Bab 11 Part 11

by Dinda Tirani 21:07,May 08,2024
"Alhamdulillah, kalian sudah datang. Kalau gitu aku pamit." Gus Nur mengucapkan salam dan meninggalkan kami di dapur yang luas.

"Nab, Fah, bawa ini ke dapur Bah Yai. Tadinya aku mau nyuruh Baharuddin untuk membawanya, tapi Gus Nur sudah memberikan tugas lain untuknya." Ning menunjuk dua buah baskom besar yaitu terletak di bale bale bambu yang ada di dapur.

"Enggeh, Ning." Latifah dan Zaenab mengambil tepung beras, kelapa dan gula aren yang sudah tertata rapi di dalam baskom besar, mereka segera berpamitan meninggalkan kami.

Aku menatap kepergian kedua gadis itu dengan perasaan dongkol, kedatangan mereka ternyata bukan untuk membantuku. Sekarang aku hanya berdua dengan Ning Ishma, apakah kejadian semalam akan kembali terulang? Membayangkannya membuat gairahku bangkit, tanpa dicegah benda yang berada di selangkanganku mengeras sempurna sehingga aku kelimpungan berusaha menyembunyikannya dari pandangan Ning Ishma. Percuma, sekeras apapun aku berusaha, sarung yang aku pakai tidak mampu menyembunyikan kontolku yang terbangun dari tidurnya.

"Kamu ngapain dengan Ning Sarah, di gardu?" Tanya Ning Ishma setelah Zaenab dan Latifah pergi, dia menatapku tajam dan nada suaranya begitu dingin. Aku bersyukur dia tidak melihat ke arah selangkanganku, sehingga dia tidak tahu apa yang sedang terjadi.

"Eh, itu cuma ngobrol biasa." Ternyata Ning Ishma kepo, sehingga menanyakan hal yang bukan urusannya.

"Kamu pacaran dengan, Ning Sarah? Awas, aturan di pondok tidak boleh pacaran, karena itu akan mendekatkanmu dengan zina." Kata Ning Ishma ketus, memojokkan ku dengan tuduhannya yang membabi buta.

"Aku nggak pacaran, Ning." Jawabku membela diri. Memang benar, aku tidak berpacaran dengan Ning Ishma.

"Alah, aku tahu Ning Ishma sudah lama menaruh perhatian ke kamu, sejak kalian nyantri di Pondok Pesantren Al Furqon di Cirebon." Ning Ishma terus menuduhku, dia menatapku tajam.

"Kata siapa, Ning?" Tanyaku heran, kenapa Ning Ishma menduga begitu?

"Waktu aku kuliah di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, aku diminta Abah Yai untuk ikut mengajar para santriwati di Pesantren tempatmu mondok. Ternyata benar kata Ning Sarah, kamu sombong sehingga tidak mengenalku." Pengakuan Ning Ishma membuatku sangat terkejut, ternyata dia pernah mengajar di Pondok Pesantren tempatku nyantri di Cirebon.

"Maaf Ning, aku tidak pernah memperhatikan para santriwati dan juga para Ustadzah di sana." Jawabku jujur, bukan berarti aku tidak tertarik dengan para santriwati cantik di sana. Semua ini karena daya ingatku yang kurang, sehingga aku jarang bisa membedakan wajah para santriwati yang seragam dengan jilbab mereka.

Tidak ada bantahan dari Ning Ishma, sepertinya dia menganggap semuanya sudah clear. Perdebatan singkat itu membuat gairahku hilang dalam sekejap, kontolku kembali pada ukuran semula, tertidur dengan pulasnya. Satu persoalan selesai, persoalan lain menunggu diselesaikan, aku memperbaiki posisi sarungku hingga pas dan tidak merosot saat aku beraktifitas.

Aku mengambil tangga bambu dari pekarangan belakang, untuk kugunakan membersihkan sawang di langit langit dapur dan sarang laba laba yang bebas tanpa pernah ada yang menyentuhnya. Sekarang jadi tugasku untuk membersihkannya hingga tidak ada lagi yang tersisa.

"Ning, biar saya kerjakan sendiri.!" Seruku mencegah Ning Ishma yang ikut membantu membersihkan sawang sawang di langit langit dapur, entah sejak kapan dia mengambil tangga aluminium yang ringan sehingga dia bisa membawanya tanpa meminta bantuanku.

"Nggak apa apa, aku sudah biasa kerja." Jawab Ning Ishma, dengan lincah dia menaiki tangga. Untuk beberapa saat aku terpaku melihatnya membersihkan sawang sawang di langit dapur dengan cekatan, menandakan dia sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah. Ning Ishma bukan tipikal wanita manja seperti Ning Sarah, dia sudah terbiasa melakukan semuanya seorang diri. jilbabnya yang berwarna krem ternoda oleh sawang yang berhamburan dan jatuh di jilbab dan bajunya. Membuatnya terlihat semakin menawan, sungguh beruntung Gus Nur bisa mempersuntingnya.





********

Akhirnya selesai juga membersihkan dapur, sekarang saatnya mengisi bak mandi yang sangat besar. Tidak ada waktu beristirahat untuk tubuhku yang mulai letih, semuanya harus aku kerjakan sebelum Gus Nur tiba bersama Kang Zuber. Aku tidak mau, Gus Nur menganggapmu lalai dalam melaksanakan tugas.

Di sumur, kejadian semalam berkelebat tanpa kusadari. Gairahku kembali bangkit tanpa dapat dicegah, kontolku kembali terbangun dari tidurnya. Astaghfirullah, Ya Allah, apa yang telah dilakukan Ning Ishma? Dia berhasil membuat hidupku kacau. Aku menggelengkan kepala, berusaha mengusir bayang bayang itu. Konsentrasi, konsentrasi, aku harus mengisi bak mandi sebelum Gus Nur tiba dan melihat bak mandi belum terisi penuh.

"Kamu kenapa, Din?" Suara merdu Ning Ishma membuatku terkejut, reflek aku membalikkan tubuh ke belakang. Ning Ishma berdiri dengan senyumnya yang menawan, mataku terbelalak melihat apa yang dikenakan Ning Ishma. Dia mengenakan piyama mandi dan rambutnya tertutup handuk sehingga aku bisa melihat lehernya yang jenjang. Aku memejamkan mata, berharap sosok yang sedang berdiri di hadapanku segera sirna saat membuka mata, dan sosok itu tetap berdiri di hadapanku saat mataku terbuka.

"Kamu kenapa, Din? Aku bukan hantu, atau mungkin kamu menganggapku bidadari?" Goda Ning Ishma, memutar tubuhnya di hadapanku sehingga aku bisa mencium bau keringatnya yang menurutku harum.

"Eh iya, bidadari." Jawabku latah, dia memang seperti bidadari yang turun dari kahyangan untuk mandi, seperti kisah Joko Tarub. Bedanya, bidadari ini akan mandi di kamar mandi airnya kutimba dengan tetesan keringat.

"Kamu sebenarnya ganteng, cuma terlalu bodoh." Kata Ning Ishma mengejekku, seingatku yang pernah mengatakan aku ganteng hanya ke dua orang tuaku.

"Maaf..!" Aku menunduk malu, terlihat sarung yang kukenakan mengembung. Semoga Ning Ishma tidak melihatnya dan menganggapku kurang ajar.

"Dari kemarin, kamu terus minta maaf. Kenapa kamu menunduk seperti itu? Apakah aku terlalu tua untukmu sehingga kamu tidak tertarik padaku?" Pertanyaan Niang Ishma kembali membuat lututku gemetaran, dia terlalu cantik sehingga aku tidak berani menatapnya dan membuatku lupa diri. Jangan sampai aku memperkosa Ning Ishma, hanya karena aku tidak mampu menahan nafsu.

"Ti.....tidak..!" Suaraku tercekat, nafasku tersengal-sengal. Semoga Ning Ishma segera masuk kamar mandi, membebaskanku dari siksaan birahi.

"Berarti benar, aku tidak menarik. Pantas Gua Nur tidak pernah menjamah ku sejak kami menikah." Suara pilu Ning Ishma membuatku kaget, dia salah menafsirkan jawabanku.

"Bu bukan begitu maksudnya, anda sangat cantik dan setiap orang yang melihat anda pasti jatuh bertekuk lutut." Aku menarik nafas lega setelah berhasil mengatakan apa yang kulihat, Ning Ishma memang sangat cantik dan setiap pria yang mendapatkannya sangat beruntung. Semua kemuliaan ada padanya.

"Benarkah, itu?" Ning Ishma mengangkat daguku sehingga aku bisa melihat wajahnya yang begitu dekat. Refleks aku memejamkan mata, tidak berani menatap wajahnya yang penuh pesona. Terlalu lancang kalau aku berani menatap wajahnya yang mulia, wajah yang selalu terbasuh air wudhu.

"Kenapa kamu memejamkan matamu? Katamu, aku sangat cantik..!" Hembusan nafas Ning Ishma menerpa wajahku seperti semalam, meluluh lantakan kesadaranku. Jiwaku terbawa angin surga, berkelana dalam dunia yang indah dan asing.

"Jangan.!" Suaraku terhenti ketika bibirku tersumpal bibir Ning Ishma yang hangat, tubuhku mengejang kaku. Nafasku seperti terhenti oleh hembusan nafas Ning Ishma yang membelai wajahku, lidahnya yang basah menyeruak masuk ke dalam mulutku, bergerak liar menyentuh apapun yang bisa disentuhnya. Mataku tetap terpejam, mulutku tetap terbuka saat Ning Ishma menyudahi aksinya.

"Ikut, aku..!" Ning Ishma menarik tanganku yang belum sadar setelah kejadian tadi sehingga hampir saja terjatuh karena sarung yang kukenakan terlepas dan menjerat kakiku. Refleks aku memegang sarung dan menaikkan hingga dada, Ning Ishma tidak memberiku kesempatan membetulkan sarung yang kupakai. Dia terus menarik tanganku, terpaksa aku berlari kecil mengikutinya.

"Aduhhh..!" Aku berteriak kesakitan saat menabrak kusen pintu yang berdiri angkuh.

"Aduh, maaf Din..!" Ning Ishma tertawa geli melihatku kesakitan memegang kening.

Sepertinya Ning Ishma tidak peduli dengan penderitaan ku, dia kembali menarik tanganku setelah menutupi tubuh dengan tergesa-gesa. Ning Ishma mendorongku jatuh terduduk di atas bale bale bambu. Aku menatapn wajahnya yang cantik berubah menjadi liar seperti akan menerkamku.

"Ning...!" Aku berseru ngeri, melihat sorot matanya dan nafasnya yang tersengal segal. Dia menampakkan sisi liar jiwanya, jiwa yang selama ini berusaha dibelenggu dengan segala aturan kaidah agama. Sekarang jiwa itu bangkit, menampakkan jati dirinya yang asli.

"Diam, aku butuh kamu...!" Ning Ishma berkata lirih, dia mendorongku rebah di atas bale bale bambu yang langsung menjerit menerima hempasan tubuhku.

"Ning, sadarlah..!" Jiwaku yang lemah dan mulai hanyut oleh gelombang birahi, berusaha mengingatkannya. Apa yang dia lakukan tidak benar, bermain main dengan syahwat.

"Jangan berpura-pura, aku tahu kamipun menginginkannya." Gumam Ning Ishma berjongkok di hadapanku, dan sebelum aku sadar apa yang diinginkannya. Ning Ishma menarik sarungku dengan kasar, lalu mencampakkannya ke lantai. Sarung yang kupakai sudah tidak dibutuhkannya, karena sarung itu akan menghalanginya dengan benda yang mengacung tegak tersembunyi sarung.


Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

327