Bab 3 Perlakuan Istimewa
by Mawar Ungu
17:45,Aug 28,2023
"Turunlah!" titah Mahendra terdengar kasar.
Rania masih diam tidak bergeming mengabaikan perintah Mahendra. Dia bahkan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Memaki kesal di dalam hatinya bagaimana dia bisa berada di tempat yang sama dengan Mahendra. Namun, tentu saja hanya bisa dipendam Rania di dalam hati saja. Jangan sampai dia mengatakannya kalau ingin nyawanya masih selamat.
"Turun! Atau aku cabut dana untuk keluargamu!" Mahendra mencengkeram lengan Rania dengan kasar, sedikit menekan lengan itu sehingga pasti meninggalkan bekas disana.
Rania membuka pintu mobil dan menutupnya dengan kasar. Masih berdiri kaku di samping pintu, tidak bergerak sama sekali. Dia memandang lurus ke depan dengan jengah. Bisakah dia lari dari tempat ini? Tidak! Pendam keinginan itu dari lubuk hatimu yang paling dalam, Rania! Ingat orang tuamu! Benar, setelah apa yang dilakukan kedua orang tuanya, sekarang Rania harus memikirkan tentang mereka juga. Tentu saja, hanya Rania yang bisa melakukannya. Dia tidak boleh seperti ini.
"Ayo!"
Masih belum ada sedikitpun perkataan dari Rania, seolah-olah dalam sekejap dia menjadi bisu. Mahendra pun terlihat tidak perduli, Rania mau bicara atau tidak, yang penting tujuannya tercapai. Mengajak Rania keluar memang menjadi salah satu tujuannya.
"Selamat datang, Tuan Mahendra," sapa seorang wanita setengah baya yang sangat cantik dengan penampilan yang anggun menyapa mereka. Dia tersenyum ramah kepada Mahendra dan juga kepada Rania yang masih berdiri kaku.
Kali ini tampaknya Rania menyerah, tidak mungkin dia memperlihatkan keengganannya. Dia yang selalu bersikap ramah kepada semua orang, tidak bisa jika harus bersikap dingin seperti ini. Rania menghela nafas panjang, berusaha mengusir perasaan tidak nyaman yang menderanya. Pribadi Rania memintanya untuk tidak melakukan hal yang kasar, apalagi kepada orang yang jelas menyambut mereka dengan sangat ramah. Dia menyunggingkan senyum ramah kepada wanita itu.
"Selamat pagi, Nyonya!" sapa Rania, membuat Mahendra menoleh mendengar sepatah kata yang akhirnya keluar dari bibir Rania. Dia tersenyum, hanya di hati saja, karena di luar, ekspresinya tetap sama seperti semula.
"Tolong jangan panggil saya nyonya, panggil saja Maya, Nona. Calon istri anda sungguh cantik, Tuan Mahendra. Sangat serasi bersanding dengan anda!" Maya melancarkan pujiannya untuk pelanggan tetap nya itu. Jangan sampai membuat Mahendra tersinggung. Pasti Mahendra tidak akan suka, tersingkir dari lingkup pergaulan kelas atas adalah ketakutan tersendiri bagi Maya.
"Bu Maya jangan berlebihan. Pasti bagaikan langit dan bumi. Saya yang bertubuh besar seperti ini! Bagaimana bisa dikatakan tampan?" tanya Mahendra dengan nada dingin, seketika membuat wajah bu Maya pias. Dia lupa, dia telah menyinggung salah satu hal yang paling sensitif mengenai Mahendra Pratama Maheswara.
Rania kembali ke mode semula. Tidak mengatakan sepatah kata pun, tetapi dia mendengar dan melihat apa yang terjadi.
Mahendra Pratama Maheswara. Pria bertubuh besar dengan tinggi 185 cm, tidak dikatakan gemuk, hanya besar saja. Wajahnya tidak berubah, kacamata besar masih bertengger dengan setia di wajahnya. Tampan? Mungkin hanya orang yang ingin menjilat Mahendra saja yang berkata seperti itu. Mungkin itu salah satu alasan penolakan Rania dulu.
"Kak, apa kita akan memilih gaun pengantin disini?" Pertanyaan yang cukup lemah dan hanya orang bodoh yang menanyakannya. Tempat yang mereka kunjungi adalah sebuah butik pengantin yang terkenal dengan gaun pengantin dan juga gaun pestanya. Jadi, seharusnya Rania tidak menanyakannya lagi. Rania hanya iba kepada bu Maya yang tidak bisa berkata apa-apa lagi untuk menyangkal apa yang dikatakan oleh Mahendra.
"Tentu, Sayang, pilihlah gaun pengantin yang kamu suka!" jawab Mahendra tersenyum di wajah dinginnya. Rania tahu, senyum itu palsu. Itu hanya seulas senyuman untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Mahendra Pratama Maheswara begitu menyayangi istrinya.
"Banyak pilihan gaun yang baru datang, Nona. Mari, saya tunjukkan semua!" kata bu Maya lega. Pandangannya menatap Rania sekilas untuk menunjukkan rasa terima kasihnya.
"Kami pilih yang itu saja! Dan itu juga bagus!" Mahendra menunjukkan gaun yang dia maksud meskipun dengan tatapan tidak setuju dari Rania.
Apa-apaan orang ini! Katanya tadi disuruh memilih! Tapi dia sendiri yang memilih! Rania melampiaskan kekesalannya di dalam hati.
"Kenapa? Kau tidak suka?" tanya Mahendra dengan nada manis, membuat Rania ingin muntah. Kalau bisa dia ingin menjejalkan sesuatu kepada mulut Mahendra, supaya pipinya itu bertambah chubby. Rania menggelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan pemikiran buruk dari benaknya itu.
"Tidak, Kak. Saya suka. Suka sekali malah. Sungguh gaun yang saya impikan!" jawab Rania sarkas. Gaun putih dengan taburan mutiara itu memang indah, tapi Rania pasti tidak nyaman dengan lengan dan bahunya yang tertutup. Tertutup semua, hanya membayangkannya saja Rania sudah sesak, apalagi jika nanti Rania memakainya. Pasti dia susah bernafas!
Impiannya akan gaun pernikahan yang terbuka. Tidak terbuka semuanya, hanya saja Rania ingin sekali mengenakan gaun pengantin dengan model Sabrina. Sepertinya mulai sekarang Rania harus mengucapkan selamat tinggal untuk pernikahan impiannya.
"Baiklah, ayo kita pergi. Bu Maya, pakaian untuk keluargaku bu Maya bisa urus sendiri bukan? Saya tidak mau ada kesalahan!" Mahendra menatap bu Maya dengan tatapan datar, tetapi mampu membuat bu Maya terintimidasi.
"Tentu saja, Tuan. Satu hari sebelum pernikahan akan saya kirim ke rumah!"
"Ayo!"
"Ta—tapi aku belum mencobanya."
"Bu Maya sudah tahu ukuran bajumu, ayo! Jangan membuat amarahku naik!" Mahendra berbisik dengan nada tajam ke telinga Rania.
"Ayo, Sayang. Kita harus segera pergi!" ucap Mahendra lembut dan meraih pinggan ramping Rania.
Bisakah Rania mendorong tubuh besar Mahendra dan menghempaskannya ke sungai besar yang ada di perbatasan kota? Mungkin dengan melakukannya, Rania bisa terbebas dari pernikahan yang menurut Rania sungguh tidak masuk di akal ini.
Baru setengah hari Rania bersama Mahendra dan dia sudah merasa terpenjara! Bagaimana dia bisa menghabiskan seumur hidupnya dengan Mahendra?
Tidak ada perlakuan istimewa ataupun ucapan manis dari Mahendra jika mereka sedang berduaan. Hanya kesunyian dan wajah Mahendra yang rasanya kian sinis. Rania menahan nafas dan hanya bisa memandang pemandangan di luar kaca jendela mobil.
"Kemana lagi kita akan pergi, Kak?" tanya Rania lirih. Sedikit takut dia mengeluarkan suaranya, tetapi harus dia lakukan, Rania harus belajar untuk memberanikan dirinya sendiri. Hadapilah, Rania! Jangan lari! Pasti calon suamimu ini akan semakin senang jika melihatmu ketakutan!
"Menurutmu?"
Rania hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban.
"Kita akan pergi ke Neraka!" Jawaban sinis yang sepertinya sudah menjadi kebiasaan Mahendra Ditambah dengan seringai yang terlihat kejam membuat Rania menyesali dirinya karena telah begitu berani untuk bertanya. Mungkin Rania di kehidupan yang dulu pernah punya kesalahan fatal yang harus dibayarnya di kehidupan ini.
,
Rania masih diam tidak bergeming mengabaikan perintah Mahendra. Dia bahkan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Memaki kesal di dalam hatinya bagaimana dia bisa berada di tempat yang sama dengan Mahendra. Namun, tentu saja hanya bisa dipendam Rania di dalam hati saja. Jangan sampai dia mengatakannya kalau ingin nyawanya masih selamat.
"Turun! Atau aku cabut dana untuk keluargamu!" Mahendra mencengkeram lengan Rania dengan kasar, sedikit menekan lengan itu sehingga pasti meninggalkan bekas disana.
Rania membuka pintu mobil dan menutupnya dengan kasar. Masih berdiri kaku di samping pintu, tidak bergerak sama sekali. Dia memandang lurus ke depan dengan jengah. Bisakah dia lari dari tempat ini? Tidak! Pendam keinginan itu dari lubuk hatimu yang paling dalam, Rania! Ingat orang tuamu! Benar, setelah apa yang dilakukan kedua orang tuanya, sekarang Rania harus memikirkan tentang mereka juga. Tentu saja, hanya Rania yang bisa melakukannya. Dia tidak boleh seperti ini.
"Ayo!"
Masih belum ada sedikitpun perkataan dari Rania, seolah-olah dalam sekejap dia menjadi bisu. Mahendra pun terlihat tidak perduli, Rania mau bicara atau tidak, yang penting tujuannya tercapai. Mengajak Rania keluar memang menjadi salah satu tujuannya.
"Selamat datang, Tuan Mahendra," sapa seorang wanita setengah baya yang sangat cantik dengan penampilan yang anggun menyapa mereka. Dia tersenyum ramah kepada Mahendra dan juga kepada Rania yang masih berdiri kaku.
Kali ini tampaknya Rania menyerah, tidak mungkin dia memperlihatkan keengganannya. Dia yang selalu bersikap ramah kepada semua orang, tidak bisa jika harus bersikap dingin seperti ini. Rania menghela nafas panjang, berusaha mengusir perasaan tidak nyaman yang menderanya. Pribadi Rania memintanya untuk tidak melakukan hal yang kasar, apalagi kepada orang yang jelas menyambut mereka dengan sangat ramah. Dia menyunggingkan senyum ramah kepada wanita itu.
"Selamat pagi, Nyonya!" sapa Rania, membuat Mahendra menoleh mendengar sepatah kata yang akhirnya keluar dari bibir Rania. Dia tersenyum, hanya di hati saja, karena di luar, ekspresinya tetap sama seperti semula.
"Tolong jangan panggil saya nyonya, panggil saja Maya, Nona. Calon istri anda sungguh cantik, Tuan Mahendra. Sangat serasi bersanding dengan anda!" Maya melancarkan pujiannya untuk pelanggan tetap nya itu. Jangan sampai membuat Mahendra tersinggung. Pasti Mahendra tidak akan suka, tersingkir dari lingkup pergaulan kelas atas adalah ketakutan tersendiri bagi Maya.
"Bu Maya jangan berlebihan. Pasti bagaikan langit dan bumi. Saya yang bertubuh besar seperti ini! Bagaimana bisa dikatakan tampan?" tanya Mahendra dengan nada dingin, seketika membuat wajah bu Maya pias. Dia lupa, dia telah menyinggung salah satu hal yang paling sensitif mengenai Mahendra Pratama Maheswara.
Rania kembali ke mode semula. Tidak mengatakan sepatah kata pun, tetapi dia mendengar dan melihat apa yang terjadi.
Mahendra Pratama Maheswara. Pria bertubuh besar dengan tinggi 185 cm, tidak dikatakan gemuk, hanya besar saja. Wajahnya tidak berubah, kacamata besar masih bertengger dengan setia di wajahnya. Tampan? Mungkin hanya orang yang ingin menjilat Mahendra saja yang berkata seperti itu. Mungkin itu salah satu alasan penolakan Rania dulu.
"Kak, apa kita akan memilih gaun pengantin disini?" Pertanyaan yang cukup lemah dan hanya orang bodoh yang menanyakannya. Tempat yang mereka kunjungi adalah sebuah butik pengantin yang terkenal dengan gaun pengantin dan juga gaun pestanya. Jadi, seharusnya Rania tidak menanyakannya lagi. Rania hanya iba kepada bu Maya yang tidak bisa berkata apa-apa lagi untuk menyangkal apa yang dikatakan oleh Mahendra.
"Tentu, Sayang, pilihlah gaun pengantin yang kamu suka!" jawab Mahendra tersenyum di wajah dinginnya. Rania tahu, senyum itu palsu. Itu hanya seulas senyuman untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Mahendra Pratama Maheswara begitu menyayangi istrinya.
"Banyak pilihan gaun yang baru datang, Nona. Mari, saya tunjukkan semua!" kata bu Maya lega. Pandangannya menatap Rania sekilas untuk menunjukkan rasa terima kasihnya.
"Kami pilih yang itu saja! Dan itu juga bagus!" Mahendra menunjukkan gaun yang dia maksud meskipun dengan tatapan tidak setuju dari Rania.
Apa-apaan orang ini! Katanya tadi disuruh memilih! Tapi dia sendiri yang memilih! Rania melampiaskan kekesalannya di dalam hati.
"Kenapa? Kau tidak suka?" tanya Mahendra dengan nada manis, membuat Rania ingin muntah. Kalau bisa dia ingin menjejalkan sesuatu kepada mulut Mahendra, supaya pipinya itu bertambah chubby. Rania menggelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan pemikiran buruk dari benaknya itu.
"Tidak, Kak. Saya suka. Suka sekali malah. Sungguh gaun yang saya impikan!" jawab Rania sarkas. Gaun putih dengan taburan mutiara itu memang indah, tapi Rania pasti tidak nyaman dengan lengan dan bahunya yang tertutup. Tertutup semua, hanya membayangkannya saja Rania sudah sesak, apalagi jika nanti Rania memakainya. Pasti dia susah bernafas!
Impiannya akan gaun pernikahan yang terbuka. Tidak terbuka semuanya, hanya saja Rania ingin sekali mengenakan gaun pengantin dengan model Sabrina. Sepertinya mulai sekarang Rania harus mengucapkan selamat tinggal untuk pernikahan impiannya.
"Baiklah, ayo kita pergi. Bu Maya, pakaian untuk keluargaku bu Maya bisa urus sendiri bukan? Saya tidak mau ada kesalahan!" Mahendra menatap bu Maya dengan tatapan datar, tetapi mampu membuat bu Maya terintimidasi.
"Tentu saja, Tuan. Satu hari sebelum pernikahan akan saya kirim ke rumah!"
"Ayo!"
"Ta—tapi aku belum mencobanya."
"Bu Maya sudah tahu ukuran bajumu, ayo! Jangan membuat amarahku naik!" Mahendra berbisik dengan nada tajam ke telinga Rania.
"Ayo, Sayang. Kita harus segera pergi!" ucap Mahendra lembut dan meraih pinggan ramping Rania.
Bisakah Rania mendorong tubuh besar Mahendra dan menghempaskannya ke sungai besar yang ada di perbatasan kota? Mungkin dengan melakukannya, Rania bisa terbebas dari pernikahan yang menurut Rania sungguh tidak masuk di akal ini.
Baru setengah hari Rania bersama Mahendra dan dia sudah merasa terpenjara! Bagaimana dia bisa menghabiskan seumur hidupnya dengan Mahendra?
Tidak ada perlakuan istimewa ataupun ucapan manis dari Mahendra jika mereka sedang berduaan. Hanya kesunyian dan wajah Mahendra yang rasanya kian sinis. Rania menahan nafas dan hanya bisa memandang pemandangan di luar kaca jendela mobil.
"Kemana lagi kita akan pergi, Kak?" tanya Rania lirih. Sedikit takut dia mengeluarkan suaranya, tetapi harus dia lakukan, Rania harus belajar untuk memberanikan dirinya sendiri. Hadapilah, Rania! Jangan lari! Pasti calon suamimu ini akan semakin senang jika melihatmu ketakutan!
"Menurutmu?"
Rania hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban.
"Kita akan pergi ke Neraka!" Jawaban sinis yang sepertinya sudah menjadi kebiasaan Mahendra Ditambah dengan seringai yang terlihat kejam membuat Rania menyesali dirinya karena telah begitu berani untuk bertanya. Mungkin Rania di kehidupan yang dulu pernah punya kesalahan fatal yang harus dibayarnya di kehidupan ini.
,
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved