Bab 2 Penolakan

by Mawar Ungu 17:44,Aug 28,2023
"Rania, aku suka kepadamu! Apakah kau mau menjadi pacar ku?" tanya Mahendra kepada Rania yang hanya memandangnya dengan tatapan malas.
Rania menatap sekali lagi kakak kelas di hadapannya itu, Mahendra, Rania melihat name tag yang tertera di baju seragam yang dipakai kakak kelasnya. Sangat jauh dari selera Rania. Dan satu hal lagi, Rania tidak pernah mendengar satu kalipun nama Mahendra. Lebih baik dia tidak memusingkan hal itu. Kakak kelas bertubuh besar didepannya ini harus ditolak secepat mungkin.
"Maaf, Kak. Rania tidak memikirkan tentang menjalin hubungan. Rania ingin belajar lebih serius lagi!" jawab Rania dengan kesopanan tingkat tinggi. Jangan menolak dengan kasar! Itu sudah menjadi prinsip Rania.
"Aku bisa menunggumu! Sampai kapanpun juga!" Mahendra memperbaiki letak kacamata tebal yang bertengger di hidungnya. Membuat kening Rania berkerut memikirkan berapa minus kacamata tersebut. Ah! Kenapa juga Rania harus memikirkan hal tersebut! Dia harus fokus menolak Mahendra.
"Maaf, Kak. Tapi Rania tidak bisa! Terima kasih atas perasaan Kak Mahendra. Rania harus pergi!"
"Tidak bisa, kau harus memberikan alasan yang logis dan masuk akal kenapa kau menolakku!" Mahendra bersikukuh menatap Rania dengan pandangan yang mendamba.
Rania memandang Mahendra untuk kesekian kalinya dan melihat situasi sekitarnya. Suasana sudah cukup sepi, hanya ada latihan Paskibra di tengah lapangan. Namun, tetap cukup jauh dari tempat Rania dan Mahendra sekarang berada.
"Karena kakak tidak masuk dalam kriteriaku!" jawab Rania tegas. Singkirkan semua sopan santun dan kata-kata penolakan lembut. Mahendra harus tahu kenyataannya bahwa dia memang tidak menarik untuk Rania.
"Ooh, begitu?" Rania bersiap-siap barangkali Mahendra kecewa dan marah kepadanya. Tidak ada ungkapan marah yang Rania dengar. Sedikit lain dari prediksinya.
Mahendra hanya tersenyum dan tertawa. Tawa itu semakin lebar terdengar di telinga Rania.
"Ingatlah, Rania! Aku akan mengingat semua ini! Dan kau akan menjadi milikku!"
"Ha ... ha ... ha!" Suara itu masih terngiang dengan jelas disertai dengan wajah sinis Mahendra yang memandangnya.
Rania langsung bangun dari tidurnya dan bernafas lega ketika menyadari bahwa itu ternyata hanya mimpi. Bukan mimpi! Lebih tepatnya memang kejadian yang sebenarnya kecuali di bagian akhir. Rania memang pernah menolak Mahendra di masa lampau. Kini lihatlah apa yang terjadi, Rania malah menjadi istri kakak kelasnya itu!
Mahendra Pratama Maheswara. Rania mengeja nama calon suaminya dalam hati, bertepatan dengan ketukan lembut yang terdengar di pintu.
Rania berjalan dan membuka pintu, mendapati sang ibu sudah berdiri di depan kamarnya dengan kecemasan yang terpeta jelas di wajahnya.
"Boleh ibu masuk?" Pancawati bertanya dengan lembut. Masih ada perasaan takut dalam dirinya, kalau Rania masih kecewa terhadap dia.
Rania hanya mengangguk dan membuka pintu lebih lebar supaya ibunya bisa masuk ke dalam kamar. Sebesar apapun amarah Rania, pasti akan langsung luluh mendapati wajah sang ibu yang terlihat sedih seperti ini. Beban ibunya sudah banyak, jangan sampai Rania memberi tambahan beban lagi.
"Hari ini Rendra yang akan mengantar gaun pengantin untukmu sendiri!" Perkataan yang sungguh membuat Rania terkejut. Secepat itu dia harus bertemu dengan kakak kelasnya itu. Mau ditaruh dimana wajahnya sekarang?
"Ibu, apa aku bisa hidup bersama dengan pria yang tidak aku cintai?" tanya Rania lirih. Dia hanya ingin tahu pendapat ibunya.
"Cinta itu akan datang dengan sendirinya!"
"Tapi Rania pernah menolak Mahendra, Bu. Dimana ayah bisa kenal dengan Rendra? Lagipula, kenapa jauh sekali nama panggilannya, Bu?"
"Rendra yang meminta kami untuk memanggilnya begitu. Ah, ya, ibu juga tidak bertanya mengenai sekolahnya dulu. Ayah hanya bercerita bahwa Rendra lulusan luar negeri. Pebisnis muda yang sangan diperhitungkan saat ini. Kekayaan yang melimpah didukung dengan otak cemerlang membuat Rendra menggapai kesuksesan di usia muda!"
"Kenapa aku tidak tahu tentang hal itu, Bu?"
"Karena kau terlalu sibuk dengan duniamu sendiri, Rania. Dengarkan ibu! Sekarang mandi, lalu berdandan yang cantik dan turun ke bawah untuk sarapan. Sebentar lagi Rendra akan datang!"
Rania bergerak bagai robot menuruti permintaan sang ibu. Perasaan ingin melarikan diri dari pernikahan ini ditepisnya erat-erat. Rania tidak ingin menjadi anak durhaka. Anggap saja dia sedang membalas budi pada orang tuanya saat ini. Betul! Itu yang akan dilakukannya. Penolakan akan membuatnya terjatuh ke dalam kubangan masalah yang lain. Jadi, menghadapinya adalah hal yang terbaik saat ini.
"Bagus, ini lebih baik! Pakai ini, jangan warna nude," ucap Pancawati seraya memberikan lipstik berwarna pink ke tangan Rania.
"Tapi, Bu ... aku tidak punya lipstik warna nude!"
"Ha ... ha ... biarlah ibu menirukan percakapan dalam serial kesayangan ibu. Kau merusak kebahagiaan ibu!" jawab Pancawati tergelak kecil, melanjutkan kesibukannya untuk menata rambut Rania.
"Ibu bahagia?"
"Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Aku akan bahagia jika ibu bahagia!"
"Jangan membuat ibu sedih!"
"Ayo kita bergegas turun. Makanlah sesuatu sebelum bertemu dengan Rendra!"
Rania memeluk ibunya dengan penuh keharuan. Dia tahu, ibunya yang paling tersiksa dengan sikap Buana. Rania sendiri tidak tahu apa yang membuat ibunya bertahan sampai saat ini. Cinta? Rasa hormat? Entahlah! Memikirkan hal itu membuat Rania pusing sendiri. Lebih baik dia fokus dengan kedatangan Mahendra yang sudah di depan mata.
"Nyonya, Tuan Mahendra sudah datang!" ucap salah satu pelayan kediaman Buana Atmaja memberikan informasi.
Pancawati menggandeng tangan Rania dan membimbingnya ke ruang tamu.
"Ibu, aku bukan anak kecil! Aku tidak akan lari!" kata Rania jengah. Bukan karena dia risih dengan perhatian sang ibu, hanya saja di depan Mahendra nanti dia tidak ingin terlihat sebagai anak manja.
"Selamat datang di kediaman kami, Nak Mahendra!" sapaan Buana Atmaja terdengar menggelegar, membuat Rania sedikit tersentak karena kaget dengan suara ayahnya yang terdengar sangat antusias.
"Terima kasih, Calon Ayah Mertua!" Mahendra tersenyum dan menjawab dengan nada yang juga ramah kepada Buana Atmaja.
"Apa boleh saya mengajak Rania untuk langsung ke Butik? Saya tidak membawa pilihan bajunya, Calon Ayah dan Ibu Mertua," kata Mahendra masih dengan kesopanan tingkat tinggi.
"Panggil ayah dan ibu saja! Kami akan menjadi orang tuamu juga dalam waktu kurang dari tujuh hari. Silahkan, kamu bisa membawa Rania! Sekarang juga boleh!" Buana mendorong pelan Rania agar berdiri di samping Mahendra. Rania melayangkan senyum kesopanan, paling tidak dia harus bersikap baik kepada calon suaminya itu.
"Terima kasih, Ayah. Saya akan mengantar Rania pulang sore nanti. Karena ada beberapa tempat yang ingin saya tunjukkan kepada Rania."
"Tentu, bawalah Rania kemana kau suka, asal pulangkan dengan selamat!"
Rania hanya memutar bola matanya mendengar penuturan sang ayah dan terpaksa mengikuti Mahendra keluar rumah menuju mobilnya berada.
"Selamat datang ke permainanku, Sayang!" kata Mahendra dengan nada yang sedingin es.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

75