Bab 8 Part 8
by Dinda Tirani
21:04,May 08,2024
"Cepat, sepertinya ada masalah besar sampai Kang Zuber dipanggil Gus Nur." Kata Kang Shomad menyadarkanku .
*Iya, Kang." Jawabku lesu, sepertinya Gus Nur tahu Kamilah yang sudah menguping mereka dan sekarang kami akan dihukum atas semua perbuatan kami semalam.
Aku berjalan gontai mendatangi rumah Gus Nur, tamatlah riwayat ku semuanya karena ketololanku lupa mematikan hp. Kedatanganku untuk menuntut ilmu dan mencari barokah para Kyai akan berakhir, semuanya karena kebodohanku semata. Bagaimana kalau sampai aku kualat, ilmu yang aku peroleh dengan susah payah menjadi sia sia. Musnalah impian ke dua orang tuaku melihatku mendirikan sebuah pondok pesantren di desa kami.
Langkahku terasa sangat ringan,, seperti tidak menyentuh tanah. Tanpa kusadari, aku telah tiba di rumah Gus Nur, kulihat Kang Zuher dari pintu yang terbuka lebar. Untuk beberapa saat langkahku terhenti, ragu untuk melangkah lebih jauh. Aku menarik nafas panjang, mengumpulkan keberanian yang tersisa. Aku harus berani bertanggung jawab atas semua kesalahanku, hukum di dunia akan lebih ringan dari pada aku harus menerima nya di akhirat.
"Assalammualaikum...!" Aku tidak bisa menyembunyikan getaran suaraku saat mengucapkan salam, kakiku lunglai tidak bertenaga.
"Wa 'alaikum Sallam. Masuklah, tidak perlu takut." Jawab Gus Nur tersenyum, entah apa arti senyumnya itu. Tidak ada yang pernah tahu arti senyum seorang Kyai, bahkan kepada orang yang membencinya pun dia akan tetap tersenyum.
"Terima kasih, Gus..!" Jawabku menunduk, aku melihat Kang Zuber duduk bersila di atas tikar lantai. Memang tidak ada kursi ataupun meja di ruang tamu Gus Nur, sehingga setiap orang akan duduk di atas tikar pandan. Perlahan aku beringsut menghampiri Gus Nur untuk mencium tangannya sekaligus menghirup barokah yang terpancar dari tangannya yang berbau harum minyak misik. Aroma surga yang sebentar lagi tidak bisa kucium.
Hening, membuatku merasa tersiksa. Aku melirik Kang Zuber yang duduk menunduk, kuberanikan melirik wajah Gus Nur yang terlihat tenang dengan senyum yang terlihat samar, entah apa yang sedang dipikirkannya tentang kami. Ataukah dia sedang berpikir, hukuman apa yang pantas kami terima.
"Semalam, kenapa kamu tidak ikut meronda dengan Kang Zuber?" Tanya Gus Nur, inilah yang aku tunggu sejak tadi. Sebuah pertanyaan dan interogasi atas semua kesalahan yang sudah kami lakukan.
Sebuah gerakkan kecil dengkul Kang Zuber menyentuh pahaku, sebuah gerakkan yang aku tahu sebagai isyarat. Tapi isyarat apa? Aku tidak tahu apa yang sudah dikatakan Kang Zuber sebelum aku datang, biarlah yang terjadi, terjadilah.
"Saya, ketiduran Gus..!" Jawabku lirih, inilah satu-satunya jawaban paling masuk akal dan semoga bisa menyelamatkan diriku dari masalah yang lebih besar.
"Sebenarnya, ada kejadian apa semalam, Gus?" Tanya Kang Zuber berhati-hati, dia berusaha menjajagi maksud Gus Nur.
"Tidak apa apa, hanya semalam aku lihat gardu di depan kosong. Itu tidak baik, memberi contoh untuk para santri dan santriwati untuk berbuat seenaknya, tidak punya rasa tanggung jawab." Jawaban Gus Nur membuatku menarik nafas lega, inilah tipikal ulama yang berusaha untuk menutupi aibnya dirinya maupun orang di sekelilingnya. Gus Nur tidak langsung menuduh kami, walau mungkin dia sudah mencurigai kami sebagai pelakunya.
"Maaf, Gus..!" Hanya itu yang bisa kuucapkan. Untuk sementara, aku merasa aman.
"Aku sudah memaafkan kelalaian kalian, tapi bukan berarti kalian akan bebas dari hukuman. Hukum harus ditegakkan sebagai kosekwensi kesalahan yang kalian perbuat dan juga untuk membuat kalian lebih bertanggung jawab atas semua kewajiban kalian." Jawab Gus Nur tegas, setiap kesalahan ada hukumannya.
"Saya siap dihukum, Gus." Jawab Kang Zuber tegas.
"Saya juga, Gus." Aku menimpali kesanggupan Kang Zuber.
"Mulai nanti malam, aku hukum kalian menjaga gardu Utara selama 7 malam." Jawab Gus Nur, membuatku menarik nafas lega. Hukuman dijatuhkan Gus Nur terasa ringan.
"Hanya itu, Gus?" Tanya Kang Zuber, wajahnya langsung ceria mendengar hukuman ringan ini.
"Ada dua lagi, selama seminggu kalian aku tugaskan membersihkan rumahku dan juga pekarangan, serta mengisi bak mandi." Jawab Gus Nur dengan senyum yang tidak pernah hilang dari bibirnya.
"Mengisi Bak kamar mandi, Gus? Bukankah sudah ada, Sanyo?" Tanyaku heran.
"Sebagai hukuman, Sanyo harus dimatikan selama seminggu." Jawab Gus Nur, membuatku mengeluh.
"Tapi, bagaimana dengan timbanya Gus?" Tanya Kang Zuber heran, setahu kami sumur sudah ditutup papan dan tidak ada alat untuk menimba air.
"Kerekan dan ember bisa kamu ambil di dapur, tinggal kamu pasang Zuber. Hukuman kalian dimulai sekarang." Jawab Gus Nur,.
**********
"Kang, kok mereka malah disuruh meronda di gardu Utara dan juga membersihkan rumah kita selama seminggu, bukankah Kang Nur sendiri yang mencurigai mereka?" Tanya Ning Ishma pelan.
Aku yang sedang berada di samping rumah untuk membersihkan rumput rumput liar langsung berhenti dan merapatkan tubuhku ke dinding papan jati tepat di bawah jendela kamar mereka, berusaha menajamkan pendengaranku.
"Justru karena aku curiga mereka pelakunya, maka sengaja Akang suruh mereka meronda dekat rumah kita dan juga mengurus rumah kita." Jawab Gus tenang.
Mendengar hal itu membuatku terkejut, ternyata ini siasat Gus Nur, entah apa tujuannya.
"Maksud, akang? Aku tidak mengerti." Jawab Ning Ishma.
"Kalau mereka pelakunya, mereka tidak akan mengulangi perbuatannya mereka." Jawab Gus Nur, tenang.
"Akang aneh, aku tidak ngerti jalan pikiran Akang." Jawab Ning Ishma.
"Percayalah Ning, mereka melakukannya karena rasa ingin tahu mereka yang besar. Kenakalan yang biasa terjadi pada para santri, seperti juga Akang saat masih jadi santri." Jawab Gus Nur, dengan nada bijak.
"Maksud Akang, dulu juga Akang sering mengintip?" Tanya Ning Ishma kaget.
"Eh, itu tidak perlu dibahas." Jawab Gus Nur.
"Tidak ada rahasia di antara kita, itu janji Akang kepadaku. Ceritakan semuanya, tentang kenakalan Akang selagi masih mondok." Desak Ning Ishma, membuatku semakin merapatkan tubuhku di dinding.
"Ning, kamu tidak akan marah kalau akang cerita hal sebenarnya?" Tanya Gus Nur ragu.
"Janji, aku tidak akan marah." Jawab Ning Ishma.
"Ning, sejak kecil kita sudah dipersiapkan untuk mengikuti jejak orang tua kita. Menghafal Al-Qur'an, kitab Jurumiyyah dan banyak lagi kitab yang harus kita hafalkan sehingga kita lupa dengan masa muda kita, di saat anak anak seusia kita masih bermain, bersenang senang, bahkan mereka bebas melihat lawan jenis tanpa takut dengan ancaman hukuman. Kita terkurung dengan aturan agama yang dijejalkan oleh orang tua kita, sementara jauh di lubuk hati kita ingin seperti anak anak lainnya." Gus Nur berhenti bicara, tak ada sanggahan dari Ning Ishma.
"Ning, pernahkah kamu menatap wajah seorang pemuda tampan dengan cara terang terangan?" Tanya Gus Nur.
"Aku tidak berani, aku harus selalu menjaga mataku. Walau kadang aku ingin melakukannya, tapi..!" Jawab Ning Ishma pelan.
"Tapi kenapa, Ning?" Tanya Gus Nur, antusias.
"Entahlah, aku tidak pernah berani memandang wajah tampan. Yang kulakukan hanyalah membayangkan seorang pemuda tampan tersenyum padaku, hanya sebatas itu." Jawab Ning Ishma jujur.
"Ya, aku mengerti karena kita berasal dari tempat yang sama. Orang tua kita sama sama Kyai, menghafal Al-Qur'an dan kitab adalah keseharian kita. Itu sebabnya aku berontak, pindah dari satu pesantren ke pesantren lain." Jawab Gus Nur.
"Itu bukan pemberontakan, Akang pergi untuk memperdalam ilmu." Jawab Ning Ishma.
"Bukan seperti itu kejadian yang sebenarnya, Ning. Aku selalu berpindah pesantren agar tidak ada yang tahu bahwa aku adalah Gus Nurrahman putra K.H. Sahal yang terkenal, sehingga aku bisa melakukan apapun yang aku suka tanpa mengotori nama Abah. Kamu tahu apa yang kulakukan selama di pesantren yang jauh dari rumah?" Tanya Gus Nur membuatku semakin penasaran untuk mengetahui masa lalu Gus Nur.
"Aku bebas menggoda para santriwati yang kuangggap menarik, bahkan aku sering mengintip mereka saat mandi."
"Akang....!" Seru Ning Ishma terkejut mendengar pengakuan Gus Nur yang tidak disangkanya sama sekali.
"Kamu boleh marah, Ning. Aku hanya ingin mengakui dosa yang membuatku gelisah."
"Akang, aku tidak marah. Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, karena itulah Allah menyuruh kita bertaubat maka pintu Rahmat akan dibuka lebar." Jawab Ning Ishma, lembut.
"Mengintip dan menggoda wanita masih belum seberapa, ada dosa besar yang membuatku takut." Jawab Gus Nur membuat jantungku berdebar kencang, entah dosa sebesar apa yang pernah dilakukan Gus Nur.
"Akang melakukan zina dengan salah satu...?" Tanya Ning, suaranya tercekat.
Bersambung
*Iya, Kang." Jawabku lesu, sepertinya Gus Nur tahu Kamilah yang sudah menguping mereka dan sekarang kami akan dihukum atas semua perbuatan kami semalam.
Aku berjalan gontai mendatangi rumah Gus Nur, tamatlah riwayat ku semuanya karena ketololanku lupa mematikan hp. Kedatanganku untuk menuntut ilmu dan mencari barokah para Kyai akan berakhir, semuanya karena kebodohanku semata. Bagaimana kalau sampai aku kualat, ilmu yang aku peroleh dengan susah payah menjadi sia sia. Musnalah impian ke dua orang tuaku melihatku mendirikan sebuah pondok pesantren di desa kami.
Langkahku terasa sangat ringan,, seperti tidak menyentuh tanah. Tanpa kusadari, aku telah tiba di rumah Gus Nur, kulihat Kang Zuher dari pintu yang terbuka lebar. Untuk beberapa saat langkahku terhenti, ragu untuk melangkah lebih jauh. Aku menarik nafas panjang, mengumpulkan keberanian yang tersisa. Aku harus berani bertanggung jawab atas semua kesalahanku, hukum di dunia akan lebih ringan dari pada aku harus menerima nya di akhirat.
"Assalammualaikum...!" Aku tidak bisa menyembunyikan getaran suaraku saat mengucapkan salam, kakiku lunglai tidak bertenaga.
"Wa 'alaikum Sallam. Masuklah, tidak perlu takut." Jawab Gus Nur tersenyum, entah apa arti senyumnya itu. Tidak ada yang pernah tahu arti senyum seorang Kyai, bahkan kepada orang yang membencinya pun dia akan tetap tersenyum.
"Terima kasih, Gus..!" Jawabku menunduk, aku melihat Kang Zuber duduk bersila di atas tikar lantai. Memang tidak ada kursi ataupun meja di ruang tamu Gus Nur, sehingga setiap orang akan duduk di atas tikar pandan. Perlahan aku beringsut menghampiri Gus Nur untuk mencium tangannya sekaligus menghirup barokah yang terpancar dari tangannya yang berbau harum minyak misik. Aroma surga yang sebentar lagi tidak bisa kucium.
Hening, membuatku merasa tersiksa. Aku melirik Kang Zuber yang duduk menunduk, kuberanikan melirik wajah Gus Nur yang terlihat tenang dengan senyum yang terlihat samar, entah apa yang sedang dipikirkannya tentang kami. Ataukah dia sedang berpikir, hukuman apa yang pantas kami terima.
"Semalam, kenapa kamu tidak ikut meronda dengan Kang Zuber?" Tanya Gus Nur, inilah yang aku tunggu sejak tadi. Sebuah pertanyaan dan interogasi atas semua kesalahan yang sudah kami lakukan.
Sebuah gerakkan kecil dengkul Kang Zuber menyentuh pahaku, sebuah gerakkan yang aku tahu sebagai isyarat. Tapi isyarat apa? Aku tidak tahu apa yang sudah dikatakan Kang Zuber sebelum aku datang, biarlah yang terjadi, terjadilah.
"Saya, ketiduran Gus..!" Jawabku lirih, inilah satu-satunya jawaban paling masuk akal dan semoga bisa menyelamatkan diriku dari masalah yang lebih besar.
"Sebenarnya, ada kejadian apa semalam, Gus?" Tanya Kang Zuber berhati-hati, dia berusaha menjajagi maksud Gus Nur.
"Tidak apa apa, hanya semalam aku lihat gardu di depan kosong. Itu tidak baik, memberi contoh untuk para santri dan santriwati untuk berbuat seenaknya, tidak punya rasa tanggung jawab." Jawaban Gus Nur membuatku menarik nafas lega, inilah tipikal ulama yang berusaha untuk menutupi aibnya dirinya maupun orang di sekelilingnya. Gus Nur tidak langsung menuduh kami, walau mungkin dia sudah mencurigai kami sebagai pelakunya.
"Maaf, Gus..!" Hanya itu yang bisa kuucapkan. Untuk sementara, aku merasa aman.
"Aku sudah memaafkan kelalaian kalian, tapi bukan berarti kalian akan bebas dari hukuman. Hukum harus ditegakkan sebagai kosekwensi kesalahan yang kalian perbuat dan juga untuk membuat kalian lebih bertanggung jawab atas semua kewajiban kalian." Jawab Gus Nur tegas, setiap kesalahan ada hukumannya.
"Saya siap dihukum, Gus." Jawab Kang Zuber tegas.
"Saya juga, Gus." Aku menimpali kesanggupan Kang Zuber.
"Mulai nanti malam, aku hukum kalian menjaga gardu Utara selama 7 malam." Jawab Gus Nur, membuatku menarik nafas lega. Hukuman dijatuhkan Gus Nur terasa ringan.
"Hanya itu, Gus?" Tanya Kang Zuber, wajahnya langsung ceria mendengar hukuman ringan ini.
"Ada dua lagi, selama seminggu kalian aku tugaskan membersihkan rumahku dan juga pekarangan, serta mengisi bak mandi." Jawab Gus Nur dengan senyum yang tidak pernah hilang dari bibirnya.
"Mengisi Bak kamar mandi, Gus? Bukankah sudah ada, Sanyo?" Tanyaku heran.
"Sebagai hukuman, Sanyo harus dimatikan selama seminggu." Jawab Gus Nur, membuatku mengeluh.
"Tapi, bagaimana dengan timbanya Gus?" Tanya Kang Zuber heran, setahu kami sumur sudah ditutup papan dan tidak ada alat untuk menimba air.
"Kerekan dan ember bisa kamu ambil di dapur, tinggal kamu pasang Zuber. Hukuman kalian dimulai sekarang." Jawab Gus Nur,.
**********
"Kang, kok mereka malah disuruh meronda di gardu Utara dan juga membersihkan rumah kita selama seminggu, bukankah Kang Nur sendiri yang mencurigai mereka?" Tanya Ning Ishma pelan.
Aku yang sedang berada di samping rumah untuk membersihkan rumput rumput liar langsung berhenti dan merapatkan tubuhku ke dinding papan jati tepat di bawah jendela kamar mereka, berusaha menajamkan pendengaranku.
"Justru karena aku curiga mereka pelakunya, maka sengaja Akang suruh mereka meronda dekat rumah kita dan juga mengurus rumah kita." Jawab Gus tenang.
Mendengar hal itu membuatku terkejut, ternyata ini siasat Gus Nur, entah apa tujuannya.
"Maksud, akang? Aku tidak mengerti." Jawab Ning Ishma.
"Kalau mereka pelakunya, mereka tidak akan mengulangi perbuatannya mereka." Jawab Gus Nur, tenang.
"Akang aneh, aku tidak ngerti jalan pikiran Akang." Jawab Ning Ishma.
"Percayalah Ning, mereka melakukannya karena rasa ingin tahu mereka yang besar. Kenakalan yang biasa terjadi pada para santri, seperti juga Akang saat masih jadi santri." Jawab Gus Nur, dengan nada bijak.
"Maksud Akang, dulu juga Akang sering mengintip?" Tanya Ning Ishma kaget.
"Eh, itu tidak perlu dibahas." Jawab Gus Nur.
"Tidak ada rahasia di antara kita, itu janji Akang kepadaku. Ceritakan semuanya, tentang kenakalan Akang selagi masih mondok." Desak Ning Ishma, membuatku semakin merapatkan tubuhku di dinding.
"Ning, kamu tidak akan marah kalau akang cerita hal sebenarnya?" Tanya Gus Nur ragu.
"Janji, aku tidak akan marah." Jawab Ning Ishma.
"Ning, sejak kecil kita sudah dipersiapkan untuk mengikuti jejak orang tua kita. Menghafal Al-Qur'an, kitab Jurumiyyah dan banyak lagi kitab yang harus kita hafalkan sehingga kita lupa dengan masa muda kita, di saat anak anak seusia kita masih bermain, bersenang senang, bahkan mereka bebas melihat lawan jenis tanpa takut dengan ancaman hukuman. Kita terkurung dengan aturan agama yang dijejalkan oleh orang tua kita, sementara jauh di lubuk hati kita ingin seperti anak anak lainnya." Gus Nur berhenti bicara, tak ada sanggahan dari Ning Ishma.
"Ning, pernahkah kamu menatap wajah seorang pemuda tampan dengan cara terang terangan?" Tanya Gus Nur.
"Aku tidak berani, aku harus selalu menjaga mataku. Walau kadang aku ingin melakukannya, tapi..!" Jawab Ning Ishma pelan.
"Tapi kenapa, Ning?" Tanya Gus Nur, antusias.
"Entahlah, aku tidak pernah berani memandang wajah tampan. Yang kulakukan hanyalah membayangkan seorang pemuda tampan tersenyum padaku, hanya sebatas itu." Jawab Ning Ishma jujur.
"Ya, aku mengerti karena kita berasal dari tempat yang sama. Orang tua kita sama sama Kyai, menghafal Al-Qur'an dan kitab adalah keseharian kita. Itu sebabnya aku berontak, pindah dari satu pesantren ke pesantren lain." Jawab Gus Nur.
"Itu bukan pemberontakan, Akang pergi untuk memperdalam ilmu." Jawab Ning Ishma.
"Bukan seperti itu kejadian yang sebenarnya, Ning. Aku selalu berpindah pesantren agar tidak ada yang tahu bahwa aku adalah Gus Nurrahman putra K.H. Sahal yang terkenal, sehingga aku bisa melakukan apapun yang aku suka tanpa mengotori nama Abah. Kamu tahu apa yang kulakukan selama di pesantren yang jauh dari rumah?" Tanya Gus Nur membuatku semakin penasaran untuk mengetahui masa lalu Gus Nur.
"Aku bebas menggoda para santriwati yang kuangggap menarik, bahkan aku sering mengintip mereka saat mandi."
"Akang....!" Seru Ning Ishma terkejut mendengar pengakuan Gus Nur yang tidak disangkanya sama sekali.
"Kamu boleh marah, Ning. Aku hanya ingin mengakui dosa yang membuatku gelisah."
"Akang, aku tidak marah. Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, karena itulah Allah menyuruh kita bertaubat maka pintu Rahmat akan dibuka lebar." Jawab Ning Ishma, lembut.
"Mengintip dan menggoda wanita masih belum seberapa, ada dosa besar yang membuatku takut." Jawab Gus Nur membuat jantungku berdebar kencang, entah dosa sebesar apa yang pernah dilakukan Gus Nur.
"Akang melakukan zina dengan salah satu...?" Tanya Ning, suaranya tercekat.
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved