Bab 5 Pernikahan
by Mawar Ungu
17:57,Aug 28,2023
Mahendra Pratama Maheswara, dia datang beserta keluarganya. Badannya yang tinggi besar memakai setelan berwarna putih diiringi oleh kedua orang tuanya. Kedua orang tua yang memang belum dikenalkan secara khusus dengan Rania. Namun, mereka sudah sepenuhnya menyerahkan urusan pernikahan kepada Mahendra dan berjanji akan menerima Rania sebagai seorang menantu. Lagipula, Rania Atmaja juga bukan berasal dari kalangan yang biasa saja. Keluarga Atmaja juga merupakan seorang pengusaha, paling tidak bisa sedikit mengikis rasa khawatir mengenai ketimpangan status sosial mereka. Jangan ada perbedaan sosial yang besar dalam hubungan mereka, atau hal itu akan menjadi masalah suatu saat nanti.
Meskipun begitu, masalah keluarga Atmaja yang kesulitan keuangan juga keluarga Mahendra tahu. Seperti sudah diceritakan, keluarga Maendra menyerahkan semua keputusan ke tangan Mahendra.
Tamu undangan yang sudah datang, berdiri serempak ketika Mahendra dan keluarga datang. Tim WO yang bertugas mendampingi sampai ke tengah-tengah tenda, dimana terdapat meja dengan berbagai berkas, disanalah tempat pengucapan janji pernikahan akan diadakan.
Tidak perlu lama menunggu, karena Mahendra sudah mantap mengucapkan apa yang perlu dia katakan. Ketika kata sah terucap, maka Mahendra Pratama Maheswara dan Rania Atmaja sudah resmi menjadi pasangan baik di hukum negara maupun hukum agama. Selang beberapa waktu, Rania keluar dari dalam rumah untuk duduk di samping Mahendra.
Mahendra tercekat dan terpana sesaat melihat penampilan Rania. Hanya sesaat saja, karena dengan segera dia merubah ekspresi wajahnya. Mahendra tanpa ekspresi melihat wajah Rania. Ekpresi dingin mulai terasa membalut tubuh Rania. Rania tentu saja tahu bagaimana Mahendra menatapnya. Dia mencoba mengabaikan hal itu dan tersenyum ramah kepada setiap orang yang menatapnya.
"Hendra, istrimu sungguh cantik!" ucap ibunya, Anggraina Wijaya berbisik di telinga Mahendra.
Mahendra hanya tersenyum simpul. Tentu saja dia membenarkan apa yang dikatakan oleh ibunya, karena itu adalah kebenaran yang tidak disangkal. Rania Atmaja memang sangat cantik. Kecantikan dan bentuk tubuhnya juga cukup menunjang, menjadikan Rania dari dulu terkenal sebagai idola. Kecantikan Rania juga yang membuat Mahendra terpikat kepada Rania dulu, mungkin hingga saat ini.
"Mari, Nak, duduk di sebelah Mahendra dan tolong ditanda tangani berkas-berkasnya!" Anggraina Wijaya tersenyum kepada Rania dan Pancawati. Anggraina sendiri beberapa kali bertemu dengan Pancawati di pesta yang diadakan para pengusaha. Hanya untuk Rania, baru pertama kali dia bertemu. Sebagai mertua, dia menyambut dengan ramah Rania. Mendapat menantu secantik itu, siapa yang tidak akan bahagia. Mahendra sungguh pintar mencari pasangan!
"Terima kasih, Ibu," ucap Rania, dari bisikan lirih sang ibu dia tahu kalau wanita yang berparas anggun ini adalah ibu mertuanya. Memanggil Anggraina dengan ibu adalah suatu keputusan tepat, karena tidak mungkin Rania memanggil dengan panggilan lain. Setidaknya Rania bisa bernafas lega melihat senyum tulus dari ibu mertuanya. Paling tidak bayangan mengenai ibu mertua jahat hanya ada dalam khayalannya saja. Penerimaan sang ibu mertua bagaikan oase yang menyegarkan.
Setelah menandatangani berkas yang dibutuhkan dan menunjukkan ke depan kamera untuk dokumentasi, tim WO membimbing Rania dan juga Mahendra menuju salah satu kamar tamu yang sudah disiapkan untuk kamar ganti dadakan. Tidak mungkin menggunakan kamar Rania di lantai dua, akan memakan banyak waktu hanya untuk berganti pakaian saja.
"Saya akan ke kamar saya sendiri!"
"Kenapa?"
"Ganti bajumu cepat, waktu kita sempit!" Suara ketus Mahendra baru terdengar ketika tim WO sudah meninggalkan mereka. Setelah mendapatkan janji dari Rania bahwa Rania bisa mengganti bajunya sendiri.
"Ganti baju?"
"Apalagi yang akan kau lakukan disini? Dasar bodoh!"
Umpatan yang membuat Rania menelan ludah. Ini pasti karena karma di masa lalu. Tidak, Rania tidak boleh menangis karena hal ini. Dia hanya perlu terbiasa saja. Dan Rania yakin dia pasti bisa melakukannya.
Rania melihat Mahendra dari sudut matanya. Mahendra sudah melepas setelan putihnya, membuat Rania memalingkan wajahnya. Semburat merah sudah mewarnai pipinya. Menjadikan penampilan Rania semakin menggemaskan.
Rania dengan cepat melepas pakaian yang dikenakannya. Tidak mungkin melakukannya di kamar mandi. Kamar mandi yang ada di kamar tamu terlalu kecil. Daripada terjadi kesalahan yang akan berakhir dengan umpatan, lebih baik Rania menabahkan hati. Toh, pria yang saat ini sedang duduk di atas ranjang adalah suaminya.
"Cepat ganti bajumu! Kenapa kau lamban sekali?"
Rania mencoba menarik resleting belakang gaunnya, tetapi sepertinya resleting itu macet. Pikiran Rania panik seketika. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia mendengar langkah kaki mendekat dan menghampirinya perlahan.
"Dengarlah aku baik-baik, penderitaanmu akan dimulai hari ini!" Bersamaan dengan itu hembusan nafas terasa di punggungnya yang masih terbuka. Membuat Rania merinding dan sekujur bulu di tubuhnya rasanya berdiri. Dengan sekali sentak, Mahendra menarik resleting gaun Rania, meninggalkan Rania yang masih terpaku dengan apa yang terjadi.
"Tuan, kami akan membenahi riasan nona!" Kalimat itu yang terdengar begitu Mahendra keluar kamar. Mahendra mengangguk dan menunggu di sofa yang terletak di depan kamar ganti. Mahendra menghela nafas panjang, ternyata begitu susah untuk bersikap dingin dan kejam. Apalagi terhadap gadis yang namanya pernah mengisi hati Mahendra. Bukan pernah, karena kenyataannya, nama yang sama masih kokoh berdiri di relung hatinya. Dia ingin memberi sedikit pelajaran saja, agar Rania bisa menerima dan mencintainya kelak. Kalau Rania bisa bertahan.
"Mari, Kak!" Suara yang lembut tetapi terdengar takut itu menghampirinya. Rania menatap Mahendra dengan gelisah. Mahendra mengulurkan tangannya kepada Rania. Disambut Rania dengan ragu-ragu.
"Ingat, tersenyumlah. Jangan menunjukkan sikap terpaksa menikah!"
Ancaman yang membuat Rania langsung menyunggingkan senyum terbaiknya. Dia harus melakukan hal itu, kalau ingin keluarganya damai sejahtera. Dia akan rela berkorban, demi apapun juga.
Cengkeraman Mahendra yang lembut pada awalnya berubah menjadi cengkeraman erat sampai membuat Rania sesekali meringis karena sakit yang mendera.
"Kak!" Rania berkata lirih, berharap Mahendra mengurangi genggamannya.
"Kenapa? Aku hanya menggenggammu, Sayang! Supaya kau tidak lari dari cengkeramanku!"
"Aku tidak akan lari, Kak. Kita sudah sah menjadi suami istri, tapi ... sakit, Kak!" Keluhan Rania disertai dengan buliran keringat dingin yang menetes di dahi sudah membuktikan semua itu.
Mahendra melonggarkan genggamannya. Telapak tangannya yang besar memang membuat Rania kesakitan.
"Jangan takut, Sayang. Kau berkeringat. Tenang saja, aku yang akan menghapus keringatmu!" kata Mahendra, lalu mengeluarkan sapu tangan putih dari balik saku kemejanya. Dengan gerakan lembut, Mahendra menghapus keringat Rania dengan hati-hati agar tidak merusak riasan Rania. Di mata orang lain, pasti mereka terlihat sangat romantis. Namun, tidak bagi Rania, sentuhan itu bagaikan tangan vampir yang menghampirinya, siap untuk menghisap darah Rania hingga tetes terakhir.
Meskipun begitu, masalah keluarga Atmaja yang kesulitan keuangan juga keluarga Mahendra tahu. Seperti sudah diceritakan, keluarga Maendra menyerahkan semua keputusan ke tangan Mahendra.
Tamu undangan yang sudah datang, berdiri serempak ketika Mahendra dan keluarga datang. Tim WO yang bertugas mendampingi sampai ke tengah-tengah tenda, dimana terdapat meja dengan berbagai berkas, disanalah tempat pengucapan janji pernikahan akan diadakan.
Tidak perlu lama menunggu, karena Mahendra sudah mantap mengucapkan apa yang perlu dia katakan. Ketika kata sah terucap, maka Mahendra Pratama Maheswara dan Rania Atmaja sudah resmi menjadi pasangan baik di hukum negara maupun hukum agama. Selang beberapa waktu, Rania keluar dari dalam rumah untuk duduk di samping Mahendra.
Mahendra tercekat dan terpana sesaat melihat penampilan Rania. Hanya sesaat saja, karena dengan segera dia merubah ekspresi wajahnya. Mahendra tanpa ekspresi melihat wajah Rania. Ekpresi dingin mulai terasa membalut tubuh Rania. Rania tentu saja tahu bagaimana Mahendra menatapnya. Dia mencoba mengabaikan hal itu dan tersenyum ramah kepada setiap orang yang menatapnya.
"Hendra, istrimu sungguh cantik!" ucap ibunya, Anggraina Wijaya berbisik di telinga Mahendra.
Mahendra hanya tersenyum simpul. Tentu saja dia membenarkan apa yang dikatakan oleh ibunya, karena itu adalah kebenaran yang tidak disangkal. Rania Atmaja memang sangat cantik. Kecantikan dan bentuk tubuhnya juga cukup menunjang, menjadikan Rania dari dulu terkenal sebagai idola. Kecantikan Rania juga yang membuat Mahendra terpikat kepada Rania dulu, mungkin hingga saat ini.
"Mari, Nak, duduk di sebelah Mahendra dan tolong ditanda tangani berkas-berkasnya!" Anggraina Wijaya tersenyum kepada Rania dan Pancawati. Anggraina sendiri beberapa kali bertemu dengan Pancawati di pesta yang diadakan para pengusaha. Hanya untuk Rania, baru pertama kali dia bertemu. Sebagai mertua, dia menyambut dengan ramah Rania. Mendapat menantu secantik itu, siapa yang tidak akan bahagia. Mahendra sungguh pintar mencari pasangan!
"Terima kasih, Ibu," ucap Rania, dari bisikan lirih sang ibu dia tahu kalau wanita yang berparas anggun ini adalah ibu mertuanya. Memanggil Anggraina dengan ibu adalah suatu keputusan tepat, karena tidak mungkin Rania memanggil dengan panggilan lain. Setidaknya Rania bisa bernafas lega melihat senyum tulus dari ibu mertuanya. Paling tidak bayangan mengenai ibu mertua jahat hanya ada dalam khayalannya saja. Penerimaan sang ibu mertua bagaikan oase yang menyegarkan.
Setelah menandatangani berkas yang dibutuhkan dan menunjukkan ke depan kamera untuk dokumentasi, tim WO membimbing Rania dan juga Mahendra menuju salah satu kamar tamu yang sudah disiapkan untuk kamar ganti dadakan. Tidak mungkin menggunakan kamar Rania di lantai dua, akan memakan banyak waktu hanya untuk berganti pakaian saja.
"Saya akan ke kamar saya sendiri!"
"Kenapa?"
"Ganti bajumu cepat, waktu kita sempit!" Suara ketus Mahendra baru terdengar ketika tim WO sudah meninggalkan mereka. Setelah mendapatkan janji dari Rania bahwa Rania bisa mengganti bajunya sendiri.
"Ganti baju?"
"Apalagi yang akan kau lakukan disini? Dasar bodoh!"
Umpatan yang membuat Rania menelan ludah. Ini pasti karena karma di masa lalu. Tidak, Rania tidak boleh menangis karena hal ini. Dia hanya perlu terbiasa saja. Dan Rania yakin dia pasti bisa melakukannya.
Rania melihat Mahendra dari sudut matanya. Mahendra sudah melepas setelan putihnya, membuat Rania memalingkan wajahnya. Semburat merah sudah mewarnai pipinya. Menjadikan penampilan Rania semakin menggemaskan.
Rania dengan cepat melepas pakaian yang dikenakannya. Tidak mungkin melakukannya di kamar mandi. Kamar mandi yang ada di kamar tamu terlalu kecil. Daripada terjadi kesalahan yang akan berakhir dengan umpatan, lebih baik Rania menabahkan hati. Toh, pria yang saat ini sedang duduk di atas ranjang adalah suaminya.
"Cepat ganti bajumu! Kenapa kau lamban sekali?"
Rania mencoba menarik resleting belakang gaunnya, tetapi sepertinya resleting itu macet. Pikiran Rania panik seketika. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia mendengar langkah kaki mendekat dan menghampirinya perlahan.
"Dengarlah aku baik-baik, penderitaanmu akan dimulai hari ini!" Bersamaan dengan itu hembusan nafas terasa di punggungnya yang masih terbuka. Membuat Rania merinding dan sekujur bulu di tubuhnya rasanya berdiri. Dengan sekali sentak, Mahendra menarik resleting gaun Rania, meninggalkan Rania yang masih terpaku dengan apa yang terjadi.
"Tuan, kami akan membenahi riasan nona!" Kalimat itu yang terdengar begitu Mahendra keluar kamar. Mahendra mengangguk dan menunggu di sofa yang terletak di depan kamar ganti. Mahendra menghela nafas panjang, ternyata begitu susah untuk bersikap dingin dan kejam. Apalagi terhadap gadis yang namanya pernah mengisi hati Mahendra. Bukan pernah, karena kenyataannya, nama yang sama masih kokoh berdiri di relung hatinya. Dia ingin memberi sedikit pelajaran saja, agar Rania bisa menerima dan mencintainya kelak. Kalau Rania bisa bertahan.
"Mari, Kak!" Suara yang lembut tetapi terdengar takut itu menghampirinya. Rania menatap Mahendra dengan gelisah. Mahendra mengulurkan tangannya kepada Rania. Disambut Rania dengan ragu-ragu.
"Ingat, tersenyumlah. Jangan menunjukkan sikap terpaksa menikah!"
Ancaman yang membuat Rania langsung menyunggingkan senyum terbaiknya. Dia harus melakukan hal itu, kalau ingin keluarganya damai sejahtera. Dia akan rela berkorban, demi apapun juga.
Cengkeraman Mahendra yang lembut pada awalnya berubah menjadi cengkeraman erat sampai membuat Rania sesekali meringis karena sakit yang mendera.
"Kak!" Rania berkata lirih, berharap Mahendra mengurangi genggamannya.
"Kenapa? Aku hanya menggenggammu, Sayang! Supaya kau tidak lari dari cengkeramanku!"
"Aku tidak akan lari, Kak. Kita sudah sah menjadi suami istri, tapi ... sakit, Kak!" Keluhan Rania disertai dengan buliran keringat dingin yang menetes di dahi sudah membuktikan semua itu.
Mahendra melonggarkan genggamannya. Telapak tangannya yang besar memang membuat Rania kesakitan.
"Jangan takut, Sayang. Kau berkeringat. Tenang saja, aku yang akan menghapus keringatmu!" kata Mahendra, lalu mengeluarkan sapu tangan putih dari balik saku kemejanya. Dengan gerakan lembut, Mahendra menghapus keringat Rania dengan hati-hati agar tidak merusak riasan Rania. Di mata orang lain, pasti mereka terlihat sangat romantis. Namun, tidak bagi Rania, sentuhan itu bagaikan tangan vampir yang menghampirinya, siap untuk menghisap darah Rania hingga tetes terakhir.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved