Bab 8 Kopi Manis
by Mawar Ungu
18:00,Aug 28,2023
"Apa yang kau berikan kepadaku?" Mahendra berteriak dengan marah. Membuat Rania dengan sedikit berlari kembali ke tempat Mahendra berada. Dia sampai terengah-engah karena pertama dia kaget dengan teriakan Mahendra. Untuk yang kedua karena berlari secepat kilat.
"Maaf, Kak. Apa ada yang salah?"
"Coba sendiri!" Mahendra mengulurkan cangkir kopi ditangannya kepada Rania.
Rania menerima dengan hati-hati dan mulai mencicipinya. Rania memgernyit seketika mendapati rasa manis yang pekat. Sangat manis! Bagaimana bisa dia meracik kopi seperti ini? Pasti tidak akan ada ampun untuk Rania setelah ini! Rania menatap Mahendra dengan takut. Pandangan matanya seperti seorang tawanan yang siap menerima hukuman dari petinggi.
"Maaf, Kak. Saya akan membuatkan yang baru!" kata Rania sebelum kalimat yang mengandung amarah keluar dari mulut Mahendra.
"Tidak perlu, aku akan buat sendiri! Kamu masak saja!"
"Baik, Kak," jawab Rania. Namun, benaknya berfikir keras apa yang akan dimasaknya. Baru kali ini dia menyesal kenapa tidak belajar memasak dari dulu. Bukan karena dia malas. Itu karena sang ayah tidak memperbolehkan Rania untuk pergi ke Dapur. Tidak boleh sama sekali. Waktu ekonomi mereka masih menjulang tinggi dulu. Dan sekarang, dia harus memasak di rumah baru mereka. Semoga saja tidak terjadi kebakaran atau masalah nantinya. Rania berdoa dengan sungguh-sungguh di dalam hati. Sesuatu yang sudah lama dia tinggalkan. Apa yang harus terjadi nanti memang harus terjadi, dia tidak bisa mengelak dari takdir yang sudah digariskan.
Rania membuka lemari es satu pintu yang berada di dapur dan melihat Mahendra dari sudut matanya.
"Apa lihat-lihat!" sergah Mahendra kesal.
Teguran yang membuat Rania tersentak kaget. Bagaimana bisa Mahendra tahu bahwa Rania sedang melihatnya? Padahal posisi tubuh Rania membelakangi Mahendra. Apakah suaminya ini mempunyai indera keenam? Pasti begitu.
Aroma kopi yang harum menguar ke udara membuat Rania yang sedang mengeluarkan telur berhenti sejenak dari kegiatannya.
"Apa yang akan kau masak?"
"Telur, Kak. Sama mie instan," jawab Rania lirih. Berharap Mahendra tidak melontarkan jawaban pedas lagi kepada dia.
"Hanya itu?" Mahendra memutar matanya malas mendengar jawaban Rania.
"Saya takut kak Rendra tidak suka dengan masakan saya. Saya tidak bisa masak. Belum! Tepatnya belum bisa, Kak. Tapi saya akan belajar! Pasti lain kali bisa masak yang lain!" kata Rania cepat. Memang itu yang menjadi tekadnya hari itu. Jangan sampai membuat Mahendra tersulut amarah atau dia akan segera terkena serangan jantung di usia yang relatif masih muda.
"Payah! Kau benar-benar anak manja! Aku tidak mengira bahwa kau akan semanja ini!"
"Benar-benar seorang putri!" Mahendra sedikit mendorong Rania. Hanya sedikit, tetapi mampu membuat Rania bergeser dari tempatnya berdiri. Apakah Mahendra tidak sadar dengan tubuhnya yang bagaikan raksasa itu? Oke, sepertinya Rania sedikit berlebihan. Badan Mahendra sedikit besar. Dibandingkan dengan tubuhnya yang ramping, seperti langit dan bumi.
"Amati baik-baik, kali ini aku yang akan memasak untukmu!"
"Kak Rendra bisa?" tanya Rania dengan takjub, menyingkirkan rasa takut akan suara Mahendra yang mungkin akan menggelegar lagi.
Tidak ada jawaban dari Mahendra. Badannya yang besar menutupi lemari es di hadapannya. Setelah memindai isi lemari es sejenak, Mahendra mengambil kubis, wortel dan juga ayam.
Rania mengamati dengan penuh rasa ketertarikan yang kentara.
"Jangan mendekat!" teriak Mahendra menggema di Dapur kecil itu. Membuat Rania mengurungkan langkahnya dan tetap berdiri di tempatnya semula.
"Kak Rendra benar-benar hebat!" Rania kembali bersuara, tidak memperdulikan sorot mata Mahendra yang menatapnya dengan tajam.
Mahendra memotong sayuran dengan cekatan. Mencuci ayam dan membuat adonan tepung dengan segala macam bumbu yang memang sudah lengkap tersedia.
Rania masih mengamati dengan penuh rasa takjub. Bahkan tidak memperdulikan kakinya yang sudah terasa kaku karena dari tadi tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
Tanpa terasa hampir satu jam Rania berdiri di tempatnya, tetap berjarak dengan Mahendra. Aroma masakan yang harum menguar di udara. Membuat perut Rania berbunyi dengan asiknya.
"Baunya harus sekali, Kak. Pasti rasanya enak!" celetuk Rania spontan, tetapi dengan segera dia membekap mulutnya karena pandangan tajam Mahendra seakan menembus jantungnya.
"Kak, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Rania takut. Dia segera menyingkirkan rasa takutnya dan terbiasa dengan semua ini. Daripada dia yang kena semprot, lebih baik Rania yang bertanya terlebih dahulu.
"Ambilkan piring saja dan tata di meja makan!" jawab Mahendra dengan nada datar. Tanpa sengaja Rania menghembuskan nafas lega, paling tidak jawaban Mahendra lebih halus daripada sebelumnya, itu sudah cukup bagi Rania.
"Apalagi yang kau tunggu!" Lagi-lagi Rania harus terlonjak kaget karena suara yang bagaikan petir itu. Dia segera mengambil beberapa piring dan menatanya di meja makan kecil.
Mahendra meletakkan lauk yang telah dimasaknya dan menata dengan apik. Rania masih tetap berdiri menunggu sampai Mahendra selesai.
"Nasinya mau seberapa, Kak?" tanya Rania. Dia tahu, dia yang harus melayani Mahendra.
"Lumayan," jawab Mahendra yang disertai kerutan di kening Rania.
Berapa ukuran lumayan itu? Mahendra tidak menjelaskan secara spesifik dan Rania harus menerkanya sendiri.
Rania melihat sekilas Mahendra yang sudah duduk dengan tenang. Melihat centong nasi di tangannya dan mulai memutuskan bahwa dia harus mengambil banyak nasi, tidak mungkin seorang Mahendra dengan ukuran tubuh yang seperti itu makan sedikit bukan?
"Apa yang kau lakukan?!" Teriakan Mahendra kembali menggaung di ruang makan yang mungil itu.
"Mengambilkan nasi untuk Kak Rendra. Mari makan, Kak!"
Mahendra menatap nasi yang menggunung di piring yang disodorkan Rania lalu melihat istrinya dengan pandangan bengis.
"Apa kau pikir aku adalah raksasa?"
"Tapi, kata Kak Rendra tadi mau nasinya lumayan," jawab Rania lirih. Dia harus berani sekarang. Jangan sampai menerima perlakuan semena-mena dari Mahendra. Tekad kuat Rania setidaknya menguatkan hati Rania juga.
"Kalau tidak tahu, tanyalah lagi! Jangan sembarangan seperti ini!"
"Maaf, Kak."
"Kalau begitu, kau harus mendapat hukuman!"
Rania memutar bola matanya mendengar perkataan dari Mahendra.
Hukuman? Hukuman apa yang dia akan dapatkan? Baru sehari saja dia menjadi istri dari Mahendra Pratama, dia sudah mendapat hukuman! Sungguh pengalaman hidup yang sangat berharga dan bisa dijadikan cerita kepada keturunannya kelak. Ibu, lihatlah putrimu ini! Rania berkeluh kesah di dalam hati. Tentu saja hanya di dalam hati saja. Jangan berani untuk mengungkapkannya atau hidupmu akan kebih menderita Rania! Batin Rania memberi wejangan kepada Rania yang sungguh sangat berguna di masa seperti ini.
"Hukuman apa, Kak?" tanya Rania tegar atau berpura-pura tabah?
"Kau harus makan satu piring berdua denganku!"
Jawaban Mahendra yang seketika membuat Rania lemas.
"Maaf, Kak. Apa ada yang salah?"
"Coba sendiri!" Mahendra mengulurkan cangkir kopi ditangannya kepada Rania.
Rania menerima dengan hati-hati dan mulai mencicipinya. Rania memgernyit seketika mendapati rasa manis yang pekat. Sangat manis! Bagaimana bisa dia meracik kopi seperti ini? Pasti tidak akan ada ampun untuk Rania setelah ini! Rania menatap Mahendra dengan takut. Pandangan matanya seperti seorang tawanan yang siap menerima hukuman dari petinggi.
"Maaf, Kak. Saya akan membuatkan yang baru!" kata Rania sebelum kalimat yang mengandung amarah keluar dari mulut Mahendra.
"Tidak perlu, aku akan buat sendiri! Kamu masak saja!"
"Baik, Kak," jawab Rania. Namun, benaknya berfikir keras apa yang akan dimasaknya. Baru kali ini dia menyesal kenapa tidak belajar memasak dari dulu. Bukan karena dia malas. Itu karena sang ayah tidak memperbolehkan Rania untuk pergi ke Dapur. Tidak boleh sama sekali. Waktu ekonomi mereka masih menjulang tinggi dulu. Dan sekarang, dia harus memasak di rumah baru mereka. Semoga saja tidak terjadi kebakaran atau masalah nantinya. Rania berdoa dengan sungguh-sungguh di dalam hati. Sesuatu yang sudah lama dia tinggalkan. Apa yang harus terjadi nanti memang harus terjadi, dia tidak bisa mengelak dari takdir yang sudah digariskan.
Rania membuka lemari es satu pintu yang berada di dapur dan melihat Mahendra dari sudut matanya.
"Apa lihat-lihat!" sergah Mahendra kesal.
Teguran yang membuat Rania tersentak kaget. Bagaimana bisa Mahendra tahu bahwa Rania sedang melihatnya? Padahal posisi tubuh Rania membelakangi Mahendra. Apakah suaminya ini mempunyai indera keenam? Pasti begitu.
Aroma kopi yang harum menguar ke udara membuat Rania yang sedang mengeluarkan telur berhenti sejenak dari kegiatannya.
"Apa yang akan kau masak?"
"Telur, Kak. Sama mie instan," jawab Rania lirih. Berharap Mahendra tidak melontarkan jawaban pedas lagi kepada dia.
"Hanya itu?" Mahendra memutar matanya malas mendengar jawaban Rania.
"Saya takut kak Rendra tidak suka dengan masakan saya. Saya tidak bisa masak. Belum! Tepatnya belum bisa, Kak. Tapi saya akan belajar! Pasti lain kali bisa masak yang lain!" kata Rania cepat. Memang itu yang menjadi tekadnya hari itu. Jangan sampai membuat Mahendra tersulut amarah atau dia akan segera terkena serangan jantung di usia yang relatif masih muda.
"Payah! Kau benar-benar anak manja! Aku tidak mengira bahwa kau akan semanja ini!"
"Benar-benar seorang putri!" Mahendra sedikit mendorong Rania. Hanya sedikit, tetapi mampu membuat Rania bergeser dari tempatnya berdiri. Apakah Mahendra tidak sadar dengan tubuhnya yang bagaikan raksasa itu? Oke, sepertinya Rania sedikit berlebihan. Badan Mahendra sedikit besar. Dibandingkan dengan tubuhnya yang ramping, seperti langit dan bumi.
"Amati baik-baik, kali ini aku yang akan memasak untukmu!"
"Kak Rendra bisa?" tanya Rania dengan takjub, menyingkirkan rasa takut akan suara Mahendra yang mungkin akan menggelegar lagi.
Tidak ada jawaban dari Mahendra. Badannya yang besar menutupi lemari es di hadapannya. Setelah memindai isi lemari es sejenak, Mahendra mengambil kubis, wortel dan juga ayam.
Rania mengamati dengan penuh rasa ketertarikan yang kentara.
"Jangan mendekat!" teriak Mahendra menggema di Dapur kecil itu. Membuat Rania mengurungkan langkahnya dan tetap berdiri di tempatnya semula.
"Kak Rendra benar-benar hebat!" Rania kembali bersuara, tidak memperdulikan sorot mata Mahendra yang menatapnya dengan tajam.
Mahendra memotong sayuran dengan cekatan. Mencuci ayam dan membuat adonan tepung dengan segala macam bumbu yang memang sudah lengkap tersedia.
Rania masih mengamati dengan penuh rasa takjub. Bahkan tidak memperdulikan kakinya yang sudah terasa kaku karena dari tadi tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
Tanpa terasa hampir satu jam Rania berdiri di tempatnya, tetap berjarak dengan Mahendra. Aroma masakan yang harum menguar di udara. Membuat perut Rania berbunyi dengan asiknya.
"Baunya harus sekali, Kak. Pasti rasanya enak!" celetuk Rania spontan, tetapi dengan segera dia membekap mulutnya karena pandangan tajam Mahendra seakan menembus jantungnya.
"Kak, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Rania takut. Dia segera menyingkirkan rasa takutnya dan terbiasa dengan semua ini. Daripada dia yang kena semprot, lebih baik Rania yang bertanya terlebih dahulu.
"Ambilkan piring saja dan tata di meja makan!" jawab Mahendra dengan nada datar. Tanpa sengaja Rania menghembuskan nafas lega, paling tidak jawaban Mahendra lebih halus daripada sebelumnya, itu sudah cukup bagi Rania.
"Apalagi yang kau tunggu!" Lagi-lagi Rania harus terlonjak kaget karena suara yang bagaikan petir itu. Dia segera mengambil beberapa piring dan menatanya di meja makan kecil.
Mahendra meletakkan lauk yang telah dimasaknya dan menata dengan apik. Rania masih tetap berdiri menunggu sampai Mahendra selesai.
"Nasinya mau seberapa, Kak?" tanya Rania. Dia tahu, dia yang harus melayani Mahendra.
"Lumayan," jawab Mahendra yang disertai kerutan di kening Rania.
Berapa ukuran lumayan itu? Mahendra tidak menjelaskan secara spesifik dan Rania harus menerkanya sendiri.
Rania melihat sekilas Mahendra yang sudah duduk dengan tenang. Melihat centong nasi di tangannya dan mulai memutuskan bahwa dia harus mengambil banyak nasi, tidak mungkin seorang Mahendra dengan ukuran tubuh yang seperti itu makan sedikit bukan?
"Apa yang kau lakukan?!" Teriakan Mahendra kembali menggaung di ruang makan yang mungil itu.
"Mengambilkan nasi untuk Kak Rendra. Mari makan, Kak!"
Mahendra menatap nasi yang menggunung di piring yang disodorkan Rania lalu melihat istrinya dengan pandangan bengis.
"Apa kau pikir aku adalah raksasa?"
"Tapi, kata Kak Rendra tadi mau nasinya lumayan," jawab Rania lirih. Dia harus berani sekarang. Jangan sampai menerima perlakuan semena-mena dari Mahendra. Tekad kuat Rania setidaknya menguatkan hati Rania juga.
"Kalau tidak tahu, tanyalah lagi! Jangan sembarangan seperti ini!"
"Maaf, Kak."
"Kalau begitu, kau harus mendapat hukuman!"
Rania memutar bola matanya mendengar perkataan dari Mahendra.
Hukuman? Hukuman apa yang dia akan dapatkan? Baru sehari saja dia menjadi istri dari Mahendra Pratama, dia sudah mendapat hukuman! Sungguh pengalaman hidup yang sangat berharga dan bisa dijadikan cerita kepada keturunannya kelak. Ibu, lihatlah putrimu ini! Rania berkeluh kesah di dalam hati. Tentu saja hanya di dalam hati saja. Jangan berani untuk mengungkapkannya atau hidupmu akan kebih menderita Rania! Batin Rania memberi wejangan kepada Rania yang sungguh sangat berguna di masa seperti ini.
"Hukuman apa, Kak?" tanya Rania tegar atau berpura-pura tabah?
"Kau harus makan satu piring berdua denganku!"
Jawaban Mahendra yang seketika membuat Rania lemas.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved