Bab 1 Calon Suami

by Mawar Ungu 17:17,Aug 28,2023
"Ini semua dokumen tentang calon suamimu, Rania. Ayah harap tidak ada bantahan atau apapun juga!"
Rania menatap nanar berkas yang ada di hadapannya. Mengambilnya dengan tangan gemetar. Hanya sebentar saja, karena pada akhirnya Rania harus menenangkan perasaannya. Percuma mengeluarkan bantahan, toh sejak awal, sang ayah, Buana Atmaja, sudah menjatuhkan keputusannya.
"Hanya Rendra pilihan terbaik ayahmu, Rania. Rendra akan menjadi suami yang terbaik nantinya." Pancawati, ibu Rania bicara dengan nada lembut. Meskipun Pancawati sendiri tahu apa yang sedang bergemuruh di dada putrinya saat ini, tetapi sebagai istri dengan doktrin harus mematuhi segala keputusan suami, Pancawati tidak kuasa menentang.
"Baik, Ayah. Rania akan membacanya di kamar," ucap Rania setelah diam beberapa saat.
"Bagus, besok ada yang membawakan gaun pengantin untukmu. Pesta pernikahan akan diadakan satu minggu lagi!" Buana Atmaja berkata tanpa ekspresi. Tidak ada nada gundah atau gelisah melepas putrinya, seakan-akan itu adalah hal yang normal.
"Satu minggu lagi?" Rania bertanya dengan nafas tercekat. Secepat itu? Sungguh Rania tidak menyangka dia akan secepat itu menikah.
"Kenapa? Bahkan kalau bisa besok! Tapi Rendra memberikan waktu untuk keluarga kita mempersiapkan semuanya. Sungguh baik bukan? Setelah kalian menikah, kucuran dana untuk perusahaan ayah akan cair dan kehidupan kita tidak akan dipusingkan lagi!"
Rania menghela nafas dalam dan melihat dari sudut matanya untuk mendengar barangkali ada pembelaan dari Pancawati. Namun, seperti yang sudah Rania prediksi sejak awal, sang ibu hanya mengangguk dan tersenyum. Hanya begitu saja. Jangankan pembelaan, sepatah kata saja tidak keluar dari bibir ibunya.
"Apa ada lagi yang kau tanyakan?"
"Apa aku bukan putri kandung ayah dan ibu?" tanya Rania lugas. Dia akan mematuhi permintaan kedua orang tuanya, tetapi sebelum itu dia akan meluapkan isi hatinya terlebih dahulu.
"Bicara apa kau? Jangan menjadi kurang ajar, Rania!"
"Karena ayah telah menjualku. Itu yang terjadi!"
Plak!
Bersamaan dengan berakhirnya kalimat itu, tamparan keras juga sudah mendarat di pipi mulus Rania. Pancawati tersentak dan berteriak, tetapi tidak melanjutkan protesnya ketika Buana Atmaja melihat Pancawati dengan pandangan menusuk.
"Jangan bantu putrimu yang kurang ajar ini! Maju selangkah, maka kau akan menyesal!" Ancaman Buana Atmaja membuat Pancawati tetap diam di tempatnya dengan pandangan iba kepada sang putri.
"Tenang saja, Ayah. Aku akan menerima pernikahan ini! Supaya hidup ayah, ibu dan juga adik-adikku makmur sejahtera ...."
Kirey menggantung ucapannya sambil menatap sang ayah dengan keberanian yang besar.
"Dan juga bisa menjamin istri muda ayah, aku akan melakukannya! Sebagai balas budiku sebagai seorang anak!" Dengan cepat Rania meraih berkas di atas meja dan melangkah keluar dari ruangan yang membuatnya sesak nafas itu.
Rania berlari menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Setitik air mata sudah luruh di pipinya. Air mata yang sudah dari tadi ditahannya akhirnya merebak juga. Rania membuka pintu dan menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang dengan kasar. Dokumen yang berisikan semua yang berhubungan dengan calon suaminya tidak Rania perdulikan. Rania hanya ingin meratapi nasibnya saja sekarang. Hanya malam ini, setelah itu dia akan menatap dunia dan melangkah tegar dengan lika-liku kehidupan di dalamya.
Prang!!
Suara vas bunga yang dilempar ke dinding sehingga pecah dan pecahannya luruh berkeping-keping memenuhi ruangan itu. Pancawati menutup telinganya dan menatap takut kepada sang suami.
"Inikah yang selama ini kau ajarkan kepada putrimu itu! Berani sekali dia berkata kurang ajar!"
"Yang dikatakan Rania benar, Mas!" Pancawati menatap suaminya dengan keberanian yang dengan susah payah dia kumpulkan.
"Kita tidak boleh memaksakan kehendak kita kepada Rania. Jangan jadi egois, Mas!"
Pandangan mata Buana kian tajam tertuju kepada Pancawati, dengan geram Buana mencengkeram dagu Pancawati dan mendorong kuat.
Pancawati terhuyung ke belakang, untungnya sandaran sofa yang empuk menahan tubuh Pancawati.
"Jangan berani mendikteku atau mempertanyakan segala keputusanku! Jangan menjadi istri pembangkang!"
"Aku tahu, Mas! Ini semua bukan demi kami! Hanya demi memenuhi keinginan istri mudamu itu!"
Tangan Buana sudah terkepal dan melayang di udara. Pancawati menutup mata, siap untuk menerima rasa sakit. Namun, setelah beberapa saat tidak ada rasa sakit yang mendera. Pancawati membuka matanya perlahan. Buana Atmaja sudah memalingkan pandangan dan berusaha menahan diri dari amarah yang siap terlontar.
"Pergilah! Sebelum aku semakin marah kepadamu!"
Pancawati menghela nafas panjang, tidak ada yang bisa dikatakannya lagi. Bantahan apapun pasti akan percuma, hanya akan menambah luka di hati dan tubuh Pancawati. Jadi, jalan satu-satunya adalah pergi dari hadapan Buana.
"Minumlah tehnya dulu, pelayan akan membawakan yang baru kalau sudah dingin!" ucap Pancawati sebelum pergi. Lihatlah dia, setelah ucapan keras yang dilontarkan Buana, Pancawati masih memperhatikan suaminya itu sebegitu rupa.
"Tidak perlu, pergilah!" jawab Buana tidak mau menatap wajah Pancawati. Pancawati mengangguk dan membuka pintu.
Pancawati hendak melangkahkan kaki kekamarnya ketika dia urungkan dan berjalan ke anak tangga. Namun, sesampai di sana, dia hanya berdiri terpaku dan memutuskan kembali ke kamar. Rania pasti masih bersedih sekarang, lebih baik Pancawati membiarkan Rania terlebih dahulu. Setelah Rania lebih tenang, Pancawati akan berbicara dari hati ke hati dengan Rania.
"Kau pasti bisa dengan tegar menerima semua ini, Rania. Ibu tahu kau lebih kuat daripada ibu!" gumam Pancawati lirih.
Rania masih berbaring dan menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Rasanya pikirannya penuh, hampa, sedih dan entah perasaan apalagi yang berkecamuk dalam pikirannya.
"Argghhhhh!" Rania berteriak sekencang mungkin untuk meluapkan kekecewaannya. Kamarnya yang memang dirancang kedap suara membuat orang di luar tidak bisa mendengar teriakannya.
"Kamu harus kuat, Rania!" kata Rania kepada dirinya sendiri. Memberi sugesti bahwa apapun yang terjadi memang harus terjadi.
"Apa aku harus lari saja?" Rania kembali bergumam kepada dirinya sendiri. Dia bangkit dan menggelengkan kepalanya perlahan.
"Tidak! Tidak! Jangan egois, Rania!"
"Demi keluargamu, Rania! Kau harus bertahan dan menerima pernikahan ini!" Rania berkata di depan cermin yang ada di kamarnya.
Berkali-kali Rania menghela nafas panjang dan mengusap wajah dengan gusar yang kentara.
Akhirnya setelah beberapa waktu berbicara sendiri di depan cermin, Rania menatap berkas yang tergeletak begitu saja. Dia bangkit dan mengambil berkas tersebut.
Rania masih menatap berkas di tangannya dengan tatapan malas. Namun, dengan segera dia memutuskan untuk membuka dokumen di hadapannya. Paling tidak, dia mengetahui bagaimana tentang calon suaminya itu.
"Mahendra Pratama Maheswara," ucap Rania membaca dokumen dan perhatiannya langsung tersita melihat selembar foto di tangannya.
"Dia ....!" Rania tercekat dan tertawa terbahak-bahak melihat foto itu, kemudian melemparkannya dengan kasar sehingga foto itu jatuh melayang ke bawah kolong tempat tidur.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

75