Bab 6 Part 6
by Dinda Tirani
20:59,May 08,2024
Aku berlari tanpa menghiraukan gerombolan semak yang menghadang di depanku, kakiku lincah meloncati ya seperti pendekar yang sudah terlatih. Entah di mana Kang Zuber yang berlari meninggalkanku, sarung yang dikenakannya tidak menghalangi Kang Zuber berlari cepat. Sedangkan aku terpaksa membuka sarung dan menyampaikannya di pundak agar tidak menghambat kecepatan lariku. Hingga akhirnya aku sampai di sebuah halaman pekarangan rumah yang cukup luas, terpisah beberapa puluh meter dari rumah Gus Nur. Tanpa berpikir panjang, aku bersembunyi di bawah pohon mangga yang rimbun, pada saat itulah aku melihat rumah Gus Nur hanya berjarak kurang lebih 10 meter. Gila, ternyata aku berlari mengelilingi area pesantren yang membawaku kembali ke tempat yang tidak jauh dari rumah Gus Nur.
Dari balik persembunyian, aku lihat Gus berjalan mengelilingi rumahnya mencari orang yang sudah mengintipnya, bukan mengintip tapi nguping. Ternyata benar, para Yai dan keturunannya mempunyai karomah yang sulit dicerna akal sehat, buktinya aku yang hanya bisa berlari di tempat. Apa yang harus kulakukan sekarang, entah hukuman apa yang aku terima kalau Gus Nur tahu akulah salah satu santri yang mengupingnya.
"Latifah, jangan tinggal aku..!" Sering gadis dari arah sampingku, refleks aku menoleh ke sumber suara dengan jantung berdegup kencang. Celaka, kalau mereka melihat keberadaan ku.
"Kamu Nab, cuma pipis aja harus diantar..!" Gerutu wanita yang dipanggil Latifah, suaranya seperti aku kenal. Tidak perikanan, aku ingat orang yang menelponku siang tadi bernama Latifah dan suaranya hampir sama dengan di telpon.
"Aku takut, kata orang di kamar mandi ada genduruwo.." jawab gadis yang dipanggil Nab, entah kepanjangannya apa.
Mendengar nama genduruwo membuat bulu kudukku bangkit, aku melirik kiri kananku untuk memastikan tidak ada genduruwo seperti yang dikatakan gadis itu. Genduruwo hanya cerita yang ditujukan untuk menakuti anak anak agar tidak keluar malam. Dan aku sudah bukan anak anak lagi, usiaku 19 tahun bisa dikatakan dewasa. Hidup di pesantren membuatku cepat dewasa karena jauh dari orang tua, membuatku harus mengerjakan semuanya sendiri
"Hush, percuma kamu nyantri kalau masih takut dengan mahluk ciptaan Allah, mereka sama lemahnya dengan kita." Nasihat Latifah, aku setuju sekali dengannya. Tapi, kenapa bulu kudukku semakin merinding, tengkukku terasa dingin saat kusentuh. Bisa saja gendoruwo itu benar benar datang karena merasa dipanggil atau merasa tersinggung mendengar ke dua gadis itu membicarakannya.
"Kamu juga takut, kan? Buktinya kamu nggak pernah mau ke kamar mandi sendiri, pasti minta antar." Jawab Nab membuka kedok Latifah yang ketakutan seperti dirinya sendiri.
Gadis bernama Nab itu sepertinya pernah kulihat, ya aku baru ingat dia adalah Zainab dan aku melihatnya memasak untuk di dapur menjamu para Kyai dan tamu yang datang menemui Abah Yai Nafi'. Ya, benar, wajah Nab terlihat jelas saat melintasi bagian yang lebih terang. Wajahnya yang manis membuat rasa takutku berangsur hilang, sedang gadis bernama Latifah juga cukup cantik.
"Aku nggak takut genduruwo, aku takut ada yang ngintip." Jawab Latifah tidak mau mengakui rasa takutnya, alasan yang dikatakannya cukup beralasan. Sudah menjadi rahasia umum, ada santri nakal yang iseng mengintip santriwati saat di kamar mandi.
"Berisik Fah, aku nggak tahan mau pipis." Jawab Zaenab menarik tangan Latifah masuk ke kamar mandi yang berada di sampingku, ya Allah aku baru sadar berdiri tepat di samping kamar mandi santriwati. Entah ini keberuntungan atau justru musibah kalau sampai mereka melihatku dan menganggap ku sedang mengintip. Pikiran seperti ini justru mengusik kenakalanku yang selama ini berusaha kulawan, aku memperhatikan dinding kamar mandi setinggi 2 meter, dari celah celah atap keluar cahaya temaram lampu yang berasal dari dalam, disampingnya tembok ada sumur yang ditutupi papan lebar, tidak ada alat timba untuk mengambil air, digantikan oleh pompa air listrik.
"Ichhh, bulu kamu banyak amat Nab, kenapa tidak kamu bersihkan sebagai bagian dari amalan Sunnah?" Tanya Latifah membuatku menahan nafas, godaan yang datang begitu dahsyat untuk aku lawan. Tidak ada salahnya aku mengintip ke dua gadis itu selagi ada kesempatan harus aku manfaatkan sebaik baiknya, masalah ketahuan itu urusan nanti.
"Gatel Fah, memekku langsung merah kalau dicukur." Jawab Zaenab membuatku menelan air liur membayangkan bentuk memek Zaenab, selebat apa bulu jembutnya. Selama ini aku selalu menemukan memek para santriwati yang bersih tanpa bulu, belum pernah aku mengintip santriwati yang mempunyai jembut.
Aku melihat celah di atas tembok, cukup lebar untuk kugunakan mengintip, persoalannya mencari alas pijakan agar wajahku bisa mencapai celah itu. Sip, ada balok besar sepanjang 50 centimeter dan bisa kugunakan untuk pijakan kakiku mengintip ke dua gadis itu. Dengan sangat berhati hati aku meletakkan balok yang kutemukan menempel di dinding, perlahan satu kakiku menginjak balok dan tanganku memegang tembok atas. Hore berhasil, aku melihat ke dalam kamar mandi. Zaenab mengikuti Latifah keluar kamar mandi.
Sial, aku telat, mereka sudah selesai menunaikan hajatnya. Aku berjalan lunglai menuju tempat persunyianku yang tadi sambil menunggu situasi aman dan aku bisa mencari Kang Zuber yang sudah meninggalkanku begitu saja, teman yang tidak baik hanya mencari keselamatan dirinya sendiri.
"Itu,....ituuu !" Seru Zaenab menunjuk ke arahku yang berdiri mematung di bawah pohon mangga, siap aku berdiri di tempat yang salah. Temaram lampu membuat sosokku terlihat olehnya, berlari hanya akan membuat mereka berteriak meneriakiku. Aku terpaku, tubuhku kaku tidak bisa kugerakkan, tamatlah riwayat ku.
"Siapa, itu?" Tanya Latifah, keberaniannya membuatku semakin ketakutan.
"Akkku..!" Jawabku pasrah, hanya ini yang bisa kulakukan sambil mencari alasan tepat yang tidak membuat mereka semakin mencurigaiku.
Latifah menghampiriku dengan keberanian yang membuatku kagum, gadis ini berbeda dengan Zainab. Mungkin alasan iipula yang membuat Ning Sarah menyuruh Latifah menelponku.
"Jangan, Fah...!" Cegah Zainab ngeri membayangkan sosok yang berdiri di balik pohon adalah genduruwo yang akan merenggut kesucian mereka seperti kisah kisah tahayul yang sering didengarnya, sia sia bertahun tahun dia belajar kitab kuning di pesantren kalau masih percaya dengan hal tersebut. Hei, apa bedanya denganku yang juga masih mempercayai cerita tentang genduruwo.
Aku melihat Latifah yang berjalan pelan, langkahnya pasti semakin mendekatiku. Apa yang terjadi, terjadilah. Sebuah alasan tepat terpikir olehku saat jarak kami tinggal dua meter.
"Siapa kamu, kenapa bersembunyi?" Tanya Latifah, menatapku tajam berusaha mengenali wajahku yang tersembunyi di balik bayangan pohon sehingga dia tidak bisa mengenaliku atau bahkan memang belum pernah melihat wajahku sebelumnya. Harapan terakhir lebih masuk akal, semoga itu yang terjadi.
