Bab 9 Part 9
by Dinda Tirani
21:04,May 08,2024
"Iyya, Ning." Jawaban Gus Nur membuatku sangat terkejut dan jauh dari dugaanku, Pria yang kuangggap mempunyai karomah, ternyata hanyalah manusia biasa yang bisa melakukan salah satu dosa besar.
Aku terdiam, seperti halnya Ning Ishma yang tidak mengeluarkan sepatah katapun. Apa yang kudengar sangat bertolak belakang dengan penampilannya, rasa hormatku sirna dalam sekejap.
"Kenapa itu bisa terjadi, Kang?" Tanya Ning Ishma membuatku takjub, wanita itu bisa mengendalikan diri setelan dikhianati pria yang dicintainya. Kata dikhianati sebenarnya tidak cocok, Gus Nur melakukannya sebelum menikah dengan Ning Ishma. Tak ada yang dikhianati di sini.
"Akkku, terperangkap dalam tipu daya syaitan yang terkutuk." Umpat Gus Nur lirih.
"Jangan menyalakan Syaitan, itu semua kembali kepada diri kita sendiri, Gus. Semua makhluk hanya menjalankan apa yang diyakininya benar, Syaitan menjalankan apa yang diyakininya, begitu juga kita harus menjalankan apa yang kita yakini benar " jawab Ning Ishma tenang, makna yang tersirat dari ucapannya begitu dalam menohok hatiku yang selalu menyalahkan syetan Setiap kali berbuat dosa sehingga lupa dengan esensi dosa itu diciptakan.
"Aku bersalah Ning, rasa bersalah yang terus menerus menghantuiku sehingga aku merasa pintu taubat sudah tertutup rapat. Kepercayaan dan harapan Abah dan Umi sudah kukhianati tanpa sepengetahuan mereka." Jawab Gus Nur, suaranya sangat memelas.
"Bagaimana hal itu terjadi, Gus? Ceritakan, mungkin itu akan bisa mengurangi beban mu." Ning Ishma bertanya lembut, berusaha menghibur suaminya.
"Akku....!" Perlahan Gus Nur mulai menceritakan semua kejadian yang terjadi saat dia bertualang dari satu pesantren ke pesantren lainnya hingga dia terjebak melakukan zina, aku mendengar semua pengakuan Gus Nur dengan seksama hingga tidak ada yang aku lewati.
"Itu sebabnya, Akang tidak pernah bisa menunaikan kewajiban sebagai suami. Setiap kali melihat tubuh polos Ning, Akang seperti melihat tubuh para wanita yang sudah akang zinahi." Gumam Gus Nur mengagetkan ku, ternyata dia belum pernah menggauli istrinya sendiri. Aku tidak habis pikir, rasa bersalah membuatnya melakukan dosa yang lain. Menurut kitab Qurrotul Uyun, hanya hukumnya, bagi orang yang membahayakan wanita karena tidak mampu melakukan senggama dan memberikan nafkah baik lahir maupun batin.
"Ya, Ning. Setiap kali melihatmu telanjang, aku merasa diriku terlalu kotor dan tidak pantas menyentuh tubuhmu yang suci. Birahiku lenyap dalam sekejap, kejantanan ku layu kehilangan tenaga " jawab Gus Nur, membuat suasana menjadi sunyi.
"Akang, sebegitu besar penyesalanmu atas semua yang pernah kau lakukan? Padahal, aku tidak sesuci seperti yang kau duga." Jawab Ning Ishma, lirih.
"Hukum aku, Ning. Hukum aku, asal jangan kau tinggalkan aku..!" Seru Gus Nur, suaranya begitu memelas membuat bulu kudukku berdiri, perlahan aku merasa iba dengan nasib yang dialami Gus Nur.
"Untuk apa aku harus menghukumu, Kang? Aku bukan hakim yang harus menjatuhkan vonis bersalah, Allah yang akan menghukum kita. Bukankah Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang .baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. Itulah sunatullah, hukum sebab dan akibat yang tidak bisa kita hindari.." Jawab Ning Ishma membuatku heran, kenapa, dia mengatakan hal itu? Apa maksudnya?
"Ma, maksud kamu Ning?" Tanya Gus Nur tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Aku menahan nafas ingin mendengar penjelasan dari Ning Ishma.
"Aku sama sepertimu, Kang. Berontak dari semua ajaran yang ditanamkan Abah dan Umi sejak kecil. Selulus SMA aku lebih memilih masuk Fakultas Tarbiyah dari pada harus meneruskan pendidikan di Pesantren dengan alasan, aku sudah menguasai ilmu alat sehingga aku bisa membaca kitab tanpa perlu bimbingan lagi. Kesombongan dan pemberontakan yang harus dibayar mahal. Aku terjerumus dalam.pergaulan yang menjijikkan." Apa yang kudengar dari Ning Ishma itu benar? Rasanya sulit kucerna, setelah pengakuan Gus Nur dan sekarang pengakuan Ning merobek kesadaranku.
"Ma...maksud Ning, apa?" Suara Gus Nur, begitu pilu.
"Sama sepertimu, Gus. Apa bedanya kita yang dipertemukan oleh keburukan yang kita miliki." Jawab Ning Ishma, lirih.
"Maksud, kamu berzina, maupun terperangkap dalam lendirnya syahwat..!" Gumam Gus Nur, entah apa yang dirasakan oleh hatinya saat ini. Inilah hukuman yang telah diterimanya, hukuman yang jauh lebih menyakitkan dari pada yang dibayangkan nya.
"Ya, aku yang biasa menutup diri dari pergaulan dunia luar, menghabiskan waktu dengan hafalan berbagai macam kitab tiba tiba dilepas di sebuah tempat asing yang bernama universitas. Bergaul dengan berbagai macam manusia yang mendewakan kebebasan, aku terperangkap di dalamnya dan larut dalam gejolak darah mudaku yang mengagungkan syahwat. Maafkan aku Kang, tidak cerita kepadamu." Kata Ning Ishma, meruntuhkan semua keyakinkanku tentang keturunan para Kyai yang terjaga dari perbuatan tercela.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, kita dipersatukan karena masa lalu kelam kita, kita dipersatukan untuk bertaubat dan meraih hidup yang lebih baik." Jawab Gus Nur, lirih.
"Setelah kamu tau masa laluku, apa kamu bisa menyentuhku?" Tanya Ning Ishma pelan.
Aku mendongak ke atas jendela saat mendengar gerakkan jendela, wajahku berubah menjadi pucat melihat Ning Ishma menatapku beberapa saat lalu menutup jendela kamar.
Tubuhku kaku tidak mampu kugerakkan, entah apa yang akan terjadi pada diriku. Aku hanya bisa pasrah menunggu panggilan Gus Nur, dia pasti tidak akan memaafkan kesalahanku lagi. Dia akan mengusirku pergi meninggalkan pesantren ini, dan aku terpaksa mencari pesantren baru. Aku menunggu sekian lama, tapi Gus Nur belum juga memanggilku.
"Ning, aku tidak bisa..!" Seru Gus Nur pilu, menyadarkan ku bahwa Ning Ishma tidak mengatakan keberadaan ku kepada Gus Nur.
"Kenapa, Kang? Apa sekarang Akang jijik melihat tubuhku?" Tanya Ning Ishma nada suaranya meninggi.
**********
"Kang, itukan tugasmu menimba air !" Seruku jengkel saat Kang Zuber menyuruhku menimba air.
"Aku disuruh Ning Ishma menemani Gus Nur ke Desa xxx, mengisi pengajian." Jawab Kang Zuber membuatku tidak berdaya. Mengisi bak mandi yang lebarnya 2 x 2, dengan ketinggian 1,5 meter bukan tugas yang menyenangkan, apa lagi kedalaman sumur mencapai 15 meter, bukanlah hal yang menyenangkan.
"Kenapa bukan nanti saja, sekarang sudah jam 8 malam." Jawabku berusaha mencari alasan agar terhindar dari tugas yang tidak menyenangkan ini.
"Kalau Ning Ishma mau ke kamar mandi dan air kosong, gimana? Bisa kualat, kamu." Jawab Kang Zuber meninggalkan ku begitu saja.
Kualat? Apa mungkin aku bisa kualat oleh orang yang mungkin lebih berdosa dari aku? Ning Ishma tidak sesuci seperti orang duga, dia seperti wanita kebanyakan yang tergoda oleh syahwatnya. Berbeda denganku, walau aku bukanlah keturunan Kyai, aku masih suci belum terjamah oleh nistanya zina. Ah, sudahlah. Saat ini aku sedang dihukum, aku harus melaksanakan hukuman sebagai rasa tanggung jawabku dan juga menunjukkan kepada mereka, aku lebih mulia.
Aku segera menuju ke sumur yang terletak di belakang, di antara rimbunan pohon pohon mangga yang tumbuh subur. Ternyata kamar mandi Gus Nur terpisah dari rumah, sekitar 10 meter dari pintu dapur. Mengingatkanku dengan kamar mandi jaman dulu, yang terpisah dari rumah.
"Kenapa kamu tadi nguping percakapan, kami?" Tanya sebuah suara membuatku terkejut sehingga melepaskan timba yang dipegang jatuh ke dasar sumur, menimbulkan bunyi yang terdengar cukup nyaring.
"Ning Ish..,.ma...!" Seru ku kaget, seperti melihat hantu yang berdiri di depanku.
"Kenapa? Apakah kamu akan menyebarkan aib kami?" Tanya Ning Ishma dingin, matanya menatapku tajam.
"Sayyyyya, tidak sengaja nguping." Jawabku menunduk gelisah, keberanianku jatuh ke dasar jurang terdalam.
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan setelah mengetahui semuanya?" Tanya Ning Ishma pelan, dia berdiri gelisah di hadapanku.
"Saya janji, ini akan tetap menjadi rahasia." Jawabku memberanikan diri menatap wajahnya yang terkena sinar bulan purnama, harus kuakui Ning Ishma kecantikannya tidak kalah oleh Ning Sarah.
"Apa omonganku bisa dipercaya?" Tanya Ning Ishma, dia berjalan pelan mendekati ku. Aku terpaku, bergerak mundur menjauhinya tapi tembok kamar mandi menghentikan langkahku.
"Percayalah, Ning." Jawabku gelisah, jarak kami begitu dekat sehingga aku bisa mencium keharuman yang terpancar dari Ning Ishma. Apa maksudnya mendekatiku di tempat yang sepi, dan mustahil terlihat oleh orang yang berlalu lalang.
"Kenapa kamu ketakutan seperti itu? Apakah aku menyeramkan?" Tanya Ning Ishma, aku tidak berani menatap wajahnya yang cantik.
Bersambung
Aku terdiam, seperti halnya Ning Ishma yang tidak mengeluarkan sepatah katapun. Apa yang kudengar sangat bertolak belakang dengan penampilannya, rasa hormatku sirna dalam sekejap.
"Kenapa itu bisa terjadi, Kang?" Tanya Ning Ishma membuatku takjub, wanita itu bisa mengendalikan diri setelan dikhianati pria yang dicintainya. Kata dikhianati sebenarnya tidak cocok, Gus Nur melakukannya sebelum menikah dengan Ning Ishma. Tak ada yang dikhianati di sini.
"Akkku, terperangkap dalam tipu daya syaitan yang terkutuk." Umpat Gus Nur lirih.
"Jangan menyalakan Syaitan, itu semua kembali kepada diri kita sendiri, Gus. Semua makhluk hanya menjalankan apa yang diyakininya benar, Syaitan menjalankan apa yang diyakininya, begitu juga kita harus menjalankan apa yang kita yakini benar " jawab Ning Ishma tenang, makna yang tersirat dari ucapannya begitu dalam menohok hatiku yang selalu menyalahkan syetan Setiap kali berbuat dosa sehingga lupa dengan esensi dosa itu diciptakan.
"Aku bersalah Ning, rasa bersalah yang terus menerus menghantuiku sehingga aku merasa pintu taubat sudah tertutup rapat. Kepercayaan dan harapan Abah dan Umi sudah kukhianati tanpa sepengetahuan mereka." Jawab Gus Nur, suaranya sangat memelas.
"Bagaimana hal itu terjadi, Gus? Ceritakan, mungkin itu akan bisa mengurangi beban mu." Ning Ishma bertanya lembut, berusaha menghibur suaminya.
"Akku....!" Perlahan Gus Nur mulai menceritakan semua kejadian yang terjadi saat dia bertualang dari satu pesantren ke pesantren lainnya hingga dia terjebak melakukan zina, aku mendengar semua pengakuan Gus Nur dengan seksama hingga tidak ada yang aku lewati.
"Itu sebabnya, Akang tidak pernah bisa menunaikan kewajiban sebagai suami. Setiap kali melihat tubuh polos Ning, Akang seperti melihat tubuh para wanita yang sudah akang zinahi." Gumam Gus Nur mengagetkan ku, ternyata dia belum pernah menggauli istrinya sendiri. Aku tidak habis pikir, rasa bersalah membuatnya melakukan dosa yang lain. Menurut kitab Qurrotul Uyun, hanya hukumnya, bagi orang yang membahayakan wanita karena tidak mampu melakukan senggama dan memberikan nafkah baik lahir maupun batin.
"Ya, Ning. Setiap kali melihatmu telanjang, aku merasa diriku terlalu kotor dan tidak pantas menyentuh tubuhmu yang suci. Birahiku lenyap dalam sekejap, kejantanan ku layu kehilangan tenaga " jawab Gus Nur, membuat suasana menjadi sunyi.
"Akang, sebegitu besar penyesalanmu atas semua yang pernah kau lakukan? Padahal, aku tidak sesuci seperti yang kau duga." Jawab Ning Ishma, lirih.
"Hukum aku, Ning. Hukum aku, asal jangan kau tinggalkan aku..!" Seru Gus Nur, suaranya begitu memelas membuat bulu kudukku berdiri, perlahan aku merasa iba dengan nasib yang dialami Gus Nur.
"Untuk apa aku harus menghukumu, Kang? Aku bukan hakim yang harus menjatuhkan vonis bersalah, Allah yang akan menghukum kita. Bukankah Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang .baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. Itulah sunatullah, hukum sebab dan akibat yang tidak bisa kita hindari.." Jawab Ning Ishma membuatku heran, kenapa, dia mengatakan hal itu? Apa maksudnya?
"Ma, maksud kamu Ning?" Tanya Gus Nur tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Aku menahan nafas ingin mendengar penjelasan dari Ning Ishma.
"Aku sama sepertimu, Kang. Berontak dari semua ajaran yang ditanamkan Abah dan Umi sejak kecil. Selulus SMA aku lebih memilih masuk Fakultas Tarbiyah dari pada harus meneruskan pendidikan di Pesantren dengan alasan, aku sudah menguasai ilmu alat sehingga aku bisa membaca kitab tanpa perlu bimbingan lagi. Kesombongan dan pemberontakan yang harus dibayar mahal. Aku terjerumus dalam.pergaulan yang menjijikkan." Apa yang kudengar dari Ning Ishma itu benar? Rasanya sulit kucerna, setelah pengakuan Gus Nur dan sekarang pengakuan Ning merobek kesadaranku.
"Ma...maksud Ning, apa?" Suara Gus Nur, begitu pilu.
"Sama sepertimu, Gus. Apa bedanya kita yang dipertemukan oleh keburukan yang kita miliki." Jawab Ning Ishma, lirih.
"Maksud, kamu berzina, maupun terperangkap dalam lendirnya syahwat..!" Gumam Gus Nur, entah apa yang dirasakan oleh hatinya saat ini. Inilah hukuman yang telah diterimanya, hukuman yang jauh lebih menyakitkan dari pada yang dibayangkan nya.
"Ya, aku yang biasa menutup diri dari pergaulan dunia luar, menghabiskan waktu dengan hafalan berbagai macam kitab tiba tiba dilepas di sebuah tempat asing yang bernama universitas. Bergaul dengan berbagai macam manusia yang mendewakan kebebasan, aku terperangkap di dalamnya dan larut dalam gejolak darah mudaku yang mengagungkan syahwat. Maafkan aku Kang, tidak cerita kepadamu." Kata Ning Ishma, meruntuhkan semua keyakinkanku tentang keturunan para Kyai yang terjaga dari perbuatan tercela.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, kita dipersatukan karena masa lalu kelam kita, kita dipersatukan untuk bertaubat dan meraih hidup yang lebih baik." Jawab Gus Nur, lirih.
"Setelah kamu tau masa laluku, apa kamu bisa menyentuhku?" Tanya Ning Ishma pelan.
Aku mendongak ke atas jendela saat mendengar gerakkan jendela, wajahku berubah menjadi pucat melihat Ning Ishma menatapku beberapa saat lalu menutup jendela kamar.
Tubuhku kaku tidak mampu kugerakkan, entah apa yang akan terjadi pada diriku. Aku hanya bisa pasrah menunggu panggilan Gus Nur, dia pasti tidak akan memaafkan kesalahanku lagi. Dia akan mengusirku pergi meninggalkan pesantren ini, dan aku terpaksa mencari pesantren baru. Aku menunggu sekian lama, tapi Gus Nur belum juga memanggilku.
"Ning, aku tidak bisa..!" Seru Gus Nur pilu, menyadarkan ku bahwa Ning Ishma tidak mengatakan keberadaan ku kepada Gus Nur.
"Kenapa, Kang? Apa sekarang Akang jijik melihat tubuhku?" Tanya Ning Ishma nada suaranya meninggi.
**********
"Kang, itukan tugasmu menimba air !" Seruku jengkel saat Kang Zuber menyuruhku menimba air.
"Aku disuruh Ning Ishma menemani Gus Nur ke Desa xxx, mengisi pengajian." Jawab Kang Zuber membuatku tidak berdaya. Mengisi bak mandi yang lebarnya 2 x 2, dengan ketinggian 1,5 meter bukan tugas yang menyenangkan, apa lagi kedalaman sumur mencapai 15 meter, bukanlah hal yang menyenangkan.
"Kenapa bukan nanti saja, sekarang sudah jam 8 malam." Jawabku berusaha mencari alasan agar terhindar dari tugas yang tidak menyenangkan ini.
"Kalau Ning Ishma mau ke kamar mandi dan air kosong, gimana? Bisa kualat, kamu." Jawab Kang Zuber meninggalkan ku begitu saja.
Kualat? Apa mungkin aku bisa kualat oleh orang yang mungkin lebih berdosa dari aku? Ning Ishma tidak sesuci seperti orang duga, dia seperti wanita kebanyakan yang tergoda oleh syahwatnya. Berbeda denganku, walau aku bukanlah keturunan Kyai, aku masih suci belum terjamah oleh nistanya zina. Ah, sudahlah. Saat ini aku sedang dihukum, aku harus melaksanakan hukuman sebagai rasa tanggung jawabku dan juga menunjukkan kepada mereka, aku lebih mulia.
Aku segera menuju ke sumur yang terletak di belakang, di antara rimbunan pohon pohon mangga yang tumbuh subur. Ternyata kamar mandi Gus Nur terpisah dari rumah, sekitar 10 meter dari pintu dapur. Mengingatkanku dengan kamar mandi jaman dulu, yang terpisah dari rumah.
"Kenapa kamu tadi nguping percakapan, kami?" Tanya sebuah suara membuatku terkejut sehingga melepaskan timba yang dipegang jatuh ke dasar sumur, menimbulkan bunyi yang terdengar cukup nyaring.
"Ning Ish..,.ma...!" Seru ku kaget, seperti melihat hantu yang berdiri di depanku.
"Kenapa? Apakah kamu akan menyebarkan aib kami?" Tanya Ning Ishma dingin, matanya menatapku tajam.
"Sayyyyya, tidak sengaja nguping." Jawabku menunduk gelisah, keberanianku jatuh ke dasar jurang terdalam.
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan setelah mengetahui semuanya?" Tanya Ning Ishma pelan, dia berdiri gelisah di hadapanku.
"Saya janji, ini akan tetap menjadi rahasia." Jawabku memberanikan diri menatap wajahnya yang terkena sinar bulan purnama, harus kuakui Ning Ishma kecantikannya tidak kalah oleh Ning Sarah.
"Apa omonganku bisa dipercaya?" Tanya Ning Ishma, dia berjalan pelan mendekati ku. Aku terpaku, bergerak mundur menjauhinya tapi tembok kamar mandi menghentikan langkahku.
"Percayalah, Ning." Jawabku gelisah, jarak kami begitu dekat sehingga aku bisa mencium keharuman yang terpancar dari Ning Ishma. Apa maksudnya mendekatiku di tempat yang sepi, dan mustahil terlihat oleh orang yang berlalu lalang.
"Kenapa kamu ketakutan seperti itu? Apakah aku menyeramkan?" Tanya Ning Ishma, aku tidak berani menatap wajahnya yang cantik.
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved