Bab 26 Ketahuan
by Rivaldo
09:41,Jul 01,2021
Suasana di pagi hari di meja makan tampak semua anggota keluarga Wilson sudah berkumpul untuk melakukan ritual pagi mereka yaitu sarapan pagi.
"Papa," panggil Darel.
Arvind melihat kearah putra bungsunya dengan senyuman manisnya. "Ada apa, sayang?"
"Eeemm," Darel menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena merasa gugup untuk menyampaikan sesuatu pada ayahnya.
Sedangkan Arvind hanya tersenyum gemas melihat wajah gugup putranya. Tidak beda jauh dengan anggota keluarganya yang lain, kecuali Agatha dan tujuh putranya yang menatap tak suka.
"Kenapa? Apa Darel mau menyampaikan sesuatu pada Papa, hum? Tidak usah gugup seperti itu. Sampaikan saja, sayang!" Arvind berbicara sambil tersenyum manis kepada putra bungsunya.
Evan yang berada disampingnya, menyenggol siku Darel, lalu membisikkan sesuatu ke telinga adiknya. "Darel jatuh cinta sama Papa, ya! Dan Darel bingung untuk mengutarakan perasaannya ke Papa. Iyakan?" Evan menggoda adiknya sembari menaik turunkan alisnya dan jangan lupa senyuman manis dibibirnya.
Darel mencubit paha Evan sedikit keras sehingga membuat Evan meringis tertahan sembari menatap tajam kearah adik bungsunya yang juga menatap dengan senyuman manisnya.
Darel tak peduli dengan rasa sakit yang dirasakan oleh kakaknya. Mungkin saja paha kakaknya itu sudah memerah dan berbekas. Darel dapat melihat wajah kakaknya itu sedang menahan rasa sakit di pahanya.
Sedangkan para anggota keluarga yang melihat keduanya hanya menatap bingung mereka.
"Yak! Darel, Evan. Ada apa dengan kalian? Kenapa dengan wajah kalian itu?" seru Vavo.
"Dan kau Evan. Kenapa kau menatap Darel seperti itu? Kau menatap Darel seakan-akan ingin memakannya hidup-hidup!" sela Daffa.
"Kalau aku bisa memakan sikelinci buntelan satu ini hidup-hidup. Sudah aku lakukan dari dulu," batin Evan.
Tidak ada respon sama sekali dari keduanya. Darel masih asyik dengan kegiatannya mencubit paha Evan dan Evan mati-matian menahan rasa sakit dan pedih atas ulah adik laknatnya itu. Mereka berdua masih fokus saling menatap. Dan mengabaikan anggota keluarganya yang menatap mereka dengan tatapan gemas sekaligus kesal.
"Evan Wilson, Darel Wilson. Hentikan permainan kalian. Habiskan sarapan kalian sekarang juga!" teriak Davian.
Mendengar teriakan dari kakak tertuanya, hal itu sukses membuat Darel langsung melepaskan cubitannya dari paha Evan. Dan hal itu juga sukses membuat Evan berteriak kesakitan.
"Aaakkhhh.. uuuhhhhh!" Evan mengelus-elus pahanya dengan wajahnya sedikit merah.
"Evan. Kamu kenapa, nak?" tanya Adelina saat melihat putranya berteriak.
"Tanyakan saja pada kelinci kesayangannya Mama ini," jawab Evan sembari menunjuk kearah Darel.
Sementara Darel hanya tersenyum bak anak kecil tanpa dosa. Mereka semua hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
"Ya, sudah. Lanjutkan makan kalian," ucap Jeon Arvind lembut.
Saat mereka sedang asyik-asyiknya menikmati sarapan pagi mereka, tiba-tiba terdengar dering ponsel milik Darel.
"Itu ponsel siapa yang berbunyi?" tanya Sandy.
"Ponselku Paman Sandy," jawab Darel. Setelah itu Darel langsung menjawab panggilan tersebut.
"Hallo, Paman."
"Hallo, tuan muda. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan pada tuan muda."
"Apa ada masalah, Paman?"
"Tuan muda. Benar. Ada sedikit masalah di Kantor."
"Katakanlah, Paman. Ada masalah apa?"
"Ada beberapa orang yang main dibelakang kita, tuan muda. Orang itu melakukan penjualan besar-besaran terhadap semua produk yang ada di gudang. Tapi hasil penjualan hanya lima puluh persen saja yang masuk kas Perusahaan. Sedangkan lima puluh persennya lagi diambil oleh mereka. Biar tuan muda atau Perusahaan tidak curiga, mereka membuat laporan kas palsu."
"Paman sudah tahu siapa orangnya?"
"Sudah, tuan muda. Saya sudah berulang kali menyelidikinya dan saya sangat yakin kalau dia dalangnya. Saya sudah mengumpulkan buktinya."
"Siapa orangnya?"
"Dirga Wilson, tuan muda!"
"Kirimkan bukti itu ke alamat email ku, Paman."
"Baik, tuan muda. Segera saya kirimkan buktinya. Kalau begitu saya matikan sambungannya, tuan muda."
TUTT!
TUTT!
Darel menatap nyalang pada Dirga lalu terukir senyuman sinis di sudut bibirnya. "Kau ingin membuat Perusahaan bangkrut ya. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi," batin Darel.
Sementara Davian dan kesebelas saudaranya yang lain melihat kearah Darel yang kini sedang menatap tajam kearah Dirga.
"Kenapa Darel menatap sitikus Dirga seperti itu?" batin Alvaro.
"Kenapa tatapan Darel seperti itu kepada Dirga?" batin Davian.
"Apa ada masalah?" batin Nevan.
"Darel," panggil Ghali.
Sedangkan Darel masih terus menatap tajam kearah Dirga sehingga Evan kembali menyenggol sikunya. Dan hal itu sukses membuat Darel kelabakan dan asal bicara.
"Apa? Mau lagi?" ucapnya sambil menatap wajah Evan dengan wajah merengut.
Evan reflek menjitak kening mulus Darel sedikit keras.
TAK!
"Aww. Ini sakit tahu!" teriak Darel sambil tangannya mengelus-elus keningnya.
"Sakit yang mana? Yang ini apa yang ini?" tanya Evan sambil menunjuk pahanya kemudian menunjuk kening adiknya.
Melihat kelakuan Evan dan Darel, lagi-lagi para anggota keluarganya hanya tersenyum gemas dan geleng-geleng kepala melihat keduanya.
"Hei, hei. Kenapa jadi ribut sih?" tegur Arvind.
"Dasar norak," ejek Kevin.
"Kampungan," ucap Caleb.
"Parasit, benalu," ujar Dzaky.
"Lebih baik diam dari pada mempermalukan diri sendiri. Dikeluarga ini yang jadi parasit dan benalu itu siapa ya? Masih gak nyadar juga tuh," sindir Darel.
Para kakaknya para kakak sepupunya tersenyum mendengar ucapannya. Seakan-akan senyuman mereka itu, senyuman mengejek untuk Dirga dan keenam saudaranya.
TING!
Terdengar suara notifikasi dari ponsel Darel. Darel kemudian membuka ponselnya dan dapat dilihat olehnya sebuah pesan dari 'Paman Richard'. Darel pun segera membacanya.
To : Paman Richard
Semua bukti dan penjualan sudah saya kirim ke Email. Silahkan tuan muda cek sekarang juga.
Setelah membaca pesan tersebut. Darel memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
"Aku sudah selesai. Aku mau langsung ke kamar!" seru Darel dan Darel pun langsung bangkit dari duduknya.
"Tapi itu makanannya Darel masih banyak sayang. Kamu makannya baru sedikit," sela Adelina khawatir dengan pola makan putra bungsunya yang tidak teratur.
"Aish, Mama. Aku sudah kenyang," jawab Darel.
"Mama buatkan sereal ya." Adelina membuat penawaran kepada putra bungsunya itu.
"Terserah Mama saja," pasrah Darel.
Adelina tersenyum puas. Paling tidak ada yang masuk ke dalam perut putra bungsunya karena beberapa hari ini putra bungsunya itu susah sekali makan dan jarang menghabiskan makanannya. Pola makannya pun kurang teratur.
Setelah berdebat dengan ibunya. Darel pun pergi meninggalkan meja makan dan menuju kamarnya di lantai dua.
Baru beberapa langkah, tiba-tiba Darel menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya untuk melihat kearah anggota keluarganya yang masih di meja makan.
"Oh, iya. Aku lupa. Selesai kalian sarapan pagi. Jangan ada yang masuk ke kamar ataupun pergi. Tunggu aku di ruang tengah. Ada yang ingin aku sampaikan pada kalian," ucap Darel dan kembali melangkah menuju kamarnya.
"Apa yang ingin disampaikan Darel?" batin para kakaknya.
"Apa yang ingin disampaikan oleh anak sialan itu?" batin Dirga dan keenam saudaranya.
Darel sudah berada di kamarnya. Saat Darel masuk ke kamarnya, Darel langsung menyambar laptop kesayangannya. Darel berlahan membuka laptop itu dan kemudian menghidupkannya.
Setelah laptopnya menyala dapat Darel lihat ada satu email masuk. Darel pun langsung membuka dan melihat isi dari email tersebut dengan mengklik gambar amplop dilayar laptopnya.
KLIK!
Email tersebut pun terbuka. Darel membaca dengan teliti tanpa ada yang terlewati.
DEG!
"BRENGSEK! Mau main curang ya? Eemm! Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan Perusahaan yang sudah dibangun oleh Kakek selama ini," ucap Darel.
Darel kemudian memprint semua isi dari email tersebut. Setelah semuanya di Print. Darel pun keluar dari kamarnya menuju lantai bawah.
"Papa," panggil Darel.
Arvind melihat kearah putra bungsunya dengan senyuman manisnya. "Ada apa, sayang?"
"Eeemm," Darel menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena merasa gugup untuk menyampaikan sesuatu pada ayahnya.
Sedangkan Arvind hanya tersenyum gemas melihat wajah gugup putranya. Tidak beda jauh dengan anggota keluarganya yang lain, kecuali Agatha dan tujuh putranya yang menatap tak suka.
"Kenapa? Apa Darel mau menyampaikan sesuatu pada Papa, hum? Tidak usah gugup seperti itu. Sampaikan saja, sayang!" Arvind berbicara sambil tersenyum manis kepada putra bungsunya.
Evan yang berada disampingnya, menyenggol siku Darel, lalu membisikkan sesuatu ke telinga adiknya. "Darel jatuh cinta sama Papa, ya! Dan Darel bingung untuk mengutarakan perasaannya ke Papa. Iyakan?" Evan menggoda adiknya sembari menaik turunkan alisnya dan jangan lupa senyuman manis dibibirnya.
Darel mencubit paha Evan sedikit keras sehingga membuat Evan meringis tertahan sembari menatap tajam kearah adik bungsunya yang juga menatap dengan senyuman manisnya.
Darel tak peduli dengan rasa sakit yang dirasakan oleh kakaknya. Mungkin saja paha kakaknya itu sudah memerah dan berbekas. Darel dapat melihat wajah kakaknya itu sedang menahan rasa sakit di pahanya.
Sedangkan para anggota keluarga yang melihat keduanya hanya menatap bingung mereka.
"Yak! Darel, Evan. Ada apa dengan kalian? Kenapa dengan wajah kalian itu?" seru Vavo.
"Dan kau Evan. Kenapa kau menatap Darel seperti itu? Kau menatap Darel seakan-akan ingin memakannya hidup-hidup!" sela Daffa.
"Kalau aku bisa memakan sikelinci buntelan satu ini hidup-hidup. Sudah aku lakukan dari dulu," batin Evan.
Tidak ada respon sama sekali dari keduanya. Darel masih asyik dengan kegiatannya mencubit paha Evan dan Evan mati-matian menahan rasa sakit dan pedih atas ulah adik laknatnya itu. Mereka berdua masih fokus saling menatap. Dan mengabaikan anggota keluarganya yang menatap mereka dengan tatapan gemas sekaligus kesal.
"Evan Wilson, Darel Wilson. Hentikan permainan kalian. Habiskan sarapan kalian sekarang juga!" teriak Davian.
Mendengar teriakan dari kakak tertuanya, hal itu sukses membuat Darel langsung melepaskan cubitannya dari paha Evan. Dan hal itu juga sukses membuat Evan berteriak kesakitan.
"Aaakkhhh.. uuuhhhhh!" Evan mengelus-elus pahanya dengan wajahnya sedikit merah.
"Evan. Kamu kenapa, nak?" tanya Adelina saat melihat putranya berteriak.
"Tanyakan saja pada kelinci kesayangannya Mama ini," jawab Evan sembari menunjuk kearah Darel.
Sementara Darel hanya tersenyum bak anak kecil tanpa dosa. Mereka semua hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
"Ya, sudah. Lanjutkan makan kalian," ucap Jeon Arvind lembut.
Saat mereka sedang asyik-asyiknya menikmati sarapan pagi mereka, tiba-tiba terdengar dering ponsel milik Darel.
"Itu ponsel siapa yang berbunyi?" tanya Sandy.
"Ponselku Paman Sandy," jawab Darel. Setelah itu Darel langsung menjawab panggilan tersebut.
"Hallo, Paman."
"Hallo, tuan muda. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan pada tuan muda."
"Apa ada masalah, Paman?"
"Tuan muda. Benar. Ada sedikit masalah di Kantor."
"Katakanlah, Paman. Ada masalah apa?"
"Ada beberapa orang yang main dibelakang kita, tuan muda. Orang itu melakukan penjualan besar-besaran terhadap semua produk yang ada di gudang. Tapi hasil penjualan hanya lima puluh persen saja yang masuk kas Perusahaan. Sedangkan lima puluh persennya lagi diambil oleh mereka. Biar tuan muda atau Perusahaan tidak curiga, mereka membuat laporan kas palsu."
"Paman sudah tahu siapa orangnya?"
"Sudah, tuan muda. Saya sudah berulang kali menyelidikinya dan saya sangat yakin kalau dia dalangnya. Saya sudah mengumpulkan buktinya."
"Siapa orangnya?"
"Dirga Wilson, tuan muda!"
"Kirimkan bukti itu ke alamat email ku, Paman."
"Baik, tuan muda. Segera saya kirimkan buktinya. Kalau begitu saya matikan sambungannya, tuan muda."
TUTT!
TUTT!
Darel menatap nyalang pada Dirga lalu terukir senyuman sinis di sudut bibirnya. "Kau ingin membuat Perusahaan bangkrut ya. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi," batin Darel.
Sementara Davian dan kesebelas saudaranya yang lain melihat kearah Darel yang kini sedang menatap tajam kearah Dirga.
"Kenapa Darel menatap sitikus Dirga seperti itu?" batin Alvaro.
"Kenapa tatapan Darel seperti itu kepada Dirga?" batin Davian.
"Apa ada masalah?" batin Nevan.
"Darel," panggil Ghali.
Sedangkan Darel masih terus menatap tajam kearah Dirga sehingga Evan kembali menyenggol sikunya. Dan hal itu sukses membuat Darel kelabakan dan asal bicara.
"Apa? Mau lagi?" ucapnya sambil menatap wajah Evan dengan wajah merengut.
Evan reflek menjitak kening mulus Darel sedikit keras.
TAK!
"Aww. Ini sakit tahu!" teriak Darel sambil tangannya mengelus-elus keningnya.
"Sakit yang mana? Yang ini apa yang ini?" tanya Evan sambil menunjuk pahanya kemudian menunjuk kening adiknya.
Melihat kelakuan Evan dan Darel, lagi-lagi para anggota keluarganya hanya tersenyum gemas dan geleng-geleng kepala melihat keduanya.
"Hei, hei. Kenapa jadi ribut sih?" tegur Arvind.
"Dasar norak," ejek Kevin.
"Kampungan," ucap Caleb.
"Parasit, benalu," ujar Dzaky.
"Lebih baik diam dari pada mempermalukan diri sendiri. Dikeluarga ini yang jadi parasit dan benalu itu siapa ya? Masih gak nyadar juga tuh," sindir Darel.
Para kakaknya para kakak sepupunya tersenyum mendengar ucapannya. Seakan-akan senyuman mereka itu, senyuman mengejek untuk Dirga dan keenam saudaranya.
TING!
Terdengar suara notifikasi dari ponsel Darel. Darel kemudian membuka ponselnya dan dapat dilihat olehnya sebuah pesan dari 'Paman Richard'. Darel pun segera membacanya.
To : Paman Richard
Semua bukti dan penjualan sudah saya kirim ke Email. Silahkan tuan muda cek sekarang juga.
Setelah membaca pesan tersebut. Darel memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
"Aku sudah selesai. Aku mau langsung ke kamar!" seru Darel dan Darel pun langsung bangkit dari duduknya.
"Tapi itu makanannya Darel masih banyak sayang. Kamu makannya baru sedikit," sela Adelina khawatir dengan pola makan putra bungsunya yang tidak teratur.
"Aish, Mama. Aku sudah kenyang," jawab Darel.
"Mama buatkan sereal ya." Adelina membuat penawaran kepada putra bungsunya itu.
"Terserah Mama saja," pasrah Darel.
Adelina tersenyum puas. Paling tidak ada yang masuk ke dalam perut putra bungsunya karena beberapa hari ini putra bungsunya itu susah sekali makan dan jarang menghabiskan makanannya. Pola makannya pun kurang teratur.
Setelah berdebat dengan ibunya. Darel pun pergi meninggalkan meja makan dan menuju kamarnya di lantai dua.
Baru beberapa langkah, tiba-tiba Darel menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya untuk melihat kearah anggota keluarganya yang masih di meja makan.
"Oh, iya. Aku lupa. Selesai kalian sarapan pagi. Jangan ada yang masuk ke kamar ataupun pergi. Tunggu aku di ruang tengah. Ada yang ingin aku sampaikan pada kalian," ucap Darel dan kembali melangkah menuju kamarnya.
"Apa yang ingin disampaikan Darel?" batin para kakaknya.
"Apa yang ingin disampaikan oleh anak sialan itu?" batin Dirga dan keenam saudaranya.
Darel sudah berada di kamarnya. Saat Darel masuk ke kamarnya, Darel langsung menyambar laptop kesayangannya. Darel berlahan membuka laptop itu dan kemudian menghidupkannya.
Setelah laptopnya menyala dapat Darel lihat ada satu email masuk. Darel pun langsung membuka dan melihat isi dari email tersebut dengan mengklik gambar amplop dilayar laptopnya.
KLIK!
Email tersebut pun terbuka. Darel membaca dengan teliti tanpa ada yang terlewati.
DEG!
"BRENGSEK! Mau main curang ya? Eemm! Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan Perusahaan yang sudah dibangun oleh Kakek selama ini," ucap Darel.
Darel kemudian memprint semua isi dari email tersebut. Setelah semuanya di Print. Darel pun keluar dari kamarnya menuju lantai bawah.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved