Bab 5 Part 5

by Dinda Tirani 10:21,Apr 26,2024
"Tadi Latifah nyari kamu, kamu disuruh ke gedung perpustakaan bawa kita." Jawab Kang Shomad, sepertinya dia tidak melihat kitab yang kupeluk erat.


"Iyya Kang, ini saya mau nganterin kitab ke gedung perpustakaan." Jawabku memamerkan kitab yang ada dalam pelukanku. Tanpa berpamitan, aku meninggalkan gardu ronda yang kalau siang berubah jadi tempat nongkrong para santri, sedangkan malam akan kami gunakan meronda.


"Assalammualaikum..!" Aku langsung masuk ke dalam gedung perpustakaan, seluruh buku koleksi perpustakaan sebagian besar adalah sumbangan para dermawan.


"Wa alaikum Sallam...!" Jawab Ning Sarah yang sedang duduk di depan meja tamu, tanpa mengangkat wajahnya sedang asik membaca buku besar berisi catatan.


"Ini kitabnya, sudah aku susun berdasarkan urutannya." Kataku jengkel, dia sama sekali mengabaikan kedatangan ku tanpa merasa bersalah. Aku adalah korban dari keangkuhan dan sifat egoisnya.


"Kamu?" Tanyanya mengangkat wajah, tatapan matanya masih tetap tajam seperti kemarin.


"Iyyyya..!" Jawabku ketus, bidadari ini hatinya terbuat dari apa sehingga tidak menunjukkan rasa bersalah.


"Kupikir Kang Shomad yang sudah menyusun kitab ini, karena kulihat kemarin Kang Shomad membaca kitab ini di gardu." Jawab Ning Sarah, bibirnya yang tipis mencibir mengejekku.


"Eh,,,,,, tugasku sudah selesai." Jawabku malu, ternyata Ning Sarah sudah tahu siapa Kang Shomad yang sudah menyusun susunan kitab pada tempatnya.

"Nanti dulu, ada tugas lain sebagai hukuman karena kamu tidak melaksanakan tugas dariku." Kata Ning Sarah menghentikan langkahku di ambang pintu, sontak aku berbalik menatapnya jengkel.


"Salahku, apa!" Seruku, kesabaranmu nyaris habis oleh sikap semena mena Ning Sarah. Aku ingin sedikit pujian karena sudah melakukan apa yang diinginkannya, hanya sedikit apa itu salah?


"Hmmm, sepertinya kamu belum bisa mengendalikan dirimu. Seharusnya kamu belajar kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali." Jawab Ning Sarah menohok ulu hatiku, selama ini aku hanya tahu dan mendengarkan para Kyai membacakan kitab Bidayatul Hidayah, tapi aku belum pernah membacanya langsung dari kitabnya.


"Maaf Ning, tugas apa lagi yang harus aku lakukan?" Tanyaku mulai melunak, aku harus lebih bersabar menghadapi tingkah laku gadis ini, seperti yang dilakukan oleh semua santri dan santriwati di tempat ini. Dalam tradisi pesantren tradisional, kepatuhan pada Kyai dan anak keturunannya adalah mutlak dan dianggap sebagai ngalap barokah. Lagi pula, berdekatan dengan Ning Sarah juga menjadi harapanku, kenapa aku malah jengkel karena perintahnya yang sedikit menyinggung harga diriku sebagai anak tuan tanah di desaku.


"Ya sudah kamu kembali, nanti aku SMS tugas apa yang harus kamu kerjakan." Kata Ning Sarah membuatku bingung, ternyata dugaanku tepat. Ning Sarah punya nomer hpku, tanpa sadar aku tersenyum senang.


***********


"Kang, malam ini giliran kita ronda." Kata Kang Zuber mengingatkanku yang sedang rebahan di kasur lantai tepat di samping Kang Shomad yang sudah terlelap.


"Iya, Kang." Jawabku beranjak duduk, jam dinding sudah menunjukkan pukul 22:00.


"Yuk, kita ke gardu sebelah utara.!" Ajak Kang Zuber, ada lima gardu di pondok pesantren kami. Setiap gardu dijaga oleh empat orang santri, dan gardu ke lima berada tepat di tengah tengah berfungsi sebagai markas komando.


"Kok gardu Utara?" Tanyaku heran, seharusnya Kang Zuber mengisi gardu tengah sebagai pemimpin ronda malam ini.


"Sudah jangan banyak tanya, aku sudah minta Kang Amar menggantikannya." Jawab Kang Zuber.


"Iyyyya Kang, saya ikut aja." Jawabku, tidak peduli aku akan menempati pos yang mana.


Hpku, tanganku meraba celana pendek yang tertutup kain sarung yang kupakai. Aku menarik nafas lega, sekaligus kecewa karena tidak ada SMS dari Ning Sarah yang akan memberiku tugas lanjutan. Aku terlalu banyak berharap, bisa saja Ning Sarah hanya membuat sebuah lelucon untuk mempermainkan hatiku.


"Kita di gardu Utara hanya berdua," kata Kang Zuber membuyarkan lamunanku.


"Bukannya berempat, Kang?" Tanyaku heran.


"Berdua, aku mau mengajakmu ngintip. Eh, tapi ini rahasia kalau kamu berani bicara ke orang lain, kamu akan merasakan bogem mentah ku." Kata Kang Zuber penuh ancaman, tangannya terkepal memamerkan tinjunya yang besar dan sudah sangat terlatih.


"Ngintip siapa, Kang?" Tanyaku antusias, masalah intip mengintip adalah hobiku di pesantren yang lama, sehingga aku dianggap sebagai santri paling nakal.


"Janji, kamu akan merahasiakan ini?" Tanya Kang Zuber dengan tangan masih terkepal penuh ancaman.


"Aku sudah biasa ngintip santriwati di pesantren ku yang lama, jadi Kang Zuber tidak perlu khawatir." Jawabku sambil meraba kantong celana saat merasakan getaran samar di hpku, aku mengambil hp untuk melihat siapa yang SMS atau mungkin juga telpon. Aku menatap kecewa, tidak ada SMS apalagi telpon. Ning Sarah hanya sedang mempermainkan perasaanku saja.


"Kita ngintip Gus Nur." Jawab Kang Zuber membuatku heran, untuk apa mengintip lelaki yang sama sama punya pedang, jangan jangan Kang Zuber punya kelainan? Pikiran itu membuat tubuhku merinding ngeri, bagaiman kalau sampai aku diperkosa Kang Zuber?


"Gus Nur pengantin baru, lagi hot hotnya. Apa lagi istrinya Ning Ishma kecantikannya tidak kalah oleh Ning Sarah." Kata Kang Zuber menjelaskan tujuannya membuatku menarik nafas lega, dia ternyata normal seperti aku.


"Kang, apa nggak kualat kita ngintip Gus Nur?" Tanyaku ngeri, Gus Nur adalah salah satu Kyai di pondok pesantren.


"Sssttt..!" Kang Zuber menaruh jari telunjuknya di bibir memberiku isyarat untuk diam, rumah Gus Nur hanya beberapa meter di hadapan kami. Di belakang rumahnya ada gardu utara, akhirnya aku mengerti kenapa Kang Zuber ingin menempati gardu Utara hanya berdua denganku.


Perlahan aku mengikuti Kang Zuber mendekati salah satu jendela, sepertinya itu jendela kamar Gus Nur dan Ning Ishma. Aku baru dua Minggu tinggal di sini, jadi aku tidak begitu mengenal Gus maupun Ning Ishma. Tapi dari gelar keduanya sudah bisa dipastikan mereka adalah keturunan Kyai menurut tradisi NU.


“Sampean lama amat, aku sudah menunggu dari tadi. Sebel aku...!" Gerutu manja seorang wanita bersuara merdu terdengar jelas dari balik dinding kayu jati, suaranya saja mampu membuatku menahan nafas. Suara wanita adalah bagian syahwat yang mampu membangkitkan birahi setiap orang yang mendengarnya.


"Iyya, Ning. Aku dari masjid seperti biasa." Jawab Gus Nur gugup.


“Jenengan dari masjid, Gus? Kita pengantin baru, ada kewajiban lain yang harus jenengan lakukan bukan hanya mengejar amalan Sunnah." Kata Ning Ishma jengkel, sayang aku hanya bisa mendengar percakapan mereka tanpa bisa melihat mereka.


Aku menatap Kang Zuber yang menempelkan telinganya di dinding kayu jati tebal, padahal suara mereka terdengar jelas tanpa perlu menempelkan telinga seperti yang dilakukannya. Kupikir Kang Zuber akan mencari celah mengintip, ternyata yang dilakukannya hanya menguping. Membosankan, kalau hanya ini yang dilakukannya.


Aku menggerakkan tubuhku, mengusir nyamuk yang berebutan menjamah tubuhku. Kang Zuber sama sekali tidak terganggu dengan serangan nyamuk, dia fokus mendengar suara di balik dinding sambil membayangkan adegan demi adegan mesum yang sebentar lagi akan terjadi.


“Iya sayang, maafkan aku. Ayo kita mulai...!" Seru Gus Nur, suaranya terdengar gugup dan dipaksakan. Berbeda dengan nada suara Ning Ishma yang lepas, mengutarakan semua yang dipikirkannya, tanpa beban. Dua pribadi yang bertolak belakang.


Kulihat Kang Zuber yang gelisah, tangannya meraba selangkangannya. Sekuat tenaga aku menahan tawa melihat kelakuan Kang Zuber yang menurutku lucu. Padahal dia tidak bisa melihat adegan yang sedang terjadi di dalam kamar.


“Iya cepetan.” jawab Ning Ishma ketus, perlahan aku mulai merasakan keasyikan tersendiri mendengar percakapan Gus Nur dan Ning Ishma, imajinasi ku berusaha merangkai adegan yang sedang terjadi, sama seperti aku mendengar sandiwara di radio.


"Buka bajunya, Ning..!" Seru Gus Nur gugup, padahal yang dihadapinya adalah istrinya.


"Kenapa aku dulu yang baru buka baju?" Tanya Ning Ishma, membuatku menahan tawa geli. Ke dua pasangan suami istri wmasih terlalu hijau, belum pernah terkontaminasi oleh film filmporno yang diam diam sering aku tonton dengan teman teman santrinya di cirebon. Kami menontonnya di salah satu rumah penduduk yang memungut bayaran per santri 5.000 untuk setiap keping DVD yang kami tonton.


“Eh, jadi gimana Ning?" Tanya Gus Nur terdengar lucu, dan aku merasa terhibur dengan percakapan mereka yang kaku. Padahal mereka sudah menikah hampir satu bulan, tapi kecanggungan mereka masih belum mencair.


"Bukain bajuku, Sayang...!" Tajuk Ning Ishma dengan kemanjaan yang menurutku dibuat buat.


"Iya, Ning...!" Jawab Gus Nur, lalu hening. Mataku terpejam membayangkan tangan gemetar Gus membuka helai demi helai pakaian istrinya, nafasku memburu membayangkan aku yang sedang melakukannya, membelai kulitnya yang halus.


"Kok nggak ada suaranya?" Bisik Kang Zuber menepuk pundaknya, membuyarkan konsentrasi ku saja.


Aku hanya mengangguk pelan, suara sekecil apapun bisa terdengar oleh mereka yang ada di dalam kamar. Apakah Kang Zuber tidak tahu itu?


"Sudah, Ning." Suara Gus Nur membuat kami kembali berkonsentrasi, Kang Zuber semakin menempelkan telinganya agar tidak ada suara yang terlewat olehnya.


""Gussss, masa harus terus diajarin kalau adik sudah telanjang seperti ini?" Tanya Ning Ishma jengkel, kenapa harus dia yang memegang kendali.


"Iyyyya...!" Seru Gus Nur panjang.


"Apanya yang, Iyya?" Tanya Ning Ishma setelah beberapa saat terdiam dan sepertinya tidak ada yang terjadi di dalam sana.


"Iya, Aku cium pipi kamu ya?" Tanya Gus Nur hampir membuatku tertawa terbahak bahak, kenapa harus meminta ijin pada istrinya sendiri.


"Cium aja, kenapa harus pipi? Kenapa bukan, bibir?" Tanya Ning Ishma ketus.


"Kalau begitu, aku cium bibir kamu ya?" Kembali Gus Nur bertanya hal yang tidak perlu ditanyakan olehnya, kelakuannya seperti remaja tanggung yang baru pertama kali berdekatan dengan seorang wanita.


Tiba tiba aku dikejutkan dengan suara dering hp tanda SMS masuk, suaranya yang nyaring memecahkan keheningan malam.


"Siapa itu?" Tegur Gus Nur membuatku dan Kang Zuber yang sedang menguping sangat terkejut, refleks kami berlari meninggalkan rumah Gus Nur sebelum dia mengetahui siapa yang sedang menguping. Kami berlari sejauh yang kami bisa, mencari tempat teraman.


Sialnya aku yang ketakutan dan belum begitu mengenal daerah ini, mengambil jalan yang salah. Aku terpisah dari Kang Zuber yang berlari mendahuluiku.


Bersambung.....

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

327