Bab 4 Dilema
by Mawar Ungu
17:56,Aug 28,2023
"Berfikir! Berfikir! Rania!" gumam Rania kepada dirinya sendiri. Rasanya pikirannya buntu saat ini. Akankah dia menerima pernikahan ini dengan sukacita? Tentu saja harus! Bukankah kesejahteraan keluarga Atmaja berada di tangannya. Termasuk istri muda ayahnya.
Rania melemparkan bantal ke atas dan berguling-guling di tempat tidur sebagai tanda bahwa dia frustasi.
Berkali-kali Rania menghembuskan nafas panjang yang menunjukkan bahwa dia frustasi dengan apa yang terjadi kepada dirinya. Memejamkan matapun dia tidak bisa terlelap. Malah semakin memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya nanti.
"Baiklah, kalau pernikahan ini tetap terlaksana, aku akan melakukannya. Tetapi, jangan harap aku akan jadi istri yang baik nantinya. Aku akan membangkang!" Tekad Rania bulat. Pikirannya sudah berkelana bagaimana dia bersikap kepada keluarga Maheswara nanti. Terutama kepada Mahendra, calon suami yang akan menjadi suaminya kurang dari satu Minggu.
"Apakah kak Mahendra benci dan ingin balas dendam kepadaku?" Lagi-lagi Rania bicara kepada dirinya sendiri. Sahabat? Sejak lama Rania tidak percaya kepada namanya sahabat. Mungkin hanya teman saja, itu pun karena dia adalah makhluk sosial dan perlu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar agar tidak dicap sombong. Akhirnya, karena lelah berfikir, mata Rania perlahan-lahan terpejam. Biarlah, apa yang akan terjadi pasti terjadi juga.
Hari demi hari diisi dengan kesibukan pesta pernikahan Rania dengan Mahendra. Setiap hari juga Rania hanya termangu di balkon kamarnya sambil menghitung detik demi detik masa lajangnya akan berakhir. Membayangkan menghabiskan waktu bersama orang yang sama sekali tidak dicintainya sungguh membuat Rania tersiksa. Demi keluarganya, semua harus dilakukan, ikhlas ataupun tidak, bersedia ataupun tidak dia harus bersedia.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Rania, dia segera membuka pintu dan mendapati Pancawati sudah berdiri di depan kamarnya dengan senyum mengembang.
"Sayang, kau sedang apa?" tanya sang ibu sambil masuk ke dalam kamar, tangan Pancawati sendiri memegang dua buah kotak.
"Beginilah, aku sedang meratapi masa kebebasanku, Ibu," jawab Rania. Kalau bisa, dia ingin berkeluh kesah kepada ibunya mengenai sikap Mahendra. Barangkali saja Pancawati merasa iba dan bisa bicara dengan ayahnya mengenai pernikahan yang sudah di depan mata. Apakah mungkin dia membicarakan hal itu dengan Ibunya?
"Kau akan bahagia dengan Rendra, Rania. Percaya sama ibu!" Pancawati mengelus lembut rambut legam Rania.
Rania mengeluh dalam hati. Baiklah, sepertinya dia akan bercerita mengenai sikap Mahendra yang buruk. Sangat buruk menurut Rania. Mungkin dengan begitu sikap dan pandangan sang ibu yang terlalu memuji Mahendra akan berubah. Rania akan mencobanya.
"Kak Mahendra sangat kejam, Bu. Sikapnya sangat dingin dan tidak berperikemanusiaan!" keluh Rania, nada bicara yang dibuat memelas mungkin dengan harapan sang ibu luruh mendengar ceritanya. Dia lalu bercerita dengan mendetail bagaimana ketika Mahendra berdua saja dengannya. Rania sangat berharap agar sang ibu berubah pikiran.
"Tidak mungkin, Rania! Pasti itu karena dia baru bertemu denganmu, jadi sikapnya sangat kaku. Jangan berprasangka buruk dulu, Rania. Kami tahu bahwa Mahendra akan memperlakukanmu bagai ratu. Kau mendapatkan suami yang baik, romantis dan juga kaya. Ayah dan ibu melihat sendiri bagaimana Rendra memperlakukanmu di depan kami. Kau akan menjadi ratu di dalam istana Rendra nanti!" Pancawati tersenyum dan menolak semua yang dikatakan Rania. Bahkan Pancawati berulang kali memuji Mahendra dan mengucapkan hal yang sama mengenai menantunya itu.
"Kak Rendra mencengkeram lenganku waktu itu, Bu. Aku sampai kesakitan!" kata Rania lagi, berusaha mendramatisir suasana. Rania tidak berbohong, mungkin sedikit berlebihan.
"Masalah itu? Rendra sudah bercerita, katanya tidak sengaja waktu kamu sedang melamun. Memang apa yang kau lamunkan, Rania?"
Rania terperangah tidak percaya. Mahendra sudah bercerita kepada ibunya, dan orang tuanya percaya begitu saja! Tertutup sudah pintu untuk lolos dari jerat pernikahan paksa ini.
Rania harus menyingkirkan semua dilema yang hinggap di dalam benaknya dan melaksanakan pernikahan dengan hati lapang. Hanya itu saja yang bisa dia lakukan.
"Ini warisan turun temurun dari keluarga ibu. Semoga kau bisa menjaga semua perhiasan ini dengan baik!" Pancawati memberikan dua buah kotak yang dibawanya kepada Rania.
Sekali lagi Rania tersentak kaget melihat isi di dalamnya. Dia memang tidak pernah melihat secara langsung perhiasan yang menurut ibunya turun temurun itu. Sekali pandang saja, Rania tahu bahwa harga perhiasan di tangannya berharga fantastis.
"Kenapa tidak jual perhiasan ini saja, Bu?" Rania menyentuh dengan hati-hati permata indah di depannya. Jangan sampai sentuhan tangannya menimbulkan kerusakan yang tidak disengaja.
"Meskipun harganya cukup tinggi, tetapi masih belum cukup untuk menutupi kerugian ayahmu. Simpan baik-baik, Sayang. Kalau suatu saat kau memerlukannya, kau bisa menjual semua ini!"
Suatu saat? Apakah ada nanti di fase kehidupannya Rania akan menjual semua perhiasan di tangannya? Apakah perhiasan ini bisa sebagai alat untuk melarikan diri? Tidak! Jangan sekarang! Paling tidak, Rania harus memastikan dulu keluarganya tidak akan berpengaruh. Mereka harus selamat dulu! Tidak perduli Rania yang akan babak belur. Itu sudah menjadi tekadnya saat ini.
"Istirahatlah, besok pagi-pagi sekali tim make up sudah datang. Jadi, ibu ingin kau menjadi pengantin yang paling cantik. Orang tua tidak akan menjerumuskan anaknya sendiri, Rania!"
Rania mengangguk paham. Apalagi yang harus dia katakan selain menerima semua yang dikatakan oleh ibunya. Dia harus berdamai dengan keadaan. Rania yakin, dia akan bisa melakukannya.
Pukul empat pagi, tim make up sudah datang untuk melakukan rias pengantin terhadap Rania dan seluruh anggota keluarganya.
Orang tua dan kedua adiknya dirias di kamar masing-masing. Tim Make Up yang didatangkan untuk keluarga Rania ada sepuluh orang. Jumlah yang sangat cukup, semua dikirim oleh Mahendra. Acara sendiri akan dilaksanakan pukul sembilan pagi dan berlangsung di kediaman Buana Atmaja.
Rania masih gundah gulana. Bahkan acara pernikahan belum dimulai dan dia sudah gugup setengah mati? Tersenyum, Rania! Jangan perlihatkan wajah susah! Batin Rania menegur dengan keras.
"Nona Rania sungguh cantik. Pasti Tuan Mahendra tidak akan berkedip menatap wajah nona nanti."
Rania hanya tersenyum sopan menanggapi pujian itu, dia sendiri belum tahu seperti apa parasnya. Ada suatu mitos yang dipercaya, bahwa calon pengantin tidak boleh melihat wajahnya sendiri sebelum proses merias selesai. Tim Make Up yang menangani Rania sepertinya berpegang teguh akan mitos yang beredar di tengah masyarakat. Bahkan sebelum mereka mulai merias Rania, mereka sudah siap dengan berbagai ritual yang mereka percaya dalam hal merias pengantin. Rania sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu.
Hanya satu hal yang dia permasalahkan. Mahendra! Hanya nama itu masalahnya saat ini.
"Rania, rombongan pengantin pria sudah datang!" Informasi yang diberikan oleh Pancawati membuat dada Rania berdegup semakin kencang. Penderitaannya sudah datang!
Rania melemparkan bantal ke atas dan berguling-guling di tempat tidur sebagai tanda bahwa dia frustasi.
Berkali-kali Rania menghembuskan nafas panjang yang menunjukkan bahwa dia frustasi dengan apa yang terjadi kepada dirinya. Memejamkan matapun dia tidak bisa terlelap. Malah semakin memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya nanti.
"Baiklah, kalau pernikahan ini tetap terlaksana, aku akan melakukannya. Tetapi, jangan harap aku akan jadi istri yang baik nantinya. Aku akan membangkang!" Tekad Rania bulat. Pikirannya sudah berkelana bagaimana dia bersikap kepada keluarga Maheswara nanti. Terutama kepada Mahendra, calon suami yang akan menjadi suaminya kurang dari satu Minggu.
"Apakah kak Mahendra benci dan ingin balas dendam kepadaku?" Lagi-lagi Rania bicara kepada dirinya sendiri. Sahabat? Sejak lama Rania tidak percaya kepada namanya sahabat. Mungkin hanya teman saja, itu pun karena dia adalah makhluk sosial dan perlu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar agar tidak dicap sombong. Akhirnya, karena lelah berfikir, mata Rania perlahan-lahan terpejam. Biarlah, apa yang akan terjadi pasti terjadi juga.
Hari demi hari diisi dengan kesibukan pesta pernikahan Rania dengan Mahendra. Setiap hari juga Rania hanya termangu di balkon kamarnya sambil menghitung detik demi detik masa lajangnya akan berakhir. Membayangkan menghabiskan waktu bersama orang yang sama sekali tidak dicintainya sungguh membuat Rania tersiksa. Demi keluarganya, semua harus dilakukan, ikhlas ataupun tidak, bersedia ataupun tidak dia harus bersedia.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Rania, dia segera membuka pintu dan mendapati Pancawati sudah berdiri di depan kamarnya dengan senyum mengembang.
"Sayang, kau sedang apa?" tanya sang ibu sambil masuk ke dalam kamar, tangan Pancawati sendiri memegang dua buah kotak.
"Beginilah, aku sedang meratapi masa kebebasanku, Ibu," jawab Rania. Kalau bisa, dia ingin berkeluh kesah kepada ibunya mengenai sikap Mahendra. Barangkali saja Pancawati merasa iba dan bisa bicara dengan ayahnya mengenai pernikahan yang sudah di depan mata. Apakah mungkin dia membicarakan hal itu dengan Ibunya?
"Kau akan bahagia dengan Rendra, Rania. Percaya sama ibu!" Pancawati mengelus lembut rambut legam Rania.
Rania mengeluh dalam hati. Baiklah, sepertinya dia akan bercerita mengenai sikap Mahendra yang buruk. Sangat buruk menurut Rania. Mungkin dengan begitu sikap dan pandangan sang ibu yang terlalu memuji Mahendra akan berubah. Rania akan mencobanya.
"Kak Mahendra sangat kejam, Bu. Sikapnya sangat dingin dan tidak berperikemanusiaan!" keluh Rania, nada bicara yang dibuat memelas mungkin dengan harapan sang ibu luruh mendengar ceritanya. Dia lalu bercerita dengan mendetail bagaimana ketika Mahendra berdua saja dengannya. Rania sangat berharap agar sang ibu berubah pikiran.
"Tidak mungkin, Rania! Pasti itu karena dia baru bertemu denganmu, jadi sikapnya sangat kaku. Jangan berprasangka buruk dulu, Rania. Kami tahu bahwa Mahendra akan memperlakukanmu bagai ratu. Kau mendapatkan suami yang baik, romantis dan juga kaya. Ayah dan ibu melihat sendiri bagaimana Rendra memperlakukanmu di depan kami. Kau akan menjadi ratu di dalam istana Rendra nanti!" Pancawati tersenyum dan menolak semua yang dikatakan Rania. Bahkan Pancawati berulang kali memuji Mahendra dan mengucapkan hal yang sama mengenai menantunya itu.
"Kak Rendra mencengkeram lenganku waktu itu, Bu. Aku sampai kesakitan!" kata Rania lagi, berusaha mendramatisir suasana. Rania tidak berbohong, mungkin sedikit berlebihan.
"Masalah itu? Rendra sudah bercerita, katanya tidak sengaja waktu kamu sedang melamun. Memang apa yang kau lamunkan, Rania?"
Rania terperangah tidak percaya. Mahendra sudah bercerita kepada ibunya, dan orang tuanya percaya begitu saja! Tertutup sudah pintu untuk lolos dari jerat pernikahan paksa ini.
Rania harus menyingkirkan semua dilema yang hinggap di dalam benaknya dan melaksanakan pernikahan dengan hati lapang. Hanya itu saja yang bisa dia lakukan.
"Ini warisan turun temurun dari keluarga ibu. Semoga kau bisa menjaga semua perhiasan ini dengan baik!" Pancawati memberikan dua buah kotak yang dibawanya kepada Rania.
Sekali lagi Rania tersentak kaget melihat isi di dalamnya. Dia memang tidak pernah melihat secara langsung perhiasan yang menurut ibunya turun temurun itu. Sekali pandang saja, Rania tahu bahwa harga perhiasan di tangannya berharga fantastis.
"Kenapa tidak jual perhiasan ini saja, Bu?" Rania menyentuh dengan hati-hati permata indah di depannya. Jangan sampai sentuhan tangannya menimbulkan kerusakan yang tidak disengaja.
"Meskipun harganya cukup tinggi, tetapi masih belum cukup untuk menutupi kerugian ayahmu. Simpan baik-baik, Sayang. Kalau suatu saat kau memerlukannya, kau bisa menjual semua ini!"
Suatu saat? Apakah ada nanti di fase kehidupannya Rania akan menjual semua perhiasan di tangannya? Apakah perhiasan ini bisa sebagai alat untuk melarikan diri? Tidak! Jangan sekarang! Paling tidak, Rania harus memastikan dulu keluarganya tidak akan berpengaruh. Mereka harus selamat dulu! Tidak perduli Rania yang akan babak belur. Itu sudah menjadi tekadnya saat ini.
"Istirahatlah, besok pagi-pagi sekali tim make up sudah datang. Jadi, ibu ingin kau menjadi pengantin yang paling cantik. Orang tua tidak akan menjerumuskan anaknya sendiri, Rania!"
Rania mengangguk paham. Apalagi yang harus dia katakan selain menerima semua yang dikatakan oleh ibunya. Dia harus berdamai dengan keadaan. Rania yakin, dia akan bisa melakukannya.
Pukul empat pagi, tim make up sudah datang untuk melakukan rias pengantin terhadap Rania dan seluruh anggota keluarganya.
Orang tua dan kedua adiknya dirias di kamar masing-masing. Tim Make Up yang didatangkan untuk keluarga Rania ada sepuluh orang. Jumlah yang sangat cukup, semua dikirim oleh Mahendra. Acara sendiri akan dilaksanakan pukul sembilan pagi dan berlangsung di kediaman Buana Atmaja.
Rania masih gundah gulana. Bahkan acara pernikahan belum dimulai dan dia sudah gugup setengah mati? Tersenyum, Rania! Jangan perlihatkan wajah susah! Batin Rania menegur dengan keras.
"Nona Rania sungguh cantik. Pasti Tuan Mahendra tidak akan berkedip menatap wajah nona nanti."
Rania hanya tersenyum sopan menanggapi pujian itu, dia sendiri belum tahu seperti apa parasnya. Ada suatu mitos yang dipercaya, bahwa calon pengantin tidak boleh melihat wajahnya sendiri sebelum proses merias selesai. Tim Make Up yang menangani Rania sepertinya berpegang teguh akan mitos yang beredar di tengah masyarakat. Bahkan sebelum mereka mulai merias Rania, mereka sudah siap dengan berbagai ritual yang mereka percaya dalam hal merias pengantin. Rania sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu.
Hanya satu hal yang dia permasalahkan. Mahendra! Hanya nama itu masalahnya saat ini.
"Rania, rombongan pengantin pria sudah datang!" Informasi yang diberikan oleh Pancawati membuat dada Rania berdegup semakin kencang. Penderitaannya sudah datang!
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved