Bab 7 Mandiri

by Mawar Ungu 17:59,Aug 28,2023
Rumah itu sangat sederhana, bercat putih dengan taman yang tertata rapi. Garasi kecil yang hanya cukup menampung satu buah mobil berada di sisi sebelah kanan. Hanya ada pagar hitam dengan tinggi satu meter yang mengelilingi rumah itu. Tidak ada tanda kemewahan sama sekali yang menempel pada rumah tersebut. Bahkan paviliun kecil milik sang ayah yang terletak di belakang rumah mereka lebih bagus bentuknya daripada rumah di depannya ini.
Rania bahkan bisa membayangkan apa yang akan dia alami ke depannya nanti. Tersiksa? Jelas! Tapi tidak ada jalan untuk kembali. Dia hanya harus melangkah dan menatap masa depan dengan kesungguhan hati dan kemantapan hati. Dia tidak boleh bimbang.
"Kenapa? Tidak suka?" Pertanyaan yang langsung membuat hati Rania jatuh. Apakah sejelas itu perasaannya terlihat keluar? Pasti begitu! Sampai Mahendra bisa menebak apa isi hatinya.
"Tidak, bukan begitu, Kak. Suka, aku suka sekali," jawab Rania cepat. Mungkin inilah Mahendra yang sebenarnya, bukan Rania menganggap remeh, tetapi dengan kekayaan Mahendra yang didengungkan sang ayah secara berlebihan, tentu Rania juga tidak akan sampai sejauh ini memikirkan tentang rumah. Bayangannya mengenai kemewahan yang didengungkan sang ibu menghilang bersama dengan hembusan angin. Apanya yang diratukan? Dia pasti akan menjadi pembantu nanti! gerutu Rania di dalam hati. Meskipun begitu dia harus belajar menerima segalanya bukan? Menerima segala kesederhanaaan ini sebagaimana dia menerima Mahendra sebagai suaminya. Lebih tepatnya terpaksa menerima. Itu yang Rania lakukan.
"Kau selalu lamban! Cepat turun! Bawa kopermu sendiri di bagasi! Tidak ada yang melayanimu disini!" Teriakan Mahendra menyentak kembali kesadaran Rania yang sedang melamun.
"Koper? Kakak membawa pakaianku?" tanya Rania dengan nada polos. Mahendra hanya mendengkus kesal sambil membuka pintu mobil dan membantingnya. Membuat Rania terlonjak karena kaget. Tangan Rania terulur hendak membuka pintu mobil ketika pintu mobil sudah terbuka, membuat Rania hampir kehilangan keseimbangan kalau tidak ada tangan besar Mahendra yang memegang erat lengannya.
"Terima kasih, Kak!" tukas Rania cepat. Dia berdiri kembali dengan kecepatan yang tidak diperhitungkan. Jangan sampai perkataannya dan tindakannya membuay membuat Mahendra marah.
Rania bergegas mengambil koper dari bagasi yang sudah terbuka dan mengikuti langkah Mahendra ke dalam rumah. Seperti perkiraannya tadi, rumah itu memang cukup kecil bisa dikatakan sederhana. Hanya ada ruang tamu, ruang tengah sekaligus ruang makan dengan meja makan kecil di tengah ruangan.
"Kamar kita di situ!" kata Mahendra menunjuk satu ruangan pada sisi kiri yang pintunya terbuka lebar. Sepertinya hanya ada satu kamar di rumah itu. Membuat Rania kembali menghembuskan nafas. Dia harus satu kamar dengan suaminya itu. Pikiran macam apa itu, Rania? Tentu saja kau harus satu kamar dengan suamimu! Suara hati Rania langsung menegurnya dengan segera. Baik! Baik! Jangan marah, Hati! Aku akan menjalaninya dengan penuh semangat.
"Terima kasih, Kak," ucap Rania. Sebagai seorang istri yang baik dia harus selalu berterima kasih dengan apa yang dikatakan oleh suaminya. Apapun akan dia terima dengan kebesaran hati seperti seorang perawan yang masih suci.
"Cepat rapikan bajumu! Hanya ada satu lemari untuk kita berdua! Setelah itu kau siapkan makanan!" Mahendra masih dengan suaranya yang sedingin es memberi perintah.
"Memasak?" Lagi-lagi Rania tercekat mendapati kenyataan yang terpampang nyata di hadapannya.
"Tentu saja, siapa lagi? Tidak ada pelayan disini! Semua harus kau kerjakan sendiri!"
Rania menelan ludah mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Mahendra. Selama ini meskipun ayahnya keras, tetapi dia hampir tidak pernah memasak. Jangankan memasak, pergi ke dapur saja Rania jarang sekali. Baiklah, Rania! Kau pasti bisa. Jangankan memasak, dia bisa melakukan apapun.
"Baik, Kak. Aku ganti baju dulu!" Rania menyeret kopernya yang terasa berat itu masuk ke dalam kamar mereka.
"Angkat kopermu! Rodanya bisa merusak lantai keramik di rumah ini!" Teriakan Mahendra membuat Rania lagi-lagi terlonjak dan sontak mengangkat koper di tangannya agar tidak menyentuh lantai.
Sekali lagi Rania menghela nafas panjang, bolehkah dia melempar koper di tangannya kepada Mahendra dan bersikap tidak perduli dengan apapun akibatnya nanti. Namun, lagi-lagi bayangan akan kenyamanan keluarganya yang tercabut jika Rania melakukan itu mencegahnya.
Tangan Rania rasanya ngilu tetapi dengan tabah dia tetap mengangkat kopernya hati-hati. Meletakkan di samping lemari dan membuka koper tersebut untuk memindahkan isinya. Matanya berbinar ketika menemukan dompet dan ponselnya ada di tumpukan pakaian itu. Paling tidak, begitu Rania tidak tahan dengan perlakuan Mahendra, dia bisa lari.
"Kenapa lama sekali?!" sentak Mahendra kesal, berdiri di ambang pintu dengan wajah menahan amarah.
"Sudah, Kak. Aku akan memasak," ucap Rania dengan lirih. Dia sudah mengganti gaun pengantinnya dengan kaos oblong putih dan juga celana selutut. Entah siapa yang mempersiapkan isi kopernya, tetapi semua pakaiannya lengkap tersedia di dalam koper tersebut.
"Cepat masak! Siapkan kopi dulu untukku!" titah Mahendra yang hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh Rania.
"Kamu bisu?"
"Maksudnya, Kak?"
"Ternyata bisa bicara juga! Kalau aku bilang sesuatu, kamu harus jawab! Meskipun hanya satu kalimat saja!" Suara keras Mahendra rasanya membuat telinga Rania berdenging.
"Ma—maaf, Kak. Tidak akan aku ulangi," jawab Rania lirih.
"Bagus! Cepat ke dapur dan siapkan semuanya!" teriak Mahendra lagi. Rania sampai berfikir apakah tidak ada tetangga yang mendengar teriakan Mahendra itu? Sepertinya Rania tidak memperhatikan kalau sisi kanan dan kiri rumah mereka tidak ada rumah lagi. Di depan juga tidak ada rumah, satu tetangga baru ada sekitar satu kilometer. Sepertinya Mahendra sangat jeli dalam memilih hunian.
"Kopinya berapa sendok ya?" gumam Rania. Seharusnya dia membawa ponselnya tadi untuk melihat tutorial membuat kopi yang enak.
"Apa ambil ponsel saja?"
Rania menggelengkan kepalanya, mengambil ponsel berarti harus melewati tempat Mahendra berada. Daripada Rania harus terkena badai amarah, lebih baik kalau dia mengira-ngira saja. Lebih baik kena marah satu kali daripada dua kali.
Rania memasukkan lima sendok kopi dan juga tiga sendok gula lalu menuangkan air panas ke dalam cangkir tersebut. Mengaduknya perlahan dan memandang kopi buatannya dengan gamang. Dia sama sekali tidak suka kopi, jadi Rania tidak mencicipinya lagi.
"Cepat bawa kopinya!" teriak Mahendra dari depan. Membuat Rania mencari nampan dengan terburu-buru. Setelah ini sepertinya Rania akan punya penyakit jantung karena teriakan-teriakan Mahendra.
"Maaf, kalau lama, Kak. Ini kopinya," ucap Rania. Tangannya dengan hati-hati meletakkan cangkir kopi ke atas meja. Bersiap dengan segala kemarahan yang pasti akan menyembur keluar.
"Pergilah memasak!"
"Masak apa, Kak?"
"Terserah kamu!"
"Baik, Kak," jawab Rania bergegas kembali ke dapur ketika teriakan Mahendra terdengar membahana lagi.
"Rania!"

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

75