Bab 9 Malam Pengantin
by Mawar Ungu
18:01,Aug 28,2023
Rania membelalakkan bola matanya begitu mendengar hukuman yang akan diterimanya.
Hukuman macam apa itu? Sungguh tidak masuk akal! Rania memaki dalam hatinya, tetapi seperti yang sudah terjadi sebelum ini. Mana mungkin Rania berani menyuarakan pendapatnya? Hukuman yang sedikit tidak masuk akal! Satu piring berdua dengan Mahendra? Membayangkannya saja Rania sudah tidak nafsu. Bagaimana jika dia menjalaninya nanti?
"Kalau begitu saya akan bagi dua nasinya, Kak. Jadi, kakak bisa makan sendiri dan saya bisa makan sendiri!" jawab Rania cepat. Ide yang sangat bagus menurutnya karena bisa dilakukan tanpa harus satu piring berdua. Mencoba mengajukan usul dan mengulur waktu adalah cara terbaik yang bisa dilakukan oleh Rania untuk saat ini. Semoga saja Mahendra menyetujui apa yang dikatakannya.
"Duduk kataku!" Mahendra sudah menarik tangan Rania dan memberi isyarat agar duduk dengan patuh tanpa bertanya lagi. Akhirnya Rania memenuhi perintah Mahendra dengan sangat terpaksa. Ketidakikhlasan sangat jelas terlihat dari matanya. Usul yang tidak akan pernah Mahendra setujui, seharusnya Rania tahu akan hal itu. Bisa-bisanya dia mengajukan suatu ide yang tidak akan pernah diterima.
"Apa kau tidak suka makan berdua dengan suamimu?" tanya Mahendra sinis. Dia tidak memperdulikan ketidakikhlasan yang sangat jelas terpancar dari setiap gerak gerik Rania.
Tentu saja tidak suka! Membuat rasa makanan pasti jadi tidak enak! jawab Rania dalam hati.
"Tentu saja tidak, Kak. Saya akan makan berdua dengan kakak dengan senang hati!" jawab Rania sarkas. Sangat bertentangan dengan apa yang ada di dalam hatinya. Baiklah, Rania! Kau harus belajar menerima semua ini dan patuh dengan apa yang dikatakan suamimu! Suara hati Rania memberi petuah yang paling bijak.
"Ayo makan!" Mahendra mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Melihat Rania yang juga melakukan hal yang sama. Dengan sendok yang berbeda tentunya. Untunglah tidak terbersit ide lain di dalam pikiran Mahendra. Berbagi sendok misalnya. Cukup membuat Rania cukup lega. Kalau mereka harus berbagi sendok, berarti mereka bertukar ciuman tidak langsung! Jangan lakukan itu di hari pertama pernikahan mereka. Rania pasti akan goyah juga.
"Wah, Kak! Masakan Kak Rendra sungguh lezat!" Mata Rania berbinar ketika mengatakan hal itu. Dia melupakan fakta bahwa dia dan Mahendra makan dalam satu piring yang sama. Kelezatan masakan Mahendra yang membuatnya seperti itu. Bahkan Rania melupakan segala keluh kesah dan makiannya tadi. Dia begitu menikmati rasa yang keluar dari makanan yang dinikmatinya.
"Jangan banyak bicara! Cepat habiskan!" Teguran yang membuat Rania menelan ludah dan bertekad untuk menutup mulutnya agar tidak bicara yang aneh-aneh.
Mereka berdua makan dalam keheningan yang bisa membuat nafas tercekat. Namun, sepertinya Mahendra begitu menikmati suasana itu. Hanya denting sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Tidak terdengar suara satu patah katapun di antara mereka.
"Kau yang cuci piring!"
"Baik, Kak," jawab Rania tanpa mengeluh. Dia memang harus terbiasa dengan semua ini. Tanpa adanya suara untuk mengeluhkan ketidakberayaannya.
"Apakah cuci piringmu bersih?" tanya Mahendra menatap Rania dengan sinis dan kebencian yang tidak bisa disembunyikan.
Melihat tatapan itu, Rania berfikir bolehkah dia melempar piring yang tadi baru dicucinya ke arah Mahendra?
"Bersih, Kak. Bisa diperiksa dulu kalau kakak tidak yakin. Atau kakak bisa cuci ulang kalau kakak ingin!" Rania tersenyum dan melewati tubuh besar Mahendra. Dia harus melawan! Jangan mau diintimidasi oleh Mahendra.
Mahendra menarik tangan Rania, mencengkeram erat dan mendorong Rania ke dinding. Membuat Rania tidak bisa berkutik dan menatap Mahendra dengan gelisah. Perlawanan yang dipikirkannya tadi hanya teori semata. Dalam prakteknya mana mungkin Rania sanggup melakukan hal seperti itu?
"Bersihkan dulu badanmu sebelum tidur! Aku tidaj suka tidur dengan perempuan jorok!"
"Siapa yang ingin tidur dengan kakak?" Pertanyaan spontan yang tercetus begitu saja, membuat Rania langsung membekap mulutnya dengan cepat. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Dia harus menutup telinganya rapat-rapat. Karena setelah mendengar perkataannya, pasti Mahendra akan berteriak marah.
Sungguh di luar dugaan Rania, Mahendra tidak berkata apa-apa. Hanya hembusan nafas Mahendra yang berbau mint menyapu wajah Rania.
Rania sedikit mengerutkan kening. Bukankah tadi Mahendra selesai makan? Kenapa bau nafasnya seharum ini. Rania memejamkan mata, wajah Mahendra semakin dekat dengannya.
"Gadis Bodoh!" bisik Mahendra tepat di telinga Rania. Membuat Rania langsung membuka mata, memandang geram kepada punggung Mahendra yang menjauh darinya.
Setelah membersihkan tubuhnya, Rania masuk ke dalam kamar mereka. Tidak ada sofa yang bisa dibuat untuk tidur, hanya ada satu ranjang besar yang memenuhi kamar itu. Rania menghela nafas panjang. Menempatkan tubuhnya dengan hati-hati ke atas ranjang. Melihat Mahendra dari sudut matanya.
"Kenapa melotot seperti itu?"
"Tidak, Kak. Saya tidak melihat kak Rendra," jawab Rania. Bisa-bisanya dia terpergok menatap Mahendra. Bukan menatap, tepatnya mencuri pandang.
"Tidur cepat, besok menjelang Subuh, kamu sudah harus bangun dan mulai membersihkan rumah ini!"
"Baik, Kak. Saya akan melaksanakan apa yang kakak perintahkan!"
"Bagus, dan awas kalau kau bercerita kepada orang lain! Aku pastikan akan menghukummu dengan lebih berat!"
Rania mengangguk dan mulai mengambil selimut yang ada di bawah kaki mereka.
"Jawab kalau aku bertanya!"
Perkataan yang membuat Rania kembali tersentak kaget. Peraturan yang dilupakan Rania.
"Maaf, Kak. Saya lupa. Saya tidak akan menceritakan kepada orang lain. Ini adalah rumah tangga saya, orang lain tidak perlu tahu!"
Mahendra tetap memasang wajah datar mendengar jawaban Rania. Dia melihat Rania yang sudah bergelung di dalam selimut. Posisi tubuh Rania sangat ke pinggir ranjang. Seolah-olah takut untuk bersentuhan dengan Mahendra.
"Kenapa kau menjauh? Bukankah ini malam pengantin kita? Apa sikap ini yang kau pelajari dulu?" sergah Mahendra bersungut-sungut.
Kelopak mata Rania yang terpejam terbuka kembali mendengar kalimat Mahendra. Benar, ini adalah malam pertama mereka sebagai pengantin. Apa yang harus dia lakukan?
Berbagai teori mengenai malam pertama langsung membayang di dalam benak Rania. Kemudian beberapa saat kemudian, Rania membayangkan badan besar Mahendra yang menyentuh tubuhnya. Bahkan hanya membayangkannya saja sudah membuat sekujur badan Rania merinding.
"Benar, ini adalah malam pertama kita sebagai pasangan, Kak," ucap Rania perlahan.
"Silahkan kakak lakukan dan minta hak kakak sebagai suami. Dan saya akan menjalankan kewajiban saya sebagai seorang istri!" lanjut Rania lagi. Hal ini memang sudah kewajiban Rania sebagai seorang istri, Rania tidak bisa mengelak.
"Baguslah, kalau kau paham hal itu. Kita akan mulai!" kata Mahendra. Sambil mendekatkan wajah dan juga tubuhnya ke arah Rania. Rania hanya bisa pasrah dan menunggu saja, semoga saja Mahendra memperlakukannya dengan penuh kelembutan seperti kisah cinta dalam novel yang dia baca.
Hukuman macam apa itu? Sungguh tidak masuk akal! Rania memaki dalam hatinya, tetapi seperti yang sudah terjadi sebelum ini. Mana mungkin Rania berani menyuarakan pendapatnya? Hukuman yang sedikit tidak masuk akal! Satu piring berdua dengan Mahendra? Membayangkannya saja Rania sudah tidak nafsu. Bagaimana jika dia menjalaninya nanti?
"Kalau begitu saya akan bagi dua nasinya, Kak. Jadi, kakak bisa makan sendiri dan saya bisa makan sendiri!" jawab Rania cepat. Ide yang sangat bagus menurutnya karena bisa dilakukan tanpa harus satu piring berdua. Mencoba mengajukan usul dan mengulur waktu adalah cara terbaik yang bisa dilakukan oleh Rania untuk saat ini. Semoga saja Mahendra menyetujui apa yang dikatakannya.
"Duduk kataku!" Mahendra sudah menarik tangan Rania dan memberi isyarat agar duduk dengan patuh tanpa bertanya lagi. Akhirnya Rania memenuhi perintah Mahendra dengan sangat terpaksa. Ketidakikhlasan sangat jelas terlihat dari matanya. Usul yang tidak akan pernah Mahendra setujui, seharusnya Rania tahu akan hal itu. Bisa-bisanya dia mengajukan suatu ide yang tidak akan pernah diterima.
"Apa kau tidak suka makan berdua dengan suamimu?" tanya Mahendra sinis. Dia tidak memperdulikan ketidakikhlasan yang sangat jelas terpancar dari setiap gerak gerik Rania.
Tentu saja tidak suka! Membuat rasa makanan pasti jadi tidak enak! jawab Rania dalam hati.
"Tentu saja tidak, Kak. Saya akan makan berdua dengan kakak dengan senang hati!" jawab Rania sarkas. Sangat bertentangan dengan apa yang ada di dalam hatinya. Baiklah, Rania! Kau harus belajar menerima semua ini dan patuh dengan apa yang dikatakan suamimu! Suara hati Rania memberi petuah yang paling bijak.
"Ayo makan!" Mahendra mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Melihat Rania yang juga melakukan hal yang sama. Dengan sendok yang berbeda tentunya. Untunglah tidak terbersit ide lain di dalam pikiran Mahendra. Berbagi sendok misalnya. Cukup membuat Rania cukup lega. Kalau mereka harus berbagi sendok, berarti mereka bertukar ciuman tidak langsung! Jangan lakukan itu di hari pertama pernikahan mereka. Rania pasti akan goyah juga.
"Wah, Kak! Masakan Kak Rendra sungguh lezat!" Mata Rania berbinar ketika mengatakan hal itu. Dia melupakan fakta bahwa dia dan Mahendra makan dalam satu piring yang sama. Kelezatan masakan Mahendra yang membuatnya seperti itu. Bahkan Rania melupakan segala keluh kesah dan makiannya tadi. Dia begitu menikmati rasa yang keluar dari makanan yang dinikmatinya.
"Jangan banyak bicara! Cepat habiskan!" Teguran yang membuat Rania menelan ludah dan bertekad untuk menutup mulutnya agar tidak bicara yang aneh-aneh.
Mereka berdua makan dalam keheningan yang bisa membuat nafas tercekat. Namun, sepertinya Mahendra begitu menikmati suasana itu. Hanya denting sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Tidak terdengar suara satu patah katapun di antara mereka.
"Kau yang cuci piring!"
"Baik, Kak," jawab Rania tanpa mengeluh. Dia memang harus terbiasa dengan semua ini. Tanpa adanya suara untuk mengeluhkan ketidakberayaannya.
"Apakah cuci piringmu bersih?" tanya Mahendra menatap Rania dengan sinis dan kebencian yang tidak bisa disembunyikan.
Melihat tatapan itu, Rania berfikir bolehkah dia melempar piring yang tadi baru dicucinya ke arah Mahendra?
"Bersih, Kak. Bisa diperiksa dulu kalau kakak tidak yakin. Atau kakak bisa cuci ulang kalau kakak ingin!" Rania tersenyum dan melewati tubuh besar Mahendra. Dia harus melawan! Jangan mau diintimidasi oleh Mahendra.
Mahendra menarik tangan Rania, mencengkeram erat dan mendorong Rania ke dinding. Membuat Rania tidak bisa berkutik dan menatap Mahendra dengan gelisah. Perlawanan yang dipikirkannya tadi hanya teori semata. Dalam prakteknya mana mungkin Rania sanggup melakukan hal seperti itu?
"Bersihkan dulu badanmu sebelum tidur! Aku tidaj suka tidur dengan perempuan jorok!"
"Siapa yang ingin tidur dengan kakak?" Pertanyaan spontan yang tercetus begitu saja, membuat Rania langsung membekap mulutnya dengan cepat. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Dia harus menutup telinganya rapat-rapat. Karena setelah mendengar perkataannya, pasti Mahendra akan berteriak marah.
Sungguh di luar dugaan Rania, Mahendra tidak berkata apa-apa. Hanya hembusan nafas Mahendra yang berbau mint menyapu wajah Rania.
Rania sedikit mengerutkan kening. Bukankah tadi Mahendra selesai makan? Kenapa bau nafasnya seharum ini. Rania memejamkan mata, wajah Mahendra semakin dekat dengannya.
"Gadis Bodoh!" bisik Mahendra tepat di telinga Rania. Membuat Rania langsung membuka mata, memandang geram kepada punggung Mahendra yang menjauh darinya.
Setelah membersihkan tubuhnya, Rania masuk ke dalam kamar mereka. Tidak ada sofa yang bisa dibuat untuk tidur, hanya ada satu ranjang besar yang memenuhi kamar itu. Rania menghela nafas panjang. Menempatkan tubuhnya dengan hati-hati ke atas ranjang. Melihat Mahendra dari sudut matanya.
"Kenapa melotot seperti itu?"
"Tidak, Kak. Saya tidak melihat kak Rendra," jawab Rania. Bisa-bisanya dia terpergok menatap Mahendra. Bukan menatap, tepatnya mencuri pandang.
"Tidur cepat, besok menjelang Subuh, kamu sudah harus bangun dan mulai membersihkan rumah ini!"
"Baik, Kak. Saya akan melaksanakan apa yang kakak perintahkan!"
"Bagus, dan awas kalau kau bercerita kepada orang lain! Aku pastikan akan menghukummu dengan lebih berat!"
Rania mengangguk dan mulai mengambil selimut yang ada di bawah kaki mereka.
"Jawab kalau aku bertanya!"
Perkataan yang membuat Rania kembali tersentak kaget. Peraturan yang dilupakan Rania.
"Maaf, Kak. Saya lupa. Saya tidak akan menceritakan kepada orang lain. Ini adalah rumah tangga saya, orang lain tidak perlu tahu!"
Mahendra tetap memasang wajah datar mendengar jawaban Rania. Dia melihat Rania yang sudah bergelung di dalam selimut. Posisi tubuh Rania sangat ke pinggir ranjang. Seolah-olah takut untuk bersentuhan dengan Mahendra.
"Kenapa kau menjauh? Bukankah ini malam pengantin kita? Apa sikap ini yang kau pelajari dulu?" sergah Mahendra bersungut-sungut.
Kelopak mata Rania yang terpejam terbuka kembali mendengar kalimat Mahendra. Benar, ini adalah malam pertama mereka sebagai pengantin. Apa yang harus dia lakukan?
Berbagai teori mengenai malam pertama langsung membayang di dalam benak Rania. Kemudian beberapa saat kemudian, Rania membayangkan badan besar Mahendra yang menyentuh tubuhnya. Bahkan hanya membayangkannya saja sudah membuat sekujur badan Rania merinding.
"Benar, ini adalah malam pertama kita sebagai pasangan, Kak," ucap Rania perlahan.
"Silahkan kakak lakukan dan minta hak kakak sebagai suami. Dan saya akan menjalankan kewajiban saya sebagai seorang istri!" lanjut Rania lagi. Hal ini memang sudah kewajiban Rania sebagai seorang istri, Rania tidak bisa mengelak.
"Baguslah, kalau kau paham hal itu. Kita akan mulai!" kata Mahendra. Sambil mendekatkan wajah dan juga tubuhnya ke arah Rania. Rania hanya bisa pasrah dan menunggu saja, semoga saja Mahendra memperlakukannya dengan penuh kelembutan seperti kisah cinta dalam novel yang dia baca.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved