Bab 7 Bekas Ciuman

by Andrew Wang 11:34,Sep 01,2021
Langkah kaki Julie Fung mengendap-endap memasuki rumahnya. Setelah dengan hati-hati dan sangat pelan membuka kunci pintu tanpa ketahuan. Ia berharap ibunya tidak terbangun. Seisi ruangan sangat gelap pekat, biasanya menandakan bahwa penguni rumah sudah terlelap. Setidaknya membuat Julie Fung merasa sedikit lega, ia hanya perlu segera masuk ke dalam kamarnya dan pura-pura tidur.

“Kenapa baru pulang, Julie Fung?”

Suara yang pelan namun tegas itu berhasil mencegat sepasang kaki Julie Fung untuk bergerak lebih jauh. Ia menelan ludah, hatinya bergerumuh kencang layaknya maling yang kedapatan mencuri dan siap dihakimi massa. Perlahan Julie Fung menoleh pada pemilik suara yang memanggilnya, siluetnya terlihat dalam redupnya pencahayaan. Seorang wanita paruh baya yang tengah duduk tegak seraya melipat tangannya. Julie Fung merasakan aura kematian seperti mendekatinya, sekeliling tiba-tiba terasa dingin mencekam hingga ia ketakutan.

“I... Ibu... Kenapa belum tidur?” Tanya Julie Fung yang berusaha mengalihkan perhatian ibunya.
Wanita itu berdiri, berjalan mendekati Julie Fung kemudian tangannya menyentuh saklar lampu hingga pencahayaan seketika menerangi ruangan. Terlihat jelas raut wajah wanita itu yang tampak menahan kesal, marah serta rasa cemas.

“Bagaimana bisa tidur kalau anak gadis satu-satunya belum pulang. Kalau kamu tidak pulang sampai besok, ibu juga akan duduk menunggu di sini tanpa tidur.” Ujar Anita Fung yang tampak begitu cemas.

Julie Fung menundukkan kepala, merasa sangat bersalah plus berdosa karena membuat ibunya khawatir. Hanya karena telat pulang saja sudah membuat ibunya merespon seperti itu, apalagi jika wanita itu sampai tahu bahwa Julie Fung baru saja kehilangan keperawanan secara terpaksa namun terakhir ia lakukan dengan senang hati. Mungkin ia akan dibantai habis-habisan oleh wanita itu.

“Aku lembur ibu, karena ini hari pertamaku bekerja. Banyak hal yang harus aku pelajari, maaf membuatmu cemas.” Lirih Julie Fung, hatinya sesak karena harus berbohong dan mungkin akan terus berbohong untuk menutupi kebenaran yang menyakitkan itu.

Anita Fung menatap penampilan Julie Fung dari ujung kepala hingga ujung kaki. Semakin ditatap, hatinya kian merasa ada yang tidak beres. Wajah Julie Fung tampak lain, terutama bibirnya yang terlihat sedikit bengkak. “Kamu kerja apa sampai harus lembur?” Selidik Anita Fung.

Julie Fung memutar bola matanya, mencari alasan yang tepat untuk menutupi pekerjaan yang pasti dianggap tabu oleh ibunya yang kolot. “Ng... aku bantu-bantu di restoran ma. Bagian dapur, aku kebagian cuci piring hari ini.” Ujar Julie Fung, lagi-lagi berbohong.

Tatapan Anita Fung masih mendelik, menyoroti raut wajah Julie Fung yang tampak tegang. Tak ada senyuman, ekspresi wanita bertubuh lemah dan penyakitan itu tetap bersemangat jika menyangkut urusan anaknya. “Hmm... kamu pasti lelah, apa sudah makan? Ibu membuatkanmu sup miso. Tapi karena tidak tahu kamu pulang semalam ini, supnya jadi dingin. Maafkan ibu ya, sudah membuatmu bekerja keras.” Gumam Anita Fung, seketika hatinya melunak dan kembali perhatian.

Julie Fung tercengang sekaligus merasa lega, akhirnya tidak dicurigai terlalu lama. Malahan ibunya kembali bersikap hangat seperti biasa, namun Julie Fung tetap saja tidak habis pikir, jika menyangkut dirinya, entah mengapa ibunya yang berfisik lemah itu bisa mempunyai tenaga ekstra untuk memarahinya.

“Ng... makasih ya ibu. Aku sebenarnya lapar.” Desis Julie Fung, tanpa malu mengakuinya. Ia memang sangat lapar, setelah seharian bekerja keras di dua tempat. Siang hari ia memang bekerja di restoran sebagai buruh cuci piring, dan malam hari ia melanjutkan kerjaan sebagai pelayan bar. Kerjaan yang membawa nasib sial padanya karena harus berurusan dengan Roger Zhu. Memikirkannya saja kembali membuat Julie Fung menggertakkan gigi, kesal karena sikap egois pria kaya itu. Belum pernah Julie Fung temui pria seegois dan seangkuh itu. Tapi kalau dipikir, wajar saja karena pergaulan Julie Fung hanya di lingkungan para pekerja seperti dirinya. Orang yang hanya bekerja di bagian belakang dan jarang berhadapan langsung dengan orang sehebat tuan muda Zhu itu.

Anita Fung mengangkat panci berisi sup miso ke atas kompor, memanaskannya sejenak sebelum disuguhkan pada putrinya. Melihat perhatian ibunya, membuat hati Julie Fung trenyuh. Ia tidak pernah mengeluh walau harus menjadi tulang punggung keluarga ini. Walau harus mengorbankan impiannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Julie Fung sanggup bertahan demi melihat senyum ibunya terus tersungging untuknya.

“Nah, makanlah selagi hangat. Jangan sampai mienya bengkak.” Ujar Anita Fung seraya mendekatkan panci ke arah Julie Fung. Mereka memiliki kebiasaan untuk menyantap sup langsung dari pancinya, jika itu sudah jatah terakhir yang harus dihabiskan. Demi menghemat air dan sabun cuci piring. Miris bukan? Membayangkannya saja kadang membuat air mata Julie Fung berlinang. Entah sampai kapan ia dan ibunya berada dalam kehidupan yang memprihatinkan ini. Bukan karena kurang berusaha, sungguh Julie Fung sudah sangat banting tulang. Namun keberuntungan belum berpihak padanya, apa yang bisa dia harapkan dari ijasah lulusan SMA untuk memperoleh upah yang layak? Sedangkan di luar sana masih banyak pesaing yang jauh lebih berpendidikan darinya.

“Terima kasih ibu, akan aku habiskan.” Jawab Julie Fung dengan mata berkaca-kaca. Perlahan ia menyeruput sup buatan ibunya, begitu enak dan melegakan perut kosongnya. Ia sangat kelaparan, terlebih tenaganya sudah terkuras banyak demi melawan dan melayani hasrat tuan muda itu.

Julie Fung tercengang, dalam beberapa menit saja sudah berulang kali ia memikirkan Roger Zhu. Seseorang yang seharusnya ia benci, namun mengapa terus melekat dalam pikirannya. Deg! Deg! Deg! Debaran jantung Julie Fung pun kian menjadi-jadi, wajah pria tampan itu begitu melekat dalam ingatan. Sontak Julie Fung menggelengkan kepalanya dengan kencang, menepis wajah itu jauh-jauh dari dirinya.
“Ada apa? Apa supnya tidak enak?” Anita Fung salah mengartikan gelengan kepala Julie Fung, spontan membuat Julie Fung gelagapan.

“Ng, tidak kok bu. Ini enak, enak sekali. Saking enaknya, aku bisa menelan pancinya.” Canda Julie Fung, garing.

Anita Fung hanya tersenyum tipis sambil menggeleng kepala, tak habis pikir dengan candaan putrinya. Tiba-tiba matanya tertuju pada kerah baju Julie Fung yang ditempeli sedikit potongan mie yang mungkin jatuh saat ia menggelengkan kepala. “Tuh kan kamu makannya nggak bisa diam, sampai ada yang nyangkut di sini.”

Julie Fung diam kaku saat tangan ibunya menyentuh kerah bajunya, menyingkirkan potongan mie yang mengotori bajunya. Napasnya tertahan sejenak, berdoa bahwa ibunya segera menyingkirkan tangannya dari sana. Namun yang terjadi malah sebaliknya, sepasang mata Anita Fung terbelalak mendapati bekas merah yang kentara di balik kerah. Tangannya reflek menyingkirkan bagian baju yang menghalangi penglihatannya.

“Apa ini Julie Fung?” Pekik Anita Fung murka.

“Apa yang kamu kerjakan sebenarnya? Mengapa ada bekas ciuman di lehermu?” Timpal wanita itu lagi, suaranya meninggi, emosinya memuncak seraya menyoroti tajam Julie Fung.

Julie Fung masih terdiam namun matanya mulai berkaca-kaca, situasi ini sangat tidak menguntungkan baginya. Ia terdesak keadaan yang memojokkan, pikirannya sibuk memikirkan alasan, namun kalah cepat dengan tangan ibunya yang mulai melepaskan kancing kemejanya secara paksa.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

67