Bab 4

by Yan Widjaya 21:30,Aug 22,2024
Dan benar saja, seperti yang dijanjikan Si Kera Batu kemarin, pagi ini guru mereka kembali mengajar seperti biasa tanpa meng ungkit-ungkit peristiwa kemarin.
Sun Go-kong pun menjaga rapat rahasianya dengan bersikap biasa-biasa saja.
Hari-hari pun berlalu tanpa terjadi suatu peristiwa yang luar bia sa.
Sampai tiga tahun kemudian… Pada suatu siang selagi Pou Tee Couwsu berceramah tentang ilmu sejati di pendopo, tiba-tiba ia bertanya.
"Di mana Sun Gokong?"
Si Kera Batu yang duduk paling belakang segera bangkit berdiri dan maju ke depan panggung, lalu berlutut di lantai.
"Bagaimana pelajaranmu selama ini?"
Tanya Sang Guru.
"Tecu merasa mendapatkan kemajuan,"
Jawab Sang Murid.
"Sekarang tecu sudah menjadi lebih sadar dan pikiran pun bertambah kokoh. "
"Jika betul begitu, untuk ke depannya kau mesti menjaga diri baik-baik dari tiga macam ancaman malapetaka!"
Couwsu memperingatkan. Sun Go-kong berpikir sejenak, lalu menyanggah.
"Rasanya petuah Suhu kurang tepat,"
Ujarnya.
"Karena bukankah dikatakan, jika ilmu sejati sudah sempurna, usia akan sepanjang langit. Air dan api tak membahayakan, seratus penyakit pun takkan mempan. Lantas dari mana datangnya tiga macam ancaman malapetaka itu?"
"Oleh karena ini adalah ilmu yang sangat luar biasa,"
Ujar Couwsu.
"Ilmu ini telah merampas tenaga ciptaan dari Langit dan Bumi, mendapat sinar istimewa dari matahari dan rembulan, maka setelah mencapai kesempurnaan, bahkan iblis pun tak mampu mengusik. Hanya saja, kendati telah mendapat usia panjang, namun pada lima ratus tahun yang akan datang, Thian akan membuat geledek menyambarmu. Oleh karena itulah kau harus menjernihkan hati, menyingkir lebih dahulu demi keselamatanmu sendiri. Kalau kau bisa luput dari sambaran geledek ini, barulah usiamu akan sama dengan langit. Tetapi sebaliknya, bila kau tak berhasil meluputkan dirimu, kau akan binasa!"
Berubah wajah Si Kera Batu mendengar petunjuk gurunya yang diucapkan dengan sikap sangat bersungguh-sungguh ini.
Dan itu masih belum habis karena Pou Tee Couwsu kembali melanjutkan.
"Lagi lima ratus kemudian, Thian akan menurunkan bencana api untuk membakar tubuhmu. Ini bukan api biasa dari bumi; juga bukan api dari langit; melainkan im-hwe, api yang keluar dari dalam tubuhmu sendiri, yang akan membakar semua isi perutmu sampai menjadi abu dan menghancurkan semua tulang-belulang, hingga seribu tahun pertapaanmu punah seluruhnya!"
Pucat pasi wajah Sun Go-kong saking ngerinya.
"Dan itu masih belum selesai, karena pada lima ratus tahun kemudian, tibalah ancaman bencana yang ketiga,"
Lanjut Couwsu.
"Inilah bencana angin yang akan meniup dan menyampokmu. Ini bukan angin dari tenggara atau barat daya; juga bukanlah angin Hohun Kim-sok-hong atau Hoa-liu Siong-ciok-hong, melainkan angin Pihong yang muncul dari dalam perutmu sendiri untuk menyerang tulang dan daging tubuhmu hingga hancur lebur. Angin yang sangat berbahaya ini mesti kau luputkan untuk mencapai hidup abadi. "
Bergidik Sun Go-kong mendengar semua ramalan maut tersebut.
Cepat ia menjatuhkan diri untuk mengangguk-anggukkan kepalanya sampai keningnya menyentuh lantai.
"Mohon belas kasihan Suhu untuk mengajarkan ilmu penangkal ketiga macam ancaman malapetaka itu,"
Ujarnya memohon.
"Apa pun yang akan terjadi kelak, tecu takkan melupakan budi besar Suhu..."
"Ini bukan soal yang terlalu sulit,"
Jawab Sang Guru.
"Hanya karena kau berbeda dari murid yang lain, maka justru kepadamu ilmu penangkalmya tidak boleh kuajarkan!"
"Bukankah tecu sudah memiliki tubuh lengkap sama seperti semua manusia, di mana perbedaannya?"
Tanya Sun Go-kong.
"Betul, kau memang sudah mirip sekali seperti manusia sewajarnya, hanya saja kau kekurangan pipi!"
Si Raja Kera meraba-raba wajahnya dengan tangannya.
Barulah dia sadari bahwa memang ia tidak mempunyai pipi sebagaimana manusia sewajarnya.
Toh ia masih mencoba berkilah.
"Suhu, tecu mempunyai kantong di dalam mulut sebagai pengganti pipi!"
Dengan kantong pipi ini bangsa primata memang bisa menyimpan makanannya, untuk dikunyah pada saat ia ingin makan.
Manusia tidak mempunyai kantong pipi penyimpan makanan ini.
"Nah, sudahlah kalau begitu,"
Ujar Sang Guru sambil tersenyum.
"Sekarang ilmu apa yang ingin kau kuasai? Ada dua macam pelajaran yang kutawarkan kepadamu, boleh kaupilih salah satu. Yang pertama, Thian-kong-souw atau Sha-cap-lak-phie yang terdiri dari tiga puluh enam kali malih rupa. Dan yang kedua, Tee-sat-souw alias Cit-cap-ji-phie, tujuh puluh dua kali malih rupa. "
Hampir tanpa berpikir lagi Sun Go-kong langsung memilih.
"Tecu ingin mempelajari yang lebih banyak; tentu saja Tee-sat-souw!"
"Kalau begitu, naiklah kau ke panggung, mendekatlah padaku, akan kubisikkan mantranya ke telingamu!"
Undang Pou Tee Couwsu.
Sun Go-kong bergegas naik ke panggung, dan berlutut di depan gurunya yang sepatah demi sepatah kata membisikkan mantra sak ti ilmu malih rupa menjadi tujuh puluh dua bentuk.
"Sesudah ini kau perlu berlatih terus-menerus pada setiap fajar menyingsing selama satu triwulan tanpa lowong,"
Pesan Sang Guru.
"Sehari saja kau melalaikannya, kau mesti mengulanginya lagi dari awal!"
Otak Si Kera Batu memang setara dengan otak manusia genius.
Dalam tempo singkat dia sudah bisa menghafalkan mantra sakti tersebut.
Tinggal cara mempraktikkannya agar mampu malih rupa dalam tujuh puluh dua sosok apa pun yang dikehendakinya… Suatu petang nan temaram, Pou Tee Couwsu mengajak keempat puluh muridnya duduk-duduk bercengkerama sembari menikmati keindahan alam saat matahari silam di ufuk Barat.
"Sun Go-kong, di mana kau?"
Panggil sang guru.
"Suhu, tecu di sini,"
Sahut si murid bungsu yang disayang sambil maju dengan segera. Pou Tee Couwsu menoleh ke arahnya.
"Bagaimana? Sudah kaukuasai pelajaranmu yang terakhir?"
"Dengan restu Suhu, tecu sudah berhasil menguasainya,"
Jawab Sang Murid.
"Sekarang tecu mampu terbang..."
"Bagus, coba kau terbang supaya bisa kulihat,"
Anjur Couwsu.
Sun Go-kong masih belum terlepas dari sifat ingin pamer.
Apalagi di depan Suhu dan para suhengnya.
Ia segera maju ke tengah lapangan, lalu dengan sekali menjejakkan kakinya ke bumi, tubuhnya mencelat naik ke atas setinggi lima tombak.
Dengan mengerahkan gin-kang atau ilmu meringankan tubuh yang bisa membuat bobot tubuh seringan kapas, ia menginjakkan kedua kakinya di atas segumpal mega yang mengambang.
Dari sini ia melompat ke mega berikutnya dan berjalan bolak-balik di antara mega.
Tetapi dalam sepeminuman teh ketika langkah kakinya belum lagi mencapai tiga li langit, bobot tubuhnya sudah mulai memberat kembali hingga ia mesti merosot turun, jatuh ke muka bumi lagi.
Toh dengan bangga Sun Go-kong menjura kepada gurunya sambil bilang.
"Suhu, tecu merasa bersyukur sekali karena sekarang sudah bisa terbang dan menginjak mega. "
Di luar dugaannya sang guru bukannya memuji kepandaiannya, tetapi malah menertawakannya sampai terkekeh-kekeh.
"He he he… itu sih namanya bukan terbang. Hanya baru belajar merayap naik ke mega,"
Celanya dengan nada bercanda. Si Kera Batu melongo mendengar ini. Pou Te Couwsu mendongakkan kepalanya ke langit.
"Dengar kalian semua,"
Katanya.
"Ketahuilah, pada zaman dahulu kala, pada dewa-dewi pada pagi hari pergi berpesiar ke Pak-hay (Laut Utara), dan petangnya pulang ke Chong-gouw. Sun Go-kong, kau setengah harian melompat ke sana, melompat ke sini, belum sampai tiga li sudah melorot jatuh ke bumi lagi. Jadi tidak salah bukan kalau aku bilang kau hanya baru belajar merayap naik ke mega?"
Si Raja Kera masih belum paham keseluruhan petuah gurunya.
"Suhu, apa artinya, pagi pesiar ke Pak-hay, petang pulang ke Chonggouw?"
"Dengan menggunakan ilmu yang disebut ilmu terbang melayang, rombongan dewa-dewi itu pada pagi hari berangkat dari Pak-hay, melewati Tong-hay (Laut Timur), See-hay (Laut Barat), dan Lam-hay (Laut Selatan), lantas kembali pulang ke Chong-gouw atau Pay-hay Leng-leng. Lebih jelasnya, kalau kau masih belum juga paham, dalam tempo satu hari mereka telah mengelilingi empat lautan. Itu baru patut disebut menguasai ilmu terbang di atas mega!"
"Rasanya sulit dan mustahil sekali, Suhu..."
Cetus Sun Go-kong setengah tak percaya pada cerita gurunya.
"Eih, di dalam dunia tidak ada yang sulit dan mustahil, kecuali kalau hati seseorang kurang teguh dan mantap,"
Pou Tee Couwsu berpetuah. Sun Go-kong buru-buru menjura dengan penuh hormat.
"Suhu, mohon jangan bersikap kepalang tanggung,"
Ujarnya dengan berani.
"Tecu mengharap kemurahan hati Suhu, sudilah mengajarkan ilmu terbang di atas mega itu. Tentu tecu akan melakoninya dengan sungguh hati. "
"He he he… kau tidak sama dengan para dewa-dewi. Tadi kulihat kau melompat-lompat berjingkrakan, maka sebaiknya kuajarkan ilmu jumpalitan saja yang lebih cocok untukmu. "
Sun Go-kong segera menghaturkan terima kasihnya berulang kali.
"Tecu suka sekali menerima pelajaran baru dari Suhu,"
Ujarnya setengah mendesak. Pou Tee Couwsu mengangguk. Rupanya hatinya memang sedang riang, hingga pada saat itu juga mengajarkan pembacaan mantranya.
"Setelah kau menguasai mantranya dan kemudian berlatih sesuai petunjuk, maka sekali lompat atau berjumpalitan, jauhnya bisa mencapai sepuluh laksa delapan ribu li langit (sama dengan sembilan ribu kilometer langit). "
Semua murid yang lain bersorak.
"Wah, Sun-sute sungguh beruntung!"
Salah seorang suheng malah menambahkan.
"Setelah menguasai ilmu ini, Sun-sute boleh melamar ke kerajaan untuk menjadi pegawai pos pengantar surat dan laporan; dari mana saja tentu cepat tiba di alamat yang dituju!"
Yang lain-lain, termasuk Pou Tee Couwsu sendiri, tertawa geli mendengar ini, sedangkan Si Kera Batu cengengesan senang.
Sampai malam turun, barulah Sang Guru mengajak semua muridnya masuk ke dalam untuk menikmati santap malam yang sudah dihidangkan di ruang makan oleh para sian-tong.
Sejak malam itu, Sun Go-kong semakin giat berlatih, jauh melebihi murid-murid yang lain.
Tidak heran kalau ilmunya bertambah banyak dan telah melampaui khazanah ilmu para suheng-nya yang masuk belajar jauh lebih dulu.
Apalagi ia memang menjadi murid kesayangan Pou Tee Couwsu.
Namun, tiada yang merasa sirik atau iri hati kepadanya, karena Sang Guru selalu bertindak adil dan bijaksana.
Selain mengajarkan ilmu-ilmu secara umum, beliau juga menurunkan ilmu-ilmu khusus yang berbeda-beda sesuai dengan watak dan keunggulan setiap muridnya.
Pada suatu siang, bertepatan dengan saat pertukaran musim cun (semi) yang akan pergi, dan datangnya musim hee (panas), Sun Gokong dan para suheng-nya tengah berkumpul di bawah sebarisan pohon siong yang rindang sambil bercakap-cakap.
"Sun-sute, rezekimu jauh lebih bagus daripada kami semua, para suheng-mu, yang lebih dulu menuntut pelajaran di sini,"
Ujar seorang suheng.
"Ah, biasa saja, Suheng,"
Kilah Si Kera Batu.
"Bukankah Suhu tidak pernah bersikap pilah-pilih kasih?"
"Tetapi waktu itu Suhu membisikimu, mengajarimu ilmu untuk menghindari tiga macam bencana; apakah sudah kaukuasai dengan sempurna?"
"Yah, sesungguhnyalah, cuwi-suheng,"
Tawa Si Raja Kera yang menyebut mereka sebagai para kakak seperguruan.
"Berkat pengajaran Suhu yang sangat jelas dan kegiatanku untuk menekuninya terus-menerus siang-malam, sekarang aku sudah berhasil menguasainya. "
"Nah, mumpung hari ini kita sedang bebas, tidak ada pelajaran, coba kautunjukkan kepandaianmu itu,"
Ujar seorang suheng.
"Ya, ya, kami semua ingin melihat sampai di mana kemajuanmu!"
Desak beberapa yang lain.
"Boleh,"
Sahut Sun Go-kong dengan girang dan bersemangat ingin memamerkan kebolehanny Sahut Sun Go-kong dengan girang dan bersemangat ingin memamerkan kebolehannya.
"Cuwi-suheng, silakan kalian sebutkan, kalian ingin aku ber-pian-hoa menjadi apa, nanti aku malihrupa sesuai dengan keinginan kalian!"
Pian-hoa artinya malih rupa atau berubah wujud. Seorang suheng langsung saja menepuk batang pohon siong di sampingnya.
"Coba kau pian-hoa menjadi sebatang pohon cemara!"
Sun Go-kong manggut.
Bibirnya komat-kamit untuk membaca mantra, lalu memejamkan mata dan mengangguk sekali.
Cling!
tibatiba tubuh Si Kera Batu telah lenyap dan tahu-tahu di bekas tempatnya berdiri telah tumbuh sebatang pohon siong dengan cabang dan dedaunannya yang lebat.
"Bagus, bagus!"
Sorak semua pertapa muda yang menonton pertunjukan bak sulapan tersebut.
Bahkan banyak juga yang bertepuk tangan.
Suara mereka begitu gaduh, hingga mengusik kekhusyukan Pou Tee Couwsu yang sedang duduk bersemedi di ruang dalam.
Sambil mengerutkan alisnya yang menjuntai panjang dan menjinjing tongkat rotannya yang lurus panjang, beliau keluar dari rumahnya.
"Hoi, ada apa sampai segaduh ini?"
Tegurnya keras.
Cep-kelakep.
Mulut semua murid langsung tertutup, dengan nyali mendadak kuncup.
Mereka segera mengebutkan jubah dan berbaris menghampiri Sang Guru.
Sun Go-kong juga telah kembali ke wujudnya semula dan bergegas membuntuti di belakang semua suheng-nya.
"Mohon Suhu mengetahui, kami di sini bukan sedang gaduh karena bertengkar, apalagi berkelahi,"
Ujar murid ketua kelas sambil memimpin semua saudara seperguruannya berlutut di depan Sang Guru.
"Lantas kalau begitu, kenapa kalian bersorak sorai dan bertepuk tangan seramai ini? Begitukah kelakuan para pertapa muda?"
Kecam Pou Tee Couwsu.
"Ketahuilah, bila mulut sembarangan dipentang, semangat akan buyar. Bila lidah bergoyang sembrono, keluarlah ucapan yang bukan-bukan. Jadi apa sebenarnya yang membuat kalian gaduh?"
Baru sekarang si ketua kelas mengakui bahwa mereka barusan bersorak karena menonton pertunjukan mengagumkan yang diperagakan oleh Sang Sute Kecil.
"Mohon Suhu memaafkan kami semua,"
Ujarnya sambil tetap berlutut.
"Kalian semua bangun. Sun Go-kong, ke sini kau!"
Ujar Sang Guru sambil mengangkat tangannya. Semua murid bangkit berdiri, sedangkan Si Kera Batu berjalan maju ke depan gurunya.
"Sun Go-kong, jawab pertanyaanku! Kenapa kau pian-hoa menjadi pohon siong? Apa kau kira ilmu itu boleh sembarang kau pertontonkan seperti tukang sulap di pasar? Ketahuilah, jika kau melihat orang lain mempunyai ilmu, mereka melarangmu untuk minta diajari ilmunya. Tetapi orang lain, bila melihat kepandaianmu, ia akan memohon kau ajari. Bila kau tak mau menerbitkan onar, kau terpaksa mengajarikan ilmumu kepadanya. Sebaliknya bila kau menolak, kau pasti akan dimusuhi. Sadarilah, bila hal itu sampai terjadi, maka jiwamu pun sulit untuk dilindungi!"
"Mohon Suhu sudi memaafkan tecu,"
Ujar Si Kera Batu dengan wajah memucat dan keringat membasahi punggungnya.
"Aku tidak akan menghukummu, tapi aku ingin kau pergi dari sini!"
Usir Pou Tee Couwsu dengan suara dingin. Seketika Sun Go-kong menangis.
"Suhu hendak menyuruh tecu pergi ke mana?"
Isaknya.
"Dari mana kau datang, ke sanalah kau kembali!"
Tegas Sang Guru.
"Begitulah kataku!"
"Aku berasal dari Gua Cui-liam-tong di Hoa-ko-san, Negara Golay-kok, Benua Tong-sin Sin-ciu,"
Jawab Sang Murid apa adanya.
"Lekas pulang ke sana, maka jiwamu akan terselamatkan. Untuk berdiam di sini lebih lama sehari lagi pun sudah tidak boleh!"
Sadarlah Sun Go-kong bahwa dirinya telah diusir dari perguruannya.
"Tecu telah bersalah, Suhu,"
Ujarnya sambil menjura dalam-dalam.
"Memang tecu sudah meninggalkan kampung halaman selama dua puluh tahun, memang tecu ingin sekali menjenguk rakyat tecu, namun mengingat budi besar Suhu yang belum terbalas, mana tecu berani pergi?"
"Tidak ada balas budi segala!"
Tukas Pou Tee Couwsu.
"Asalkan kau tidak menerbitkan onar di luaran dan tidak pernah merembetrembet menyebut namaku sekali pun, itu sudah cukup!"
Melihat ketegasan Sang Guru yang berpedoman, Sabda Pandito ratu, yakni sekali kata sudah terucap pantangan besar untuk dijilat kembali, Sun Go-kong pun maklum; sudah tidak ada jalan lain lagi baginya.
Terpaksa ia mematuhi titahnya.
Segera ia menjura memberi hormat untuk penghabisan kalinya kepada Pou Tee Couwsu, lalu mengucapkan selamat berpisah pada semua saudara seperguruannya.
"Dengan kepergianmu sekarang, tentu kau tidak akan menjadi lebih baik,"
Petuah terakhir Pou Tee Couwsu sebelum benar-benar berpisah.
"Jadi camkanlah wanti-wantiku: tidak peduli kau bikin onar apa pun, kau dilarang keras menyebut dirimu sebagai mantan muridku. Kau tidak boleh menyebut namaku lagi, di mana saja, kapan saja. Sekali saja kau sebutkan namaku, aku segera bisa merasakannya, dan akan segera datang memburumu untuk membeset kulitmu. Dagingmu akan kucincang, sampai hanya tinggal tulang-belulang. Jiwamu kubetot dari ragamu. Kujebloskan ke tempat penyiksaan di kerak neraka, hingga untuk selanjutnya kau tidak akan mampu menitis ke dunia lagi!"
Bercucuran keringat sebesar-besar biji kacang kedelai di wajah, Sun Go-kong mendengar ancaman sekeras ini.
"Pasti tecu tidak akan berani menyebut nama Suhu,"
Janjinya dengan hati gentar.
"Tecu akan mengakui bahwa semua ilmu kepandaian ini didapatkan dengan cara belajar sendiri..."
Setelah berikrar begini, Sun Go-kong pay-kui tiga kali sebagai tanda menghaturkan terima-kasihnya untuk terakhir kalinya.
Lalu ia membalikkan tubuhnya dan merapalkan mantra sakti.
Sekali kakinya menjejak bumi, tubuhnya pun melenting jauh ke langit, berjumpalitan di atas dan mencelat dari mega ke mega untuk pulang ke Tong-hay (Laut Timur).

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

63