"Aku Baharuddin, sedang meronda." Jawabku pelan, semoga tidak ada santri lain yang melihat kejadian ini dan membuat posisiku semakin rumit.
"Ka, kamu...?" Tanya Latifah, dahinya berkerut seperti sedang mengingat sesuatu.
"Ya, tadi kamu nelpon aku bukan?" Tanyaku menusuk kesadarannya, aku tidak tahu pertanyaannya akan berguna atau tidak.
"Sssttt, pelan nanti terdengar Zainab." Kata Latifah lirih, sepertinya dia berusaha menyembunyikan kejadian menelponku.
"Memangnya kenapa?" Tanyaku bodoh, setidaknya posisiku saat ini cukup aman.
"Kata Ning Sarah, tidak ada yang boleh tahu aku menelponku." Kata Latifah setengah berbisik agar tidak terdengar oleh Zainab yang berdiri agak jauh.
"Oh, kenapa?" Tanyaku mendesak.
"Malu, apa kata orang kalau mereka tahu Ning Sarah tahu nomer hapmu. Pasti akan timbul ghibah." Jawab Latifah lugu, aku semakin bingung maksud Ning Sarah menyuruh Latifah menelponku, terutama dari mana dia mendapatkan nomer telponku.
"Dari mana, Ning Sarah dapat nomer telponku?" Tanyaku heran.
"Ternyata benar kata Ning Sarah, kamu sombong sampai tidak mengenali Ning Sarah." Jawab Latifah membuatku heran, kata sombong lebih pantas ditujukan ke Ning Sarah dari pada aku.
"Kok malah aku yang, sombong?" Tanyaku heran.
"Buktinya kamu tidak mengenali Ning Sarah, padahal kalian satu pondok di Cirebon." Kata Latifah mengejutkanku.
************
"Akang, dari mana?" Seru Ning Sarah menyambut kedatanganku dengan mulut cemberut, justru hal itu membuatnya terlihat semakin cantik. Sifat manjanya tidak juga berkurang sejak kami menikah, dia memelukku seakan lama kami tidak berjumpa.
"Maaf, tadi ketiduran, kecapean sayang.!” Kubelai kepala yang tertutup khimar itu dengan lembut, kucium ubin ubinnya penuh kasih sayang. Ning Sarah meregangkan pelukannya dan menatapku lekat, ah tatapan matanya selalu membuat dadaku berguncang keras seperti saat pertama kali kami bertemu.
“Lain kali bilang sedang apa, ada di mana, biar aku nggak bingung.” gerutu Ning Sarah, bibirnya belum juga tersenyum, semahal itulah senyumnya yang membuatku jatuh bertekuk lutut dalam pesonanya.
“Iya, iya. Ma’af. Syauqi sudah tidur?” tanyaku, hampir saja aku melupakan malaikat kecilku hasil buah cinta kami. Kehadiran bocah itu membuat hari-hariku kian terasa indah, menambah semangat dan memperat jalinan cinta kedua orang tuanya.
“Sudah, lihat dia begitu lelap dalam balutan mimpinya..” jawab Ning Sarah menunjuk Syauqi di atas ranjang, senyumnya terlihat samar dan membuat hatiku terus menerus berdesir tanpa bisa dicegah. Cantik, inilah bidadari yang berhasil kusunting lewat perjuangan panjang, dan aku berharap dia akan menjadi Bidadari ku hingga surga.
“Maaf, tadi Syauqi aku marahi lagi,” sesalnya menahan air mata yang akan segera jatuh dari matanya yang mulai berkaca-kaca.
“Kenapa?” tanyaku lembut, aku sudah hafal dengan tabiatnya.
“Lha wong bikin ribut saja, masa taplak meja digeret padahal di atasnya ada beberapa cangkir berisi kopi panas, untung tidak mengenai dia, Kang. Refleks aku tepuk bokongnya." Ning Sarah menunduk dengan perasaan bersalah, meluluh lantakkan keangkuhannya.
“Ya lain kali jangan dimarahi, anak seusianya belum tahu kalau itu salah. Ingat, bentakan itu akan membunuh ribuan sel otak. Jangankan manusia, tumbuhan yang mendengar caci maki saja ia akan layu dan mati.” kataku mengingatkanya, walau aku sudah berkali kali dan aku tidak pernah bosan untuk terus mengingatkan nya.
Aku tahu ia pasti menyesali semua perbuatannya, terlihat dari wajahnya yang berubah sendu setiap kali selesai memarahi Syauqi. Namun, dia selalu mengulanginya, emosinya tidak pernah bisa dikendalikannya. Begitulah sifat sebagian besar wanita yang aku tahu.
Bersambung
Dari balik persembunyian, aku lihat Gus berjalan mengelilingi rumahnya mencari orang yang sudah mengintipnya, bukan mengintip tapi nguping. Ternyata benar, para Yai dan keturunannya mempunyai karomah yang sulit dicerna akal sehat, buktinya aku yang hanya bisa berlari di tempat. Apa yang harus kulakukan sekarang, entah hukuman apa yang aku terima kalau Gus Nur tahu akulah salah satu santri yang mengupingnya.
"Latifah, jangan tinggal aku..!" Sering gadis dari arah sampingku, refleks aku menoleh ke sumber suara dengan jantung berdegup kencang. Celaka, kalau mereka melihat keberadaan ku.
"Kamu Nab, cuma pipis aja harus diantar..!" Gerutu wanita yang dipanggil Latifah, suaranya seperti aku kenal. Tidak perikanan, aku ingat orang yang menelponku siang tadi bernama Latifah dan suaranya hampir sama dengan di telpon.
"Aku takut, kata orang di kamar mandi ada genduruwo.." jawab gadis yang dipanggil Nab, entah kepanjangannya apa.
Mendengar nama genduruwo membuat bulu kudukku bangkit, aku melirik kiri kananku untuk memastikan tidak ada genduruwo seperti yang dikatakan gadis itu. Genduruwo hanya cerita yang ditujukan untuk menakuti anak anak agar tidak keluar malam. Dan aku sudah bukan anak anak lagi, usiaku 19 tahun bisa dikatakan dewasa. Hidup di pesantren membuatku cepat dewasa karena jauh dari orang tua, membuatku harus mengerjakan semuanya sendiri
"Hush, percuma kamu nyantri kalau masih takut dengan mahluk ciptaan Allah, mereka sama lemahnya dengan kita." Nasihat Latifah, aku setuju sekali dengannya. Tapi, kenapa bulu kudukku semakin merinding, tengkukku terasa dingin saat kusentuh. Bisa saja gendoruwo itu benar benar datang karena merasa dipanggil atau merasa tersinggung mendengar ke dua gadis itu membicarakannya.
"Kamu juga takut, kan? Buktinya kamu nggak pernah mau ke kamar mandi sendiri, pasti minta antar." Jawab Nab membuka kedok Latifah yang ketakutan seperti dirinya sendiri.
Gadis bernama Nab itu sepertinya pernah kulihat, ya aku baru ingat dia adalah Zainab dan aku melihatnya memasak untuk di dapur menjamu para Kyai dan tamu yang datang menemui Abah Yai Nafi'. Ya, benar, wajah Nab terlihat jelas saat melintasi bagian yang lebih terang. Wajahnya yang manis membuat rasa takutku berangsur hilang, sedang gadis bernama Latifah juga cukup cantik.
"Aku nggak takut genduruwo, aku takut ada yang ngintip." Jawab Latifah tidak mau mengakui rasa takutnya, alasan yang dikatakannya cukup beralasan. Sudah menjadi rahasia umum, ada santri nakal yang iseng mengintip santriwati saat di kamar mandi.
"Berisik Fah, aku nggak tahan mau pipis." Jawab Zaenab menarik tangan Latifah masuk ke kamar mandi yang berada di sampingku, ya Allah aku baru sadar berdiri tepat di samping kamar mandi santriwati. Entah ini keberuntungan atau justru musibah kalau sampai mereka melihatku dan menganggap ku sedang mengintip. Pikiran seperti ini justru mengusik kenakalanku yang selama ini berusaha kulawan, aku memperhatikan dinding kamar mandi setinggi 2 meter, dari celah celah atap keluar cahaya temaram lampu yang berasal dari dalam, disampingnya tembok ada sumur yang ditutupi papan lebar, tidak ada alat timba untuk mengambil air, digantikan oleh pompa air listrik.
"Ichhh, bulu kamu banyak amat Nab, kenapa tidak kamu bersihkan sebagai bagian dari amalan Sunnah?" Tanya Latifah membuatku menahan nafas, godaan yang datang begitu dahsyat untuk aku lawan. Tidak ada salahnya aku mengintip ke dua gadis itu selagi ada kesempatan harus aku manfaatkan sebaik baiknya, masalah ketahuan itu urusan nanti.
"Gatel Fah, memekku langsung merah kalau dicukur." Jawab Zaenab membuatku menelan air liur membayangkan bentuk memek Zaenab, selebat apa bulu jembutnya. Selama ini aku selalu menemukan memek para santriwati yang bersih tanpa bulu, belum pernah aku mengintip santriwati yang mempunyai jembut.
Aku melihat celah di atas tembok, cukup lebar untuk kugunakan mengintip, persoalannya mencari alas pijakan agar wajahku bisa mencapai celah itu. Sip, ada balok besar sepanjang 50 centimeter dan bisa kugunakan untuk pijakan kakiku mengintip ke dua gadis itu. Dengan sangat berhati hati aku meletakkan balok yang kutemukan menempel di dinding, perlahan satu kakiku menginjak balok dan tanganku memegang tembok atas. Hore berhasil, aku melihat ke dalam kamar mandi. Zaenab mengikuti Latifah keluar kamar mandi.
Sial, aku telat, mereka sudah selesai menunaikan hajatnya. Aku berjalan lunglai menuju tempat persunyianku yang tadi sambil menunggu situasi aman dan aku bisa mencari Kang Zuber yang sudah meninggalkanku begitu saja, teman yang tidak baik hanya mencari keselamatan dirinya sendiri.
"Itu,....ituuu !" Seru Zaenab menunjuk ke arahku yang berdiri mematung di bawah pohon mangga, siap aku berdiri di tempat yang salah. Temaram lampu membuat sosokku terlihat olehnya, berlari hanya akan membuat mereka berteriak meneriakiku. Aku terpaku, tubuhku kaku tidak bisa kugerakkan, tamatlah riwayat ku.
"Siapa, itu?" Tanya Latifah, keberaniannya membuatku semakin ketakutan.
"Akkku..!" Jawabku pasrah, hanya ini yang bisa kulakukan sambil mencari alasan tepat yang tidak membuat mereka semakin mencurigaiku.
Latifah menghampiriku dengan keberanian yang membuatku kagum, gadis ini berbeda dengan Zainab. Mungkin alasan iipula yang membuat Ning Sarah menyuruh Latifah menelponku.
"Jangan, Fah...!" Cegah Zainab ngeri membayangkan sosok yang berdiri di balik pohon adalah genduruwo yang akan merenggut kesucian mereka seperti kisah kisah tahayul yang sering didengarnya, sia sia bertahun tahun dia belajar kitab kuning di pesantren kalau masih percaya dengan hal tersebut. Hei, apa bedanya denganku yang juga masih mempercayai cerita tentang genduruwo.
Aku melihat Latifah yang berjalan pelan, langkahnya pasti semakin mendekatiku. Apa yang terjadi, terjadilah. Sebuah alasan tepat terpikir olehku saat jarak kami tinggal dua meter.
"Siapa kamu, kenapa bersembunyi?" Tanya Latifah, menatapku tajam berusaha mengenali wajahku yang tersembunyi di balik bayangan pohon sehingga dia tidak bisa mengenaliku atau bahkan memang belum pernah melihat wajahku sebelumnya. Harapan terakhir lebih masuk akal, semoga itu yang terjadi.
"Aku Baharuddin, sedang meronda." Jawabku pelan, semoga tidak ada santri lain yang melihat kejadian ini dan membuat posisiku semakin rumit.
"Ka, kamu...?" Tanya Latifah, dahinya berkerut seperti sedang mengingat sesuatu.
"Ya, tadi kamu nelpon aku bukan?" Tanyaku menusuk kesadarannya, aku tidak tahu pertanyaannya akan berguna atau tidak.
"Sssttt, pelan nanti terdengar Zainab." Kata Latifah lirih, sepertinya dia berusaha menyembunyikan kejadian menelponku.
"Memangnya kenapa?" Tanyaku bodoh, setidaknya posisiku saat ini cukup aman.
"Kata Ning Sarah, tidak ada yang boleh tahu aku menelponku." Kata Latifah setengah berbisik agar tidak terdengar oleh Zainab yang berdiri agak jauh.
"Oh, kenapa?" Tanyaku mendesak.
"Malu, apa kata orang kalau mereka tahu Ning Sarah tahu nomer hapmu. Pasti akan timbul ghibah." Jawab Latifah lugu, aku semakin bingung maksud Ning Sarah menyuruh Latifah menelponku, terutama dari mana dia mendapatkan nomer telponku.
"Dari mana, Ning Sarah dapat nomer telponku?" Tanyaku heran.
"Ternyata benar kata Ning Sarah, kamu sombong sampai tidak mengenali Ning Sarah." Jawab Latifah membuatku heran, kata sombong lebih pantas ditujukan ke Ning Sarah dari pada aku.
"Kok malah aku yang, sombong?" Tanyaku heran.
"Buktinya kamu tidak mengenali Ning Sarah, padahal kalian satu pondok di Cirebon." Kata Latifah mengejutkanku.
************
"Akang, dari mana?" Seru Ning Sarah menyambut kedatanganku dengan mulut cemberut, justru hal itu membuatnya terlihat semakin cantik. Sifat manjanya tidak juga berkurang sejak kami menikah, dia memelukku seakan lama kami tidak berjumpa.
"Maaf, tadi ketiduran, kecapean sayang.!” Kubelai kepala yang tertutup khimar itu dengan lembut, kucium ubin ubinnya penuh kasih sayang. Ning Sarah meregangkan pelukannya dan menatapku lekat, ah tatapan matanya selalu membuat dadaku berguncang keras seperti saat pertama kali kami bertemu.
“Lain kali bilang sedang apa, ada di mana, biar aku nggak bingung.” gerutu Ning Sarah, bibirnya belum juga tersenyum, semahal itulah senyumnya yang membuatku jatuh bertekuk lutut dalam pesonanya.
“Iya, iya. Ma’af. Syauqi sudah tidur?” tanyaku, hampir saja aku melupakan malaikat kecilku hasil buah cinta kami. Kehadiran bocah itu membuat hari-hariku kian terasa indah, menambah semangat dan memperat jalinan cinta kedua orang tuanya.
“Sudah, lihat dia begitu lelap dalam balutan mimpinya..” jawab Ning Sarah menunjuk Syauqi di atas ranjang, senyumnya terlihat samar dan membuat hatiku terus menerus berdesir tanpa bisa dicegah. Cantik, inilah bidadari yang berhasil kusunting lewat perjuangan panjang, dan aku berharap dia akan menjadi Bidadari ku hingga surga.
“Maaf, tadi Syauqi aku marahi lagi,” sesalnya menahan air mata yang akan segera jatuh dari matanya yang mulai berkaca-kaca.
“Kenapa?” tanyaku lembut, aku sudah hafal dengan tabiatnya.
“Lha wong bikin ribut saja, masa taplak meja digeret padahal di atasnya ada beberapa cangkir berisi kopi panas, untung tidak mengenai dia, Kang. Refleks aku tepuk bokongnya." Ning Sarah menunduk dengan perasaan bersalah, meluluh lantakkan keangkuhannya.
“Ya lain kali jangan dimarahi, anak seusianya belum tahu kalau itu salah. Ingat, bentakan itu akan membunuh ribuan sel otak. Jangankan manusia, tumbuhan yang mendengar caci maki saja ia akan layu dan mati.” kataku mengingatkanya, walau aku sudah berkali kali dan aku tidak pernah bosan untuk terus mengingatkan nya.
Aku tahu ia pasti menyesali semua perbuatannya, terlihat dari wajahnya yang berubah sendu setiap kali selesai memarahi Syauqi. Namun, dia selalu mengulanginya, emosinya tidak pernah bisa dikendalikannya. Begitulah sifat sebagian besar wanita yang aku tahu.
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved