Bab 4 Part 4
by Dinda Tirani
10:21,Apr 26,2024
"Saya belum sempat menyusun Kitab, itu. Kamu lihat sendiri, saya sibuk." Jawabku berusaha acuh mengabaikan tatapan matanya yang tajam menusuk relung hatiku, tidak bisakah matamu memandangku lembut sehingga keindahannya akan memadamkan bintang bintang di langit.
"Kapan?" Tanya Ning Sarah ketus, mengingatkan ku dengan ke Nyai Aisyah tidak mau mengakui kesalahannya. Mereka sama, sama sama merasa benar.
"Besok aku berikan ke perpustakaan, Insya Allah." Jawabku cepat berusaha menghindar dari tekanan yang diberikan Ning Sarah, semoga aku bisa menemukan kitab kuning yang hilang entah ke mana.
Ning Sarah menggeser tubuhnya ke samping saat aku berjalan seolah olah akan menabraknya, gertakaanku cukup berhasil membuatku tersenyum merasa menang. Ya, untuk sementara aku bisa mengalahkan gadis angkuh anak Abah Yai Nafi', hanya untuk saat ini.
"Besok ktab itu harus sudah dikembalikan ke perpustakaan." Kata Ning Sarah sebelum beranjak masuk menemui kedua orang tuanya yang sedang bercengkrama mesra.
"Itu bukan tanggung jawabmu, kenapa harus aku yang mengambil alih semuanya?" Gerutuku dalam hati, aku tidak bisa menolak keinginan Ning Sarah putri tunggal Abah Yai Nafi'dan Ibu Nyai Aisyah.
****************
"Ini kitabnya, Kang?" Tanya Kang Shomad setibanya aku di kamar, dia menunjukkan kitab yang sudah kembali pada tempat aku menaruhnya.
"Bukan, eh Iyya..!" Jawabku tidak bisa menyembunyikan perasaan senang, Kitab kuning yang sempat hilang sudah kembali pada tempatnya.
"Maaf, aku tadi baca baca, kebetulan kitab itu yang sedang aku cari. Tapi kenapa isinya berantakan?" Tanya Kang Shomad.
"Sebenarnya ini bukan milikku, tapi milik Ning Sarah." Lalu aku mulai menceritakan kejadian yang kualami ke Kang Shomad tanpa ada satupun yang dikurangi maupun kutambah sebagai penyedap cerita.
"Oh begitu, memang Ning Sarah sifatnya seperti itu, semua santri sudah hafal. Jangan hawatir, kitab kuning itu sudah aku susun sesuai dengan urutannya." Kata Shomad membuatku menarik nafas lega, semua masalahku sudah teratasi. Barokah dari para Kyai yang menempel padaku.
"Terimakasih Kang." Kataku tulus, wajah ceria Ning Sarah membayang di wajahku saat aku datang memberikan kitab yang tersusun rapi.
Perlahan aku merebahkan tubuh di kasur lantai di samping Kang Shomad yang sudah memejamkan matanya, persiapan untuk melakukan ibadah malam menjelang sholat subuh. Rutinitas yang awalnya terasa berat, kini terasa ringan karena aku sudah terbiasa melakukannya. Mataku terpejam, membiarkan tubuhku beristirahat setelah seharian sibuk menyiapkan jamuan untuk tamu Abah Yai Nafi' yang tidak berhenti datang silih berganti.
"Assalammualaikum..!" Suara lembut membuyarkan lamunanku, kembali suara itu terdengar setelah tidak ada yang menyahuti salamnya.
"Wa 'alaikum sallam." Jawabku terpaksa setelah melihat tidak ada orang di kamarku, ke mana santri lain yang tadi kulihat tidur berdempetan?
Setengah mengantuk aku bangkit berdiri, tubuhku menggeliat untuk mengusir hawa kantuk yang membuat mataku sulit terbuka. Lunglai aku melangkah membuka pintu kamar khusus para santri, siapa yang datang? Samar samar aku berusaha mengingat suaranya yang terasa asing namun sempat membekas di hatiku.
"Mana kitab yang kau buat, berantakan?" Tanya Ning Sarah ketus begitu pintu terbuka, tangannya berkacak pinggang membuat siluet indah pada pinggang yang ramping.
"Eh, sudah selesai..!" Jawabku gugup melihatnya berdiri di hadapanku, senyum yang diharapkan di bibirnya tak kunjung kulihat.
"Mana?" Tanyanya ketus, tidak sabar melihatku hanya berdiri mematung dia mendorong dadaku hingga membuka jalannya masuk ke dalam kamar santri.
"Jangan..!" Cegahku terlambat, dia mengambil kitab yang terletak di lemari pakaianku dan memeriksa urutannya dengan cepat.
"Kamu tahu, kitab apa ini dan fungsinya?" Tanya Ning Sarah menatapku dengan pandangan yang melecehkan, seakan aku anak kemarin sore yang tidak menahu kitab apa yang sedang dipegangnya.
"Kitab At-Taqrib, sedangkan Kitab Fathul Qorib, Tausyaikh, Fathul Mu’in, dan semuanya itu syarah atau penjelasan dari At-Taqrib." Jawabku cepat, semuanya sudah aku pelajari selama empat tahun di pesantren ku dulu.
"Siapa pengarangnya?" Tanya Ning Sarah, dia sengaja ingin menonjolkan keunggulan ilmunya melebihi aku.
"Al-Qodhi Abu Syuja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Ashfahaniy, kitab fiqh merupakan hasil turunan dari Al-Quran dan Al-Hadist setelah melalui berbagai paduan dalam ushul fiqh." Jawabku seperti sedang menghadapi ujian lisan yang sering aku terima dari para guru guruku di pesantren.
"Lalu, apa fungsi kitab Kitab Fathul Qorib, Tausyaikh, Fathul Mu’in.?" Tanya Ning Sarah, dia terus mendesaknya dengan pertanyaan demi pertanyaan yang membuatku jengkel.
"Kan sudah aku jelaskan tadi, Kitab Fathul Qorib, Tausyaikh, Fathul Mu’in itu syarah atau penjelasan dari At-Taqrib." Jawabku ketus.
"Kang, bangun sudah jam tiga..!" Seru Shomad mengundang guncang tubuhku dengan keras membuatku terkejut.
"Ning Sarah?" Tanyaku heran karena tidak melihat Ning Sarah, di mana gadis cantik itu dengan segala keangkuhannya?
"Kamu mimpiin Ning Sarah?" Tanya Kang Shomad tertawa geli melihatku celingukan mencari Ning Sarah, hanya ada aku dan Kang Shomad, yang lain entah di mana.
"Iya, iyya. Dia menanyakan kitab Kitab At-Taqrib, Kitab Fathul Qorib, Tausyaikh, Fathul Mu’in." Jawabku malu sudah memberi tahukan mimpiku pada Kang Shomad.
"Ya sudah, hampir semua santri di sini memimpikan Ning Sarah. Termasuk aku, hahahaha..!" Jawab Kang Shomad meninggalkanku dengan segala kebingungan yang belum juga sirna.
Pertama aku melihat dan mengenal Ning Sarah, aku langsung memimpikannya. Entah apa yang terjadi setelah aku semakin mengenalnya, hanya Allah yang tahu kehidupanku yang akan datang di pesantren ini. Apa yang akan terjadi, terjadilah. Biar semuanya diserahkan kepadaNya dalam sujud shalat malam menjelang subuh.
**********
Setelah membersihkan ruang tamu dan dapur bersama Kang Shomad, aku kembali ke kamar tempatku tinggal bersama santri lain. Kitab kuning yang berhasil disusun oleh Kang Shomad masih tergeletak di atas lemari pakaianku, nanti saja aku kembalikan ke perpustakaan. Aku ingin beristirahat sejenak setelah tenagaku terkuras hari ini, jadi saatnya memejamkan mata sejenak. Nanti sore aku akan mengembalikan kitab kuning yang bukan menjadi tanggung jawabku, seharusnya ini tanggung jawab Ning Sarah bukannya malah melemparkan tanggung jawabnya padaku.
Kembali wajah Ning Sarah membayang jelas di mataku, merampas kantuk yang sempat hinggap di mataku. Entah apa yang kualami dan kurasakan, terlalu dini kalau aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku bukan lagi remaja tanggung yang mudah jatuh cinta. Sudah jam satu siang, niatku tidur siang sirna.
"Kang Udin, kita ke gardu yuk..!" Ajak Kanng Shomad membuyarkan lamunanku.
"Aku mau istirahat, Kang." Tak kuhiraukan bujukan Kang Shomad duduk di atas gardu dekat pohon sawo sambil menikmati camilan dan gorengan sisa jamuan para kyai tadi.
Ponsel mirip batu bata berdenting membuyarkan lamunanku, inilah satu satunya ponsel yang bisa diterima di tempat ini. Ponsel pintar atau smartphone dengan segala macam kecanggihannya dilarang digunakan oleh para santri dan santriwati, menurut Abah Yai Nafi'ponsel pintar akan menyita perhatian kami dari ibadah dan memperdalam ilmu agama.. Dengan malas
kupencetl tomboltengah, lalu kutempelkan di telinga kanan.
“Assalamuaikum,” ucapku dengan suara kubuat mengantuk, nomer yang menelponnya tidak tercantum di kontak hp.
“Wa-wa’alaikumsalam.” Suara lembut dan tegas seorang gadis di seberang membuat mataku langsung terbuka dan mendadak terang seperti lampu Philips seratus watt. Siapa yang menelponnya, sepertinya aku belum pernah mengenal suaranya.
“Kang Baharuddin?.” aku berusaha mengingat suara wanita yang sedang menelpon, gagal.
“I-iya. I-ini siapa?" Hatiku berdebar-debar kencang, belum pernah ada wanita yang terang terangan meneleponku. Sejak lulus SMP, aku hidup di lingkungan pesantren dan wanita yang aku kenal adalah para santriwati yang pemalu, tidak mungkin mereka meneleponku.
“Latifah.” jawab wanita itu, sepertinya aku belum pernah mengenal wanita bernama Latifah.
Tapi suara itu mirip suara Bu Nyai Aisyah, apa mungkin dia? Aku langsung terduduk bersandar di tembok dan mengembuskan napas pelan mengumpulkan kesadaranku yang masih belum sepenuhnya terkumpul.
“Latifa, siapa?”" tanyaku heran, mungkin aku lupa pernah mengenal dan memberinya nomer hpku, siapa wanita yang tidak tertarik pada cowok seganteng aku? Pikirku ge-er dan berusaha mengingat siapa wanita yang pernah memujiku ganteng, setelah berpikir keras ternyata tidak ada satupun wanita yang pernah memujiku ganteng.
“Kamu ditunggu Ning Sarah di perpustakaan, jangan lupa kitabnya kamu bawa.,” jawabnya menutup percakapan di telepon.
Deg, ternyata gadis bernama Latifah adalah suruhan Ning Sarah untuk mengingatkanku dengan kitab yang seharusnya sudah kukembalikan. Aku mengambil kitab, menatapnya ragu. Mengembalikan kitab ini artinya urusanku dengan Ning Sarah akan berakhir, kitab ini seperti media yang menghubungkan ku dengan Ning Sarah. Aku tidak rela hubungan ini berakhir begitu saja tanpa sebuah kesan, walau kesan yang kudapatkan dari Ning Sarah adalah wanita arogan yang mau menang sendiri tanpa peduli dengan perasaan orang lain.
Nanti dulu, masih ada media lain yang menghubungkan ku dengan Ning Sarah, dia tahu nomer hpku. Entah bagaimana caranya dia mendapatkan nomer hpku dan menyuruh Latifah menghubungiku, polanya sudah tergambar jelas dan mudah ditebak. Yup, kitab ini sudah tidak kubutuhkan lagi, justru kitab ini akan membuat hubunganku dengan Ning Sarah akan menjadi lebih erat jika kitab ini kukembalikan padanya.
Dengan semangat 45 aku berjalan cepat ke gedung perpustakaan, langkahku ringan sehingga mengabaikan teguran Kang Shomad yang sedang asik ngopi di gardu bersama beberapa orang santri lainnya.
"Kang Udin,...!" Teriak beberapa orang santri yang menemani Kang Shomad berbarengan memanggil namaku, teriakan mereka menyadarkan ku dari hayalan indah yang sempat melambung tinggi. Pantas Fosil melarang orang panjang angan-angan karena akan membuat kita mabuk dan mengabaikan keadaan sekeliling kita.
"Eh Iyya, Kang. Ada apa?" Tanyaku berusaha menutupi kecanggungan ku.
Bersambung
"Kapan?" Tanya Ning Sarah ketus, mengingatkan ku dengan ke Nyai Aisyah tidak mau mengakui kesalahannya. Mereka sama, sama sama merasa benar.
"Besok aku berikan ke perpustakaan, Insya Allah." Jawabku cepat berusaha menghindar dari tekanan yang diberikan Ning Sarah, semoga aku bisa menemukan kitab kuning yang hilang entah ke mana.
Ning Sarah menggeser tubuhnya ke samping saat aku berjalan seolah olah akan menabraknya, gertakaanku cukup berhasil membuatku tersenyum merasa menang. Ya, untuk sementara aku bisa mengalahkan gadis angkuh anak Abah Yai Nafi', hanya untuk saat ini.
"Besok ktab itu harus sudah dikembalikan ke perpustakaan." Kata Ning Sarah sebelum beranjak masuk menemui kedua orang tuanya yang sedang bercengkrama mesra.
"Itu bukan tanggung jawabmu, kenapa harus aku yang mengambil alih semuanya?" Gerutuku dalam hati, aku tidak bisa menolak keinginan Ning Sarah putri tunggal Abah Yai Nafi'dan Ibu Nyai Aisyah.
****************
"Ini kitabnya, Kang?" Tanya Kang Shomad setibanya aku di kamar, dia menunjukkan kitab yang sudah kembali pada tempat aku menaruhnya.
"Bukan, eh Iyya..!" Jawabku tidak bisa menyembunyikan perasaan senang, Kitab kuning yang sempat hilang sudah kembali pada tempatnya.
"Maaf, aku tadi baca baca, kebetulan kitab itu yang sedang aku cari. Tapi kenapa isinya berantakan?" Tanya Kang Shomad.
"Sebenarnya ini bukan milikku, tapi milik Ning Sarah." Lalu aku mulai menceritakan kejadian yang kualami ke Kang Shomad tanpa ada satupun yang dikurangi maupun kutambah sebagai penyedap cerita.
"Oh begitu, memang Ning Sarah sifatnya seperti itu, semua santri sudah hafal. Jangan hawatir, kitab kuning itu sudah aku susun sesuai dengan urutannya." Kata Shomad membuatku menarik nafas lega, semua masalahku sudah teratasi. Barokah dari para Kyai yang menempel padaku.
"Terimakasih Kang." Kataku tulus, wajah ceria Ning Sarah membayang di wajahku saat aku datang memberikan kitab yang tersusun rapi.
Perlahan aku merebahkan tubuh di kasur lantai di samping Kang Shomad yang sudah memejamkan matanya, persiapan untuk melakukan ibadah malam menjelang sholat subuh. Rutinitas yang awalnya terasa berat, kini terasa ringan karena aku sudah terbiasa melakukannya. Mataku terpejam, membiarkan tubuhku beristirahat setelah seharian sibuk menyiapkan jamuan untuk tamu Abah Yai Nafi' yang tidak berhenti datang silih berganti.
"Assalammualaikum..!" Suara lembut membuyarkan lamunanku, kembali suara itu terdengar setelah tidak ada yang menyahuti salamnya.
"Wa 'alaikum sallam." Jawabku terpaksa setelah melihat tidak ada orang di kamarku, ke mana santri lain yang tadi kulihat tidur berdempetan?
Setengah mengantuk aku bangkit berdiri, tubuhku menggeliat untuk mengusir hawa kantuk yang membuat mataku sulit terbuka. Lunglai aku melangkah membuka pintu kamar khusus para santri, siapa yang datang? Samar samar aku berusaha mengingat suaranya yang terasa asing namun sempat membekas di hatiku.
"Mana kitab yang kau buat, berantakan?" Tanya Ning Sarah ketus begitu pintu terbuka, tangannya berkacak pinggang membuat siluet indah pada pinggang yang ramping.
"Eh, sudah selesai..!" Jawabku gugup melihatnya berdiri di hadapanku, senyum yang diharapkan di bibirnya tak kunjung kulihat.
"Mana?" Tanyanya ketus, tidak sabar melihatku hanya berdiri mematung dia mendorong dadaku hingga membuka jalannya masuk ke dalam kamar santri.
"Jangan..!" Cegahku terlambat, dia mengambil kitab yang terletak di lemari pakaianku dan memeriksa urutannya dengan cepat.
"Kamu tahu, kitab apa ini dan fungsinya?" Tanya Ning Sarah menatapku dengan pandangan yang melecehkan, seakan aku anak kemarin sore yang tidak menahu kitab apa yang sedang dipegangnya.
"Kitab At-Taqrib, sedangkan Kitab Fathul Qorib, Tausyaikh, Fathul Mu’in, dan semuanya itu syarah atau penjelasan dari At-Taqrib." Jawabku cepat, semuanya sudah aku pelajari selama empat tahun di pesantren ku dulu.
"Siapa pengarangnya?" Tanya Ning Sarah, dia sengaja ingin menonjolkan keunggulan ilmunya melebihi aku.
"Al-Qodhi Abu Syuja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Ashfahaniy, kitab fiqh merupakan hasil turunan dari Al-Quran dan Al-Hadist setelah melalui berbagai paduan dalam ushul fiqh." Jawabku seperti sedang menghadapi ujian lisan yang sering aku terima dari para guru guruku di pesantren.
"Lalu, apa fungsi kitab Kitab Fathul Qorib, Tausyaikh, Fathul Mu’in.?" Tanya Ning Sarah, dia terus mendesaknya dengan pertanyaan demi pertanyaan yang membuatku jengkel.
"Kan sudah aku jelaskan tadi, Kitab Fathul Qorib, Tausyaikh, Fathul Mu’in itu syarah atau penjelasan dari At-Taqrib." Jawabku ketus.
"Kang, bangun sudah jam tiga..!" Seru Shomad mengundang guncang tubuhku dengan keras membuatku terkejut.
"Ning Sarah?" Tanyaku heran karena tidak melihat Ning Sarah, di mana gadis cantik itu dengan segala keangkuhannya?
"Kamu mimpiin Ning Sarah?" Tanya Kang Shomad tertawa geli melihatku celingukan mencari Ning Sarah, hanya ada aku dan Kang Shomad, yang lain entah di mana.
"Iya, iyya. Dia menanyakan kitab Kitab At-Taqrib, Kitab Fathul Qorib, Tausyaikh, Fathul Mu’in." Jawabku malu sudah memberi tahukan mimpiku pada Kang Shomad.
"Ya sudah, hampir semua santri di sini memimpikan Ning Sarah. Termasuk aku, hahahaha..!" Jawab Kang Shomad meninggalkanku dengan segala kebingungan yang belum juga sirna.
Pertama aku melihat dan mengenal Ning Sarah, aku langsung memimpikannya. Entah apa yang terjadi setelah aku semakin mengenalnya, hanya Allah yang tahu kehidupanku yang akan datang di pesantren ini. Apa yang akan terjadi, terjadilah. Biar semuanya diserahkan kepadaNya dalam sujud shalat malam menjelang subuh.
**********
Setelah membersihkan ruang tamu dan dapur bersama Kang Shomad, aku kembali ke kamar tempatku tinggal bersama santri lain. Kitab kuning yang berhasil disusun oleh Kang Shomad masih tergeletak di atas lemari pakaianku, nanti saja aku kembalikan ke perpustakaan. Aku ingin beristirahat sejenak setelah tenagaku terkuras hari ini, jadi saatnya memejamkan mata sejenak. Nanti sore aku akan mengembalikan kitab kuning yang bukan menjadi tanggung jawabku, seharusnya ini tanggung jawab Ning Sarah bukannya malah melemparkan tanggung jawabnya padaku.
Kembali wajah Ning Sarah membayang jelas di mataku, merampas kantuk yang sempat hinggap di mataku. Entah apa yang kualami dan kurasakan, terlalu dini kalau aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku bukan lagi remaja tanggung yang mudah jatuh cinta. Sudah jam satu siang, niatku tidur siang sirna.
"Kang Udin, kita ke gardu yuk..!" Ajak Kanng Shomad membuyarkan lamunanku.
"Aku mau istirahat, Kang." Tak kuhiraukan bujukan Kang Shomad duduk di atas gardu dekat pohon sawo sambil menikmati camilan dan gorengan sisa jamuan para kyai tadi.
Ponsel mirip batu bata berdenting membuyarkan lamunanku, inilah satu satunya ponsel yang bisa diterima di tempat ini. Ponsel pintar atau smartphone dengan segala macam kecanggihannya dilarang digunakan oleh para santri dan santriwati, menurut Abah Yai Nafi'ponsel pintar akan menyita perhatian kami dari ibadah dan memperdalam ilmu agama.. Dengan malas
kupencetl tomboltengah, lalu kutempelkan di telinga kanan.
“Assalamuaikum,” ucapku dengan suara kubuat mengantuk, nomer yang menelponnya tidak tercantum di kontak hp.
“Wa-wa’alaikumsalam.” Suara lembut dan tegas seorang gadis di seberang membuat mataku langsung terbuka dan mendadak terang seperti lampu Philips seratus watt. Siapa yang menelponnya, sepertinya aku belum pernah mengenal suaranya.
“Kang Baharuddin?.” aku berusaha mengingat suara wanita yang sedang menelpon, gagal.
“I-iya. I-ini siapa?" Hatiku berdebar-debar kencang, belum pernah ada wanita yang terang terangan meneleponku. Sejak lulus SMP, aku hidup di lingkungan pesantren dan wanita yang aku kenal adalah para santriwati yang pemalu, tidak mungkin mereka meneleponku.
“Latifah.” jawab wanita itu, sepertinya aku belum pernah mengenal wanita bernama Latifah.
Tapi suara itu mirip suara Bu Nyai Aisyah, apa mungkin dia? Aku langsung terduduk bersandar di tembok dan mengembuskan napas pelan mengumpulkan kesadaranku yang masih belum sepenuhnya terkumpul.
“Latifa, siapa?”" tanyaku heran, mungkin aku lupa pernah mengenal dan memberinya nomer hpku, siapa wanita yang tidak tertarik pada cowok seganteng aku? Pikirku ge-er dan berusaha mengingat siapa wanita yang pernah memujiku ganteng, setelah berpikir keras ternyata tidak ada satupun wanita yang pernah memujiku ganteng.
“Kamu ditunggu Ning Sarah di perpustakaan, jangan lupa kitabnya kamu bawa.,” jawabnya menutup percakapan di telepon.
Deg, ternyata gadis bernama Latifah adalah suruhan Ning Sarah untuk mengingatkanku dengan kitab yang seharusnya sudah kukembalikan. Aku mengambil kitab, menatapnya ragu. Mengembalikan kitab ini artinya urusanku dengan Ning Sarah akan berakhir, kitab ini seperti media yang menghubungkan ku dengan Ning Sarah. Aku tidak rela hubungan ini berakhir begitu saja tanpa sebuah kesan, walau kesan yang kudapatkan dari Ning Sarah adalah wanita arogan yang mau menang sendiri tanpa peduli dengan perasaan orang lain.
Nanti dulu, masih ada media lain yang menghubungkan ku dengan Ning Sarah, dia tahu nomer hpku. Entah bagaimana caranya dia mendapatkan nomer hpku dan menyuruh Latifah menghubungiku, polanya sudah tergambar jelas dan mudah ditebak. Yup, kitab ini sudah tidak kubutuhkan lagi, justru kitab ini akan membuat hubunganku dengan Ning Sarah akan menjadi lebih erat jika kitab ini kukembalikan padanya.
Dengan semangat 45 aku berjalan cepat ke gedung perpustakaan, langkahku ringan sehingga mengabaikan teguran Kang Shomad yang sedang asik ngopi di gardu bersama beberapa orang santri lainnya.
"Kang Udin,...!" Teriak beberapa orang santri yang menemani Kang Shomad berbarengan memanggil namaku, teriakan mereka menyadarkan ku dari hayalan indah yang sempat melambung tinggi. Pantas Fosil melarang orang panjang angan-angan karena akan membuat kita mabuk dan mengabaikan keadaan sekeliling kita.
"Eh Iyya, Kang. Ada apa?" Tanyaku berusaha menutupi kecanggungan ku.
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved