Bab 21 Kekecewaan Willian Wilson

by Rivaldo 10:10,Jun 29,2021
Di meja makan para anggota keluarga sedang menunggu kedatangan Darel, Davian, Rayyan dan Kevin. Tapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara teriakan dari lantai dua.

"Itu siapa yang berteriak? Dan teriakannya kedengaran sampai kesini!" seru Evita.

"Ma, Pa. Itukan teriakannya Kak Davian! Aku hapal sekali suaranya Kak Davian," ucap Evan.

Setelah mendengar ucapan dari Evan. Mereka semua berlari menuju lantai dua.

Masih dalam posisi memeluk Darel, adik bungsunya. Davian terus melangkah kearah Rayyan.

"Apa kau tuli, hah?! Apa kau tidak bisa bicara? Jawab pertanyaanku, brengsek!" bentak Davian.

BUGH!

Min Jun memberikan pukulan keras tepat mengenai wajah Rayyan sampai mengakibatkan sudut bibirnya sedikit sobek. Sedangkan Kevin sudah ketakutan dan dirinya bingung harus berbuat apa.

"Waw. Ternyata Kak Davian kalau sudah emosi seperti orang kerasukan," batin Kevin.

Tidak mendapatkan jawaban dari Rayyan. Reflek tangannya mencekik leher Rayyan dengan sangat kuat.

"Kakaaakkk!!" teriak Darel saat melihat kakaknya mencekik leher Rayyan.

"Hiks... lepaskan Kak. Lepaskan Kak Rayyan... Jiks." Darel terisak sambil tangannya berusaha untuk melepaskan tangan kakaknya yang ada di leher Rayyan.

"Beraninya kau mendorong adikku. Apa kau ingin membunuhnya, hah?! Belum puaskah kau dan suadaramu itu mendorongnya enam bulan yang lalu sampai adikku mengalami geger otak ringan. Dan sekarang kau mengulanginya lagi!!" teriak Davian di depan wajah Rayyan dan makin mengeratkan cekikannya di leher Rayyan. Wajah Rayyan benar-benar sudah seperti kepiting rebus.

"Ka-kakak, aku mohon Kak. Lepaskan Kak Rayyan," lirih Darel, tapi perkataannya masih tidak dipedulikan oleh sang kakak.

"Astaga. Davian!" teriak Arvind yang datang bersama anggota keluarga lainnya dan terkejut saat melihat putra sulungnya seperti orang kesetanan yang sedang mencekik Rayyan.

"Rayyan!" teriak Agatha saat melihat putranya dicekik oleh Davian.

Sedangkan Andre langsung mengambil alih tubuh Darel dan membawanya ke dalam pelukannya dan berusaha menenangkan adiknya itu.

"Davian. Sadar, Nak! Rayyan ini adalah saudaramu. Dia adikmu. Jangan seperti ini, sayang. Papa mohon. Lepaskan Rayyan. Lepaskan, oke!" tutur Arvind lembut sembari menyentuh wajah putranya itu dengan lembut.

Berlahan Davian melepaskan tangannya dari leher Rayyan.

"Uuhhuukk... Uuhhuuukk!" Rayyan terbatuk-batuk.

"Sayang. Kau tidak apa-apa, Nak?" tanya Agatha panik.

"Sialan kau, Davian. Apa kau ingin membunuh putraku, hah?!" bentak Agatha.

"Davian, lihat Papa. Katakan pada Papa, ada apa?" tanya Arvind lembut.

"Bajingan itu ingin membunuh adikku. Dia mendorong Darel dari atas. Kalau aku tidak datang lebih awal, mungkin Darel sudah tergeletak di bawah dengan bermandikan darah." Davian menjawab sembari menatap tajam kearah Rayyan.

"Apa?" teriak mereka.

Mereka semua benar-benar terkejut ketika mendengar penuturan dari Davian, termasuk William.

Semua menatap kearah Rayyan untuk meminta penjelasan, tak terkecuali William Wilson, sang Ayah.

"Rayyan Wilson," panggil William singkat, padat dan jelas.

"Maafkan aku, Pa. Aku..."

PLAAKKK!

Belum selesai Rayyan berbicara, William langsung memberikan tamparan keras pada wajah putranya itu.

"Papa malu memiliki putra sepertimu. Bahkan kalian semua. Satu pun dari kalian tidak ada yang bisa membuat Papa bangga. Kalian bisanya hanya membuat Papa malu. Mulai hari ini untuk dua bulan kedepannya Papa akan kurangi uang saku kalian. Papa akan memberikan secukupnya saja. Papa tidak peduli apa itu cukup atau bahkan kurang. Papa tidak peduli. Semua fasilitas kalian Papa serahkan pada Darel, adik kalian. Dia yang berhak di rumah ini." William berbicara dengan penuh amarah.

Saat Agatha ingin protes, William sudah terlebih dahulu memotongnya. "Kalau kau membela putra-putramu dan memihak kepada mereka. Bahkan diam-diam membantu mereka. Aku juga akan mengurangi uang bulananmu dan menarik semua fasilitasmu dan kuserahkan pada Darel."

"Sialan kau William," batin Agatha.

William mendekati Darel yang sedang dipeluk oleh Andre. Dapat didengar olehnya keponakannya yang masih sesenggukan karena menangis.

"Darel," panggil William.

Darel tidak mempedulikan panggilan Pamannya. Justru Darel makin mengeratkan pelukannya pada kakaknya dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher kakaknya itu.

"Paman. Sepertinya Darel masih takut. Aku akan membawanya ke kamar," ucap Andre.

"Baiklah." William berucap sambil menyempatkan tangannya mengelus lembut rambut keponakan manisnya itu.

Setelah itu, Andre membawa adiknya ke kamar dan disusul oleh saudara-saudaranya yang lain beserta kedua orang tua mereka.

Sekarang Darel sudah berada di kamarnya, tepatnya duduk di atas tempat tidur kesayangannya ditemani oleh kedua orang tuanya dan para kakak-kakaknya. Darel masih dalam pelukan Andre.

"Sayang. Ini Mama, Nak! Darel tidak perlu takut lagi. Ada Mama dan Papa disini. Ada kakak-kakak Darel juga." Adelina berbicara lembut sambil mengelus lembut rambut putra bungsunya.

Tidak ada sahutan atau jawaban dari Darel. Hal itu sukses membuat mereka semua tampak khawatir. Namun, detik kemudian terdengar dengkuran halus dari sibungsu, menandakan sibungsu telah tertidur.

"Haaaaaah." mereka menghela nafas lega. Ternyata sikelinci kesayangan mereka telah tertidur.

"Ya, sudah. Andre, baringkan adikmu di tempat tidur." Arvind berucap.

Andre dibantu oleh Nevan membaringkan Darel secara berlahan ke tempat tidurnya, lalu kemudian menyelimutinya. Mereka memandangi wajah tampan kesayangan mereka itu.

"Dan sekarang Darel kembali melewatkan waktu makannya lagi. Satu hari ini Darel hanya sarapan pagi saja. Itupun sarapannya tidak habis dikarenakan merajuk dan kesal dengan Kak Davian. Darel tidak ikut makan siang dan sekarang tidak ikut makan malam juga," tutur Evan

"Bagaimana ini, Ma? Kalau Darel sakit bagaimana? Darel itu fisiknya beda dengan kita. Darel itu gampang sekali jatuh sakit," ucap Alvaro.

"Kita bangunkan saja Darelnya ya, Ma." Raffa menatap wajah tampan adiknya sendu.

"Ya, sudah. Biarkan Mama yang bangunkan adik kalian," jawab Adelina.

Adelina mendekati putra bungsunya. Tangannya mengelus lembut rambutnya, kemudian mengelus-elus pipi putra bungsunya itu.

"Darel, sayang. Bangun dong. Sebentar saja. Nanti Darel boleh tidur lagi setelah ini."

Berlahan Darel membuka kedua matanya, lalu memandangi wajah cantik ibunya.

"Mama," lirihnya.

Adelina tersenyum lembut pada putra bungsunya sembari menggenggam tangannya. "Darel makan ya! Darel melewatkan makan siang. Mama tidak mau Darel juga melewatkan makan malam juga. Kalau Darel sakit Mama akan nangis tujuh hari tujuh malam. Darel mau?" Adelina berbicara sembari menggoda putranya.

"Mama," rengek Darel.

"Bagaimana? Darel maukan makan? Sedikit juga gak apa. Asal perutnya terisi," ucap Adelina.

"Baiklah. Aku mau makan. Tapi kalian semua juga harus makan," jawab Darel.

"Kita akan makan setelah Darel selesai makan," jawab Davian.

"Kakak akan ke bawah mengambil makan malam untukmu!" seru Daffa.

Daffa pun pergi meninggalkan kamar Darel untuk menuju ruang makan.

"Ma, bantu aku. Aku mau duduk," pinta Darel yang memperlihatkan sisi manjanya pada ibunya.

Sedangkan para kakaknya menatap dengan senyuman terpampang di wajah mereka masing-masing. Hati mereka menghangat ketika melihat wajah tampan dan wajah imut adik mereka.

Darel melihat kearah Kakak tertuanya yaitu Davian Wilson. "Kak Davian," panggil Darel.

"Hm." Davian menjawab dengan deheman sambil tersenyum pada adiknya.

"Aku serahkan tugas ini pada Kakak. Urusi tikus-tikus busuk itu," ucap Darel.

Mereka semua terkekeh geli mendengar ucapan Darel saat mengatakan tikus-tikus untuk ketujuh kakak sepupunya.

"Sayang, tidak boleh begitu. Bagaimana pun mereka itu saudaramu? Bagian dari keluarga kita. Walau mereka sering berbuat jahat padamu," ucap Adelina menasehati putra bungsunya.

"Mereka bukan bagian dari keluarga Wilson. Mereka bukan saudaraku. Mereka penipu," batin Darel.

"Darel," panggil Arvind.

Hening..

"Darel," panggil Arvind sekali lagi dengan menepuk pelan bahu putranya. Hal itu membuat Darel terkejut.

"Papa jelek kayak monyet." Darel yang tak sengaja melontarkan ucapan yang membuat mereka tertawa.

"Hahahaha." mereka tertawa. Tapi tidak dengan ayahnya yang sudah memasang wajah kesal dan merengut.

Darel reflek membekap mulutnya sendiri saat melihat mimik wajah sang ayah yang memerah menahan kesal. Salahkan mulutnya yang dengan lancang mengatai ayahnya sendiri.

Arvind menatap wajah putra bungsunya dengan kedua tangan diletakkan di pinggang. Sedangkan Darel menelan ludahnya sendiri saat melihat ayahnya menatapnya. Dia takut kalau ayah akan marah padanya.

"Pa-pa. Maafkan aku. A-ku tidak sengaja. Habisnya Pa-pa yang duluan mengagetkanku," ucap Darel yang sedikit terbata-bata dan ketakutan.

Sang ibu dan para kakaknya tersenyum ketika melihat wajah takutnya. Sementara Arvind sama sekali tak mengubrisnya. Arvind tetap menatap wajahnya, lalu tangan Arvind terangkat ke atas seakan hendak memukulnya. Darel langsung memejamkan matanya takut akan ayahnya itu.

Detik kemudian yang dirasakan oleh Darel adalah rasa geli di perutnya. Ayahnya menggelitiki dirinya sebagai hukuman atas perkataannya itu.

"Ini hukuman untuk putra Papa yang sudah mengatakan wajah Papa seperti monyet!!" seru Arvind.

"Papa. Hentikan ini geli. Hahahaha.. Papa.. Hahaha. Aku sudah tidak tahan, Pa. Hentikan.. Papa geli!"

Para Kakaknya dan Adelina tertawa melihat Ayahnya/Suaminya yang sedang bermain dengan sibungsu kesayangan mereka. Mereka berharap selamanya akan seperti ini.

"Papa, sudah hentikan. Kasihan Darel!!" seru Vano.

Akhirnya Arvind menghentikan aksi menggelitiki sibungsu.

Nafas Darel terengah-engah atas ulah ayahnya. "Aish. Papa kau tega sekali padaku," protesnya dengan bibir yang dimanyunkan.

"Kenapa? Mau lagi? Ayoo," ucap Arvind yang masih menjahili putra bungsunya itu.

"Tidak. Bisa-bisa badanku remuk semua. Kalau Papa masih mau bermain gelitik-gelitikkan. Mainnya sama Mama saja di kamar. Sekalian..." ucapan Darel terpotong ketika tiba-tiba Adelina memberikan satu jitakan tepat di kening mulusnya.

TAK!

"Aww!" Darel mengelus-elus keningnya itu.

"Sekalian apa?" tanya Adelina menatap horor putra bungsunya.

"Aish. Mama jangan seperti kura-kura dalam perahu. Hehehe," jawab Darel dengan kekehannya.

Adelina tidak habis pikir dengan pemikiran sibungsu. Dirinya dibuat malu, kesal sekaligus dibuat bahagia atas kelakuannya.

Sedangkan putra-putranya yang lain tersenyum bahagia melihat wajah ibu dan ayah mereka yang sedikit malu-malu di depan mereka, terutama ibunya yang wajahnya memerah.

"Kenapa kalian pada menatap kami berdua?" tanya Arvind saat menyadari semua putra-putranya menatapnya dan istrinya.

"Sudah sana. Papa dan Mama kembali ke kamar saja. Jangan ganggu Darel disini. Darel biar jadi urusan kami!" seru Elvan, lalu mendorong punggung ibunya dan dibantu oleh Arga yang mendorong punggung ayahnya agar keluar dari kamar Darel.

Setelah berada di luar kamar Darel, mereka masih terus mendorong punggung kedua orang tua mereka sampai di depan kamar mereka.

"Sekarang Papa dan Mama masuk ke kamar. Beristirahatlah," ucap Arga, lalu membuka pintu kamar orang tuanya. Mereka kembali mendorong punggung Ayah dan Ibu mereka masuk ke dalam kamar.

"Jangan lupa bersenang-senanglah!" seru Elvan, lalu menutup pintu kamar itu.

BLAM!

Elvan dan Arga tersenyum bahagia karena berhasil menggoda orang tua mereka.

Sementara di dalam kamar sepasang suami istri masih kebingungan atas sikap putra-putra mereka.

"Disini kita yang orang tuanya atau mereka, sih?" tanya Adelina pada suaminya.

Arvind hanya menjawab dengan menaikkan kedua bahunya.

"Jangan dipikirkan. Lebih baik kita tidur!" seru Arvind, lalu menggendong istrinya dan membawanya ke tempat tidur.

***

Dipagi yang cerah dimana seluruh anggota keluarga sedang bersiap-siap di kamar mereka masing-masing. Bersiap-siap untuk melakukan aktivitas mereka, seperti yang mau ke kantor, ke Kampus dan ke Sekolah.

Sepuluh menit kemudian mereka pun telah berkumpul di meja makan untuk sarapan.

"Ma, Pa. Darel ikut sarapan bersama kita atau sarapannya diantar ke kamarnya?" tanya Evan.

"Darel akan sarapan di kamarnya." Davian langsung menjawab pertanyaan dari Evan.

"Baiklah. Kalau begitu Mama akan menyiapkan sarapan untuk adik kalian!" seru Adelina.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

75