Dinasti Ming, menggubah kitab See Yu Ki versi fiksi yang kemudian menjadi sangat populer.
Kitab ini pertama kali terbit pada tahun 1592, tepat sepuluh tahun setelah Wu Cheng-in meninggal.
Dalam karangan Wu dituturkan kisah perjalanan padri Tong Sam cong yang berziarah dengan restu Kaisar Lie Si-bin, serta dikawal empat muridnya, yakni Siluman Kera Sakti Sun Go-kong, Siluman Babi Tie Pat-kay, Siluman Lumpur Rawa See Ceng, dan Siluman Naga yang berubah rupa menjadi kuda putih tunggangannya.
Sepanjang perjalanan mereka menghadapi berbagai gangguan siluman dan pertarungan seru.
Tak pelak lagi, maskot utama dalam kisah versi baru ini adalah Si Kera Sakti.
Kisah yang sangat menarik ini telah dialihbahasakan ke hampir semua bahasa, termasuk dalam bahasa Indonesia.
Namun terjemahan lengkapnya sudah lebih dari lima puluh tahun silam, karena kemudian yang belakangan beredar adalah kisah-kisah sempalan atau ringkasannya belaka yang memangkas banyak bagian penting.
Selain itu banyak sekali film, bahkan serial televisi buatan Hong Kong, Taiwan, China, Jepang, dan lainnya, yang mencapai puluhan bahkan ratusan episode dengan berbagai versi.
Serial buku ini direncanakan mencakup kisah selengkapnya secara terperinci, yang terdiri dari seratus bab.
Hanya karena panjangnya, akan menjadi terlalu tebal bila disatukan dalam sebuah buku.
Karena itulah, penggubah sengaja membaginya menjadi tiga jilid.
Buku ini sarat dengan falsafah hidup, ilmu pengetahuan, budaya, dan asal-usul adat istiadat bangsa Tionghoa selama ribuan tahun, yang bukan saja baik untuk dipahami oleh keturunan etnis Tionghoa, melainkan juga oleh semua bangsa pada umumnya.
MENURUT primbon Tiongkok paling kuno, satu goan terdiri dari 129. 600 tahun.
Satu Goan dibagi menjadi dua belas hwe (kelompok) atau ki (cabang), yakni cu, thiu, in, bauw, sin, sie, ngo, bie, sien, yu, sut, dan hay.
Jadi setiap ki berusia 10. 800 tahun.
Satu tahun terdiri dari dua belas bulan, dan karena setiap bulan dalam penanggalan Tiongkok genap tiga puluh hari, tidak lebih dan tidak kurang, maka setahun berjumlah tepat 360 hari.
Hwe atau ki adalah perhitungan dalam skala besar seratus abad lebih atau hampir sebelas ribu tahun.
Dalam skala kecil atau hari, sehari semalam terdiri dari dua belas sie (waktu).
Satu sie bisa disamakan dengan dua jam menurut perhitungan waktu modern.
Satu jam sama dengan enam puluh menit; satu menit sama dengan enam puluh detik.
Jadi satu sie berarti seratus dua puluh menit atau tujuh ribu dua ratus detik.
Ada dua macam hawa di dunia, yakni yang (panas) dan im (dingin).
Pada saat cu mendapatkan yang-khi (hawa panas) maka penyebutan waktunya secara berurutan ialah sebagai berikut:
Cu-sie adalah waktu dini hari menjelang fajar.
Thiu-sie, waktu ayam jago berkokok.
In-sie, waktu peralihan dari gelap ke terang.
Bauw-sie, waktu terbitnya matahari di Timur.
Sin-sie, waktunya manusia sarapan pagi.
Sie-sie, waktu menjelang siang.
ix Ngo-sie, waktu matahari tepat berada di atas langit.
Bie-sie, waktu matahari mulai cenderung ke Barat.
Sien-sie, waktu peralihan dari siang ke petang.
Yu-sie, waktu matahari turun ke ufuk Barat.
Sut-sie, waktu sandikala atau senja.
Hay-sie, waktunya gelap malam menguasai jagat.
Dahulu kala di Tiongkok, setiap malam para peronda yang menabuh kentongan meneriakkan waktu yang terjadi pada pergantian sie,sehingga masyarakat yang mendengarnya dapat mengetahui waktu dengan tepat.
Menurut primbon Tiongkok tertua tersebut, dunia berawal pada waktu sut-hwe, ketika alam raya dari kosong, hampa, menjadi samar-samar bentuknya; belum terlihat benda apa pun.
Setengah ki, yakni 5. 400 tahun kemudian, saat memasuki hayhwe, terjadilah kegelapan semesta yang berangsur-angsur berubah menjadi kabut.
5. 400 tahun berikutnya, cu-hwe, semesta alam mulai terbuka menjadi terang.
Masa itu bisa dibandingkan seperti pada permulaan musim dingin.
Setengah ki lagi, pada akhir cu-hwe, udara bersih dan ringan melayang naik ke atas.
Mulai terbentuk matahari, bulan, bintang, dan Bumi.
Itu sebabnya dikatakan langit terbuka pada saat cu-hwe.
Setengah ki berikutnya, saat tibanya thiu-hwe, lambat laun Bumi mulai mengeras, membeku, menjadi padat.
Menurut ujar dalam kitab kuno Yu-keng: Besar adalah Langit, Sempurna adalah Bumi, Laksaan benda mulai berwujud, Sesuai kehendak Langit.
Setengah ki berikutnya lagi, pada akhir saat thiu-hwe, udara yang berat dan sarat dengan kotoran debu turun ke bawah dan mengendap menjadi keras.
Terciptalah ngo-heng atau lima unsur, yakni air, api, gunung, batu, dan tanah.
Itu sebabnya dikatakan Bumi terbuka pada waktu thiu-hwe.
Kembali berjalan 5. 400 tahun, saat thiu-hwe usai dan beralih ke awal in-hwe, terciptalah berlaksa benda sampai tak terhitung banyaknya.
Kitab kuno sie-keng menjelaskan kejadian sebagai berikut: Hawa Langit turun ke bawah, Hawa Bumi naik ke atas, Bertemulah hawa Langit dan Bumi, Menjadi suatu kesatuan, Mewujudkan semua benda.
Pada saat inilah, Langit menjadi terang, Bumi menjadi bening, Im dan Yang bersatu padu.
Pada saat in-hwe inilah hewan berkaki empat dan dua, segala macam makhluk hidup di muka Bumi, sampai yang mutakhir dan paling sempurna, yakni manusia, menjelma.
Tercapailah apa yang disebut Sam-cay yakni; langit, Bumi, dan manusia.
Oleh sebab itu dipercaya bahwa insan manusia menjelma pada saat in-hwe.
Demikianlah umat manusia bersyukur terhadap Poan Kouw yang telah membuka dunia, kepada Tiga Kaisar Agung yang memerintahnya, dan kepada Lima Raja Besar yang menetapkan peradaban.
Yang dimaksud sebagai peradaban adalah ilmu pengetahuan mengenai, antara lain, bahasa, angka, perhitungan, waktu, lukisan, tulisan, tata etika perilaku, dan kebudayaan.
Setelah masa itu, konon dunia terbelah menjadi empat ciu (benua) yang dipisahkan oleh hay (lautan).
Masing-masing adalah: xi Tong-sin Sin-ciu di Timur, See-gu Ho-ciu di Barat, Lam-ciam Pou-ciu di Selatan, dan Pak-ki Lou-ciu di Utara.
Nah, dari sinilah awal mula cerita kita.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved