Bab 1
by Yan Widjaya
21:24,Aug 22,2024
Kelahiran Kera Sakti ALKISAH cerita ini berawal di Tong-sin Sin-ciu atau Benua Timur.
Adalah sebuah negara yang disebut Go-lay-kok yang pantainya sangat panjang karena berhadapan dengan samudra luas.
Nun di tengah samudra luas itu terdapat sebuah pulau yang semula merupakan sebuah gunung api dengan puncaknya yang menyembul ke permukaan aIr Pulau gunung api ini dinamai Hoako-san.
Konon pulau ini merupakan pusat dari alam di sekitarnya, karena ketika ujungnya muncul ke permukaan air laut, hawa bersih sedang naik dan hawa kotor sedang turun, dan dunia menjadi terang benderang.
Kemudian pulau ini tumbuh menjadi tempat nan indah permai, seolah taman surgawi yang turun ke Bumi.
Namanya secara harfiah berarti Gunung Buah dan Bunga.
Di pulau ini tumbuh puncak-puncak yang menjulang tinggi langsing, lembah-lembah subur dan jurang-jurang curam, batu-batu aneh yang berkilauan, pohonpohon luar biasa, semak-semak bunga indah, serta unggas dan beragam binatang yang tidak buas.
Tepat di puncak tertinggi Hoa-ko-san bertengger sebuah batu pualam besar yang aneh; bentuknya bulat lonjong persis telur raksasa yang licin permukaannya.
Tingginya tiga tombak enam kaki dan lima dim; lingkarannya dua tombak lima kaki.
Di sekitar batu ajaib ini tiada pohon-pohon tinggi untuk menaunginya, namun di sekelilingnya tumbuh subur semak-semak perdu dengan kembang yang silih berganti mekar dan merebakkan aroma harum.
Sejak terciptanya dunia, setiap saat batu ajaib ini mendapat hawa bersih dari langit dan Bumi; setiap hari disorot sinar mentari, dan cahaya rembulan pada malam harinya.
Pada suatu pagi, telur batu itu retak.
Retakannya melebar dan melebar sampai pecah, terbelah.
Muncullah dari dalamnya sebuah janin batu sebesar bola yang berkilauan.
Berbareng dengan berkesiurnya angin sejuk yang seperti membelai-belai, mendadak janin batu itu bergerak dan merayap bangun menjadi seekor bayi kera batu yang lengkap semua anggota tubuhnya.
Bayi kera batu berbulu putih ajaib ini hidup dan mempunyai jiwa layaknya makhluk hidup.
Ia merayap lalu merangkak dengan keempat kakinya.
Awalnya agak terhuyung-huyung mencoba berdiri dengan dua kaki belakangnya, lalu dia mulai belajar berjalan sebagaimana laiknya anak kera.
Belaian sang bayu bagaikan elusan tangan seorang ibu, membuat bayi kera batu itu cepat sekali bertumbuh menjadi seekor anak kera.
Ketika matanya memandang ke empat penjuru, sepasang matanya telah tersorot oleh sinar matahari pagi yang kuning keemasan dan menimbulkan pantulan yang menembus langit, hingga mengejutkan Thian yang Maha mulia yakni Kho-thian Sian-seng Tay-khojin-cia Giok-hong Tay-thian-cun Guan-Kiong Kho Siang Tee atau biasa disingkat dengan sebutan Giok Tee, Kaisar Kumala.
Lazimnya Thian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tuhan, namun menurut penggubah lebih tepat disebut sebagai Maharaja Dewata, setara dengan Batara Guru dalam cerita pewayangan dari agama Hindu.
Kebetulan pada saat itu beliau sedang bermusyawarah di pendopo Leng-siau Po-thian di dalam Kim-kwat In-kiong atau Istana Mega Emas, yang merupakan tempat bersidangnya para menteri dewa.
Melihat pantulan sinar yang menyilaukan itu Giok Tee menitahkan dua malaikat Cian-li-gan dan Sun-hong-ji untuk memeriksa asal-usulnya.
Malaikat Cian-li-gan mempunyai mata yang dapat melihat sampai sejauh sepuluh ribu li (satu li sama dengan 500 meter atau setengah kilometer), sedangkan kelebihan Sun-hong-ji mampu mendengar dalam jarak yang sangat jauh.
Karena kemampuan mereka itu, mereka tidak perlu turun ke Bumi untuk mencari, cukup dengan keluar dari pendopo untuk mengawasi dan mendengar apa yang terjadi di Bumi.
Karena itu, tidak lama kedua malaikat itu telah kembali dengan membawa laporan, perihal seekor kera batu yang baru menjelma di puncak Hoa-ko-san, Negara Go-lay-kok, Benua Timur.
Sementara itu, sinar mata mencorong kera batu itu sudah tak terlihat lagi, karena ia sudah masuk ke hutan untuk mencari buahbuahan sebagai sarapannya.
Berbeda dengan kera biasa yang berbulu kelabu, anak kera batu itu berbulu putih bersih.
"Jikalau begitu, itu bukanlah seekor monster atau iblis yang berbahaya,"
Sabda Giok Tee yang tidak menitahkan untuk menindaklanjuti laporan kedua malaikat tersebut.
Nun jauh di bawah, dalam hutan permai Hoa-ko-san, si anak kera batu sambil belajar berjalan dengan kedua kaki belakangnya serta melompat-lompat, memetik bebuahan yang matang di pohon, lalu minum dari kali yang mengalirkan air jernih.
Tidak berapa lama ia telah bergabung dengan sekawanan kera yang memang menghuni hutan itu.
Ia disambut dengan baik sebagai sesama primata.
Pada malam hari ia mengikuti kera-kera lainnya masuk ke dalam gua untuk tidur; dan bersama datangnya fajar, ia ikut keluar untuk mencari makan.
Bermacam buah-buahan yang silih berganti matang membuat semua kera tak pernah kekurangan bahan makanan.
Begitulah mereka bermain, bercengkerama, dan bersenda gurau sambil berlompatan dari pohon ke pohon dengan riang gembira.
Suatu saat seekor anak kera yang paling besar mengajak kawankawannya, tentu saja dengan bahasa kaum primata.
"Sudah lama aku memperhatikan air kali ini yang tak henti-hentinya mengalir dari Utara ke Selatan, tidak pernah berhenti, tidak siang tidak malam, bahkan pada saat kita tidur, air terus saja berjalan tanpa lelah..."
Semua anak kera memandang ke arah sungai berair jernih itu.
Ada yang menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, seolah-olah ingin memecahkan masalah air mengalir tersebut.
Seekor kera tua menertawakan keluguan anak-anak kera ini.
"Eh, memang sudah demikian sifat air kali ini, selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, apa yang perlu diherani?"
Ujarnya.
"Justru aku ingin tahu di mana sumber air ini, hingga tidak habishabisnya,"
Ujar si anak kera besar.
"Kalau begitu gampang, kita ikuti saja aliran air kali ini, nanti kan sampai juga pada sumbernya?"
Ujar si anak kera batu putih yang rupanya paling cerdik dibanding teman-temannya sebaya.
"Ya, ya, ya, ayo kita cari sekarang juga!"
Sorak beberapa anak kera jantan. Anak-anak kera betina tak mau ketinggalan.
"Kami ikut, ikut! Jangan tinggalkan kami!"
Anak-anak kera jantan sudah berlarian seperti balapan di sepanjang tepi kali, sampai jauh ke tengah hutan.
Hampir setengah harian mereka berjalan, ketika anak kera besar yang paling depan merandek.
"Suara apa itu? Bergemuruh keras sekali!"
Ujarnya. Si anak kera batu putih memonyongkan mulutnya.
"Siapa takut?"
Cetusnya.
"Ayo cepat kita lihat!"
Sesaat kemudian tibalah mereka di sebuah air terjun.
Dari ketinggian, air berwarna putih tumpah ruah dengan suara gemuruh ke sebuah kolam.
Dari kolam inilah mengalir air kali yang mereka telusuri.
Air terjun itu tak ubahnya sebuah layar putih yang dipasang oleh alam.
Udara di sekitarnya terasa sejuk menyegarkan.
Semua anak kera berjingkrak-jingkrak kegirangan menemukan tempat yang seasri ini.
"Bagus, bagus!"
Sorak mereka.
"Lebih asyik kalau kita pindah ke sini daripada di sarang lama kita!"
Kawanan anak kera betina yang menyusul tiba pun menyetujui usul mereka.
Tetapi si anak kera besar yang rupanya gemar berpikir, sambil memandang ke air terjun menggerutu sendiri.
"Ada apa ya di balik air terjun itu? Ayo, barangsiapa berani menerobos masuk ke dalamnya dan keluar lagi dengan selamat, dia kita angkat menjadi Raja Kera!"
Semua anak kera saling berpandangan.
Sebagian besar merasa jeri, gentar, tak berani menerobos air terjun yang bagaikan layar perak itu.
Sebagian lagi masih merasa bimbang.
Hanya seekor yang paling berani, si anak kera batu putih!
"Aku yang akan terjun!
Aku yang akan terjun!"
Teriaknya menjawab.
Lalu ia naik ke sebongkah batu besar di dekat air terjun itu.
Semua kera yang lain mengawasi dengan mata terbeliak.
Gemuruh suara air terjun dan percikan titik-titik air mengenai muka si anak kera batu putih hingga nyaris basah kuyup.
Ia memejamkan matanya.
Tiba-tiba dengan sekali lompatan, Hup!, melompatlah ia menerobos tirai air terjun itu.
Si anak kera batu baru membuka matanya ketika merasa tubuhnya tidak basah.
Ternyata di balik air terjun itu terdapat sebuah gua besar.
Dan di depan matanya terpapar sebuah jembatan besi, Tiat-poan-kio.
Dengan terheran-heran si anak kera batu berjalan menuju ke jembatan besi itu.
Dilihatnya di bawah jembatan air jernih mengalir deras di antara bebatuan.
Tiat-poan-kio tidak terlalu panjang, hingga dalam sekejap kedua kaki si anak kera batu telah mencapai ujungnya yang terang benderang.
Dan dilihatnya sebuah lembah di pengujung gua.
Sebongkah cio-kat atau cio-pay yakni prasasti batu bundar tegak di ambang gua itu.
Terukir sepuluh aksara besar-besar di atasnya, HOA KO SAN HOK TEE, CUI LIAM TONG TONG THIAN Terjemahan harfiah dari sepuluh aksara itu adalah: Hoa-ko-san subur makmur, Cui-liam-tong bak surga Ketika mata si anak kera batu mengawasi lembah nan permai itu, dilihatnya banyak pohon buah yang tengah berbuah lebat.
Semaksemak perdu pun dihiasi oleh bebungaan yang mekar.
Sedangkan ruangan dalam gua sangat luas.
Ada batu-batu yang berbentuk mirip bangku dan meja.
Entah buatan alam atau mungkin dewata berantah dari masa lalu yang pernah menghuni tempat ini.
Bukan main gembiranya si anak kera batu.
Bergegas ia berbalik untuk berlari kembali, keluar menerobos curahan air terjun.
Dengan sekali lompatan ia telah kembali ke tempat kerumunan semua anak kera dan langsung bersorak.
"Bagus, bagus sekali!"
Puluhan ekor anak kera merubung sambil bertanya-tanya.
"Bagaimana keadaan di balik air terjun? Ada apa di sana?"
"Di dalamnya ada gua besar, lalu sebuah jembatan besi,"
Sahut si anak kera batu bersemangat.
"Ada jembatan besi? Jembatan untuk menuju ke mana?"
"Jembatan besi yang menembus ke mulut gua di sebelah dalam. Ternyata gua ini menembus ke sebuah lembah yang sangat permai. Banyak pohon cemara dan rumpun bambu. Juga pohon-pohon buah yang sarat dengan bebuahan matang. Belum lagi semak-semak perdu bunga yang harum..."
Semua anak kera melongo mendengar cerita temannya tentang kepermaian alam yang baru saja ditinjaunya.
"Gua inilah tempat yang paling cocok untuk permukiman kita. Saking luasnya bisa memuat ribuan ekor kera,"
Lanjut si anak kera batu.
"Dalam gua ini kita akan aman dan nyaman, terlindung dari segala macam gangguan angin kencang, dan hujan deras; bahkan hujan es dan badai salju pun tak perlu kita takuti lagi. Suara gelegar guntur pun tak terdengar di dalam sana karena tertutup oleh suara air terjun yang seperti irama musik pengantar tidur. Cuacanya juga tidak gelap, malah terang, karena berhubungan dengan lembah permai itu..."
Anak-anak kera itu melompat-lompat saking senangnya.
"Ayo kita masuk ke sana, sekarang juga! Ayo cepat bawa kami semua ke sana!"
Si anak kera batu cengengesan.
"Baik, ayo semuanya memejamkan mata supaya tidak kemasukan percikan air, lalu terjun mengikuti aku!"
Dan ia pun mendahului mereka semua.
Untuk kedua kalinya ia melompat menerobos tirai air terjun itu lagi.
Anak-anak kera yang bernyali besar, tanpa berpikir lagi, langsung menirukan perbuatannya.
Sedangkan anak-anak kera yang agak penakut, masih merasa bimbang, menggaruk-garuk belakang kepalanya meskipun tidak gatal.
Akhirnya mereka pun mengikuti jejak kawan-kawannya yang lebih berani.
Begitu berada di dalam gua besar yang terang itu mereka menjadi sangat kegirangan.
Berlarian hilir-mudik di jembatan besi, bergulingan di atas bangku dan meja batu yang licin permukaannya tanpa debu.
Si anak kera batu memilih sebuah kursi batu besar mirip singgasana yang terletak di tempat agak tinggi tepat di tengah-tengah gua itu.
Setelah duduk di situ, ia berteriak.
"Teman-teman semua, sekarang kalian mesti membuktikan janji kalian! Kita bangsa primata; apa pun yang kita katakan mesti kita tepati dan penuhi!"
Semua anak kera memandang kepadanya, menunggu apa yang hendak dikatakannya.
"Tadi kalian semua telah sepakat. Siapa yang berani terjun duluan menerobos air terjun dengan selamat akan diangkat menjadi raja! Nah, akulah yang telah memelopori dan menemukan tempat ini. Jadi kalian juga mesti mengangkat aku menjadi junjungan kalian!"
"Baik! Kita angkat dia sebagai raja kita!"
Seru beberapa ekor anak kera besar.
Anak-anak kera yang lebih kecil, tentu saja mengikuti.
Semuanya berbaris lalu serempak membungkuk hormat sambil berseru.
"Cianswee Tay-ong!"
Tay-ong adalah panggilan kehormatan terhadap seorang raja besar; sama artinya dengan Paduka Tuanku.
Sejak saat itu, si anak kera batu yang dengan cepat tumbuh menjadi kera remaja, menyebut dirinya sebagai Bi-kauw-ong, alias Si Raja Kera Tampan.
Rakyatnya yang menjadi penghuni gua besar Cui-liam-tong dari hari ke hari pun bertambah banyak.
Bukan lagi anak-anak kera pemberani saja, tetapi juga segala macam jenis primata seperti lutung, orangutan, siamang, monyet, dan sebagainya.
Mereka tidak bercampur gaul dengan jenis binatang lain seperti rusa, kelinci, babi hutan, yang juga menjadi penghuni hutanrimba Hoa-ko-san.
Bi-kauw-ong mengangkat teman-teman lamanya untuk menjadi hulubalang-hulubalang kerajaan kera untuk menjaga kesejahteraan Gua Cui-liam-tong dan lembah rahasia di balik air terjun yang tidak diketahui oleh jenis binatang lain.
Tahun demi tahun berlalu dalam kesenangan, tak terasa telah lima belas tahun lamanya, mereka beranak-pinak di dalam Gua Cui-liam-tong dan lembah rahasia.
Sampai pada suatu hari, setelah menerima persembahan buah-buahan matang di pohon dari sejumlah rakyatnya yang ditata di atas meja batu untuk makanannya, tiba-tiba Bi-kauw-ong menangis di depan semua hulubalang kepercayaannya.
Keruan mereka semua menjadi terkejut dan terheran-heran.
"Kenapa Tay-ong bersedih?"
Tanya salah seekor.
"Bukankah kita sekarang bergembira karena buah-buahan matang di pohon silih berganti tiada habisnya?"
"Memang kita tidak pernah kekurangan makanan,"
Ujar Sang Raja Kera.
"Tetapi bukan hal itu yang kurisaukan. Aku sedang memikirkan tentang masa depan kita semua..."
"Tampaknya Tay-ong tidak mengenal rasa bersyukur,"
Ujar seekor kera sesepuh.
"Di sini kita bisa makan buah sampai kenyang setiap hari. Kita memiliki gua yang aman dan nyaman ini. Di dalamnya kita tidak perlu tunduk kepada ki-lin, penguasa gunung, atau burung hong yang menjadi ratu angkasa. Kita juga tidak ditindas oleh bangsa manusia yang menguasai Bumi di luar sana. Bukankah kita sangat beruntung? Jadi untuk apa merisaukan masa depan kita?"
Ki-lin (barong-say) adalah nama sejenis singa purba yang dipuja sebagai raja hutan bagi semua binatang buas; sedangkan burung hong (phoenix) dianggap sebagai ratu semua unggas dan makhluk yang bersayap dan bisa terbang di langit.
"Memang betul sekali, sekarang kita tidak perlu tunduk kepada hukum manusia yang ditakdirkan menjadi penguasa alam raya, juga tak perlu takut pada singa dan burung sakti,"
Membenarkan Bi-kauw-ong.
"Namun, nanti setelah usia kita uzur dan tubuh kita lambat laun menjadi lemah, tidak selincah sekarang, tak urung pada suatu hari kita akan mati juga. Kita tidak mungkin hidup untuk selamanya karena ada Giam-lo-ong (Raja Neraka) yang berkuasa mencabut jiwa dari tubuh kita!"
Mendengar hal ini, semua kera mendadak menjadi berduka.
Diingatkan pada kematian yang bisa datang pada setiap saat, siapa yang tidak terenyuh?
Maka bagaikan paduan suara yang memilukan, mereka beramai-ramai menangis dipimpin Sang Raja yang paling keras tangisannya!
Tetapi seekor kera besar yang sudah sangat tua dan selama ini menjadi sesepuh kerajaan kera karena pengetahuan umumnya yang sangat luas, segera maju menenangkan.
"Sudah, sudahlah,"
Ujarnya.
"Dengan kesedihanmu hari ini, Tay-ong, ternyata hati dan otakmu justru telah mendapat pencerahan!"
Bi-kauw-ong tercengang sampai berhenti menangis.
"Apa maksudmu, Lo-kauw?"
Sesepuh kera yang dipanggil Lo-kauw atau "kera tua"
Itu meringis memperlihatkan gigi taringnya, lalu menjelaskan.
"Ketahuilah, di antara semua makhluk di dunia yang fana ini hanya terdapat tiga golongan yang tak bisa ditundukkan oleh kuasa Giam-lo-ong!"
"Lo-kauw, kalau kau tahu siapa saja mereka, tolong cepat kausebutkan!"
Desak Sang Raja Kera bersemangat.
"Tentu saja aku tahu,"
Sahut sang kera tua waskita.
"Mereka adalah Hud (Buddha), dewa-dewi, dan malaikat. "
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena mereka bebas dari penitisan hingga tidak bisa meninggal dan berusia sama panjangnya dengan dunia, gunung, dan lautan. "
"Di mana permukiman tiga golongan luar biasa itu?"
"Mereka bermukim di dunia yang mengambang, dalam gua-gua kuno atau di puncak-puncak gunung yang masih suci murni, belum dikotori oleh hawa nafsu manusia,"
Jelas si Lo-kauw. Mendadak Si Raja Kera berjingkrak bangun dari singgasana batunya.
"Baiklah kalau begitu! Besok pagi-pagi sekali aku akan pergi meninggalkan kalian semua!"
"Ke mana Tay-ong akan pergi?"
Tanya kepala hulubalang kera.
"Perlukah kami mengawalmu?"
"Tidak perlu! Biar aku pergi sendirian saja,"
Tegas Bi-kauwong.
"Aku akan turun gunung. Kalau perlu akan kujelajahi sampai ke ujung daratan, bahkan menyeberangi lautan, untuk mencari makhluk-makhluk luar biasa itu. Aku ingin memiliki ilmu supaya tidak bisa tua dan agar kita luput dari ancaman maut Giam-lo-ong, serta lolos dari roda penitisan agar usia kita sama dengan langit, abadi sepanjang masa!"
Semua hulubalang kera bersorak sorai mendengar hal ini, dan langsung memerintahkan kera-kera muda.
"Petiklah buah-buahan yang paling lezat untuk bekal perjalanan Tay-ong kita besok pagi!"
Begitulah, pagi-pagi sekali, banyak sekali bebuahan matang telah ditata di atas meja batu panjang sebagai persembahan dari rakyat kera terhadap raja mereka yang akan merantau.
Sebuah sampan yang sesuai dengan namanya dibuat dari tiga batang bambu betung besar dan panjang diikat dengan akar rotan, digotong beramai-ramai oleh kawanan kera muda, untuk diturunkan ke sungai.
Sampan ini juga sudah dimuati banyak bebuahan untuk bekal makanan di jalan.
Bi-kauw-ong melompat ke atas sampan.
Gerak-geriknya memang mirip dengan manusia.
Ia berdiri dengan dua kaki belakang, sedangkan kedua kaki depannya, menjadi tangan, yang memegang sebatang galah bambu panjang untuk pengayuh.
"Aku pergi sekarang!"
Seru Si Raja Kera sambil melambaikan sebelah tangannya. Semua rakyatnya ramai-ramai melambaikan tangan juga.
"Sampai bertemu lagi Tay-ong! Kami akan setia menunggumu di sini!"
Bi-kauw-ong menyeringai, lalu mengerahkan tenaga untuk menolakkan galahnya.
Sebagai kera muda, tenaganya memang besar sekali.
Dengan beberapa tolakan saja sampannya sudah melaju ke tengah sungai.
Arus sungai yang makin lama makin deras membawanya ke laut.
Si Raja Kera mengalingkan tangan kanannya ke atas matanya untuk memandang sekeliling.
Air, air di mana-mana.
Betapa luasnya laut ini… Sementara matahari bersinar dengan teriknya di tengah langit biru.
Ditiup angin yang cukup kencang, sampan Si Raja Kera menyeberangi laut menuju ke Lam-ciam Pou-ciu, Benua Selatan.
Dan ternyata samudra yang di bagian utara sangat luas, semakin ke selatan menjadi semakin sempit…Bi-kauw-ong hanya berhenti mengayuh pada saat makan buah bekalnya yang dimakannya hanya sebuah dalam sehari karena ia belum tahu entah sampai kapan baru akan bertemu daratan lagi.
Untungnya sepanjang pelayaran, tak pernah bertemu ombak besar, bahkan permukaan laut tampak seperti cermin maharaksasa nan bening belaka… Angin yang bertiup dari arah tenggara telah membawanya ke pantai barat daya.
Dan pada suatu hari terlihatlah di depan matanya sebuah daratan yang jauh lebih luas daripada Pulau Hoa-ko-sannya.
Semakin lama semakin dekat dan semakin nyata kebesaran daratan tersebut.
Dengan galah bambunya yang panjang, Bi-kauw-ong telah menjajaki tepi laut yang dangkal.
Ketika sampan mencapai pantai berpasir putih, ia pun meninggalkan galahnya begitu saja, untuk mendarat.
Sambil berjalan menyusuri pantai, tibalah ia di sebuah kampung nelayan.
Dilihatnya beberapa nelayan yang baru pulang dari laut dengan perahu mereka, dengan ikan hasil tangkapan mereka.
Di bagian lain, banyak lelaki dan perempuan yang bekerja di ladang garam berwarna putih berkilau.
Bi-kauw-ong mendekati orang-orang di ladang garam itu.
Demi melihat seekor kera setinggi seorang pemuda, para peladang menjadi sangat terkejut.
Apalagi ketika Si Raja Kera menyeringai memperlihatkan gigi taringnya.
Seorang perempuan bahkan lari terbirit-birit sambil berteriak ketakutan.
"Siluman! Siluman kera!"
Satu orang berlari, yang lain langsung ngibrit mengikutinya!
Si Raja Kera melompat dan berhasil menangkap seorang remaja.
Mungkin saking takutnya, anak baru gede ini langsung menjerit.
"Mama..."
Dan jatuh pingsan!
Adalah sebuah negara yang disebut Go-lay-kok yang pantainya sangat panjang karena berhadapan dengan samudra luas.
Nun di tengah samudra luas itu terdapat sebuah pulau yang semula merupakan sebuah gunung api dengan puncaknya yang menyembul ke permukaan aIr Pulau gunung api ini dinamai Hoako-san.
Konon pulau ini merupakan pusat dari alam di sekitarnya, karena ketika ujungnya muncul ke permukaan air laut, hawa bersih sedang naik dan hawa kotor sedang turun, dan dunia menjadi terang benderang.
Kemudian pulau ini tumbuh menjadi tempat nan indah permai, seolah taman surgawi yang turun ke Bumi.
Namanya secara harfiah berarti Gunung Buah dan Bunga.
Di pulau ini tumbuh puncak-puncak yang menjulang tinggi langsing, lembah-lembah subur dan jurang-jurang curam, batu-batu aneh yang berkilauan, pohonpohon luar biasa, semak-semak bunga indah, serta unggas dan beragam binatang yang tidak buas.
Tepat di puncak tertinggi Hoa-ko-san bertengger sebuah batu pualam besar yang aneh; bentuknya bulat lonjong persis telur raksasa yang licin permukaannya.
Tingginya tiga tombak enam kaki dan lima dim; lingkarannya dua tombak lima kaki.
Di sekitar batu ajaib ini tiada pohon-pohon tinggi untuk menaunginya, namun di sekelilingnya tumbuh subur semak-semak perdu dengan kembang yang silih berganti mekar dan merebakkan aroma harum.
Sejak terciptanya dunia, setiap saat batu ajaib ini mendapat hawa bersih dari langit dan Bumi; setiap hari disorot sinar mentari, dan cahaya rembulan pada malam harinya.
Pada suatu pagi, telur batu itu retak.
Retakannya melebar dan melebar sampai pecah, terbelah.
Muncullah dari dalamnya sebuah janin batu sebesar bola yang berkilauan.
Berbareng dengan berkesiurnya angin sejuk yang seperti membelai-belai, mendadak janin batu itu bergerak dan merayap bangun menjadi seekor bayi kera batu yang lengkap semua anggota tubuhnya.
Bayi kera batu berbulu putih ajaib ini hidup dan mempunyai jiwa layaknya makhluk hidup.
Ia merayap lalu merangkak dengan keempat kakinya.
Awalnya agak terhuyung-huyung mencoba berdiri dengan dua kaki belakangnya, lalu dia mulai belajar berjalan sebagaimana laiknya anak kera.
Belaian sang bayu bagaikan elusan tangan seorang ibu, membuat bayi kera batu itu cepat sekali bertumbuh menjadi seekor anak kera.
Ketika matanya memandang ke empat penjuru, sepasang matanya telah tersorot oleh sinar matahari pagi yang kuning keemasan dan menimbulkan pantulan yang menembus langit, hingga mengejutkan Thian yang Maha mulia yakni Kho-thian Sian-seng Tay-khojin-cia Giok-hong Tay-thian-cun Guan-Kiong Kho Siang Tee atau biasa disingkat dengan sebutan Giok Tee, Kaisar Kumala.
Lazimnya Thian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tuhan, namun menurut penggubah lebih tepat disebut sebagai Maharaja Dewata, setara dengan Batara Guru dalam cerita pewayangan dari agama Hindu.
Kebetulan pada saat itu beliau sedang bermusyawarah di pendopo Leng-siau Po-thian di dalam Kim-kwat In-kiong atau Istana Mega Emas, yang merupakan tempat bersidangnya para menteri dewa.
Melihat pantulan sinar yang menyilaukan itu Giok Tee menitahkan dua malaikat Cian-li-gan dan Sun-hong-ji untuk memeriksa asal-usulnya.
Malaikat Cian-li-gan mempunyai mata yang dapat melihat sampai sejauh sepuluh ribu li (satu li sama dengan 500 meter atau setengah kilometer), sedangkan kelebihan Sun-hong-ji mampu mendengar dalam jarak yang sangat jauh.
Karena kemampuan mereka itu, mereka tidak perlu turun ke Bumi untuk mencari, cukup dengan keluar dari pendopo untuk mengawasi dan mendengar apa yang terjadi di Bumi.
Karena itu, tidak lama kedua malaikat itu telah kembali dengan membawa laporan, perihal seekor kera batu yang baru menjelma di puncak Hoa-ko-san, Negara Go-lay-kok, Benua Timur.
Sementara itu, sinar mata mencorong kera batu itu sudah tak terlihat lagi, karena ia sudah masuk ke hutan untuk mencari buahbuahan sebagai sarapannya.
Berbeda dengan kera biasa yang berbulu kelabu, anak kera batu itu berbulu putih bersih.
"Jikalau begitu, itu bukanlah seekor monster atau iblis yang berbahaya,"
Sabda Giok Tee yang tidak menitahkan untuk menindaklanjuti laporan kedua malaikat tersebut.
Nun jauh di bawah, dalam hutan permai Hoa-ko-san, si anak kera batu sambil belajar berjalan dengan kedua kaki belakangnya serta melompat-lompat, memetik bebuahan yang matang di pohon, lalu minum dari kali yang mengalirkan air jernih.
Tidak berapa lama ia telah bergabung dengan sekawanan kera yang memang menghuni hutan itu.
Ia disambut dengan baik sebagai sesama primata.
Pada malam hari ia mengikuti kera-kera lainnya masuk ke dalam gua untuk tidur; dan bersama datangnya fajar, ia ikut keluar untuk mencari makan.
Bermacam buah-buahan yang silih berganti matang membuat semua kera tak pernah kekurangan bahan makanan.
Begitulah mereka bermain, bercengkerama, dan bersenda gurau sambil berlompatan dari pohon ke pohon dengan riang gembira.
Suatu saat seekor anak kera yang paling besar mengajak kawankawannya, tentu saja dengan bahasa kaum primata.
"Sudah lama aku memperhatikan air kali ini yang tak henti-hentinya mengalir dari Utara ke Selatan, tidak pernah berhenti, tidak siang tidak malam, bahkan pada saat kita tidur, air terus saja berjalan tanpa lelah..."
Semua anak kera memandang ke arah sungai berair jernih itu.
Ada yang menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, seolah-olah ingin memecahkan masalah air mengalir tersebut.
Seekor kera tua menertawakan keluguan anak-anak kera ini.
"Eh, memang sudah demikian sifat air kali ini, selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, apa yang perlu diherani?"
Ujarnya.
"Justru aku ingin tahu di mana sumber air ini, hingga tidak habishabisnya,"
Ujar si anak kera besar.
"Kalau begitu gampang, kita ikuti saja aliran air kali ini, nanti kan sampai juga pada sumbernya?"
Ujar si anak kera batu putih yang rupanya paling cerdik dibanding teman-temannya sebaya.
"Ya, ya, ya, ayo kita cari sekarang juga!"
Sorak beberapa anak kera jantan. Anak-anak kera betina tak mau ketinggalan.
"Kami ikut, ikut! Jangan tinggalkan kami!"
Anak-anak kera jantan sudah berlarian seperti balapan di sepanjang tepi kali, sampai jauh ke tengah hutan.
Hampir setengah harian mereka berjalan, ketika anak kera besar yang paling depan merandek.
"Suara apa itu? Bergemuruh keras sekali!"
Ujarnya. Si anak kera batu putih memonyongkan mulutnya.
"Siapa takut?"
Cetusnya.
"Ayo cepat kita lihat!"
Sesaat kemudian tibalah mereka di sebuah air terjun.
Dari ketinggian, air berwarna putih tumpah ruah dengan suara gemuruh ke sebuah kolam.
Dari kolam inilah mengalir air kali yang mereka telusuri.
Air terjun itu tak ubahnya sebuah layar putih yang dipasang oleh alam.
Udara di sekitarnya terasa sejuk menyegarkan.
Semua anak kera berjingkrak-jingkrak kegirangan menemukan tempat yang seasri ini.
"Bagus, bagus!"
Sorak mereka.
"Lebih asyik kalau kita pindah ke sini daripada di sarang lama kita!"
Kawanan anak kera betina yang menyusul tiba pun menyetujui usul mereka.
Tetapi si anak kera besar yang rupanya gemar berpikir, sambil memandang ke air terjun menggerutu sendiri.
"Ada apa ya di balik air terjun itu? Ayo, barangsiapa berani menerobos masuk ke dalamnya dan keluar lagi dengan selamat, dia kita angkat menjadi Raja Kera!"
Semua anak kera saling berpandangan.
Sebagian besar merasa jeri, gentar, tak berani menerobos air terjun yang bagaikan layar perak itu.
Sebagian lagi masih merasa bimbang.
Hanya seekor yang paling berani, si anak kera batu putih!
"Aku yang akan terjun!
Aku yang akan terjun!"
Teriaknya menjawab.
Lalu ia naik ke sebongkah batu besar di dekat air terjun itu.
Semua kera yang lain mengawasi dengan mata terbeliak.
Gemuruh suara air terjun dan percikan titik-titik air mengenai muka si anak kera batu putih hingga nyaris basah kuyup.
Ia memejamkan matanya.
Tiba-tiba dengan sekali lompatan, Hup!, melompatlah ia menerobos tirai air terjun itu.
Si anak kera batu baru membuka matanya ketika merasa tubuhnya tidak basah.
Ternyata di balik air terjun itu terdapat sebuah gua besar.
Dan di depan matanya terpapar sebuah jembatan besi, Tiat-poan-kio.
Dengan terheran-heran si anak kera batu berjalan menuju ke jembatan besi itu.
Dilihatnya di bawah jembatan air jernih mengalir deras di antara bebatuan.
Tiat-poan-kio tidak terlalu panjang, hingga dalam sekejap kedua kaki si anak kera batu telah mencapai ujungnya yang terang benderang.
Dan dilihatnya sebuah lembah di pengujung gua.
Sebongkah cio-kat atau cio-pay yakni prasasti batu bundar tegak di ambang gua itu.
Terukir sepuluh aksara besar-besar di atasnya, HOA KO SAN HOK TEE, CUI LIAM TONG TONG THIAN Terjemahan harfiah dari sepuluh aksara itu adalah: Hoa-ko-san subur makmur, Cui-liam-tong bak surga Ketika mata si anak kera batu mengawasi lembah nan permai itu, dilihatnya banyak pohon buah yang tengah berbuah lebat.
Semaksemak perdu pun dihiasi oleh bebungaan yang mekar.
Sedangkan ruangan dalam gua sangat luas.
Ada batu-batu yang berbentuk mirip bangku dan meja.
Entah buatan alam atau mungkin dewata berantah dari masa lalu yang pernah menghuni tempat ini.
Bukan main gembiranya si anak kera batu.
Bergegas ia berbalik untuk berlari kembali, keluar menerobos curahan air terjun.
Dengan sekali lompatan ia telah kembali ke tempat kerumunan semua anak kera dan langsung bersorak.
"Bagus, bagus sekali!"
Puluhan ekor anak kera merubung sambil bertanya-tanya.
"Bagaimana keadaan di balik air terjun? Ada apa di sana?"
"Di dalamnya ada gua besar, lalu sebuah jembatan besi,"
Sahut si anak kera batu bersemangat.
"Ada jembatan besi? Jembatan untuk menuju ke mana?"
"Jembatan besi yang menembus ke mulut gua di sebelah dalam. Ternyata gua ini menembus ke sebuah lembah yang sangat permai. Banyak pohon cemara dan rumpun bambu. Juga pohon-pohon buah yang sarat dengan bebuahan matang. Belum lagi semak-semak perdu bunga yang harum..."
Semua anak kera melongo mendengar cerita temannya tentang kepermaian alam yang baru saja ditinjaunya.
"Gua inilah tempat yang paling cocok untuk permukiman kita. Saking luasnya bisa memuat ribuan ekor kera,"
Lanjut si anak kera batu.
"Dalam gua ini kita akan aman dan nyaman, terlindung dari segala macam gangguan angin kencang, dan hujan deras; bahkan hujan es dan badai salju pun tak perlu kita takuti lagi. Suara gelegar guntur pun tak terdengar di dalam sana karena tertutup oleh suara air terjun yang seperti irama musik pengantar tidur. Cuacanya juga tidak gelap, malah terang, karena berhubungan dengan lembah permai itu..."
Anak-anak kera itu melompat-lompat saking senangnya.
"Ayo kita masuk ke sana, sekarang juga! Ayo cepat bawa kami semua ke sana!"
Si anak kera batu cengengesan.
"Baik, ayo semuanya memejamkan mata supaya tidak kemasukan percikan air, lalu terjun mengikuti aku!"
Dan ia pun mendahului mereka semua.
Untuk kedua kalinya ia melompat menerobos tirai air terjun itu lagi.
Anak-anak kera yang bernyali besar, tanpa berpikir lagi, langsung menirukan perbuatannya.
Sedangkan anak-anak kera yang agak penakut, masih merasa bimbang, menggaruk-garuk belakang kepalanya meskipun tidak gatal.
Akhirnya mereka pun mengikuti jejak kawan-kawannya yang lebih berani.
Begitu berada di dalam gua besar yang terang itu mereka menjadi sangat kegirangan.
Berlarian hilir-mudik di jembatan besi, bergulingan di atas bangku dan meja batu yang licin permukaannya tanpa debu.
Si anak kera batu memilih sebuah kursi batu besar mirip singgasana yang terletak di tempat agak tinggi tepat di tengah-tengah gua itu.
Setelah duduk di situ, ia berteriak.
"Teman-teman semua, sekarang kalian mesti membuktikan janji kalian! Kita bangsa primata; apa pun yang kita katakan mesti kita tepati dan penuhi!"
Semua anak kera memandang kepadanya, menunggu apa yang hendak dikatakannya.
"Tadi kalian semua telah sepakat. Siapa yang berani terjun duluan menerobos air terjun dengan selamat akan diangkat menjadi raja! Nah, akulah yang telah memelopori dan menemukan tempat ini. Jadi kalian juga mesti mengangkat aku menjadi junjungan kalian!"
"Baik! Kita angkat dia sebagai raja kita!"
Seru beberapa ekor anak kera besar.
Anak-anak kera yang lebih kecil, tentu saja mengikuti.
Semuanya berbaris lalu serempak membungkuk hormat sambil berseru.
"Cianswee Tay-ong!"
Tay-ong adalah panggilan kehormatan terhadap seorang raja besar; sama artinya dengan Paduka Tuanku.
Sejak saat itu, si anak kera batu yang dengan cepat tumbuh menjadi kera remaja, menyebut dirinya sebagai Bi-kauw-ong, alias Si Raja Kera Tampan.
Rakyatnya yang menjadi penghuni gua besar Cui-liam-tong dari hari ke hari pun bertambah banyak.
Bukan lagi anak-anak kera pemberani saja, tetapi juga segala macam jenis primata seperti lutung, orangutan, siamang, monyet, dan sebagainya.
Mereka tidak bercampur gaul dengan jenis binatang lain seperti rusa, kelinci, babi hutan, yang juga menjadi penghuni hutanrimba Hoa-ko-san.
Bi-kauw-ong mengangkat teman-teman lamanya untuk menjadi hulubalang-hulubalang kerajaan kera untuk menjaga kesejahteraan Gua Cui-liam-tong dan lembah rahasia di balik air terjun yang tidak diketahui oleh jenis binatang lain.
Tahun demi tahun berlalu dalam kesenangan, tak terasa telah lima belas tahun lamanya, mereka beranak-pinak di dalam Gua Cui-liam-tong dan lembah rahasia.
Sampai pada suatu hari, setelah menerima persembahan buah-buahan matang di pohon dari sejumlah rakyatnya yang ditata di atas meja batu untuk makanannya, tiba-tiba Bi-kauw-ong menangis di depan semua hulubalang kepercayaannya.
Keruan mereka semua menjadi terkejut dan terheran-heran.
"Kenapa Tay-ong bersedih?"
Tanya salah seekor.
"Bukankah kita sekarang bergembira karena buah-buahan matang di pohon silih berganti tiada habisnya?"
"Memang kita tidak pernah kekurangan makanan,"
Ujar Sang Raja Kera.
"Tetapi bukan hal itu yang kurisaukan. Aku sedang memikirkan tentang masa depan kita semua..."
"Tampaknya Tay-ong tidak mengenal rasa bersyukur,"
Ujar seekor kera sesepuh.
"Di sini kita bisa makan buah sampai kenyang setiap hari. Kita memiliki gua yang aman dan nyaman ini. Di dalamnya kita tidak perlu tunduk kepada ki-lin, penguasa gunung, atau burung hong yang menjadi ratu angkasa. Kita juga tidak ditindas oleh bangsa manusia yang menguasai Bumi di luar sana. Bukankah kita sangat beruntung? Jadi untuk apa merisaukan masa depan kita?"
Ki-lin (barong-say) adalah nama sejenis singa purba yang dipuja sebagai raja hutan bagi semua binatang buas; sedangkan burung hong (phoenix) dianggap sebagai ratu semua unggas dan makhluk yang bersayap dan bisa terbang di langit.
"Memang betul sekali, sekarang kita tidak perlu tunduk kepada hukum manusia yang ditakdirkan menjadi penguasa alam raya, juga tak perlu takut pada singa dan burung sakti,"
Membenarkan Bi-kauw-ong.
"Namun, nanti setelah usia kita uzur dan tubuh kita lambat laun menjadi lemah, tidak selincah sekarang, tak urung pada suatu hari kita akan mati juga. Kita tidak mungkin hidup untuk selamanya karena ada Giam-lo-ong (Raja Neraka) yang berkuasa mencabut jiwa dari tubuh kita!"
Mendengar hal ini, semua kera mendadak menjadi berduka.
Diingatkan pada kematian yang bisa datang pada setiap saat, siapa yang tidak terenyuh?
Maka bagaikan paduan suara yang memilukan, mereka beramai-ramai menangis dipimpin Sang Raja yang paling keras tangisannya!
Tetapi seekor kera besar yang sudah sangat tua dan selama ini menjadi sesepuh kerajaan kera karena pengetahuan umumnya yang sangat luas, segera maju menenangkan.
"Sudah, sudahlah,"
Ujarnya.
"Dengan kesedihanmu hari ini, Tay-ong, ternyata hati dan otakmu justru telah mendapat pencerahan!"
Bi-kauw-ong tercengang sampai berhenti menangis.
"Apa maksudmu, Lo-kauw?"
Sesepuh kera yang dipanggil Lo-kauw atau "kera tua"
Itu meringis memperlihatkan gigi taringnya, lalu menjelaskan.
"Ketahuilah, di antara semua makhluk di dunia yang fana ini hanya terdapat tiga golongan yang tak bisa ditundukkan oleh kuasa Giam-lo-ong!"
"Lo-kauw, kalau kau tahu siapa saja mereka, tolong cepat kausebutkan!"
Desak Sang Raja Kera bersemangat.
"Tentu saja aku tahu,"
Sahut sang kera tua waskita.
"Mereka adalah Hud (Buddha), dewa-dewi, dan malaikat. "
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena mereka bebas dari penitisan hingga tidak bisa meninggal dan berusia sama panjangnya dengan dunia, gunung, dan lautan. "
"Di mana permukiman tiga golongan luar biasa itu?"
"Mereka bermukim di dunia yang mengambang, dalam gua-gua kuno atau di puncak-puncak gunung yang masih suci murni, belum dikotori oleh hawa nafsu manusia,"
Jelas si Lo-kauw. Mendadak Si Raja Kera berjingkrak bangun dari singgasana batunya.
"Baiklah kalau begitu! Besok pagi-pagi sekali aku akan pergi meninggalkan kalian semua!"
"Ke mana Tay-ong akan pergi?"
Tanya kepala hulubalang kera.
"Perlukah kami mengawalmu?"
"Tidak perlu! Biar aku pergi sendirian saja,"
Tegas Bi-kauwong.
"Aku akan turun gunung. Kalau perlu akan kujelajahi sampai ke ujung daratan, bahkan menyeberangi lautan, untuk mencari makhluk-makhluk luar biasa itu. Aku ingin memiliki ilmu supaya tidak bisa tua dan agar kita luput dari ancaman maut Giam-lo-ong, serta lolos dari roda penitisan agar usia kita sama dengan langit, abadi sepanjang masa!"
Semua hulubalang kera bersorak sorai mendengar hal ini, dan langsung memerintahkan kera-kera muda.
"Petiklah buah-buahan yang paling lezat untuk bekal perjalanan Tay-ong kita besok pagi!"
Begitulah, pagi-pagi sekali, banyak sekali bebuahan matang telah ditata di atas meja batu panjang sebagai persembahan dari rakyat kera terhadap raja mereka yang akan merantau.
Sebuah sampan yang sesuai dengan namanya dibuat dari tiga batang bambu betung besar dan panjang diikat dengan akar rotan, digotong beramai-ramai oleh kawanan kera muda, untuk diturunkan ke sungai.
Sampan ini juga sudah dimuati banyak bebuahan untuk bekal makanan di jalan.
Bi-kauw-ong melompat ke atas sampan.
Gerak-geriknya memang mirip dengan manusia.
Ia berdiri dengan dua kaki belakang, sedangkan kedua kaki depannya, menjadi tangan, yang memegang sebatang galah bambu panjang untuk pengayuh.
"Aku pergi sekarang!"
Seru Si Raja Kera sambil melambaikan sebelah tangannya. Semua rakyatnya ramai-ramai melambaikan tangan juga.
"Sampai bertemu lagi Tay-ong! Kami akan setia menunggumu di sini!"
Bi-kauw-ong menyeringai, lalu mengerahkan tenaga untuk menolakkan galahnya.
Sebagai kera muda, tenaganya memang besar sekali.
Dengan beberapa tolakan saja sampannya sudah melaju ke tengah sungai.
Arus sungai yang makin lama makin deras membawanya ke laut.
Si Raja Kera mengalingkan tangan kanannya ke atas matanya untuk memandang sekeliling.
Air, air di mana-mana.
Betapa luasnya laut ini… Sementara matahari bersinar dengan teriknya di tengah langit biru.
Ditiup angin yang cukup kencang, sampan Si Raja Kera menyeberangi laut menuju ke Lam-ciam Pou-ciu, Benua Selatan.
Dan ternyata samudra yang di bagian utara sangat luas, semakin ke selatan menjadi semakin sempit…Bi-kauw-ong hanya berhenti mengayuh pada saat makan buah bekalnya yang dimakannya hanya sebuah dalam sehari karena ia belum tahu entah sampai kapan baru akan bertemu daratan lagi.
Untungnya sepanjang pelayaran, tak pernah bertemu ombak besar, bahkan permukaan laut tampak seperti cermin maharaksasa nan bening belaka… Angin yang bertiup dari arah tenggara telah membawanya ke pantai barat daya.
Dan pada suatu hari terlihatlah di depan matanya sebuah daratan yang jauh lebih luas daripada Pulau Hoa-ko-sannya.
Semakin lama semakin dekat dan semakin nyata kebesaran daratan tersebut.
Dengan galah bambunya yang panjang, Bi-kauw-ong telah menjajaki tepi laut yang dangkal.
Ketika sampan mencapai pantai berpasir putih, ia pun meninggalkan galahnya begitu saja, untuk mendarat.
Sambil berjalan menyusuri pantai, tibalah ia di sebuah kampung nelayan.
Dilihatnya beberapa nelayan yang baru pulang dari laut dengan perahu mereka, dengan ikan hasil tangkapan mereka.
Di bagian lain, banyak lelaki dan perempuan yang bekerja di ladang garam berwarna putih berkilau.
Bi-kauw-ong mendekati orang-orang di ladang garam itu.
Demi melihat seekor kera setinggi seorang pemuda, para peladang menjadi sangat terkejut.
Apalagi ketika Si Raja Kera menyeringai memperlihatkan gigi taringnya.
Seorang perempuan bahkan lari terbirit-birit sambil berteriak ketakutan.
"Siluman! Siluman kera!"
Satu orang berlari, yang lain langsung ngibrit mengikutinya!
Si Raja Kera melompat dan berhasil menangkap seorang remaja.
Mungkin saking takutnya, anak baru gede ini langsung menjerit.
"Mama..."
Dan jatuh pingsan!
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved